Produk: vaksin

  • Pilah-pilih Informasi, Jangan Sebar Hoaks soal Imunisasi, Bisa Ancam Kesehatan Anak Indonesia – Halaman all

    Pilah-pilih Informasi, Jangan Sebar Hoaks soal Imunisasi, Bisa Ancam Kesehatan Anak Indonesia – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Di era gempuran info di media sosial, orang tua perlu memilah informasi terkait imunisasi dan vaksinasi.

    Hoaks telah terbukti menurunkan cakupan imunisasi secara nasional yang mengakibatkan kesehatan anak Indonesia terancam.

    Selama bertahun-tahun hoaks terkait imunisasi dan vaksinasi terus beredar.

    Misalnya anggapan imunisasi membuat anak yang sehat menjadi sakit, vaksin mengandung babi atau bahan berbahaya hingga vaksin dianggap haram.

    Informasi yang menyesatkan itu sering kali disebarkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

    Dampak Nyata Hoaks

    Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K) mengatakan, di era media sosial seperti ini informasi sangat mudah disebarluaskan melalui pesan WhatsApp dan postingan di media sosial.

    Sayangnya, banyak masyarakat mudah percaya pada pesan-pesan berantai itu sehingga meningkatkan keraguan dan keresahan masyarakat terkait imunisasi.

    “Misalkan vaksin itu ada babinya atau juga pertanyaan bahwa proses vaksin itu apakah suci atau tidak. Apakah imunisasi wajib dalam Islam, apakah ada hadisnya,” ujar dia dalam webinar yang digelar Kementerian Kesehatan pada Rabu (9/4).

    Pernyataan yang misinformasi itu mengakibatkan, penolakan imunisasi di beberapa daerah, lalu muncul Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit lama seperti difteri, campak dan polio.

    “Hal ini yang membuat cakupan imunisasi secara nasional menurun. Ini menjadi tantangan tenaga kesehatan untuk memberikan penjelasan dengan penuh empati kepada masyarakat yang menolak vaksin,” ujar dr Piprim.

    Bagi dr Piprim, imunisasi bukan hanya soal medis, tetapi juga soal kemaslahatan.

    Seorang bayi sedang menerima imunisasi polio di Puskesmas Nagaswidak, Palembang, Kamis (27/7/2023). Imunisasi pada bayi dan anak memiliki manfaat yang sangat besar. Imunisasi merupakan suatu upaya dari pemerintah yang bertujuan untuk mencegah meningkatnya angka kesakitan pada penyakit tertentu yang beresiko pada bayi dan membentuk kekebalan tubuh agar tidak mudah terinfeksi virus penyebab penyakit. Kementerian Kesehatan memperkenalkan jenis antigen baru yang ditambahkan dalam program imunisasi nasional yang saat ini sedang dilaksanakan oleh pemerintah.Keempat jenis vaksin tersebut adalah vaksin Pneumokokus Konyugasi (PCV) untuk mencegah pneumonia (radang paru), vaksin Human Papiloma Virus (HPV) untuk mencegah kanker leher rahim, vaksin Rotavirus (RV) untuk mencegah diare berat, dan vaksin Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV) dosis kedua untuk memperkuat perlindungan dari polio.ehingga Imunisasi pada anak diharapkan dapat menciptakan ekosistem kesehatan Indonesia menuju kelas dunia. TRIBUN SUMSEL/ABRIANSYAH LIBERTO (TRIBUN SUMSEL/TRIBUN SUMSEL/ABRIANSYAH LIBERTO)

    Dalam catatan IDAI, hoaks berupa vaksin mengandung racun dan berbahaya membuat banyak keluarga di awal tahun 2000 menolak imunisasi, kemudian pada 2005 terjadi KLB polio.

    Saat itu, wabah polio menyerang 305 orang di 47 kabupaten/kota di 10 provinsi. 

    Untuk diketahui, polio merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus polio dan menyerang sistem saraf. 

    Dalam beberapa kasus, infeksi ini dapat menyebabkan kelumpuhan hingga kematian dalam waktu singkat.

    Polio dapat menyerang siapa saja, tanpa memandang usia. 

    Hingga saat ini belum ditemukan obat untuk penyakit ini. Vaksinasi merupakan cara paling efektif untuk mencegah penularannya.

    Imunisasi adalah Hak Setiap Anak

    Agar anak tumbuh dan berkembang mencapai potensinya, seorang anak memerlukan asuh, asih, dan asah serta tak kalah penting adalah imunisasi.

    Ada banyak penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin seperti tuberkulosis, kanker hati, polio, campak, rubella, tetanus, difteri hingga pertusis.

    GENERASI EMAS DAN SEHAT INDONESIA. Di era gempuran informasi di media sosial, orang tua perlu memilah informasi terkait imunisasi dan vaksinasi. Hoaks telah terbukti menurunkan cakupan imunisasi secara nasional yang mengakibatkan kesehatan anak Indonesia terancam.

    “Imunisasi penting untuk melindungi dari penyakit berbahaya. Imunisasi itu hak setiap anak. Semua pasti mendambakan anak yang tumbuh dan kembangnya optimal,” kata Ketua Pokja Imunisasi Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Hartono Gunardi di Jakarta pada Jumat (21/3).

    Karena itu, Prof Hartono mengatakan, sebagai upaya mewujudkan generasi emas Indonesia, kebutuhan dasar anak Indonesia harus dipenuhi.

    Ia menekankan, meski seorang anak dibesarkan dalam lingkungan bersih dan tampak sehat. Imunisasi tetap diperlukan.

    “Vaksin itu aman dan efektif sebagai perlindungan jangka panjang. Ini adalah investasi bagi generasi masa depan,” ujar dia.

    Mari Melawan Hoaks

    Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO tahun 2023, sebanyak 14,5 juta anak di dunia masih belum mendapatkan imunisasi dasar (zero dose).

    Di atas kertas Indonesia mengalami kemajuan, dimana tahun 2023 hanya ada sekitar 662 ribu anak yang belum menerima vaksinasi.

    Namun di sisi lain, Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah zero dose tertinggi keenam di dunia.

    Direktur Imunisasi Kementerian Kesehatan, dr. Prima Yosephine, menyadari salah satu penyebab banyaknya anak Indonesia belum mendapatkan imunisasi adalah informasi yang tidak benar dan menyesatkan.

    “Info itu pada awalnya akan menimbulkan keraguan, ketakutan hingga penolakan terhadap imunisasi,” ujarnya.

    Ia meyakini, perlu kolaborasi bersama untuk menghadapi kondisi ini.

    Media misalkan memiliki peran krusial dalam meluruskan persepsi masyarakat dan menangkal hoaks terkait imunisasi.

    Selain itu juga komunitas digital seperti influencer hingga tokoh agama.

    Direktur Global Health strategies Indonesia, Ganendra Awang Kristandya, menekankan kekuatan media sosial harus diarahkan untuk menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia .

    Hoaks kesehatan menyebar sangat cepat.

    “Semua pihak termasuk influencer, tokoh agama harus lebih banyak bersuara tentang fakta imunisasi. Seperti  imunisasi sebagai hak dasar anak,” tegasnya dalam kegiatan yang digelar Kemenkes pada Senin (21/4).

    Di kesempatan berbeda, Team Leader for Risk Resilience and Governance a.i. United Nations Development Programme (UNDP), Siprianus Bate Soro menegaskan, berita hoaks menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap imunisasi.

    “Kami mengajak semua, media untuk bersama-sama menyajikan informasi yang benar dan akurat untuk melawan disinformasi sebagai upaya meningkatkan cakupan imunisasi,” jelas dia.

     

  • BPOM Percepat Izin Edar Obat, dari 120 Hari Jadi 90 Hari – Halaman all

    BPOM Percepat Izin Edar Obat, dari 120 Hari Jadi 90 Hari – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) mempercepat proses registrasi obat hingga mendapatkan izin edar. 

    Upaya ini dilakukan dengan bekerja sama melalui mekanisme joint assessment bersama organisasi atau regulator negara lain.

    Seperti ASEAN melalui ASEAN Joint Assessment (AJA), WHO, dan The European Medicines Agency (EMA).

    Mekanisme dilakukan melalui skema reliance bilateral dan regional, diharapkan dapat memfasilitasi pengambilan keputusan regulatori dengan lebih cepat.

    Namun tetap mengedepankan aspek keamanan, efikasi, dan mutu produk yang memenuhi standar internasional.

    “Melalui skema reliance, BPOM mampu memangkas waktu evaluasi registrasi obat dari 120 hari kerja menjadi hanya 90 hari kerja,” kata Kepala BPOM Taruna Ikrar pada keterangannya, Jumat (25/4/2025). 

    Menurut Taruna Ikrar, salah satu langkah besar menerapkan sistem reliance yang merujuk pada hasil evaluasi dari negara-negara dengan sistem pengawasan tepercaya. 

    “Mekanisme ini telah terbukti menyederhanakan proses evaluasi pra-pasar, mengurangi birokrasi, serta mempercepat waktu dan mengefisiensikan sumber daya,” lanjutnya.

    Lebih lanjut, Taruna Ikrar menegaskan pentingnya percepatan akses terhadap obat-obatan guna mendukung peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, khususnya di kawasan Asia dan Indonesia.

    Taruna Ikrar kemudian mencontohkan beberapa produk obat dan vaksin yang telah memperoleh izin edar BPOM melalui skema reliance dari metode joint assessment dengan dukungan dari WHO, EMA, dan ASEAN. 

    Beberapa di antaranya, yaitu Vaksin Dengvaxia, Qdenga (vaksin dengue), Perjeta (untuk kanker payudara), serta obat malaria dan autoimun.

    Dengan terobosan sistem reliance tersebut, Indonesia melalui BPOM mempercepat akses terhadap obat-obatan.

    Termasuk obat-obat inovatif yang baru dikembangkan dan dibutuhkan sebagai alternatif terapi bagi masyarakat Indonesia, seperti advanced therapy medicinal products/ATMP. 

    “Kami berupaya terus percepat akses terhadap obat-obatan inovatif dan memperkuat kapasitas nasional untuk mengatasi tantangan kesehatan masyarakat,” pungkasnya. 

  • Melawan Disinformasi dan Misinformasi Imunisasi Mulai dari Orang Tersayang

    Melawan Disinformasi dan Misinformasi Imunisasi Mulai dari Orang Tersayang

    Jakarta

    Hidup sebagai orang tua, akan selalu tentang belajar dan tanggung jawab, ini berlangsung seumur hidup. Terkadang, orang tua tidak tahu, apakah keputusan yang mereka ambil demi sang buah hati tepat atau tidak. Tetapi, pada satu momen, mereka yakin bahwa itulah satu keputusan terbaik.

    Inilah yang saat ini dirasakan oleh pasangan muda, Nabila (27) dan Raditya (28). Di usia pernikahan yang baru seumur jagung, yakni kurang dari dua tahun, keduanya sudah dikaruniai satu malaikat kecil bernama Namira, yang kini berusia genap enam bulan.

    Pertama kali menjadi orang tua, keduanya menyadari bahwa hidup mereka kini akan selalu tentang belajar apapun, termasuk soal imunisasi anak. Masa depan Namira soal imunisasi kesehatan ada di ujung lidah mereka. Keputusan apapun yang diambil, itulah yang didapat oleh Namira.

    Nabila merupakan sosok yang menyadari betul betapa pentingnya imunisasi pada anak. Namun, sang suami, memiliki pandangan yang agak berbeda. Raditya, tidak sepenuhnya menganggap bahwa imunisasi ini sepenting itu, sehingga bisa saja dilewati.

    “Aku sebenarnya bukan sepenuhnya tidak setuju (imunisasi). Antara perlu atau tidaknya divaksinasi itu jadi pertanyaan gitu loh, ini perlu nggak sebenarnya? Kayaknya nggak perlu deh sampai vaksinasi, karena virus ini pun bakal hinggap ke anak atau orang, tinggal gimana cara tubuhnya melawan kan?” kata Raditya saat dihubungi detikcom, Jumat (25/4/2025).

    “Imunisasi ini kan kayak dimasukkan bakteri atau virus (yang dilemahkan) kan? Nggak setujunya saya, kenapa kok perlu dipantik dulu gitu loh?” lanjut dia.

    Merasa ragu soal imunisasi

    Tapi, Raditya menyadari bahwa ia merupakan nakhoda di sebuah kapal kecil bernama keluarga. Di satu sisi, sang istri ingin sekali anaknya mendapatkan imunisasi lengkap, namun di sisi lain, dirinya masih bertanya-tanya apakah suntikan demi suntikan itu perlu untuk anaknya?

    Umur Namira saat itu kurang dari satu minggu. Bidan yang membantu proses kelahiran sudah menjelaskan pada Raditya tentang jenis-jenis vaksin untuk imunisasinya, Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), hingga keuntungan jika sang anak diimunisasi.

    Nabila juga melakukan hal yang sama. Dirinya tahu betul bagaimana sifat suaminya. Dia tidak ingin memaksa, karena bagaimanapun, selain menjadi ibu yang hebat, Nabila juga ingin menjadi istri yang baik.

    Perlahan dia juga menjelaskan kepada Raditya tentang apa-apa soal imunisasi. Dirinya tahu bahwa suaminya itu hanya butuh informasi yang lebih lengkap.

    “Itu sudah direkomendasikan oleh bidannya Namira. Kalau memang itu rekomendasi, aku juga nggak mungkin mendebat ke bidan. Daripada nanti ribet, aku adu argumen, ya sudah imunisasi saja,” kata Raditya.

    Takut KIPI

    Pasca-imunisasi, ketakutan Raditya saat itu bertambah, yakni terkait dengan KIPI. Sebagai seorang ayah, dirinya tidak ingin sang buah hati mengalami kejadian yang buruk.

    Seperti yang diketahui, KIPI dibagi menjadi dua, yakni ringan dan berat. KIPI ringan biasanya cenderung sembuh sendiri karena meliputi demam, nyeri otot, bengkak di area suntikan, dan sakit kepala. Sedangkan KIPI berat menimbulkan risiko serius pada kesehatan, seperti kejang, syok, hingga penurunan trombosit. Kondisi ini memerlukan penanganan medis segera.

    “Alhamdulillah saat itu Namira nggak kenapa-kenapa. Paling hanya agak hangat saja badannya,” katanya.

    Dari pengalaman tersebut, kini Namira sudah mendapatkan beberapa kali suntikan vaksin, seperti imunisasi BCG 1 dan 2, DPT 1 dan 2 (Difteri, Pertusis, Tetanus), Polio 1 dan 2, PCV 1 (Pneumococcal Conjugate Vaccine), dan Rotavir 1.

    Nabila dan Raditya berkomitmen untuk terus menjaga kesehatan sang anak. Terkait imunisasi lanjutan, keduanya sepakat untuk terus melakukan yang terbaik bagi Namira.

    Di sisi lain, mereka juga menyadari bahwa di lingkungan mereka masih ada orang tua yang ‘termakan’ oleh disinformasi terkait imunisasi.

    “Saya sih minta ke Kemenkes (Kementerian Kesehatan) ya kayak terus sosialisasi nunjukin bahwa ini loh real data antara anak yang diimunisasi dan yang nggak, imunnya bertambah sampai berapa persen, jadi masyarakat dapat datanya gitu,” kata Raditya.

    “Kami perlu gitu bukti konkret lah bahwa imunisasi ini bener nggak sih imunnya bakal bertambah atau terbentuk gitu. Soalnya ada kasus saudara saya sendiri, dia punya anak, udah imunisasi lewat satu tahun, harusnya kan udah selesai, tapi itu dia tetap kena penyakitnya,” sambungnya.

    Pertarungan melawan narasi disinformasi

    Direktur Imunisasi Kementerian Kesehatan dr Prima Yosephine, menyebut bahwa salah satu tantangan terbesar dalam mengejar cakupan imunisasi bukan lagi soal distribusi vaksin atau akses fasilitas, melainkan pertarungan narasi.

    “Salah satu isu penting yang menjadi penyebab banyaknya anak Indonesia belum mendapatkan imunisasi adalah beredarnya informasi palsu atau tidak benar tentang imunisasi. Informasi yang tidak benar dan menyesatkan ini pada awalnya akan menimbulkan keraguan, ketakutan, dan pada akhirnya akan menimbulkan penolakan terhadap imunisasi,” ujar dr Prima, dikutip detikcom dari YouTube Kemenkes ‘Meningkatkan Minat Masyarakat untuk Melengkapi Imunisasi Anak’ Jumat, (25/4/2025).

    Berdasarkan data WHO tahun 2023, sebanyak 14,5 juta anak di dunia belum mendapatkan imunisasi dasar atau zero dose. Indonesia memang menunjukkan kemajuan signifikan dari 1,1 juta anak belum diimunisasi pada 2021 menjadi 662 ribu anak pada 2023.

    Namun, Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah zero dose tertinggi keenam di dunia.

    “Imunisasi masih menjadi salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang terbukti sangat efektif dan efisien hingga saat ini. Melalui imunisasi, jutaan anak telah terselamatkan dari bahaya kesakitan, kecacatan, bahkan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi,” kata dr Prima.

    “Imunisasi bukan sekadar memberikan perlindungan bagi individu, tapi lebih dari itu, dia menciptakan kekebalan bagi komunitas. Anak yang telah diimunisasi kini menjadi perisai bagi mereka yang tidak dapat diberikan imunisasi karena kondisi kesehatan tertentu,” tutup dr Prima.

    (dpy/kna)

  • Penyakit yang Bisa Dicegah dengan Vaksin Kian Merebak

    Penyakit yang Bisa Dicegah dengan Vaksin Kian Merebak

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), badan PBB yang mengurusi masalah anak-anak (UNICEF), dan aliansi vaksin Gavi mengeluarkan peringatan bahwa dunia kini menghadapi peningkatan jumlah wabah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, seperti campak, meningitis, dan demam kunir atau demam kuning.

    Pernyataan bersama ini dikeluarkan pada awal Pekan Imunisasi Dunia yang berlangsung dari tanggal 24 hingga 30 April 2025.

    “Vaksin telah menyelamatkan lebih dari 150 juta nyawa dalam lima dekade terakhir. Namun, pemotongan dana untuk kesehatan global kini mengancam pencapaian yang telah diperjuangkan dengan susah payah ini,” ungkap Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam sebuah pernyataan.

    Campak yang kembali jadi ancaman

    Pernyataan tersebut juga menyoroti kembalinya campak yang berbahaya, dengan kasus yang meningkat 20% dalam setahun, mencapai 10,3 juta pada tahun 2023. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut pada tahun 2024 dan 2025.

    Selama tahun lalu, 138 negara melaporkan kasus campak, dengan 61 di antaranya melaporkan wabah. Ini merupakan angka tertinggi yang tercatat sejak 2019.

    “Krisis pendanaan global secara serius membatasi kemampuan kami untuk memvaksinasi lebih dari 15 juta anak rentan di negara-negara yang rapuh dan terdampak konflik dari penyakit campak,” tambah Kepala UNICEF, Catherine Russell.

    Meningitis dan demam kuning: Ancaman yang semakin besar

    Pada tiga bulan pertama tahun 2025, lebih dari 5.500 kasus meningitis dan sekitar 300 kematian dilaporkan di 22 negara Afrika. Pada tahun 2024, tercatat 26.000 kasus dan hampir 1.400 kematian di 24 negara.

    Apakah anak-anak cukup mendapatkan vaksinasi?

    Terdapat pula kenaikan jumlah anak yang terlewat dari dosis vaksin rutin mereka, meskipun upaya pemulihan dilakukan setelah pandemi. Sekitar 14,5 juta anak tidak menerima satu pun dosis vaksin rutin mereka pada tahun 2023.

    Gavi menyerukan dana sebesar USD9 miliar menjelang konferensi tingkat tinggi pada tanggal 25 Juni nanti, “untuk melindungi 500 juta anak, menyelamatkan setidaknya 8 juta nyawa antara tahun 2026 hingga 2030.”

    Seruan ini datang di tengah pemotongan besar-besaran dana vaksin, misinformasi, serta krisis kemanusiaan lainnya seperti perang di Gaza.

    Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah secara drastis mengurangi dana bantuan kemanusiaan kepada berbagai lembaga sejak menjabat lagi jadi presiden.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris.

    Diadaptasi oleh: Ayu Purwaningsih

    Editor: Hendra Pasuhuk

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kunjungan Studi Strategis Dalam Negeri P4N 68 Lemhannas RI ke Bio Farma

    Kunjungan Studi Strategis Dalam Negeri P4N 68 Lemhannas RI ke Bio Farma

    JABAR EKSPRES – Bio Farma menerima Kunjungan Kerja dari Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) yang dipimpin oleh Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Kepemimpinan, Mayjen TNI Supriyatna beserta rombongan peserta Studi Strategis Dalam Negeri (SSDN) Pendidikan Penyiapan dan Pemantapan Pimpinan Nasional (P4N) 68 Lemhannas RI pada 24 April 2025 di Kantor Pusat Bio Farma Bandung.

    Kunjungan kerja ini dilakukan dalam rangka Program Pendidikan Penyiapan dan Pemantapan Pimpinan Nasional (P4N) 68 yang diselenggarakan oleh Lemhannas RI. Rombongan diterima langsung oleh Komisaris Utama Bio Farma, Tugas Ratmono, dan Wakil Direktur Utama Bio Farma, Soleh Ayubi.

    Pada kesempatan ini, Rombongan peserta SSDN P4N 68 Lemhannas RI mendapatkan pemaparan terkait situasi terkini dan kontribusi Bio Farma Group dalam menjaga ketahanan kesehatan nasional, serta melakukan kunjungan pada fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh Bio Farma di Kantor Pusat Bandung.

    Mayjen TNI Supriyatna, mewakili Gubernur Lemhannas RI, Dr. H. TB. Ace Hasan Syadzily, M.Si., menyampaikan apresiasinya kepada Bio Farma atas penerimaan peserta SSDN P4N 68 Lemhannas RI.

    “Kami mewakili Gubernur Lemhannas RI, mengucapkan terima kasih dan apresiasi kepada Bio Farma atas kesempatan kepada rombongan SSDN P4N 68 Lemhannas RI untuk berkunjung dan belajar di salah satu objek strategis negara ini. Lemhannas RI mengemban tugas untuk menciptakan

    kader-kader pimpinan nasional untuk dibekali beragam pengetahuan dalam rangka mencetak kader yang beretika, bermoral, dan berwawasan luas. Program pendidikan ini berlangsung selama 9 bulan dengan peserta sebanyak 25 orang yang terdiri dari kader TNI, Polri, ASN, dan 2 orang perwakilan negara sahabat, yakni Timor Leste dan Yordania.” papar Mayjen TNI Supriyatna.

    Komisaris Utama Bio Farma, Tugas Ratmono, menyampaikan bahwa saat ini Bio Farma telah memberikan kontribusi positif kepada ketahanan negara, dan diharapkan kedepannya Bio Farma juga dapat melakukan ekspansi agar dapat menjadi salah satu leader farmasi di tingkat global.

    “Sejak berdirinya Bio Farma 135 tahun yang lalu, perusahaan ini telah memberikan kontribusi positif pada ketahanan kesehatan masyarakat. Pada perjalanannya, Perusahaan ini juga telah meraih kepercayaan dari organisasi tingkat global seperti WHO dan UNICEF dengan produk unggulan vaksin polio. Selama itu pula kami senantiasa berupaya meningkatkan kontribusi tersebut baik untuk kepentingan masyarakat baik di dalam negeri, maupun meningkatkan peranan Indonesia di tingkat global.”

  • BPOM RI Percepat Izin Edar Obat, dari 120 Jadi 90 Hari Kerja

    BPOM RI Percepat Izin Edar Obat, dari 120 Jadi 90 Hari Kerja

    Jakarta

    Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) mempercepat proses registrasi obat hingga mendapatkan izin edar. Upaya ini dilakukan dengan bekerja sama melalui mekanisme joint assessment bersama organisasi atau regulator negara lain.

    Misalnya dengan ASEAN melalui ASEAN Joint Assessment (AJA), WHO, dan The European Medicines Agency (EMA).

    Mekanisme dilakukan melalui skema reliance bilateral dan regional, yang diharapkan dapat memfasilitasi pengambilan keputusan regulatori dengan lebih cepat, tetapi tetap mengedepankan aspek keamanan, efikasi, dan mutu produk yang memenuhi standar internasional.

    “Salah satu langkah besar menerapkan sistem reliance yang merujuk pada hasil evaluasi dari negara-negara dengan sistem pengawasan terpercaya. Mekanisme ini telah terbukti menyederhanakan proses evaluasi pra-pasar, mengurangi birokrasi, serta mempercepat waktu dan mengefisiensikan sumber daya,” beber Kepala BPOM RI Taruna Ikrar dalam kegiatan The 7th Asian Network Meeting (ANM) di Tokyo, Jepang, Rabu (23/4/2025).

    Izin Edar Bisa Didapat dalam 90 Hari

    Melalui skema reliance, BPOM mampu memangkas waktu evaluasi registrasi obat dari 120 hari kerja menjadi hanya 90 hari kerja. Inisiatif ini sekaligus dapat memperkuat kapasitas regulatori nasional melalui kolaborasi, optimalisasi sumber daya, dan harmonisasi standar internasional.

    Taruna Ikrar kemudian mencontohkan beberapa produk obat dan vaksin yang telah memperoleh izin edar BPOM melalui skema reliance dari metode joint assessment dengan dukungan dari WHO, EMA, dan ASEAN. Beberapa di antaranya, yaitu:

    vaksin dengvaxiaQdenga (vaksin dengue)perjeta (untuk kanker payudara)obat malaria dan autoimun.

    Dengan terobosan sistem reliance tersebut, Indonesia melalui BPOM mempercepat akses terhadap obat-obatan, termasuk obat-obat inovatif yang baru dikembangkan dan dibutuhkan sebagai alternatif terapi bagi masyarakat Indonesia, seperti advanced therapy medicinal products/ATMP.

    “Kami berupaya terus percepat akses terhadap obat-obatan inovatif dan memperkuat kapasitas nasional untuk mengatasi tantangan kesehatan masyarakat,” tutur Taruna Ikrar lagi.

    (naf/up)

  • Kasus DBD Meningkat, Kemenkes Gencarkan Kampanye Pencegahan Dengue

    Kasus DBD Meningkat, Kemenkes Gencarkan Kampanye Pencegahan Dengue

    JAKARTA – Peningkatan kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia menjadi perhatian serius di awal tahun 2025. Hingga saat ini, tercatat lebih dari 38 ribu kasus dengan 182 kematian, menandakan bahwa penyakit ini masih menjadi ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat.

    Meskipun sudah dikenal sejak lama, virus dengue terus menunjukkan penyebaran yang signifikan, terutama di wilayah tropis seperti Indonesia. Balita dan anak-anak menjadi kelompok paling rentan terhadap komplikasi yang ditimbulkan penyakit ini.

    Sebagai respons terhadap situasi tersebut, Kementerian Kesehatan meluncurkan kampanye masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pencegahan DBD. Kampanye ini memanfaatkan berbagai platform seperti video edukasi, situs web interaktif, hingga pesan-pesan yang dikirimkan melalui WhatsApp. Tujuannya adalah untuk menyebarluaskan informasi yang mudah diakses dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.

    “Kampanye ini menjadi awal dari gerakan nasional untuk menekan angka kejadian dan kematian akibat dengue. Harapannya, pada tahun 2030, Indonesia bisa mencapai target nol kematian karena DBD,” ujar Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, dalam pernyataannya di Jakarta.

    Dante juga menjelaskan virus dengue pertama kali muncul pada abad ke-18 dan mulai menyebar secara luas di Asia Tenggara pada tahun 1950-an, dengan Filipina menjadi negara paling terdampak saat itu. Di Indonesia, kasus pertama dilaporkan pada 1968, dimulai dari Jakarta dan Surabaya, dan sejak itu menyebar ke berbagai daerah.

    Lebih dari lima dekade berlalu, DBD masih menjadi tantangan besar di bidang kesehatan masyarakat. Penyakit ini tidak hanya berdampak pada kondisi fisik penderitanya, tetapi juga menimbulkan beban ekonomi dan psikologis bagi keluarga serta sistem kesehatan secara keseluruhan.

    Menurut Dante, mengatasi dengue bukan hanya tugas sektor kesehatan semata. “Penanganan dengue tidak bisa hanya bergantung pada penanganan medis. Pencegahan tetap menjadi strategi paling efektif,” ujarnya.

    Pemerintah terus mengampanyekan penerapan 3M Plus: menguras tempat penampungan air, menutup wadah air, dan mendaur ulang barang bekas yang bisa menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk. Tambahan dari 3M adalah langkah-langkah pencegahan lain, seperti penggunaan kelambu, obat anti-nyamuk, dan menjaga kebersihan lingkungan.

    Sebagai bagian dari strategi jangka panjang, pemerintah juga mulai menjajaki penggunaan vaksin dengue. Meski saat ini vaksin tersebut masih dalam tahap uji coba di beberapa lokasi, hasil awal menunjukkan potensi besar untuk mengurangi keparahan gejala dan risiko komplikasi pada penderita.

    “Kami berharap vaksin ini ke depannya dapat digunakan lebih luas untuk membantu menekan angka kesakitan dan kematian akibat DBD,” tambah Dante.

    Melalui sinergi antara edukasi, pencegahan lingkungan, dan inovasi medis, Indonesia berupaya keras mengendalikan penyakit yang telah lama menjadi momok di wilayah tropis ini.

    Langkah kolektif dari seluruh elemen masyarakat menjadi kunci untuk mewujudkan target ambisius: Indonesia bebas kematian akibat DBD pada tahun 2030.

  • Lokasi Vaksinasi Rabies Gratis 24 April di Jakarta Timur, Lengkap dengan Jam Pelayanannya!

    Lokasi Vaksinasi Rabies Gratis 24 April di Jakarta Timur, Lengkap dengan Jam Pelayanannya!

    Jadwal vaksinasi rabies untuk hewan di Jakarta Timur, Kamis (24/4/2025).

    Tayang: Rabu, 23 April 2025 18:41 WIB

    Sudin KPKP Jaksel

    VAKSINASI RABIES GRATIS – Jadwal vaksinasi rabies untuk hewan di Jakarta Timur, Kamis (24/4/2025). 

    TRIBUNJAKARTA.COM – Jadwal vaksinasi rabies untuk hewan di Jakarta Timur, Kamis (24/4/2025).

    Diketahui, vaksinasi rabies untuk hewan kembali tersedia di DKI Jakarta.

    Kini berbagai wilayah menyediakan vaksin rabies gratis ini, termasuk di Jakarta Timur.

    Dengan membawa hewan dalam keadaan sehat, minimal berumur  bulan, tidak sedang bunting atau menyususui, kamu bisa melakukan vaksinasi rabies ini.

    Adapun vaksin rabies ditujukkan untuk hewan anjing, kucing, kera dan musang.

    Berikut jadwalnya untuk esok hari:

    – Kantor Sekretariat RW 06 Kelurahan Baru, Kecamatan Pasar Rebo

    lihat foto
    Masih di momen peringatan Hari Kartini, ada sejumlah tempat yang memberikan berbagai penawaran. Termasuk di rias gratis alias make up gratis hingga akhir bulan April 2025 untuk kamu yang mau karnaval Kartini.

    – Sekretariat RW 06 Kelurahan Ciracas, Kecamatan Ciracas

    – Sekretariat Karang Taruna di RW 04 Kelurahan Munjul, Kecamatan Cipayung

    – Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung di Jalan Karya Bakti RW 09 dan Jalan Batu Sulaiman RW 10

    – Sekretariat RW 09 Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung

    Jam pelayanan pukul 09.00-12.00.

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

    “);
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast;
    $.getJSON(“https://jakarta.tribunnews.com/ajax/latest?callback=?”, {start: newlast,section:’23’,img:’thumb2′}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    newlast = newlast + 1;
    newlast = newlast+1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.thumb) img = “”+vthumb+””;
    else img = ”;
    if(val.c_title) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;
    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else if (getLast > 150) {
    if ($(“#ltldmr”).length == 0){
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    }
    }
    }
    });
    });

    function loadmore(){
    if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
    var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast ;
    $.getJSON(“https://jakarta.tribunnews.com/ajax/latest?callback=?”, {start: newlast,section:’23’,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    newlast = newlast+1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }

    Berita Terkini

  • Vatikan Rilis Foto Terbaru Paus dan Umumkan Tanggal Pemakaman

    Vatikan Rilis Foto Terbaru Paus dan Umumkan Tanggal Pemakaman

    Memasuki pertengahan pekan ini, kami hadirkan rangkuman sejumlah informasi pilihan dari berbagai negara di dunia yang terjadi selama 24 jam terakhir.

    Berita yang pertama masih seputar wafatnya Paus Fransiskus.

    Foto Paus dan rencana pemakamannya

    Vatikan pada hari Selasa (22/04) merilis foto-foto Paus Fransiskus yang mengenakan jubahnya dan dibaringkan di peti jenazah dari kayu di kapel Santa Marta, tempat ia tinggal selama 12 tahun masa kepausannya.

    Jenazahnya akan dibawa ke Basilika Santo Petrus pada hari Rabu (23/04) hari ini pukul 9 pagi waktu setempat, sehingga umat dapat memberikan penghormatan terakhir kepada paus pertama dari Amerika Latin tersebut.

    Upacara pemakamannya akan diadakan di Lapangan Santo Petrus pada hari Sabtu (26/04) pukul 10 pagi waktu setempat.

    Berbeda dengan tradisi yang ada, Paus dalam surat wasiat terakhirnya yang dirilis pada hari Senin (21/04) menyebut ia ingin dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore di Roma dan bukan di Basilika Santo Petrus, tempat banyak pendahulunya dimakamkan.

    Setidaknya 26 orang tewas di Kashmir

    Petugas menemukan sedikitnya 24 jenazah di lokasi kejadian dan dua orang lainnya meninggal di perjalanan menuju perawatan medis.

    Pihak berwenang telah mengonfirmasi beberapa orang menderita luka tembak, dan korban luka dibawa ke rumah sakit setempat.

    Polisi setempat menggambarkan aksi ini sebagai “serangan teror” dan telah menutup area dekat kota resor Pahalgam, tujuan wisata populer yang menarik ribuan pengunjung setiap tahun.

    Diketahui bahwa sekelompok orang sedang mengunjungi padang rumput Baisaran, 5 kilometer dari kota itu, ketika mereka ditembaki tanpa pandang bulu.

    Menurut petugas polisi yang berbicara dengan syarat anonim sesuai dengan kebijakan departemen, sebagian besar wisatawan yang tewas adalah warga India.

    Vaksinasi polio untuk anak-anak Gaza tertunda karena blokade Israel

    Kementerian Kesehatan Gaza mengumumkan vaksinasi polio untuk 600.000 anak Palestina harus dihentikan karena blokade kemanusiaan Israel yang sedang berlangsung di jalur yang dilanda perang tersebut.

    Pembatasan terhadap bantuan apa pun yang memasuki wilayah tersebut kini telah mencapai 50 hari.

    Kepala badan bantuan Palestina PBB UNRWA mengatakan sudah waktunya bagi masyarakat internasional untuk beralih dari kata-kata kecaman menjadi tindakan untuk mendesak masuknya pasokan.

    Polio adalah penyakit yang sebagian besar telah diberantas di seluruh dunia, tetapi muncul kembali di Gaza sebagai akibat dari perang selama 18 bulan dan penghancuran fasilitas air dan sanitasi.

    Seorang juru bicara kementerian kesehatan Gaza mengatakan mereka mengantisipasi “bencana nyata” jika vaksin tidak tiba, seraya menambahkan bahwa anak-anak “tidak boleh digunakan sebagai kartu pemerasan politik.”

    Jokowi akan laporkan empat orang terkait kasus ijazah palsu

    Hal tersebut diungkapkan kuasa hukum presiden ke-7 Indonesia itu, yang menyebut pelaporan akan dilakukan dalam waktu dekat.

    “Sejauh ini, sementara ini sih mungkin ada sekitar empat orang yang kami sudah lengkapi semua dokumen-dokumen dan bukti-bukti pendukungnya,” kata Yakub Hasibuan.

    “Kami yakini juga, yang kami percaya bahwa ada dugaan-dugaan tindak pidananya di situ, namun itu kan hanya sementara ya, mungkin nanti ada perkembangan-perkembangan lanjutan,” jelasnya sambil menolak menjelaskan siapa empat orang yang dimaksud.

    Jokowi sejak 2019 berkali-kali dituding berijazah palsu.

    Yang terakhir pada 15-16 April pekan lalu, sejumlah orang yang menamakan diri Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) “menggeruduk” Universitas Gadjah Mada dan kediaman Jokowi di Solo, meminta klarifikasi dan melihat langsung ijazahnya.

    Lihat juga Video: Potret Cincin Kepausan yang Harus Dihancurkan Setelah Paus Fransiskus Wafat

  • Perjanjian Pandemi WHO, Dapatkah Capaian Global Menggapai Tatanan Lokal? – Halaman all

    Perjanjian Pandemi WHO, Dapatkah Capaian Global Menggapai Tatanan Lokal? – Halaman all

    Ditengah polarisasi dunia, Perjanjian Pandemi WHO ini menjadi harapan hidupnya multilateralisme, menunjukkan bahwa 194 negara-negara anggotanya masih dapat bekerja sama menghadapi tantangan global dengan lebih terorganisir.

    Hal penting yang dibahas dalam perjanjian tersebut terkait pencegahan dan pengawasan pandemi, pendekatan one health, transfer teknologi, serta akses pembagian data patogen yang disertai sistem pembagian manfaat.

    Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D., adalah Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia yang juga merupakan salah satu delegator perundingan Perjanjian Penanganan Pandemi WHO. Sosok yang terjun langsung dalam penanganan COVID-19 di Indonesia ditunjuk sebagai juru bicara pemerintah hingga memimpin tim pakar satgas Covid-19. Kepada DW Indonesia, Prof Wiku membagikan pandangannya.

    Bagaimana respon Prof. Wiku terkait draf perjanjian pandemi WHO yang baru saja rampung tersebut?

    Perjanjian pandemi WHO ini penting, pencapaian besar dunia global, meski implementasinya masih akan menghadapi banyak tantangan dan rintangan. Untuk mendetilkan operasional perjanjian ini, menuangkannya dalam annex (lampiran) perjanjian tersebut, butuh waktu lama.

    Berdasarkan pengalaman Prof. dalam penanganan COVID-19 di Indonesia, apa saja tantangan implementasi perjanjian ini di Indonesia?

    ‘Nyawa’ perjanjian ini utamanya di pasal 4 – Pandemic prevention and surveillance (pencegahan pandemi dan pengawasan), pasal 5 – One Health Approach to Pandemic Prevention, preparedness and response (pendekatan one health untuk pencegahan pandemi, kesiapan, dan respon), serta pasal 12 – WHO Pathogen Access and Benefit-Sharing System – PABS System (akses patogen dan sistem pembagian manfaat WHO).

    Pada saat melakukan (implementasi) ketiga pasal inti tersebut, sektor yang terlibat tidak hanya sektor kesehatan masyarakat, tapi juga sektor kesehatan hewan dan lingkungan.

    Patogen sebenarnya zoonosis atau berasal dari hewan, dan surveillance (pengawasan) tidak hanya dilakukan oleh kementerian sektor kesehatan masyarakat, tapi juga melibatkan sektor peternakan, dan kesehatan hewan yang berada di bawah komando kementerian pertanian, pembagian sektor ini bisa berbeda-beda di tiap negara.

    Lantas bagaimana melakukan surveillance dan meminta data pada representasi negara di WHO, namun tidak melibatkan kementerian pertanian, kementerian kehutanan mereka? Kementrian pertanian dan kehutanan sebenarnya sudah memiliki kesepakatan tersendiri, contohnya Protokol Nagoya yang dihasilkan dari Convention on Biological Diversity. Protokol Nagoya ini adalah kerangka acuan akses sumber daya genetik dan pembagian manfaat.

    Harmonisasi antar lembaga PBB seperti WHO dengan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) dan WOAH (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia) penting sekali untuk implementasi perjanjian ini, tapi belum dilakukan dengan baik oleh WHO. Perjanjian ini tidak hanya soal kesehatan manusia tapi juga melibatkan sektor lain seperti kesehatan hewan dan lingkungan.

    Harmonisasi ini di level negara anggota WHO pun banyak tantangannya – bagaimana teknis penerapan data sharing di lapangan dan tata kelolanya. Distrik, sub distrik negara-negara di seluruh dunia ini jumlahnya jutaan tapi belum terkoneksi dengan komitmen global.

    Ada ‘jurang’ yang begitu besar antara global, regional, dan lokal. Yang paling penting sebenarnya adalah sektor lokal yang harusnya terharmonisasi atau terhubung dulu.

    Perjanjian Pandemi WHO ini masih jauh dari implementasi yang efektif di seluruh dunia.

    Mungkin di level international, WHO atau WOAH (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia) mereka sepakat. Tapi kalau di level lokal tidak sepakat itu tidak akan jalan.

    Bisa Prof. jelaskan lebih detil terkait kesulitan implementasi perjanjian ini di ranah lokal?

    Butuh waktu lama untuk menjadikan perjanjian ini disepakati tiap negara – karena tiap negara itu tata kelolanya berbeda-beda.
    Di ranah global ada WHO, di ranah nasional ada kemenkes, di ranah provinsi ada dinas kesehatan provinsi, di kabupaten namanya sama dinas kesehatan kabupaten/kota. Namun jika kita bicara FAO (Food Agriculture Organisation) dan WOAH (World Organisation for Animal Health) secara global, di ranah nasional namanya menjadi Kementerian Pangan dan Kementerian Pertanian.

    Di Kementerian Pertanian terdapat direktorat jendral peternakan dan kesehatan hewan dan jika direktorat ini diturunkan ke 38 provinsi di Indonesia, dinasnya di provinsi menjadi bervariasi. Dinas peternakan dan kesehatan hewan bukan bagian dari dinas kesehatan, tetapi bagian dinas pertanian dan kelautan, atau bisa juga dinas perkebunan dan kesehatan hewan. 11 Provinsi saja sudah bervariasi dinasnya. Variasi ini berdampak pada ranah kewenangan.

    Kalau di 514 kabupaten kota di seluruh indonesia ada 59 variasi dinas yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan. Bagaimana WHO, FAO, dan WOAH bisa terkoneksi dengan baik ke tingkat distrik lokal ini dan memastikan pengawasan berjalan sama? Juga bagaimana mereka sepakat dengan protokol yang sama?

    Realitanya, sektor di level lokal tidak terkoneksi dan tidak ada koneksi yang baik (ada koneksi tapi tidak baik) antara pusat dengan daerah, hal ini terjadi di seluruh dunia.

    Sebagai contoh, di NTT saya menangani kasus Rabies, dari gigitan anjing dan puluhan manusia jadi korbannya. Tapi penanganan kasus ini terpisah-pisah antar sektor. Sulit penanganannya jika tidak ada kesatuan data. Ini tidak sekedar vaksin hewan lantas selesai. Kita perlu data lengkapnya, berapa jumlah hewan yang terjangkit virus, berapa jumlah hewan yang telah divaksinasi, berapa jumlah manusia yang digigit dan terjangkit virus ini. Dengan data yang komprehensif jadi kita bisa meredam penyebaran virus ini.

    Sebenarnya bisa kita mengusahakan sistem one health (keterkaitan kesehatan manusia-hewan, dan lingkungan) dalam satu database. saya telah mencoba menghubungkan sektor terkait di NTT dan setelah sebulan, akhirnya terbentuklah kesatuan data yang tiap harinya bisa diperbarui tiap oleh tiap sektor terkait disana.

    Adakah cara atau metode untuk membantu data sharing ini di ranah lokal?

    Bukan soal metode, yang penting adalah willingness to share (keinginan untuk berbagi). Pendekatan One Health disini berarti terkoneksi- adanya kesatuan lintas sektor. Pendekatan One health ini umurnya baru berapa tahun, sedangkan sektor-sektor ini telah berjalan puluhan tahun.
    Para petugas di ranah lokal, tidak memiliki kewajiban untuk sharing data. Belum ada aturan yang mengharuskan hal tersebut. Adanya desentralisasi membuat sektor lokal membagikan data hanya ke top level of governance, yang dalam hal ini kementerian dalam negeri, belum secara lintas sektor. Aturannya harus diperbaiki.

    Kemenkes dan WHO sendiri belum membahas isu politik and governance pada level lokal dalam perundingannya, padahal jika dibicarakan di forum negosiasi mungkin akan ditemukan jalan keluar, sehingga data sharing dapat dilakukan. Jika tidak ada benefit sharing (pembagian manfaat) untuk apa melakukan pengawasan yang membutuhkan anggaran besar? Mekanisme benefit sharing masih perlu didetilkan lagi dalam annex (lampirannya).

    Jadi menurut Prof. saat pengajuan draf perjanjian kepada World Health Assembly (Majelis Kesehatan Dunia) Mei mendatang, akankah negara-negara anggota lantas akan serempak meneken perjanjian ini?

    Jawabannya, bisa ya atau bisa juga tidak. Jika ya berarti negara-negara akan meratifikasi dan menyesuaikan ke hukum nasionalnya, disini perlu waktu lagi untuk adaptasi ke hukum nasional. Bisa juga perjanjian ini fluid, karena negara-negara anggota ingin detil pelaksanaannya diperjelas sebelum menekennya.
    Hal-hal politis di luar perjanjian ini punya pengaruh. AS sendiri telah memutuskan menarik diri dari WHO, karena merasa organisasi ini kurang tegas kapada Cina saat pandemi Covid terjadi. Belum lagi dengan perang dagang US yang tentu berpengaruh pada sektor kesehatan dunia.

    Menurut saya, meski masih jauh dari pelaksanaan yang efektif, masih ada harapan perjanjian dapat diterapkan di ranah global hingga lokal, jika WHO melakukan harmonisasi perjanjiannya dengan lembaga PBB lainnya yang terkait dengan perjanjian ini,dan jika di ranah lokal tiap negara data sharing dengan pendekatan One Health ini sudah berjalan. Dengan demikian global dan lokal bisa terhubung.

    Pewawancara: Sorta Caroline

    Editor: Agus Setiawan