Produk: vaksin

  • Vaksinasi ulangan COVID-19 jadi rekomendasi untuk kelompok berisiko

    Vaksinasi ulangan COVID-19 jadi rekomendasi untuk kelompok berisiko

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan vaksinasi ulangan COVID-19 menjadi rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk kelompok risiko tinggi.

    Yang sekarang ada dalam rekomendasi WHO adalah vaksin ulangan satu tahun sesudah vaksinasi yang lalu.

    “Tapi utamanya untuk kelompok risiko tinggi, seperti lansia dan mereka dengan komorbid berat,” kata dia saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

    Pada akhir Mei lalu, kasus COVID-19 dilaporkan meningkat di sejumlah negara seperti Singapura, Thailand, Hong Kong dan Malaysia.

    Hal ini menyebabkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan surat edaran tentang kewaspadaan terhadap peningkatan kasus COVID-19, yang ditujukan pada berbagai jajaran kesehatan di daerah termasuk Dinas Kesehatan.

    Tjandra mengatakan, pemerintah harus terus meningkatkan pengamatan yang sistematis dan berkelanjutan (surveilans) epidemiologik untuk mengetahui jumlah kasus dan kematian serta pasien di pelayanan kesehatan.

    Selain itu juga melakukan surveilans genomik untuk mengetahui varian atau subvarian yang masih dan sedang beredar dan menginformasikannya kepada masyarakat.

    Dia juga mengingatkan masyarakat untuk terus menerapkan perilaku hidup bersih sehat (PHBS) untuk meningkatkan daya tahan tubuh sehingga menurunkan risiko terkena COVID-19 ataupun penyakit dan masalah kesehatan lainnya.

    “(PHBS) Ini adalah modalitas utama kita, yang selalu harus kita lakukan, ada atau tidaknya peningkatan kasus COVID-19,” ujar Tjandra yang menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI itu.

    Dia mengatakan, peningkatan kasus COVID-19 di beberapa negara tak perlu disikapi dengan panik tetapi masyarakat tetap harus waspada.

    Sementara itu di Jakarta, Gubernur Jakarta Pramono Anung menunggu arahan Kemenkes terkait kasus COVID-19 di wilayah Jakarta. Dia menyerahkan sepenuhnya keputusan termasuk imbauan penggunaan masker bagi penumpang transportasi umum kepada Kemenkes.

    Adapun di DKI Jakarta, tercatat 17 orang positif COVID-19. Dua orang warga Jakarta Timur dan sudah dinyatakan sembuh pada akhir Mei lalu. Sementara itu, 15 orang lainnya warga Jakarta Selatan dilaporkan positif COVID-19.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • COVID-19 di Thailand Meroket, Ada Tambahan 28 Ribu Kasus dalam 2 Hari!

    COVID-19 di Thailand Meroket, Ada Tambahan 28 Ribu Kasus dalam 2 Hari!

    Jakarta

    Departemen Pengendalian Penyakit Thailand atau Department of Disease Control (DDC) pada hari Selasa (3/6) melaporkan situasi COVID-19 untuk minggu ke-23 tahun 2025 melalui sistem Pengawasan Penyakit Digital. Data terbaru, per 2 Juni 2025, menunjukkan 10.192 kasus baru.

    Sebelumnya, pada 1 Juni 2025, terdapat 18.102 kasus baru, sehingga total kasus baru dalam dua hari terakhir (1-2 Juni) menjadi 28.294 infeksi.

    Diberitakan The Nation, dari kasus baru tersebut, 9.304 merupakan pasien rawat jalan, dan 888 merupakan kasus berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Selain itu, dilaporkan satu kematian.

    Hingga 27 Mei 2025, total kumulatif kasus COVID-19 untuk tahun 2025 mencapai 323.301, dengan total 69 kematian tahun ini.

    Dr Taweesin Visanuyothin, Direktur Jenderal Departemen Layanan Medis, menyatakan bahwa peningkatan jumlah kasus kemungkinan besar disebabkan oleh datangnya musim hujan lebih awal dan dibukanya sekolah. Ia mencatat bahwa periode ini juga bertepatan dengan peningkatan kasus influenza, yang memiliki gejala serupa dengan COVID-19.

    Sepanjang tahun 2025, 69 kematian yang dilaporkan sebagian besar terjadi di antara “kelompok 608”, yang mencakup orang lanjut usia dan mereka yang memiliki kondisi yang mendasarinya, terutama di kota-kota besar.

    Kasus kematian tercatat di Bangkok (22 kematian), Chonburi (8 kematian), Chanthaburi (7 kematian), dan Chiang Mai (3 kematian). Angka kematian tetap rendah, yaitu 0,106 per 100.000 orang, yang menunjukkan bahwa penyakit ini tidak menjadi lebih parah.

    Sementara itu Dr Suthat Chottapund, Wakil Direktur Jenderal DDC, menjelaskan bahwa peningkatan kasus sejalan dengan pola musiman. Saat sekolah dibuka kembali dan musim hujan tiba, kasus infeksi saluran pernapasan atas cenderung meningkat, terutama di kalangan pelajar karena kontak dekat dapat dengan mudah menyebarkan virus.

    DDC terus menekankan tindakan pencegahan pribadi, seperti menjaga jarak sosial, mencuci tangan, dan menghindari tempat-tempat ramai.

    Meskipun angka kematian tetap rendah, kelompok lanjut usia masih menjadi perhatian utama. Rekomendasi tambahan adalah mendapatkan vaksin flu musiman untuk mencegah koinfeksi.

    “Saat ini, varian Covid-19 yang beredar di Thailand adalah XEC, yang lebih menular tetapi menimbulkan gejala ringan, mirip dengan flu. Hal ini tercermin dari rendahnya angka rawat inap, dengan banyak pasien yang pulih sendiri tanpa pengobatan. Tidak perlu ada penangguhan kelas atau pekerjaan karena infeksi,” kata Suthat.

    (kna/kna)

  • Covid-19 Merebak Lagi, Warga Minta Pemerintah Aturan Prokes Diperketat

    Covid-19 Merebak Lagi, Warga Minta Pemerintah Aturan Prokes Diperketat

    Jakarta, Beritasatu.com – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan temuan tujuh kasus baru Covid-19 di Indonesia pada periode 25 hingga 31 Mei 2025. Menanggapi hal tersebut,  sejumlah warga meminta pemerintah agar kembali memperketat aturan protokol kesehatan (prokes) sebagai langkah antisipasi.

    Aulia, warga yang ditemui di kawasan Sudirman, Jakarta, Rabu (4/6/2025), mengimbau masyarakat untuk menggunakan masker, khususnya saat menggunakan transportasi umum seperti Transjakarta, mass rapid transit (MRT), dan kereta rel listrik (KRL). Ia juga menekankan pentingnya menjaga jarak untuk mengurangi risiko penularan.

    “Iya itu semua langkah antisipasinya,  karena lagi melonjak juga kan kasusnya,” kata Aulia, saat ditemui Beritasatu.com di Sudirman, Jakarta, Rabu (4/6/2025).

    Aulia juga berharap pemerintah segera mengambil langkah tegas jika kasus positif terus bertambah. “Mungkin bisa lebih diperketat lagi kayak dahulu. Tapi kalau langsung lockdown juga aneh, pasti akan kaget juga. Lebih diperketat saja atau bisa juga mulai work from home (WFH) lagi,” tambahnya.

    Senada dengan Aulia, Saha menyarankan agar masyarakat tetap menjaga jarak saat berada di kerumunan. Ia pribadi menyarankan untuk mulai menyiapkan rencana keuangan sebagai bentuk antisipasi.

    “Ya jaga jarak saja, lalu untuk antisipasi lebih ke keuangan karena ekonomi kan lagi sulit sekarang jadi simpan uang,” katanya.

    Di sisi lain, ada Anisa meminta agar penggunaan masker kembali diwajibkan dan fasilitas cuci tangan kembali disediakan di tempat umum. Ia juga berharap pemerintah kembali melakukan sosialisasi serta membuka kembali akses vaksinasi bagi masyarakat yang belum mendapatkan vaksin.

    Saran lain datang dari Anisa, yang meminta agar penggunaan masker kembali diwajibkan dan fasilitas cuci tangan kembali disediakan di tempat umum. Ia juga berharap pemerintah kembali melakukan sosialisasi serta membuka kembali akses vaksinasi bagi masyarakat yang belum mendapatkan vaksin.

  • Jelang Idul Adha, Sidoarjo Terima Bantuan Sapi Kurban Jumbo Seberat 1,8 Ton dari Presiden Prabowo

    Jelang Idul Adha, Sidoarjo Terima Bantuan Sapi Kurban Jumbo Seberat 1,8 Ton dari Presiden Prabowo

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Kabupaten Sidoarjo menerima bantuan hewan kurban dari Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Bantuan satu ekor sapi dengan berat mencapai 1,8 ton hasil peternakan lokal tersebut untuk disembelih dan dibagikan ke masyarakat pada Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah nanti.

    Penyerahan sapi Bantuan Kemasyarakatan (Banmas) diterima langsung oleh Wakil Bupati Sidoarjo Hj. Mimik Idayana didampingi oleh Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Sidoarjo di Desa Mulyodadi Kecamatan Wonoayu.

    Selain penerimaan Banmas hewan kurban dari presiden, Wakil Bupati Sidoarjo juga melakukan simbolis pelepasan petugas pemeriksa pemotongan hewan kurban di Kabupaten Sidoarjo.

    Petugas pemeriksa pemotongan hewan kurban berjumlah 200 tenaga kesehatan hewan yang terdiri dari 150 orang dari Dinas Pangan dan Pertanian Sidoarjo dan kecamatan, 30 orang dari Universitas Airlangga dan Brawijaya serta 20 orang dari perhimpunan dokter hewan Indonesia Jatim.

    Nantinya, para petugas kesehatan hewan kurban ini akan di sebar di 18 Kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Sidoarjo untuk melakukan pengecekan kondisi hewan kurban dan vaksin pada setiap hewan peternak.

    Wakil Bupati Sidoarjo, Hj. Mimik Idayana menyambut baik Banmas tersebut karena bantuan ini merupakan bentuk perhatian pemerintah pusat terhadap masyarakat khususnya dalam momen penting keagamaan Idul Adha 1446 H.

    “Saya mengucapkan terima kasih dan apresiasi kepada Presiden Prabowo Subianto karena telah memberikan bantuan hewan kurban sapi dengan berat 1 ton 80 kg untuk Kabupaten Sidoarjo. Semoga bantuan ini menjadi berkah untuk seluruh warga Indonesia khususnya masyarakat Sidoarjo,” ucap Wabup Sidoarjo Selasa (3/6/2025).

    Hj. Mimik Idayana menghimbau kepada seluruh peternak hewan kurban yang ada di Sidoarjo untuk lakukan vaksin rutin kepada kesehatan hewan kurbannya dan Pemkab Sidoarjo menyediakan secara gratis.

    “Saya menghimbau kepada seluruh peternak di Sidoarjo untuk memeriksakan hewan kurbannya secara rutin agar tetap sehat dan Pemkab Sidoarjo telah menyediakan vaksin gratis kepada peternak yang akan menjual hewan kurbannya,” imbuhnya.

    Drh. Tony salah satu anggota tim kesehatan hewan menyatakan tim nya telah melakukan pengecekan di 34 titik lokasi penjualan ternak hewan kurban di Sidoarjo. Untuk peternak dari luar Sidoarjo diharapkan membawa surat keterangan kesehatan untuk hewan ternaknya sebelum diperjualbelikan di wilayah Kabupaten Sidoarjo.

    “Kami telah keliling melakukan tes kesehatan hewan ternak kurban di 34 lokasi penjualan, allhamdulillah semua hewan dalam kondisi sehat dan tim kami hanya menemukan 1 ekor sapi yang tidak sehat untuk kita isolasi agar tidak menular dengan hewan lain. Untuk penjual ternak kurban dari luar Sidoarjo diharapkan membawa surat kesehatan untuk hewan ternaknya yang akan di jual nantinya,” terangnya.

    Data pemotongan hewan kurban tahun 2024 terdiri dari sapi sebanyak 14.254 ekor dan kambing sebanyak 22.862 ekor serta domba sebanyak 2.084 ekor. Jumlah masjid di Sidoarjo yang melakukan pemotongan pada tahun 2024 berjumlah 1.381 masjid.

    Jumlah lapak yang telah ditetapkan sebagai penjualan ternak hewan kurban di Sidoarjo pada tahun 2025 berjumlah 34 lokasi di 15 Kecamatan di Sidoarjo dan 3 Kecamatan menjual hewan ternak kurban di kandang masing-masing. [isa/aje]

  • Dicurigai Ada Kepentingan Global di Balik Vaksinasi TBC

    Dicurigai Ada Kepentingan Global di Balik Vaksinasi TBC

    GELORA.CO – Kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait program vaksinasi TBC mengundang kekhawatiran luas di tengah masyarakat.

    Program vaksin ini disebut-sebut mendapatkan suntikan dari dana sebesar Rp 2,7 triliun (159 juta dolar AS) bersumber dari yayasan milik Bill Gates. Meski disebut sebagai bagian dari inisiatif global memerangi tuberkulosis, banyak warga Indonesia merasa skeptis.

    Ketua Umum Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia), Agung Nugroho menyoroti tidak adanya data peningkatan kasus TBC dalam Laporan Perkembangan Penyakit Infeksi Emerging Minggu ke-21 Tahun 2025 sebagai dasar ilmiah pelaksanaan vaksinasi massal tersebut.

    “Tidak ada urgensi yang tercermin dari laporan resmi Kemenkes. Maka, pelaksanaan vaksinasi ini patut diduga bukan karena kebutuhan kesehatan masyarakat, tetapi karena dorongan agenda global,” kata Agung kepada RMOL, Selasa 3 Juni 2025.

    Agung menilai adanya pengaruh kepentingan asing dan industri farmasi global dalam kebijakan ini, serta menyebut perlunya kewaspadaan terhadap intervensi lembaga internasional yang kerap membawa agenda terselubung, seperti kontrol populasi dan bisnis vaksin.

    Atas dasar itulah Rekan Indonesia menyerukan agar pemerintah menunda vaksinasi TBC sampai ada dasar epidemiologis yang jelas.

    Pemerintah juga didorong membuka diskusi publik secara ilmiah dan transparan serta menjamin kebijakan kesehatan bebas dari intervensi asing.

    “Kedaulatan kesehatan nasional harus dipegang penuh oleh pemerintah. Keselamatan rakyat tidak boleh dikorbankan demi kepentingan global,” tutup Agung.

  • Fakta-fakta Lonjakan COVID-19 di Thailand, Kematian Tinggi-Sekolah Online Lagi

    Fakta-fakta Lonjakan COVID-19 di Thailand, Kematian Tinggi-Sekolah Online Lagi

    Jakarta

    Thailand menjadi salah satu negara di Asia dengan kasus COVID-19 yang terus meningkat. Bahkan, jumlah kematian akibat infeksi SARS-CoV2 di Negeri Gajah Putih terbilang cukup tinggi dibandingkan akibat penyakit lain.

    Dikutip dari The Nation, dalam sebuah unggahan Facebook, seorang dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Chulalongkorn, Assoc Prof Dr Thira Woratanarat menyebut dalam sebulan terakhir, ada sekitar 170 ribu orang yang dirawat di rumah sakit akibat COVID-19.

    Pada situasi ini, Dr Thira mengatakan ada sekitar 37 kematian akibat infeksi COVID-19. Sebagai perbandingan, hanya satu kematian yang dilaporkan akibat influenza selama periode yang sama.

    Pada periode 18 hingga 24 Mei, COVID-19 terus menyebabkan jumlah penyakit dan kematian tertinggi di antara warga Thailand. Jumlah kasus COVID-19 lima kali lebih banyak daripada kasus diare, sepuluh kali lebih banyak daripada kasus influenza, dan 30 kali lebih banyak daripada kasus keracunan makanan.

    COVID-19 Tidak Boleh Dianggap Remeh

    Dr Thira menekankan, meskipun COVID-19 saat ini telah berstatus endemik, virus ini tidak tetap tidak boleh dipandang sebelah mata. Hal ini karena infeksi virus ini tidak sama dengan flu biasa, dan biasanya bisa menimbulkan gejala yang lebih berat daripada influenza.

    Kini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tengah memantau virus SARS-CoV2 varian LP.8.1 dan NB.1.8.1.

    Varian LP.8.1 kini menyumbang sekitar 39 persen infeksi di 51 negara. Sementara itu, varian NB.1.8.1 terus meningkat, dengan tingkat infeksi 10,7 persen di 22 negara.

    WHO telah mengklasifikasikan NB.1.8.1 sebagai variant under monitoring (VUM) karena lebih cepat menyebar atau menular dibandingkan LP.8.1, serta mampu menghindari kekebalan tubuh 1,5 hingga 1,6 kali lebih besar terhadap perlindungan dari vaksin atau infeksi sebelumnya.

    Total atau kumulatif kasus sepanjang 2025 di Thailand menjadi 240.606 kasus. Sementara jumlah kematian mencapai 53 orang.

    NEXT: Sekolah di Thailand Mendadak Online Lagi

    Kasus COVID-19 di Thailand yang melonjak tinggi, hingga 18.000 pasien per hari membuat pihak sekolah membuat aturan khusus terkait kegiatan belajar mengajar.

    Salah satunya adalah sekolah Bangkaew di bawah Pemerintah Kota Bangkaew, Distrik Bang Phli, Provinsi Samut Prakan yang menghentikan sementara kegiatan belajar mengajar mulai tanggal 4 hingga 6 Juni 2025.

    Selama masa penutupan ini, siswa diimbau untuk menyelesaikan tugas dari rumah. Kegiatan belajar mengajar akan kembali normal pada 9 Juni 2025. Pihak sekolah juga meminta para staf, guru, dan siswa untuk menjaga kesehatan dan menghindari kerumunan.

    Klaster-Klaster Penyebaran COVID-19 di Thailand

    Ada sekitar 14 klaster penyebaran COVID-19 di Thailand, di antaranya:

    Enam klaster di penjara dengan 198 kasusLima klaster di sekolah dengan 258 kasusDua klaster di pangkalan militer dengan 178 kasusSatu klaster di rumah sakit dengan 35 kasus

    Pemerintah mendesak para orang tua untuk tidak membawa bayi di bawah usia satu tahun ke tempat umum atau ramai. Hal ini karena sistem kekebalan bayi yang masih berkembang, membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2 dan risiko gejala berat.

    Simak Video “Video Update Situasi Kasus Covid-19 di Indonesia”
    [Gambas:Video 20detik]

  • Ramai Penolakan Vaksin TBC M72, DPRD Jatim Siap Kawal Aspirasi Ulama dan Tokoh Masyarakat

    Ramai Penolakan Vaksin TBC M72, DPRD Jatim Siap Kawal Aspirasi Ulama dan Tokoh Masyarakat

    Surabaya (beritajatim.com) – Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Puguh Wiji Pamungkas menanggapi aspirasi puluhan ulama, habaib, dan tokoh masyarakat Jawa Timur terkait penolakan terhadap rencana uji coba vaksin Tuberkulosis (TBC) di Indonesia.

    Dia sepakat bahwa kebijakan publik, terlebih yang menyentuh ranah kesehatan massal, harus berbasis bukti ilmiah dan tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.

    “Para kiai dan alim ulama merespons dari beberapa hal tadi itu. Saya sepakat bahwa segala sesuatu kebijakan yang sebelum itu menjadi evidence based jelas secara kajian ilmiah ataupun kajian secara agama karena kita ini mayoritas beragama islam agar pemerintah ini tidak mengeluarkan statement yang meresahkan masyarakat,” ujar Puguh di hadapan peserta audiensi di Ruang Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Jawa Timur, Senin (2/6/2025).

    Puguh menguraikan, keresahan masyarakat salah satunya dipicu oleh pernyataan Presiden RI setelah kunjungan tokoh internasional, Bill Gates, ke Indonesia. Saat itu, muncul pernyataan bahwa Indonesia akan menjadi lokasi uji coba vaksin TBC jenis M72, karena vaksin lama dianggap tidak lagi efektif menekan kematian akibat TBC yang mencapai 100 ribu kasus per tahun.

    “Kalau dibagi, kira-kira setiap 5-10 menit ada orang yang meninggal karena TBC. Maka menurut versi pemerintah, vaksin baru M72 dibutuhkan untuk menanggulangi hal ini,” jelasnya.

    Untuk memastikan keakuratan informasi, Puguh mengaku langsung berkoordinasi dengan Kepala Dinas Kesehatan Jatim yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Prof Erwin Astha Triyono. Dia memastikan bahwa hingga saat ini belum ada penunjukan resmi Jawa Timur sebagai wilayah uji coba vaksin tersebut.

    “Beliau share satu statement pemerintah bahwa sampai saat ini tidak ada info daerah Jawa Timur yang ditunjuk sebagai uji coba vaksin TBC,” ungkap Puguh.

    Politisi PKS ini juga menjelaskan, uji coba vaksin M72 sudah dilakukan di beberapa negara dengan tingkat kemiskinan tinggi, seperti Afrika Selatan, Kenya, Zambia, dan Malawi. Di Indonesia, fase ketiga uji klinis dilakukan dengan melibatkan sekitar 2.000 sukarelawan dari rumah sakit mitra seperti FK UI, RSHS Bandung, dan Unpad.

    “Saya dulu juga kedokteran, jadi tahu bahwa uji coba klinis itu ada tiga fase. Sekarang ini kita berada di fase ketiga, yakni yang melibatkan ribuan partisipan,” tambahnya.

    Lebih lanjut, Puguh menyatakan siap membawa aspirasi para ulama dan tokoh masyarakat Jatim ke DPR RI dan lembaga terkait. Dia juga berjanji akan menyampaikan langsung kekhawatiran ini kepada Gubernur Jatim, pimpinan DPRD, dan Dinas Kesehatan.

    “Saya akan meneruskan aspirasi jenengan ini secara resmi. Selain nanti kita akan bersurat resmi, kita juga akan menyampaikan hasil kunjungan ini ke gubernur, pimpinan DPRD, dan Kepala Dinas Kesehatan supaya ini menjadi awareness alarm kepada pemerintah,” tegasnya.

    Puguh memperingatkan bahwa jika pemerintah pusat tetap memaksakan uji coba tanpa persetujuan masyarakat, maka potensi konflik sosial bisa muncul. Dia berharap semua pihak mengedepankan kehati-hatian dan menghormati suara masyarakat.

    “Kalau memaksakan kehendak, otomatis gubernur harus melaksanakan. Tapi paling tidak, gubernur sudah punya warning bahwa ada penolakan dari masyarakat, kiai, dan alim ulama. Supaya ini menjadi kehati-hatian,” pungkasnya.[asg/kun]

  • Ulama dan Tokoh Jatim Tolak Vaksin TBC Jika Tanpa Transparansi

    Ulama dan Tokoh Jatim Tolak Vaksin TBC Jika Tanpa Transparansi

    Surabaya (beritajatim.com) – Sejumlah ulama, habaib, dan tokoh masyarakat Jawa Timur menyampaikan penolakan terhadap rencana uji coba vaksin Tuberkulosis (TBC) di Indonesia. Hal ini khususnya jika prosesnya dinilai tidak transparan dan tidak memenuhi prinsip keselamatan rakyat.

    Aspirasi ini disampaikan dalam audiensi bersama DPRD Jatim di Ruang Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Jawa Timur, Senin (2/6/2025).

    Perwakilan dari kelompok 40 habaib dan ulama Jatim, Drs. KH. Fadholi Moh. Ruham, M.Si, menegaskan bahwa kebijakan vaksinasi yang menyangkut generasi muda bangsa tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa, apalagi tanpa penjelasan terbuka dan akuntabel.

    “Semua ternyata bermula dari adanya rencana uji coba vaksin TBC. Jika benar direalisasikan dan tanpa memenuhi prinsip transparansi tentang manfaat terutama, lalu tujuan jujurnya apa? Kalau tujuannya tidak jujur, kamu tidak bisa mengerti,” ujar KH. Fadholi.

    Dia menegaskan bahwa vaksinasi adalah urusan besar yang menyentuh aspek hukum, adat, dan keselamatan publik. Oleh sebab itu, tidak boleh dilakukan atas dasar proyek atau agenda tersembunyi yang tidak diketahui publik.

    “Jangan-jangan yang beredar di masyarakat bahwa ini proyek. Daripada itu, kami sangat menolak,” tegasnya.

    Dalam forum tersebut, para tokoh juga meminta agar DPRD Jawa Timur mengawal aspirasi ini hingga ke tingkat nasional. Mereka mendorong agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat segera mengeluarkan fatwa mengenai status vaksin TBC tersebut.

    “Kalau sudah ada fatwa berarti akan ada upaya secara hukum Islam termasuk secara keselamatan rakyat,” lanjut KH. Fadholi.

    Dia juga menyebut praktik vaksinasi yang dinilai tidak manusiawi, terutama ketika dilakukan pada anak-anak yang belum mendapatkan pemahaman utuh dan harus dipaksa oleh orang tuanya.

    “Banyak peristiwa yang terekam bahwa anak dipaksakan, yang mesti dipegang orang tua untuk suntik. Ini sangat tidak manusiawi. Di situ saja sudah tidak jelas dan tidak jujur, dari situ saja tidak perlu dipaksakan,” katanya.

    Lebih lanjut, dia menyebut bahwa Indonesia sebagai negara berdaulat harus mengedepankan keselamatan dan martabat rakyat dalam setiap bentuk kerja sama internasional, termasuk program vaksinasi.

    “Harus kita pegang teguh dan diprioritaskan, dan jika vaksin ini dipaksakan tanpa memenuhi poin-poin dalam surat ini, kami, habib, ulama, dan tokoh Jawa Timur siap melakukan langkah-langkah hukum,” tutupnya. [asg/but]

  • COVID ‘Ngamuk’ di Thailand, Disebut Jadi Pemicu Kematian Terbanyak dalam Sebulan

    COVID ‘Ngamuk’ di Thailand, Disebut Jadi Pemicu Kematian Terbanyak dalam Sebulan

    Jakarta – Seorang dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Chulalongkorn, Assoc Prof Dr Thira Woratanarat telah mendesak masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap jenis baru virus COVID-19. Ia memperingatkan, COVID adalah penyebab utama penyakit dan kematian selama bulan dan minggu terakhir di Thailand.

    Dikutip dari The Nation, dalam sebuah unggahan Facebook, Dr Thira mengatakan dalam sebulan terakhir, sekitar 170 ribu orang dirawat di rumah sakit karena COVID-19, yang memicu 37 kematian. Sebagai perbandingan, hanya satu kematian yang dilaporkan akibat influenza selama periode yang sama.

    Pada periode 18 hingga 24 Mei, COVID-19 terus menyebabkan jumlah penyakit dan kematian tertinggi di antara warga Thailand. Jumlah kasus COVID lima kali lebih banyak daripada kasus diare, sepuluh kali lebih banyak daripada kasus influenza, dan 30 kali lebih banyak daripada kasus keracunan makanan.

    Dr Thira menekankan, meski COVID telah menjadi endemik, penyakit ini tidak boleh dianggap remeh sebagai penyakit ringan. Ia menjelaskan COVID tidak sama dengan flu biasa dan biasanya tidak menimbulkan gejala ringan seperti influenza.

    Ia menghimbau masyarakat untuk mewaspadai gejala-gejala dan bertindak secara bertanggung jawab guna mencegah penyebaran virus di lingkungan masyarakat.

    Di sisi lain, Dr Thira juga menyebutkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saat ini tengah memantau varian LP.8.1 dan NB.1.8.1.

    Varian LP.8.1 kini menyumbang sekitar 39 persen infeksi di 51 negara. Sementara itu, varian NB.1.8.1 terus meningkat, dengan tingkat infeksi 10,7 persen di 22 negara.

    WHO telah mengklasifikasikan NB.1.8.1 sebagai variant under monitoring (VUM) karena lebih cepat menyebar atau menular dibandingkan LP.8.1, serta mampu menghindari kekebalan tubuh 1,5 hingga 1,6 kali lebih besar terhadap perlindungan dari vaksin atau infeksi sebelumnya.

    (suc/kna)

  • COVID-19 Naik Lagi, Benarkah Cuma Propaganda? Ini Faktanya

    COVID-19 Naik Lagi, Benarkah Cuma Propaganda? Ini Faktanya

    Jakarta

    Setelah pencabutan status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) oleh WHO pada Mei 2023, ancaman COVID-19 perlahan memang mulai terabaikan. Namun sebenarnya, virus ini belum sepenuhnya hilang. Kasus penularan tetap ada dan fluktuatif, dengan lonjakan terbaru terjadi di berbagai negara akibat varian baru NB.1.8.1, turunan dari Omicron JN.1.

    India mencatat lonjakan signifikan, dari 257 kasus aktif pada 22 Mei menjadi 3.758 kasus pada awal Juni 2025. Lonjakan serupa terjadi di West Bengal, dengan peningkatan lebih dari 20 kali lipat dalam dua minggu terakhir. Meskipun sebagian besar kasus bersifat ringan, rumah sakit di Kolkata telah menambah kapasitas isolasi untuk mengantisipasi peningkatan pasien.

    Di Australia, varian NB.1.8.1 menyebabkan peningkatan kasus, terutama di Tasmania. Otoritas kesehatan mendesak warga untuk mendapatkan vaksinasi booster COVID-19 dan vaksin flu, mengingat rendahnya tingkat vaksinasi pasca status PHEIC dicabut.

    Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi di Singapura dan Thailand. Dalam sepekan, kedua negara tersebut mencatat lebih dari 15 ribu kasus. Bahkan, Thailand melaporkan sekitar 200 ribu infeksi COVID-19 sepanjang 2025.

    Lain halnya dengan Indonesia, imbas testing COVID-19 menurun, ‘hanya’ terlaporkan 75 kasus sejak awal 2025. Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai total kasus di lapangan bisa jauh lebih tinggi dari yang tercatat resmi.

    “Kalau naik pun nggak terdeteksi juga, nggak ada yang mau testing. Siapa sekarang yang mau testing, orang mungkin juga nggak bergejala. Testing kan nggak murah dan bukan jaman seperti COVID-19 yang tesnya bisa gratis,” jelas Pandu kepada detikcom, Senin (2/6/2025).

    Kenaikan kasus COVID-19 yang terkesan ‘tiba-tiba’ memicu beragam spekulasi, termasuk dugaan adanya propaganda terselubung. Ada yang menganggap tren tersebut seolah-olah dibuat dengan maksud dan kepentingan tertentu.

    Faktanya, meski status PHEIC atau ‘pandemi’ dalam istilah awam, dicabut, seluruh dunia belum benar-benar ‘terbebas’ dari virus COVID-19. Artinya, virus tetap bersirkulasi atau menularkan, tetapi menjadi tidak ‘ganas’ dan hanya memicu gejala ringan, atau bisa tidak bergejala sama sekali.

    Hal ini terjadi karena program vaksinasi COVID-19 yang sudah dilakukan di banyak negara. Indonesia misalnya, lebih dari 80 persen masyarakat di Tanah Air sudah menerima dua dosis vaksin COVID-19.

    Pandu juga menilai hal ini yang menjadi keuntungan Indonesia dalam menghadapi virus maupun mutasi COVID-19 belakangan. Kasus kematian bisa ditekan hingga 0 laporan, berdasarkan catatan Kemenkes RI sepanjang 2025. Pandu juga meyakini kenaikan kasus COVID-19 di banyak negara tidak perlu disikapi dengan kepanikan, termasuk mendadak berburu vaksinasi COVID-19 tambahan.

    “Kalau divaksinasi lagi nggak perlu, nggak ada evidence based vaksinasi ulang itu bisa menangani, karena imunitas yang ada saat ini sudah cukup memadai. Nanti kan jadi kontraproduktif Menkes (dituduh) jualan vaksin lagi,” beber Pandu.

    “Kita juga kan sangat beruntung sama menggunakan Sinovac, vaksin yang cukup andal, Sinovac kan virus utuh, kalau mRNA kan cuma bagian dari virus, yang suka berubah nah itu yang mengkhawatirkan di banyak negara, kalau Indonesia sih nggak perlu khawatir,” pungkasnya.

    NEXT: COVID-19 Cuma Propaganda?

    COVID-19 Cuma Propaganda?

    Mari dilihat dari laporan kasus COVID-19 setiap tahun. Catatan Our Wold in Data menunjukkan puncak kasus COVID-19 dunia terjadi pada 21 Juni 2022 dengan hampir 4 juta kasus dalam 24 jam. Sementara puncak kematian terjadi di tahun sebelumnya yakni 21 Januari 2021, mencapai 17.049 per hari.

    Tren kasus maupun kematian karena COVID-19 berangsur menurun signifikan tetapi tidak pernah benar-benar ‘lenyap’.

    Terendah konsisten di angka 2 ribu kasus selama periode Juni 2023 hingga akhir 2024. Pemicunya tidak lain karena kondisi kekebalan imunitas tubuh dan mutasi virus yang dapat memengaruhi tingkat penularan dan efektivitas vaksin.

    Kabar baiknya, sifat virus COVID-19 belakangan sudah tidak lagi mematikan, meskipun catatan infeksi melonjak. Meski begitu, pakar epidemiologi Dicky Budiman mengingatkan risiko yang bisa muncul di balik infeksi berulang.

    “Memang beruntungnya kita saat ini COVID-19 secara akut tidak menjadi masalah, ketika terinfeksi yasudah gejala-nya ringan,” beber dia kepada detikcom, Selasa (2/6).

    “Tapi ingat COVID-19 ini kalau berulang-ulang ada fase kronis lanjutan yang serius yang disebut dengan long COVID-19 yang cuma tidak bermasalah pada bagian paru-paru, tetapi ke jantung, dan organ lain,” sorot dia.

    Dihubungi terpisah, Hermawan Saputra dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) juga mewanti-wanti kemungkinan risiko fatal tidak hilang sepenuhnya. Terutama pada mereka dengan kelompok rentan. Hal ini terlihat dari laporan Thailand yang mencatat 50-an kasus kematian dari 200 ribu infeksi COVID-19.

    “Kasus-kasus lupus, kelainan-kelainan bawaan, orang dengan hipersensitivitas, itu sangat berisiko. Artinya daya tahannya, imunitasnya tidak optimal, kedua adalah orang-orang lanjut usia dan orang-orang yang punya penyakit komorbid, istilahnya, terutama pneumonia berat karena asma, kemudian ada penyakit-penyakit diabetes, itu yang harus dilindungi lebih awal,” beber dia, kepada detikcom Senin (2/6).

    Menurutnya, pemerintah perlu melakukan skrining utamanya di pintu-pintu masuk dan pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) memastikan subvarian yang dominan menyebar, meski sebagian besar karakteristik virus bersifat ringan. Hal ini tetap perlu dilakukan sebagai kewaspadaan menghadapi risiko lonjakan kasus.

    Ia tidak menampik kemungkinan beberapa orang kemudian berspekulasi dan menganggap COVID-19 sebagai teori konspirasi saat lonjakan terkesan tiba-tiba terjadi.

    “Yang perlu dipahami adalah COVID-19 itu masih ada, dia selalu ada di sekitar kita, yang membedakan saat status PHEIC dicabut, karakteristik virus maupun gejalanya saat ini relatif ringan, tidak lagi memicu gejala berat, atau kasus rawat inap, karena sudah terbentuk imunitas atau kekebalan terhadap infeksi di masyarakat, baik dari paparan maupun vaksinasi,” lanjutnya.

    NEXT: Endemik tak berarti hilang dari peredaran

    Hermawan menyebut status COVID-19 saat ini sudah menjadi endemik seperti penyakit menular lain, misalnya demam berdarah dengue (DBD). Artinya, virus tetap ada tetapi dinilai tidak lagi mengkhawatirkan.

    Senada, Dicky menyebut penyangkalan akan keberadaan COVID-19 akan selalu terjadi. Terlebih, secara psikologis pandemi COVID-19 kala itu membuat banyak orang terganggu dalam segala aktivitas dan memicu kerugian serta dampak besar bagi beberapa orang secara finansial, karena mobilitas yang mendadak dibatasi. Tidak heran, kemudian muncul penyangkalan dari situasi COVID-19 belakangan.

    “Kita tidak bisa mengandalkan penyangkalan untuk kemudian meniadakan penyakit itu. Tidak akan hilang,” tegas dia.

    “Lebih bijak yang bisa dilakukan saat ini tetap menjaga perilaku hidup bersih sehat, memakai masker, mencuci tangan,” tutupnya.

    Saksikan Live DetikSore: