Produk: vaksin

  • Haid Lebih dari 8 Hari? Hati-hati Jika Disertai Gejala Ini, Bisa Jadi Miom-Kista

    Haid Lebih dari 8 Hari? Hati-hati Jika Disertai Gejala Ini, Bisa Jadi Miom-Kista

    Jakarta

    Menstruasi adalah bagian alami dari siklus reproduksi perempuan. Namun, tak semua haid bisa dianggap normal. Ada beberapa kondisi yang perlu diwaspadai karena bisa menjadi tanda adanya gangguan pada sistem reproduksi.

    Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Prof Dr dr Yudi Mulyana Hidayat, SpOG, Subsp Onk, mengatakan, salah satu tanda utama yang sering diabaikan adalah nyeri haid yang berlebihan.

    Menurutnya, rasa nyeri saat haid memang wajar, tapi jika sampai mengganggu aktivitas harian, seperti harus minum obat pereda nyeri setiap bulan, atau bahkan tidak bisa bekerja dan sekolah, maka kondisi tersebut perlu diperhatikan lebih serius.

    “Nah yang kedua, lama haid. Kan 6 sampai, paling lama 8 hari lah. Kalau lebih dari itu, bukan haid lagi. Sudah ada kelainan. Nah itu harus segera dilakukan pengobatan,” ucapnya saat ditemui di acara konferensi pers terkait Rekeomendasi POGI untuk Vaksin HPV Bagi Perempuan Pranikah dan Pasca Melahirkan, Jakarta Pusat, Selasa (24/6/2026).

    Volume darah yang keluar saat menstruasi pun patut diperhatikan. Menurut Prof Yudi, kemungkinan adanya gangguan seperti miom, penebalan endometrium, atau kista, bisa ditandai dengan menstruasi yang terlalu banyak hingga memicu kondisi berikut:

    Karenanya, ia menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut jika mengalami menstruasi yang tak normal.

    “Karena diperiksa oleh dokter, cukup dengan USG saja ketahuan. Ada miom, ada penebalan endometrium, ada kista dan sebagainya itu bisa mengganggu proses haid yang normal,” imbuhnya lagi.

    (suc/up)

  • Infeksi HPV Bisa Picu Kutil Kelamin, Ini Bedanya dengan Benjolan Wasir Menurut Obgyn

    Infeksi HPV Bisa Picu Kutil Kelamin, Ini Bedanya dengan Benjolan Wasir Menurut Obgyn

    Jakarta

    Kutil kelamin merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual (IMS) yang umum terjadi, dan disebabkan oleh virus human papillomavirus (HPV).

    Karena sama-sama berupa benjolan, kutil kelamin yang muncul di area genital maupun anus kerap disalahartikan sebagai wasir.

    Terkait hal tersebut, Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Prof Dr dr Yudi Mulyana Hidayat, SpOG, Subsp Onk, menjelaskan kutil kelamin sangat berbeda dari wasir, baik dari penyebab maupun karakteristik fisiknya.

    Menurutnya, kutil kelamin adalah pertumbuhan kulit berlebih akibat infeksi HPV. Kutil ini bisa terlihat seperti jengger ayam, tumbuh menonjol dan tidak rata di permukaan kulit area kelamin atau anus.

    “Kalau kutil itu kan akibat pertumbuhan dari kulit yang berlebihan, kita tahu kutil yang ayam yang jengger ayam,” ucap Prof Yudi saat ditemui di acara konferensi pers terkait Rekeomendasi POGI untuk Vaksin HPV Bagi Perempuan Pranikah dan Pasca Melahirkan, Jakarta Pusat, Selasa (24/6/2026).

    Sementara itu, wasir atau hemoroid merupakan pelebaran pembuluh darah di anus, dan bukan disebabkan oleh infeksi virus. Secara fisik, wasir cenderung terasa lunak saat disentuh dan bisa berdarah, terutama saat iritasi atau mengejan terlalu kuat saat buang air besar.

    “Kalau wasir itu pelebaran pembuluh darah. Jadi kalau kita otak-atik wasir, itu empuk dan kadang-kadang bisa berdarah. Agak beda [dengan kutil],” kata Prof. Yudi.

    (suc/suc)

  • Obgyn Beberkan ‘Jalan Masuk’ Virus HPV, Pemicu Utama Penyakit Kanker Serviks

    Obgyn Beberkan ‘Jalan Masuk’ Virus HPV, Pemicu Utama Penyakit Kanker Serviks

    Jakarta

    Kanker serviks merupakan kanker terbanyak kedua pada wanita Indonesia, dengan lebih dari 36 ribu kasus baru dan lebih dari 20 ribu kasus kematian menurut data Globocan 2022. Lebih dari 95 persen kasus disebabkan oleh infeksi Human Papillomavirus (HPV).

    Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Prof Dr dr Yudi Mulyana Hidayat, SpOG, Subsp Onk, mengatakan, tipe HPV risiko tinggi yang paling umum ditemukan di Indonesia adalah tipe 52, 16, 18, 58, yang sebagian besar ditularkan melalui aktivitas seksual.

    “Kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV, dan jika tidak ditangani, dapat berakibat fatal hingga menyebabkan kematian,” ucapnya saat ditemui di acara konferensi pers terkait Rekeomendasi POGI untuk Vaksin HPV Bagi Perempuan Pranikah dan Pasca Melahirkan, Jakarta Pusat, Selasa (24/6/2026).

    “Setiap jam, dua wanita Indonesia meninggal akibat kanker serviks. Ini bukan sekadar angka, tapi panggilan darurat bagi semua pihak,” lanjutnya.

    Menurut Prof Yudi, terdapat sejumlah faktor risiko yang bisa menjadi ‘jalan masuk’ virus HPV. Salah satunya berhubungan seksual di usia ini. Semakin dini seseorang wanita aktif secara seksual, lanjutnya, semakin tinggi pula peluang terinfeksi virus HPV.

    Risiko ini meningkat apabila hubungan dilakukan sebelum menikah atau dengan pasangan yang tidak tetap, karena membuka peluang penularan penyakit menular seksual, termasuk HPV.

    “Belum nikah tapi sudah melakukan hubungan seksual. Makin dini, akan semakin cepat,” tuturnya.

    Kebiasaan merokok pada wanita juga menjadi perhatian serius. Menurut Prof Yudi, merokok bisa melemahkan daya tahan tubuh dan membuat organ reproduksi wanita lebih rentan terhadap infeksi virus.

    Selain itu, area kewanitaan yang kurang terjaga juga bisa membuka peluang ‘jalan masuk’ dari virus HPV. Menurut Prof Yudi, HPV sangat mudah masuk ke dalam tubuh melalui luka kecil di bibir kemaluan. Luka ini bisa muncul akibat infeksi lain, seperti keputihan yang disebabkan oleh mikroorganisme selain HPV.

    Mikroorganisme dapat mengiritasi kulit di area kewanitaan dan menciptakan celah bagi virus untuk masuk. Oleh karena itu, menjaga kebersihan area genital menjadi kunci pencegahan.

    “Nah, si mikroorganisme itu membuat bibir kemaluan menjadi luka. Karena ada luka, masuklah virus di situ,” ucapnya lagi.

    Di sisi lain, Prof Yudi juga membeberkan bagaimana laki-laki berperan dalam penyebaran virus HPV, terutama jika tak menjaga kebersihan alat kelamin. Ia menyebut, dulu sempat ada anggapan smegma, kotoran yang menumpuk di balik kulit kepala penis, menjadi penyebab kanker serviks.

    Namun, menurut penelitian, smegma sebenarnya bukan penyebab langsung, melainkan tempat berkumpulnya virus HPV.

    “Di situ kalau nggak disunat ada kulup atau preputium dalam medis, kalau dibuka, di leher penis sakit lagi itu ada kotoran. Itu yang disebut smegma. Nah smegma itulah bisa disebutkan sebagai penyebab kanker serviks, zaman dulu,” ucap Prof Yudi.

    “Ternyata dari hasil penelitian, smegma itu tempat berkumpulnya virus-virus HPV. Sehingga kejadian orang Yahudi, Israel, itu banyak disunat, sehingga kejadian kanker servik di Israel, berkurang,” kata Prof Yudi.

    (suc/kna)

  • Cegah Kanker Serviks, POGI Rilis Rekomendasi Vaksin HPV Terbaru untuk Kelompok Ini

    Cegah Kanker Serviks, POGI Rilis Rekomendasi Vaksin HPV Terbaru untuk Kelompok Ini

    Jakarta

    Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) resmi mengeluarkan rekomendasi klinis terbaru untuk vaksinasi Human Papillomavirus (HPV), menargetkan dua kelompok kunci: wanita pra-nikah dan wanita pascapersalinan.

    Rekomendasi ini disusun berdasarkan bukti ilmiah terkini dan bertujuan untuk memperkuat pencegahan primer kanker serviks. Berdasarkan data Globocan 2022, kanker serviks merupakan kanker terbanyak kedua pada wanita Indonesia, dengan lebih dari 36.000 kasus baru dan lebih dari 20.000 kasus kematian.

    Lebih dari 95 persen kasus ini disebabkan oleh infeksi HPV risiko tinggi. Meski upaya pencegahan terus berjalan, kelompok wanita dewasa yang belum pernah divaksinasi, seperti yang berada dalam fase pranikah dan pascapersalinan, masih perlu menjadi perhatian dalam perluasan upaya perlindungan.

    “Kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV, dan jika tidak ditangani, dapat berakibat fatal hingga menyebabkan kematian. Di Indonesia, tipe HPV risiko tinggi yang paling umum ditemukan adalah tipe 52, 16, 18, 58 – yang sebagian besar ditularkan melalui aktivitas seksual,” ucap Ketua Umum POGI Prof Dr dr Yudi Mulyana Hidayat, SpOG, Subsp Onk, saat ditemui di acara konferensi pers terkait Rekeomendasi POGI untuk Vaksin HPV Bagi Perempuan Pranikah dan Pasca Melahirkan, Jakarta Pusat, Selasa (24/6/2026).

    “Kabar baiknya, infeksi HPV dapat dicegah melalui vaksinasi HPV. Oleh karena itu, sangat dianjurkan seseorang melakukan vaksinasi HPV sebelum aktif secara seksual, seperti pada fase pranikah. Untuk ibu yang sedang menyusui, juga dapat menerima vaksinasi HPV,” lanjutnya lagi.

    baca juga

    Lebih lanjut, Prof Yudi menekankan masih banyak wanita usia reproduktif yang belum menjadi bagian dari upaya pencegahan kanker serviks secara menyeluruh.

    “Setiap jam, dua wanita Indonesia meninggal akibat kanker serviks. Ini bukan sekadar angka, tapi panggilan darurat bagi semua pihak. Melalui rekomendasi ini, POGI ingin memberikan panduan berbasis ilmiah bagi dokter dan tenaga kesehatan untuk memperluas cakupan perlindungan, khususnya bagi kelompok pranikah dan pascapersalinan yang belum pernah menerima vaksinasi HPV,” imbuhnya lagi.

    Rekomendasi ini disusun oleh Kelompok Kerja Eliminasi Kanker Serviks POGI di bawah pimpinan Dr dr Fitriyadi Kusuma, Sp OG, Subsp Onk, sebagai panduan teknis bagi tenaga kesehatan.

    “Untuk wanita termasuk wanita pranikah, kami merekomendasikan untuk mendapat vaksin HPV. Vaksinasi sebelum aktivitas seksual dapat mencegah hingga 90 persen kanker terkait HPV, sementara pada wanita yang sudah aktif secara seksual, vaksin tetap dapat membantu dalam mengurangi risiko dan memberikan perlindungan dari kanker serviks,” jelas dr Fitriyadi.

    Ia juga menjelaskan vaksinasi HPV pada masa pascapersalinan bisa menjadi bagian integral dari kunjungan nifas.

    “Vaksinasi HPV dapat diberikan untuk ibu menyusui dan dapat diberikan bersamaan dengan layanan skrining serviks. Kami menyusun panduan ini agar dokter, bidan, dan tenaga kesehatan memiliki acuan praktis dan konsisten dalam memberikan edukasi dan layanan vaksinasi HPV, khususnya bagi kelompok wanita dewasa yang belum tercakup,” pungkasnya.

    POGI berharap rekomendasi ini dapat diadopsi secara luas oleh tenaga kesehatan dan menjadi bagian dari layanan kesehatan reproduksi rutin di seluruh Indonesia. Dengan menjadikan fase pranikah dan pascapersalinan sebagai titik masuk strategis, vaksinasi HPV diharapkan mampu menekan angka kematian akibat kanker serviks dan mempercepat tercapainya target eliminasi secara nasional dan global.

    baca juga

    (suc/kna)

  • Vaksinasi Jadi Upaya Preventif di Kutai Kartanegara Cegah Demam Berdarah Dengue

    Vaksinasi Jadi Upaya Preventif di Kutai Kartanegara Cegah Demam Berdarah Dengue

    JAKARTA – Penyakit demam berdarah dengue masih menjadi momok bagi masyarakat Indonesia, termasuk di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Dalam upaya memperkuat pertahanan terhadap penyakit ini, pemerintah daerah menggencarkan program vaksinasi dengue sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk melindungi masyarakat, khususnya anak-anak, dari ancaman virus yang terus mengintai sepanjang tahun.

    Langkah ini diambil sebagai respons atas tingginya jumlah kasus dengue yang tercatat di wilayah tersebut. Pada 2024 saja, terdapat lebih dari 10.000 kasus dengue di Kalimantan Timur, dengan Kutai Kartanegara menyumbang angka terbanyak, yakni 2.802 kasus.

    Beban kesehatan yang tinggi ini tidak hanya membahayakan nyawa warga, tetapi juga mengganggu stabilitas sistem kesehatan lokal. Perubahan iklim, mobilitas penduduk yang tinggi, serta pesatnya urbanisasi turut memicu penyebaran dengue yang semakin sulit dikendalikan.

    Bupati Kutai Kartanegara, Edi Damansyah, menilai bahwa vaksinasi menjadi bagian penting dari pendekatan komprehensif dalam menghadapi dengue.

    “Kami meyakini penanggulangan dengue tidak bisa hanya bergantung pada satu pendekatan saja. Diperlukan strategi yang lebih kuat, terintegrasi, dan berkelanjutan mulai dari edukasi, pemberdayaan masyarakat, pengendalian vektor, hingga perlindungan melalui vaksinasi,” tegasnya.

    Ia menambahkan program ini menargetkan sekitar 1.550 anak sekolah dasar kelas 1 hingga 5 di Kecamatan Tenggarong.

    “Kami optimistis inisiatif ini dapat menurunkan jumlah kasus di Kutai Kartanegara, sekaligus membangun ketahanan kesehatan masyarakat melalui perlindungan yang lebih kuat dan berkelanjutan,” lanjutnya.

    Dukungan terhadap langkah ini juga datang dari Kementerian Kesehatan RI. Direktur Penyakit Menular, dr. Ina Agustina Isturini, MKM, menjelaskan bahwa pemerintah pusat sedang memperkuat strategi penanggulangan dengue melalui pendekatan yang lebih aplikatif dan terintegrasi.

    “Kami menyadari untuk mencapai tujuan besar yaitu ‘Nol Kematian Akibat Dengue pada 2030’, diperlukan langkah lanjutan yang lebih taktis, aplikatif, dan adaptif terhadap tantangan di lapangan,” ujar Ina.

    Ia juga mengapresiasi upaya Dinas Kesehatan Kalimantan Timur dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, yang menurutnya menjadi contoh nyata praktik baik di tingkat daerah.

    Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, Dr. dr. H. Jaya Mualimin, Sp.Kj, M.Kes, MARS, menyebutkan keberhasilan pelaksanaan vaksinasi di Balikpapan dan Samarinda menjadi dasar perluasan program ke Kutai Kartanegara.

    “Anak-anak yang telah menerima vaksinasi tidak mengalami infeksi dengue, yang artinya tingkat perlindungan terhadap penyakit ini berhasil ditingkatkan,” jelasnya.

    Ia menekankan vaksinasi bukanlah satu-satunya upaya yang dilakukan. Program seperti Gerakan 3M Plus dan edukasi lintas sektor tetap berjalan, menjadikan vaksinasi sebagai pelengkap dari keseluruhan pendekatan preventif.

    Dari sisi penyediaan vaksin, Sri Harsi Teteki selaku Direktur Medis dan Hubungan Kelembagaan Bio Farma menegaskan peran penting perusahaan dalam memperkuat sistem imunisasi nasional.

    “Kami percaya bahwa kemitraan yang sinergis antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat merupakan fondasi utama dalam membangun sistem kesehatan yang kuat dan merata,” ungkapnya. Bio Farma, bersama mitra internasional seperti Takeda, menjadi bagian dari rantai distribusi vaksin dengue di Indonesia.

    Di kesempatan yang sama, Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines, Andreas Gutknecht, juga menyampaikan pentingnya peran pencegahan dalam mengurangi dampak penyakit ini.

    Menurut Andreas sampai hari ini, dengue masih menjadi ancaman nyata dan belum ada obat yang secara khusus dapat menyembuhkannya. Ini menjadikan pencegahan sebagai kunci. Ia menekankan pihaknya berkomitmen menjadi mitra jangka panjang pemerintah dan masyarakat dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat dengue.

    “Inisiatif ini mencerminkan kolaborasi yang dibutuhkan untuk menciptakan dampak yang berkelanjutan bagi penguatan kesehatan masyarakat,” tambahnya.

    Melalui kerja sama lintas sektor yang kuat dan dukungan penuh dari berbagai pemangku kepentingan, program vaksinasi dengue di Kutai Kartanegara diharapkan mampu menjadi tonggak penting dalam perjalanan menuju target nasional eliminasi kematian akibat dengue di tahun 2030. 

  • Cegah Kanker Serviks, POGI Rilis Rekomendasi Vaksin HPV Terbaru untuk Kelompok Ini

    Vaksin HPV Bikin Mandul-Menopause Dini? Obgyn Bilang Gini

    Jakarta

    Masih banyak anggapan keliru yang beredar di masyarakat mengenai vaksin Human Papillomavirus (HPV). Salah satu yang paling sering muncul adalah kekhawatiran vaksin HPV dapat menyebabkan kemandulan generasi muda hingga menopause dini. Namun, Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Prof Dr dr Yudi Mulyana Hidayat, SpOG(K), menegaskan hal ini adalah mitos alias hoaks.

    “Terkait dengan apakah vaksin HPV itu dihubungkan dengan kemandulan dan lain sebagainya atau menopause dini dan sebagainya, itu belum lagi terkatakan, hanya mitos, tidak fakta,” tegas Prof Yudi saat ditemui di acara konferensi pers terkait Rekeomendasi POGI untuk Vaksin HPV Bagi Perempuan Pranikah dan Pasca Melahirkan, Jakarta Pusat, Selasa (24/6/2026).

    Ia mengatakan, sampai saat ini tidak ada bukti ilmiah yang mendukung anggapan tersebut.

    Sebaliknya, Menurut Prof Yudi, secara ilmiah, vaksin HPV aman dan tidak berdampak buruk terhadap sistem reproduksi perempuan. “Yang jelas, menurut ilmiah saja tidak ada masalah, tidak akan menyebabkan kemandulan,” katanya.

    Vaksinasi HPV justru menjadi salah satu langkah penting dalam mencegah kanker serviks yang disebabkan oleh infeksi human papillomavirus.

    Di antara berbagai jenis kanker, dua yang paling banyak menyerang perempuan adalah kanker payudara dan kanker serviks. Keduanya tidak hanya memiliki angka kejadian yang tinggi, tetapi juga tingkat kematian yang mengkhawatirkan.

    Sebelumnya, Direktur Penanggulangan Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan RI, dr Siti Nadia Tarmizi, M Epid mengatakan angka kematian akibat kanker leher rahim di Indonesia masih cukup tinggi, yakni sekitar 13,2 per 100.000 penduduk menurut data Globocan 2022.

    “Ini kita bisa lihat pada angkanya. Jadi angka kejadiannya cukup tinggi, dan angka kematiannya juga hampir separuhnya,” ucapnya dalam konferensi pers, Jumat (13/6).

    Bahkan, lanjut dr Nadia, diperkirakan ada sekitar 56 perempuan yang meninggal setiap harinya akibat kanker leher rahim. Sementara jumlah kasus baru kanker leher rahim di Indonesia yang dilaporkan atau diperkirakan mencapai 36.964 dari total kasus keseluruhan jenis kanker 408.661 menurut data Globocan 2022.

    (suc/up)

  • Siasat BPOM Pastikan Stok Obat Aman di Tengah Ancaman Kelangkaan Imbas Perang

    Siasat BPOM Pastikan Stok Obat Aman di Tengah Ancaman Kelangkaan Imbas Perang

    Jakarta

    Penasihat Khusus Presiden Bidang Pertahanan Nasional, Jenderal TNI (Purn) Dudung Abdurachman, mengingatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) agar turut berperan aktif dalam memastikan ketahanan nasional, khususnya di sektor pangan dan obat-obatan, di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik global. Termasuk konflik antara AS, Iran, hingga Israel.

    “Kita melihat dinamika geopolitik saat ini, termasuk potensi konflik antara Iran dan beberapa negara lainnya, yang tentunya berisiko mengganggu rantai pasok global. Karena itu, BPOM perlu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tersebut sejak dini,” ujar Dudung saat ditemui detikcom di Gedung BPOM Jakarta, Senin (23/6/2025).

    Menurut Dudung, ketahanan nasional tidak hanya terkait dengan alat utama sistem senjata (alutsista), tetapi juga mencakup ketahanan di sektor kesehatan dan pangan. Kemandirian industri pertahanan dan farmasi nasional menjadi kunci agar Indonesia tidak tergantung pada negara lain dalam situasi darurat.

    “Saya sebagai penasihat khusus presiden di bidang pertahanan menilai bahwa kemandirian industri dalam negeri, baik alutsista maupun obat-obatan, sangat penting. Kita harus membangun ekosistem yang kuat agar tidak mudah terguncang oleh kondisi luar,” tegasnya.

    Lebih lanjut, Dudung menyampaikan Indonesia harus mampu memproduksi obat-obatan secara mandiri. Jika terjadi konflik global berskala besar, ketergantungan terhadap impor obat akan sangat membahayakan ketahanan nasional.

    “Kalau perang besar benar-benar terjadi, dampaknya sangat serius terhadap suplai obat-obatan. Oleh karena itu, kemandirian obat harus diwujudkan. Fasilitas dan sarana yang ada sejauh ini sudah mulai kita manfaatkan untuk mendukung hal tersebut,” katanya.

    94 Persen Bahan Baku Obat Masih Impor

    Sejalan dengan itu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Taruna Ikrar menegaskan saat ini Indonesia sangat bergantung pada impor bahan baku obat, dengan 94 persen di antaranya berasal dari luar negeri.

    “Kalau kita tidak jeli melihat kondisi ini, bisa sangat berbahaya. Mayoritas bahan baku obat kita impor dari India, China, Belanda, dan Amerika. Dalam kondisi perang seperti sekarang, kalau pasokan tiba-tiba diblokir, kita akan kesulitan. Rakyat kita yang sakit bisa sangat terdampak,” ujar Taruna, dalam kesempatan yang sama.

    Taruna menyebut hal ini menjadi inti pembahasan dalam pertemuan antara dirinya dan penasihat khusus Presiden. Keduanya sepakat Indonesia secara bertahap perlu melakukan langkah-langkah konkret demi memperkuat ketahanan obat, vaksin, dan pangan agar tetap bisa bertahan sebagai negara mandiri di tengah situasi global yang rentan dan sulit.

    Ia juga menegaskan koordinasi antara Kementerian Pertahanan dan BPOM sudah dilakukan. Beberapa instansi terkait, termasuk Laboratorium milik Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan fasilitas kesehatan milik militer seperti lembaga farmasi LAFI AD, saat ini sedang dioptimalkan kembali dalam mendukung produksi dan pengawasan obat nasional.

    NEXT: Obat Generik-Penyakit Kronis Diimpor dari Negara Ini

    Taruna mengungkap obat-obat generik yang sudah habis masa patennya sebagian besar diimpor dari India dan China. Sementara obat-obatan esensial untuk penyakit kronis seperti diabetes, kardiovaskular, gangguan sistem saraf, ginjal, dan kanker umumnya masih diimpor dari Amerika Serikat.

    “Semua jenis obat itu esensial. Apalagi, jika kita melihat sepuluh penyakit tertinggi penyebab kematian di Indonesia saat ini, hampir semuanya adalah penyakit degeneratif dan kronis, seperti jantung, stroke, diabetes, gangguan ginjal, dan kanker,” ujarnya.

    Untuk itu, BPOM telah mengambil sejumlah langkah strategis. Pertama, memberikan dukungan kepada industri farmasi dalam negeri (IF) untuk meningkatkan jumlah dan variasi bahan baku yang dapat diolah sendiri.

    Kedua, mempermudah perizinan dan sertifikasi impor bahan baku bagi industri nasional. Ketiga, memperkuat kerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait, termasuk Kementerian Pertahanan, dalam mengamankan jalur distribusi bahan baku obat, baik melalui skema business-to-business (B2B) maupun jalur antar-pemerintah.

    “Dengan kondisi global yang sangat rentan saat ini, kita berharap Indonesia tetap aman dan siap menghadapi segala kemungkinan, khususnya dalam hal ketersediaan obat-obatan,” tutup Taruna.

  • Jenis Kekebalan Tubuh dan Cara Kerja Sistemnya

    Jenis Kekebalan Tubuh dan Cara Kerja Sistemnya

    YOGYAKARTA – Kekebalan tubuh dikelompokkan dalam beberapa jenis. Memahami jenis kekebalan tubuh dan cara kerjanya akan membantu Anda sebagai orang tua dalam memberikan perlindungan terbaik untuk anak. Untuk selengkapnya, simak penjelasan di bawah ini.

    Jenis Kekebalan Tubuh Anak

    Kekebalan tubuh anak dibagi menjadi dua jenis, yaitu kekebalan adaptif (adaptive immunity) dan kekebalan bawaan (innate immunity). Berikut uraiannya secara lengkap:

    Kekebalan Tubuh Adaptif (Adaptive Immunity)

    Kekebalan tubuh adaptif merupakan bentuk perlindungan tubuh anak yang didapatkan setelah terpapar zat asing, misalnya bakteri atau virus.

    Saat tubuh si Kecil terpapar zat asing, sistem kekebalan tubuhnya akan memproduksi sel-sel antibodi yang memang bertugas untuk melawan dan mengingat zat asing tersebut.

    Mendapatkan imunisasi sesuai jadwal dibutuhkan untuk merangsang pembentukan kekebalan adaptif si Kecil agar terhindar dari penularan infeksi.

    Jenis kekebalan tubuh ini dapat bersifat sementara atau seumur hidup, tergantung dari jenis zat asing dan kondisi kesehatan anak.

    Kekebalan Tubuh Bawaan (Innate Immunity)

    Kekebalan tubuh bawaan merupakan bentuk pertahanan tubuh sejak lahir yang berfungsi sebagai lapis pertama perlawanan terhadap berbagai macam patogen yang menyebabkan infeksi dan penyakit.

    Sistem kekebalan tubuh bawaan memberikan respons langsung terhadap segala bentuk zat asing yang masuk ke dalam tubuh anak.

    Tanpa harus mengenalinya terlebih dahulu secara spesifik, jenis kekebalan tubuh bawaan ini dapat membedakan sel tubuh dan patogen.

    Apa Itu Kekebalan Aktif dan Pasif?

    Dilansir dari laman Centers for Disease Control and Prevention, di bawah ini adalah penjelasan terkait kekebalan aktif dan kekebalan pasif:

    Kekebalan Aktif

    Kekebalan aktif adalah jenis kekebalan tubuh yang terbentuk dari respon imun tubuh karena terpapar langsung terhadap patogen atau organisme penyebab penyakit.

    Kekebalan ini bisa didapatkan secara alami melalui infeksi atau secara buatan melalui imunisasi dengan vaksin. Melalui kedua cara ini, tubuh akan memproduksi antibodi spesifik untuk melawan patogen tersebut.

    Kekebalan tubuh yang didapatkan setelah sembuh dari penyakit atau vaksin umumnya akan bertahan lama, sebagian bahkan seumur hidup.

    Kekebalan Pasif

    Berbeda dengan kekebalan aktif yang diproduksi sendiri oleh tubuh, sistem imun pasif didapatkan dari luar tubuh dalam bentuk antibodi terhadap suatu penyakit.

    Misalnya, bayi baru lahir mendapatkan kekebalan pasif dari tubuh Mama dalam bentuk antibodi Mama yang mengalir melalui plasenta.

    Kekebalan pasif dapatmemberikan perlindungan dengan segera, tetapi hanya berlangsung sementara dalam hitungan minggu atau bulan.

    Mengetahui Cara Kerja Sistem Kekebalan Tubuh

    Ketika sel-sel kekebalan mendeteksi antigen seperti bakteri, jamur, atau virus, sistem imun akan menjadi aktif. Sel kekebalan selanjutnya akan memicu respons pertahanan awal melalui kekebalan bawaan kulit dan respons peradangan.

    Jika berhasil ditembus, jenis kekebalan tubuh adaptif akan berfungsi melawan infeksi dengan bantuan sel limfosit T dan limfosit B.

    Limfosit T membantu menghancurkan sel yang terinfeksi dan limfosit B memproduksi antibodi yang menandai patogen agar lebih mudah dilumpuhkan oleh sel kekebalan lain.

    Limfosit T dan B juga akan “mengingat” patogen tersebut sehingga tubuh akan merespons lebih cepat dan efektif ketika patogen yang sama masuk lagi di hari yang lain.

    Demikianlah ulasan mengenai jenis kekebalan tubuh dan cara kerja sistemnya. Semoga informasi ini bermanfaat! Kunjungi VOI.id untuk mendapatkan informasi menarik lainnya.  

  • Long COVID: Luka yang Masih Tertinggal setelah Dunia Move On

    Long COVID: Luka yang Masih Tertinggal setelah Dunia Move On

    Jakarta

    Saya sendiri sudah lebih dari setahun tidak bisa berlama-lama melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar. Padahal di awal pandemi, saya bisa berjam-jam berdiri di dapur membuat roti. Tapi setelah sembuh dari COVID-19, hidup saya tidak pernah benar-benar kembali seperti semula.

    Selama dua tahun setelah sembuh, tubuh saya sulit diajak kompromi. Aktivitas fisik ringan pun bisa memicu rasa lelah yang tak biasa, pegal di sekujur badan, dan kadang nyeri pinggul. Dari luar, saya terlihat baik-baik saja. Tapi tubuh saya bicara sebaliknya.

    Bukan hanya orang dewasa, anak-anak ikut terdampak. Misalnya Indra (bukan nama sebenarnya), 11 tahun. Ia nyaris putus sekolah setelah didiagnosis epilepsi fokal usai sembuh dari COVID-19. Sebelum itu, ia kerap mengeluh sakit kepala selama berbulan-bulan, matanya terasa ‘melayang’, dan sulit fokus belajar. Kini, muncul pula alergi yang sebelumnya tidak pernah ada. Setiap bulan, kedua orang tuanya harus merogoh kocek dalam untuk pengobatan.

    Tapi siapa yang peduli sekarang?

    Ketika Dunia Ingin Cepat ‘Move On’

    Indonesia sudah masuk era endemi. Tapi Long COVID tetap nyata. Sayangnya, topik ini nyaris lenyap dari ruang publik.

    Tak ada lagi kampanye. Tak ada edukasi di media sosial. Tak ada layanan pemulihan khusus. Bahkan, pejabat pun jarang membicarakan masalah ini.

    Padahal WHO menegaskan, Long COVID bisa menyerang siapa saja-bahkan mereka yang saat terinfeksi hanya mengalami gejala ringan.

    Gejalanya bukan sekadar batuk. Tapi bisa berupa:

    Kelelahan ekstremKebingungan mental (brain fog)Detak jantung tidak stabilDepresi dan kecemasanGangguan pernapasan atau nyeri dada,

    Dan masih banyak lagi gejala yang dirasakan penyintas COVID.

    Riset WHO memperkirakan 10-20 persen penyintas mengalami kondisi ini. Di Asia, angka itu bisa lebih tinggi karena banyak kasus infeksi yang tidak terdiagnosis atau tercatat.

    Negara Diam, Warga Cuek

    Long COVID seperti tak dianggap. Pemerintah diam, masyarakat pun bosan.

    Bisa jadi ini karena kepercayaan publik yang sudah telanjur rusak. Selama pandemi, informasi terus berubah. Banyak yang akhirnya skeptis-bahkan sinis.

    Tak sedikit yang berkomentar, “Ah, ini cuma mau jual vaksin lagi,” atau, “Nakut-nakutin biar kita takut lagi.”

    Lebih buruk lagi, gejala-gejala usai terkena COVID seperti kelelahan, gangguan saraf, atau nyeri dada seringkali dianggap sebagai efek vaksin, bukan virus. Ini membuat para penyintas makin terpinggirkan. Keluhan mereka sering kali dibantah atau dialihkan ke isu lain.

    Padahal, baik vaksin maupun virus COVID-19 bisa menimbulkan efek samping. Tapi tanpa komunikasi publik yang jujur dan terbuka, kebingungan ini hanya akan memperburuk stigma dan memecah solidaritas.

    Hidup dengan gejala yang tak diakui

    Yang paling menderita adalah penyintas. Mereka dipaksa terlihat sembuh, padahal belum.

    Ketika memeriksakan diri, diagnosis yang ditegakkan sering kali hanyalah psikosomatis atau gangguan lain tanpa mempertimbangkan kemungkinan Long COVID. Berganti-ganti dokter pun sudah dijalani. Hasilnya nihil. Yang ada biaya membengkak, hasil tetap buram.

    Berganti-ganti dokter pun sudah dijalani, namun tak ada hasil. Yang ada, habis biaya yang tak sedikit untuk mencari pengobatan. Banyak penyintas akhirnya memilih diam. Mereka berdamai sendiri dengan tubuh yang tak lagi seperti dulu.

    Tak ada ruang bicara. Tak ada empati. Hidup dalam masyarakat yang ingin cepat move on.

    Di luar, taman hiburan dan konser sudah ramai lagi. Tapi di rumah, ada yang bahkan keluar kamar pun tak sanggup.

    NEXT: Ketika dampaknya tak lagi personal

    Ketika dampaknya tak lagi personal

    Long COVID bukan hanya tentang individu yang menderita diam-diam. Dampaknya bisa jauh lebih luas.

    Beberapa pakar menduga penurunan fungsi kognitif akibat Long COVID, seperti kebingungan atau gangguan konsentrasi, bisa berkontribusi terhadap meningkatnya kecelakaan lalu lintas. Gejala seperti brain fog, kelelahan akut, atau gangguan tidur bisa memengaruhi konsentrasi saat berkendara-tanpa disadari.

    Belum lagi meningkatnya kasus kematian mendadak pada usia produktif yang banyak dilaporkan belakangan ini. Meski tak semua bisa dikaitkan langsung, Long COVID patut dicurigai sebagai salah satu faktor tersembunyi yang memperburuk kondisi kesehatan tanpa gejala jelas.

    Beberapa perusahaan asuransi bahkan mencatat lonjakan klaim untuk masalah jantung, paru-paru, dan gangguan saraf dalam dua tahun terakhir. Gejala-gejala ini sejalan dengan daftar dampak Long COVID versi WHO.

    Apakah kita cukup serius melihat ini sebagai ancaman terhadap keselamatan publik?

    Long COVID adalah tes solidaritas

    Ini bukan cuma soal virus. Ini soal ingatan. Soal empati. Soal apakah kita benar-benar belajar dari pandemi.

    Jika negara terus mengabaikan, dan masyarakat terus melupakan, Long COVID akan menjadi luka kolektif yang tidak pernah sembuh.

    Saya menulis ini bukan untuk dikasihani. Tapi karena saya tahu masih banyak yang seperti saya, diam-diam menderita, tapi tak dianggap. Kami butuh didengar. Kami butuh diingat.

    Akhirnya, ini bukan lagi soal kesehatan. Ini soal solidaritas.

    Lalu apa yang bisa dilakukan?

    Untuk menghadapi Long COVID secara serius, beberapa langkah awal bisa dilakukan:

    Pemerintah daerah dan pusat perlu membentuk layanan rehabilitasi Long COVID di rumah sakit rujukan, bekerja sama dengan spesialis paru, neurologi, psikiatri, dan rehabilitasi medik. Selain itu menyediakan layanan booster vaksin untuk warga yang membutuhkan.Komunitas penyintas dan LSM bisa memperkuat peran advokasi dan pendampingan, terutama untuk kasus anak-anak dan penyintas rentan.Media massa perlu memberi ruang untuk cerita penyintas agar publik sadar bahwa penyakit ini belum selesai.Kita, sebagai individu bisa berkontribusi, misalnya dengan tetap memakai masker saat flu, rutin memeriksakan kesehatan pascainfeksi, dan berbagi informasi yang benar.

    Long COVID bukan aib. Ini bagian dari realitas pascapandemi yang harus kita hadapi bersama, dengan ilmu, dengan empati, dan tentu saja, dengan hadirnya kebijakan.

    Catatan Redaksi: Penulis merupakan anggota Covid Survivor Indonesia (CSI) dan jurnalis lepas

    Simak Video “Video Update Situasi Kasus Covid-19 di Indonesia”
    [Gambas:Video 20detik]

  • COVID-19 di Thailand Masih ‘Ngegas’, Picu 72 Ribu Orang Dirawat di RS

    COVID-19 di Thailand Masih ‘Ngegas’, Picu 72 Ribu Orang Dirawat di RS

    Jakarta

    Peningkatan kasus COVID-19 yang sangat tajam di Thailand memicu kekhawatiran masyarakat. Secara nasional, dilaporkan ada 76.161 kasus infeksi dan 40 kematian baru pada seminggu terakhir.

    Menurut Departemen Pengendalian Penyakit Thailand, data tersebut mencakup kasus dari periode 24 Mei hingga 14 Juni 2025. Kasus-kasus baru tersebut menjadikan total kumulatif infeksi sejak 1 Januari menjadi 476.584 kasus.

    Dari kasus-kasus tersebut, 72.166 dirawat inap di rumah sakit, sementara 3.995 dirawat jalan. Kematian terbaru tersebut menjadikan total jumlah kematian nasional untuk tahun ini menjadi 154 kasus.

    Dikutip dari Bangkok Post, ada lima provinsi di Thailand yang melaporkan kasus tertinggi dalam seminggu terakhir, yakni:

    Bangkok (17.945 kasus)Chon Buri (3.315)Nakhon Ratchasima (3.027)Chiang Mai (2.678)Rayong (1.775)

    Analisis dari Kelompok Usia

    Berdasarkan analisis kelompok usia, populasi lansia yang berusia 60 tahun ke atas tetap menjadi yang paling rentan dari COVID-19. Disebutkan, jumlah kasus COVID-19 pada lansia sebanyak 14.757.

    Kelompok usia yang paling terdampak berikutnya adalah 30-39 tahun sebanyak 14.561 kasus dan 20-29 tahun 13.889 kasus. Keduanya merupakan kelompok usia kerja yang sangat aktif dengan tingkat interaksi sosial yang tinggi.

    Grafik tren kasus mingguan dari DDC menunjukkan bahwa jumlah infeksi terus meningkat hingga minggu ke-24, yang menyoroti penularan berkelanjutan di seluruh negeri. Maka dari itu, Kementerian Kesehatan Thailand terus mengimbau masyarakat untuk mengikuti langkah-langkah pencegahan penyakit.

    Mulai dari memakai masker di tempat-tempat ramai, menjaga kebersihan tangan, dan menerima vaksin booster terutama bagi kelompok yang berisiko tinggi.

    Pada kesempatan berbeda, Dr Thira Woratanarat dari Fakultas Kedokteran Universitas Chulalongkorn mengatakan melalui laman Facebook-nya bahwa COVID-19 telah merenggut 116 nyawa selama empat minggu terakhir. Angka yang 29 kali lebih tinggi daripada influenza musiman, dan hampir empat kali lebih tinggi daripada kematian yang disebabkan oleh bentuk pneumonia lainnya.

    Peringatan Dr Thira menekankan bahwa COVID-19 tetap menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang serius. Ia juga menambahkan bahwa rasa puas diri dapat menyebabkan peningkatan lebih lanjut dalam jumlah kematian jika tindakan pencegahan diabaikan.

    Meningkatnya jumlah korban telah mengintensifkan seruan untuk kewaspadaan dan tindakan pencegahan publik yang baru, terutama karena Thailand terus melewati fase endemik COVID-19 dengan jumlah kasus yang terus bertambah.

    (sao/kna)