Produk: UUD 45

  • Prabowo akui nyaman di tengah-tengah PKB dan singgung dekat Gus Dur

    Prabowo akui nyaman di tengah-tengah PKB dan singgung dekat Gus Dur

    Jakarta (ANTARA) – Presiden Prabowo Subianto saat berpidato dalam acara Hari Lahir (Harlah) Ke-27 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengakui dirinya nyaman berada di tengah-tengah kader PKB yang juga merupakan Nahdliyin, dan Presiden juga menyinggung kedekatannya dengan Presiden Ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

    KH Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal dengan Gus Dur, merupakan pendiri PKB dan tokoh penting Nahdlatul Ulama (NU).

    “Saya nyaman di tengah-tengah PKB. Saya nyaman di tengah Nahdlatul Ulama (NU). Saya merasa deket dengan tokoh-tokoh NU dan PKB. Saya dulu merasa sangat deket dengan Gus Dur di saat-saat genting, di saat-saat krisis besar, bangsa Indonesia, NU selalu tampil sebagai penyelamat dan sebagai stabilisator,” kata Presiden Prabowo dalam pidatonya saat Harlah Ke-27 PKB di Jakarta, Rabu malam.

    Oleh karena itu, Prabowo melanjutkan Nahdlatul Ulama dan PKB selalu konsisten dengan sikapnya yang mengutamakan ajaran-ajaran Islam moderat, dan ajaran-ajaran Islam yang sejuk dan damai.

    “Islam yang bisa diterima dimana-mana, karena itu memang NU dan PKB selalu berada dimana-mana,” sambung Presiden.

    Oleh karena itu, Presiden pun mengucapkan terima kasih atas undangan yang diberikan kepada dirinya untuk menghadiri puncak peringatan Harlah Ke-27 PKB malam ini.

    Dalam acara puncak peringatan itu, Presiden juga memuji isi pidato yang disampaikan Wakil Presiden Ke-13 KH Ma’ruf Amin, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Syuro DPP PKB. Menurut Prabowo, isi pidato Ma’ruf Amin singkat, tetapi penuh dengan substansi. Bahkan, Prabowo melanjutkan banyak tokoh dan pakar ekonomi kerap melupakan pentingnya Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 45).

    Pasal 33 UUD 45 yang terdiri atas empat ayat mengatur prinsip ekonomi yang dianut oleh Indonesia, di antaranya berbunyi: ” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ayat lain yang diatur dalam Pasal 33 UUD 45: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.

    Dua ayat dalam Pasal 33 UUD 45 itu merupakan salah satu isu yang cukup sering diangkat oleh Presiden Prabowo dalam beberapa pidatonya.

    Dalam kesempatan yang sama, Presiden juga menyebut dirinya sengaja tetap hadir Harlah Ke-27 PKB, meskipun hari ini agenda kepresidenan cukup padat, dan telah berlangsung sejak pagi hari. Presiden hari ini memimpin upacara pelantikan 2.000 perwira remaja TNI dan Polri di Istana Merdeka pada pagi hari, kemudian bertemu dengan Pemimpin Utama Majalah Forbes, Steve Forbes, lanjut rapat bersama pimpinan MPR RI, dan meluncurkan logo dan tema HUT Ke-80 RI di Istana Negara pada sore hari. Harlah Ke-27 PKB merupakan agenda terakhir yang dihadiri oleh Presiden Prabowo.

    “PKB, Nahdlatul Ulama di belakang saya, petani di sini, buruh di situ, kok gentar kita,” kata Presiden Prabowo dalam pidatonya itu.

    Pewarta: Genta Tenri Mawangi
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Presiden Prabowo: Penggilingan padi dapat disita jika tak mau tertib

    Presiden Prabowo: Penggilingan padi dapat disita jika tak mau tertib

    Jakarta (ANTARA) – Presiden Prabowo Subianto kembali menegaskan negara dapat menyita penggilingan padi yang tidak tertib karena penggilingan padi merupakan bagian dari produksi pangan yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga tata kelolanya harus mengikuti ketentuan dan aturan perundang-undangan.

    Prabowo melanjutkan aturan yang menjadi acuan negara untuk menyita penggilingan padi-penggilingan padi yang tak ikut ketentuan itu ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3).

    “Waktu saya dapat laporan ada penggiling-penggiling padi yang nakal-nakal, yang aneh penggilingan padi yang besar yang paling nakal. Oh begitu, lu mentang-mentang besar lu kira Pemerintah Indonesia nggak punya gigi? Aku buka Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” kata Presiden Prabowo saat acara peluncuran Koperasi Desa/Koperasi Kelurahan Merah Putih di Desa Bentangan, Wonosari, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Senin.

    Presiden menyebut dirinya pun telah berkonsultasi langsung dengan Ketua Mahkamah Agung Sunarto mengenai penafsiran Pasal 33 UUD 1945. Hasil konsultasi itu, Prabowo menyebut tak ada yang perlu ditafsirkan, karena isinya jelas mengatur cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

    “Berarti, penggiling padi adalah cabang produksi penting bagi negara, dan yang menguasai hidup orang banyak. Kalau penggiling padi tidak mau tertib, tidak mau patuh kepada kepentingan negara, ya saya gunakan sumber hukum ini,” ujar Presiden.

    Jika nantinya ditemukan ada yang melanggar dan tidak mau ikut aturan, Presiden pun menegaskan negara tak ragu menyita penggilingan padi itu dan menyerahkan operasionalnya kepada koperasi.

    “Saya tidak salah, saya benar, karena mereka (penggilingan padi yang nakal, red.) mencari keuntungan yang luar biasa. Saya dapat laporan satu penggiling padi untung setiap panen Rp2 triliun per bulan, Rp1 triliun (sampai dengan) Rp2 triliun per bulan. Sudah kita tertibkan, begitu kita keluarkan niat ini, harga langsung naik lagi, mereka langsung bali Rp6.500. Oke, berhasil,” kata Presiden Prabowo.

    Pemerintah menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp6.500 per kilogram, yang artinya pelaku usaha penggilingan padi wajib membeli gabah kering panen dari petani minimal sebesar Rp6.500/kg.

    Pewarta: Genta Tenri Mawangi
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Prabowo bercerita alasannya banyak ke luar negeri kepada Jokowi

    Prabowo bercerita alasannya banyak ke luar negeri kepada Jokowi

    Jakarta (ANTARA) – Presiden Prabowo Subianto menceritakan alasannya banyak melawat ke luar negeri kepada pendahulunya, Presiden Ke-7 Joko Widodo, saat keduanya bertemu selama kurang lebih satu jam di kediaman pribadi Jokowi di Surakarta, Jawa Tengah, Minggu.

    Prabowo menjelaskan dirinya sengaja mendatangi langsung pimpinan negara-negara sahabat Indonesia itu, karena dirinya ingin membangun kepercayaan (trust) mereka kepada Indonesia, yang saat ini dipimpin oleh pemerintahan yang baru.

    “Kadang-kadang memang capek kita banyak keliling di luar negeri, tetapi hal-hal itu kadang-kadang harus ada pendekatan langsung, pendekatan personal, pribadi antara pemimpin-pemimpin sehingga mereka juga paham, dan mereka ada trust, ada kepercayaan, akhirnya lancar,” kata Presiden Prabowo menjawab pertanyaan wartawan di pelataran kediaman Jokowi, selepas keduanya bertemu.

    Presiden Prabowo juga menyampaikan kepada pendahulunya itu dirinya melanjutkan tradisi non-blok yang merupakan kebijakan politik luar negeri Indonesia sejak Republik sebagaimana amanat dari konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45).

    “Saya meneruskan tradisi Indonesia sebagai negara non-blok, non-aligned. Kita terkenal bahwa kita tidak mau ikut blok mana pun. Kita ikut di BRICS dari kepentingan ekonomi kita, tetapi kita ikut juga, kita daftar OECD, yang itu adalah kumpulan negara-negara maju yang dipimpin oleh Barat. Kita juga mendaftar di CPTPP juga (yang) dipimpin Jepang, dan sebagainya. Kita ikut juga di IPEF, Indo-Pacific Economic Forum, yang dipimpin juga oleh negara-negara Barat,” kata Presiden Prabowo.

    Dalam pertemuannya dengan Jokowi, Presiden Prabowo kemudian menyampaikan Indonesia sangat diterima oleh banyak negara mitra. Bahkan, Indonesia pun sering diminta untuk berperan lebih banyak untuk andil dalam beberapa permasalahan dunia.

    “Jadi, kita benar-benar diterima oleh semua pihak bahwa Indonesia netral, Indonesia menghormati semua negara, Indonesia ingin bersahabat dengan semua negara. Indonesia tidak mau campur tangan dengan urusan dalam negeri negara mana pun, dan ini kita diterima. Ya, capeknya diundang-undang dan diminta,” sambung Presiden Prabowo.

    Sejak resmi menjabat sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo telah melawat ke sejumlah negara untuk bertemu langsung dengan pemimpin negara dan melaksanakan kunjungan kenegaraan, ataupun untuk menghadiri konferensi tingkat tinggi (KTT) dari organisasi tingkat dunia yang diikuti oleh Indonesia.

    Beberapa negara yang telah dikunjungi Presiden Prabowo dalam periode selama kurang lebih 9 bulan, di antaranya Belarusia, Prancis, Belgia, Brazil, Arab Saudi, Rusia, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Jordania, Turki, Qatar, Uni Emirat Arab, Mesir, India, Inggris, Peru, Amerika Serikat, dan China.

    Presiden Prabowo bersilaturahmi menyambangi kediaman Jokowi sekitar pukul 18.00 WIB, dan keduanya bertemu selama kurang lebih satu jam. Kedatangan Presiden Prabowo disambut oleh Jokowi dan Iriana, istrinya Jokowi, tepat di depan rumah. Dalam pertemuan itu, Presiden Prabowo didampingi oleh Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, dan ada pula Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

    Di kediaman Jokowi, ada juga jajaran Kabinet Merah Putih yang mendampingi Presiden Prabowo, yaitu Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri Luar Negeri Sugiono, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Angga Raka Prabowo, dan Kepala Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus Aris Marsudiyanto.

    Selepas bersilaturahmi bertemu Jokowi di kediamannya, Presiden Prabowo lanjut menghadiri penutupan Kongres PSI di Surakarta.

    Pewarta: Genta Tenri Mawangi
    Editor: Azhari
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kata MK Rp 1.000 Jadi Rp 1 Cuma Bisa Dilakukan Pembentuk UU

    Kata MK Rp 1.000 Jadi Rp 1 Cuma Bisa Dilakukan Pembentuk UU

    Jakarta

    Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan redenominasi atau penyederhanaan rupiah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Apa alasannya?

    Putusan perkara nomor 94/PUU-XXIII/2025 itu dibacakan di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025). Pemohon, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, menggugat Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

    “Menyatakan Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5223) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa nilai nominal harus disesuaikan melalui konversi nominal Rupiah dengan rasio Rp 1000 (Seribu Rupiah) menjadi Rp 1 (Satu Rupiah), dan Rp 100 (Seratus rupiah) menjadi 10 sen, dan juga berlaku secara mutatis mutandis terhadap seluruh nominal Rupiah lainnya,” demikian salah satu poin dalam petitum pemohon.

    Pertimbangan MK

    Dalam pertimbangannya, MK mengatakan redenominasi merupakan domain kebijakan moneter. MK menyatakan kebijakan itu memerlukan banyak pertimbangan, mulai stabilitas fiskal, kesiapan infrastruktur pembayaran, hingga literasi keuangan bagi masyarakat.

    “Penting bagi Mahkamah menegaskan kembali mengenai kebijakan redenominasi, yaitu penyederhanaan digit nominal mata uang tanpa mengurangi nilai riilnya, merupakan domain kebijakan moneter yang sepenuhnya berada dalam ruang lingkup pengaturan undang-undang. Kebijakan tersebut memerlukan pertimbangan yang komprehensif dari aspek makroekonomi, stabilitas fiskal dan moneter, kesiapan infrastruktur sistem pembayaran, hingga literasi keuangan masyarakat,” ujar MK.

    Simak selengkapnya di halaman selanjutnya

    MK menyatakan pasal yang digugat itu berisi kewajiban mencantumkan pecahan nominal dalam angka dan huruf. Menurut MK, pasal tersebut tak mengatur soal nilai mata uang.

    “Dalam konteks ini, keberlakuan Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU 7/2011 yang hanya mengatur kewajiban pencantuman pecahan nominal dalam angka dan huruf, tidak dapat semata-mata ditafsirkan sebagai penghalang atau penyebab langsung belum dilaksanakannya redenominasi,” ujar MK.

    MK kemudian menyatakan redenominasi harus dilakukan dengan undang-undang. Artinya, menurut MK, upaya menyederhanakan digit mata uang hanya bisa dilakukan oleh pembentuk undang-undang.

    “Dengan demikian, redenominasi yang merupakan penyederhanaan nominal mata uang tanpa mengubah nilai tukar atau daya beli, harus dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Untuk maksud tersebut, Pemohon seharusnya memperjuangkan melalui pembentuk undang-undang. Sebab, kebijakan redenominasi mata uang rupiah tidak dapat dilakukan hanya dengan mengubah atau memaknai norma sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon,” ujar MK.

    “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” sambung MK.

    Sebelumnya, Zico juga telah mengajukan gugatan serupa, yakni meminta MK meredenominasi Rp 1.000 menjadi Rp 1. Namun gugatan nomor 23/PUU-XXIII/2025 itu dinyatakan tidak dapat diterima.

    Halaman 2 dari 2

    (isa/isa)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Respons Pemisahan Pemilu, Ini Kata Sekjen Gerindra Ahmad Muzani

    Respons Pemisahan Pemilu, Ini Kata Sekjen Gerindra Ahmad Muzani

    Makassar, Beritasatu.com – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra, Ahmad Muzani merespons keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu dan pilkada. 

    Seusai Temu Kader Gerindra Sulawesi Selatan di Kota Makassar, Jumat (4/7/2025), Muzani mengatakan, pemisahan pelaksanaan pemilu dan pilkada bukanlah wacana baru dan sudah pernah dibahas di DPR. Namun, tidak terwujud karena semangat negara kesatuan. 

    “Pemilihan ini tidak menjadi opsi karena teman-teman di DPR berpikir kalau pemilu ini dipisah maka sebenarnya itu lebih sesuai dengan semangat negara federal,” ujarnya.

    Menurutnya, pelaksanaan pemilu dan pilkada secara serentak berpatokan pada Pasal 22 e Undang-Undang Dasar 1945 sehingga dirinya khawatir putusan MK soal pemisahan pelaksanan pemilu dan pilkada akan membuat masalah baru.

    “Pilkada dan pemilihan DPRD baru akan dilaksanakan 2,5 tahun setelah selesainya pemilihan presiden dan DPR. Itu artinya ada pemunduran masa (jabatan) 2,5 tahun. Pertanyaannya apakah keputusan ini tidak berpotensi justru bertentangan dengan UUD 45 yang mengatakan bahwa pemilihan itu dilaksanakan sekali dalam lima tahun,” tuturnya. 

    Ia mengaku sudah bertemu dengan Mendagri Tito Karnavian dan Ketua KPU Moch Afifuddin untuk membahas putusan MK tersebut dan pihaknya masih membutuhkan waktu untuk melakukan kajian atas putusan MK.

    “Persoalannya bukan menguntungkan atau tidak, karena Mahkamah Konstitusi itu diberi kewenangan untuk menguji setiap undang-undang. Pandangan kami, keputusan Mahkamah Konstitusi ini justru berpotensi menimbulkan problem baru. Kita memerlukan waktu untuk melakukan kajian, pendalaman,” tandasnya.

  • MK Kabulkan Gugatan soal Larangan Lembaga Pemantau Pemilihan Lakukan Kegiatan Lain

    MK Kabulkan Gugatan soal Larangan Lembaga Pemantau Pemilihan Lakukan Kegiatan Lain

    MK Kabulkan Gugatan soal Larangan Lembaga Pemantau Pemilihan Lakukan Kegiatan Lain
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (MK) mengabulkan gugatan soal
    larangan lembaga pemantau
    pemilu melakukan kegiatan lain.
    Hal ini disampaikan dalam Sidang Pengucapan Putusan Gugatan Nomor 91/PUU-XXIII/2025 yang dilayangkan oleh Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (DPD-LPRI) Kalimantan Selatan.
    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Suhartoyo, dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (3/7/2025).
    Kegiatan lain yang dimaksud adalah yang tidak berkaitan dengan pemantauan pemilihan dalam Pasal 128 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (
    UU Pilkada
    ).
    Suhartoyo menyatakan, Pasal 128 huruf k UU Pilkada itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    “Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK.
    Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, MK menilai frasa “kegiatan lain” dalam Pasal 128 huruf k UU 1/2015 merupakan bentuk frasa terbuka (open-ended clause).
    Dengan demikian, frasa ini tidak mendefinisikan secara tegas apa saja yang termasuk atau dikecualikan sebagai kegiatan yang “bukan” bagian dari pemantauan pemilihan.
    Oleh karenanya, frasa ini memberikan keleluasaan bagi aparat penegak hukum untuk menafsirkan segala bentuk kegiatan lembaga pemantau sebagai “kegiatan lain” yang dilarang.
    Menurut dia, rumusan norma yang bersifat terbuka dan menimbulkan multitafsir semacam itu cenderung merupakan pasal “keranjang sampah”, “mulur mungkret” atau “pasal karet” (catch-all provision) yang memiliki dimensi hukum yang berbeda.
    “Padahal, dalam hukum pidana dan hukum administrasi yang berkonsekuensi terhadap sanksi, rumusan norma larangan dibatasi oleh prinsip-prinsip sebagaimana telah dikemukakan di atas, agar dapat mewujudkan kepastian hukum yang adil,” ucap Arief.
    Selain itu, Arief menyebutkan tidak adanya penjelasan mengenai makna frasa “kegiatan lain” dalam Pasal 128 huruf k.
    Pada bagian keterangan dalam UU Pilkada hanya dijelaskan dengan keterangan “cukup jelas”.
    Hal ini pun dinilai menimbulkan
    ketidakpastian hukum
    .
    MK pun menilai hal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis.
    Dalam konteks pemilihan yang demokratis, MK menekankan bahwa lembaga pemantau seharusnya menjadi motor penggerak demokrasi yang sehat, terutama dalam pemilihan dengan satu pasangan calon.
    Dia menekankan, lembaga pemantau perlu menjalankan tugasnya secara jujur, adil, dan netral, serta tidak terlibat dalam kampanye mendukung atau menolak calon.
    Selain itu, MK menegaskan bahwa independensi pemantau pemilu harus bebas dari tekanan pihak manapun, termasuk dari penyelenggara pemilu yang memiliki kewenangan mencabut akreditasi.
    Maka itu, MK menyatakan dalil Pemohon bahwa Pasal 128 huruf k UU 1/2015 telah melanggar hak konstitusional atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum.
    “Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, norma Pasal 128 huruf k UU 1/2015 telah ternyata menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Arief.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Yusril Ungkap Potensi Pelanggaran Konstitusi jika Putusan MK Pemisahan Pemilu Diterapkan
                        Nasional

    7 Yusril Ungkap Potensi Pelanggaran Konstitusi jika Putusan MK Pemisahan Pemilu Diterapkan Nasional

    Yusril Ungkap Potensi Pelanggaran Konstitusi jika Putusan MK Pemisahan Pemilu Diterapkan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas)
    Yusril Ihza Mahendra
    mengatakan, ada potensi
    pelanggaran konstitusi
    yang bisa terjadi jika
    putusan Mahkamah Konstitusi
    yang memisahkan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan lokal diterapkan.
    Salah satunya adalah jeda waktu 2-2,5 tahun antara pemilu nasional dengan pemilu lokal.
    Jeda ini akan memberikan makna pemilihan DPRD tidak lagi dipilih lima tahun sekali dan tidak sesuai dengan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    “Kalau kita baca Pasal 22E UUD 45 kan tegas dikatakan pemilu dilaksanakan sekali 5 tahun, enggak bisa ada tafsir lain itu, dan pemilu itu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden, dan wakil presiden,” kata Yusril, saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).
    Oleh sebab itu, dia mempertanyakan bagaimana bisa pemilihan lokal ditunda selama 2-2,5 tahun, sedangkan Pasal 22E
    UUD 1945
    tegas mengatakan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
    Adapun pasal yang disebutkan Yusril terdapat pada Pasal 22E Ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut:
    (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
    (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
    Atas aturan konstitusi tersebut, Yusril mengatakan perlu ada pemikiran serius dari pembentuk undang-undang untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
    “Jadi, mesti ada satu pemikiran yang agak serius dari segi ketatanegaraan mengenai persoalan ini,” kata dia.
    Selain itu, Yusril juga mempertanyakan bagaimana langkah yang tepat untuk menyikapi persoalan yang timbul akibat
    putusan MK
    , seperti masa jabatan DPRD.
    Hal ini menjadi masalah baru yang masih belum ada solusi dan juga berpotensi melanggar undang-undang.
    “Apakah bisa anggota DPRD itu diperpanjang? Apakah ini tidak
    against
    (melawan) konstitusi sendiri, karena memang anggota DPRD itu harus dipilih oleh rakyat? Atas dasar kuasa apa kita memperpanjang mereka itu untuk 2-2,5 tahun? Apakah dibentuk DPRD sementara atau bagaimana? Itu juga masalah-masalah yang masih perlu kita diskusikan supaya kita tidak nabrak konstitusi,” ucap dia.
    Putusan MK
    terkait
    pemisahan pemilu
    nasional dan daerah itu tertuang dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Keputusan tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal harus dilakukan secara terpisah mulai tahun 2029.
    Putusan yang dibacakan MK pada Kamis (26/6/2025) tersebut menyatakan bahwa keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
    MK juga menyatakan bahwa pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pengawasan ke Polri Lemah, MK Diminta Bubarkan Kompolnas

    Pengawasan ke Polri Lemah, MK Diminta Bubarkan Kompolnas

    Bisnis.com, Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk membubarkan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang tidak pernah menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengawas Polri.

    Pihak Pemohon, Syamsul Jahidin menyatakan pihaknya telah mengajukan uji materi ke MK untuk menguji Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

    Alasannya, kata Syamsul, Kompolnas saat ini dinilai hanya menjadi beban negara dan juru bicara sekaligus kepanjangan tangan dari Polri. Padahal, Syamsul mengemukakan bahwa tugas Kompolnas seharusnya adalah menjadi pengawas dan mengontrol semua tindakan Polri yang dianggap melanggar hukum.

    “Keberadaan Kompolnas hanya menambah beban negara karena hanya menjadi juru bicara dan/atau perpanjangan tangan Polri. Akibatnya, menimbulkan ketidakpastian hukum yang berimplikasi lemahnya kontrol hukum terhadap Polri,” tuturnya di Jakarta, Rabu (2/7/2025).

    Dia juga menjelaskan bahwa Pasal 37 ayat (2) pada UU Polri yang kini tengah diuji di MK terkait pembentukan Kompolnas dinilai tidak logis. Pasal tersebut, kata Syamsul, menempatkan Kompolnas sebagai lembaga yang terus menghamburkan uang negara dan tidak pernah berhasil menjadi lembaga pengawas Polri.

    “Lemahnya pengawasan dari Kompolnas ini berpotensi memungkinkan aparat bertindak represif terhadap seseorang atau kelompok berdasarkan dugaan atau kecurigaan subjektif, tanpa didasarkan pembuktian yang objektif. Hal ini bertentangan dengan prinsip presumption of innocence yang dijamin UUD 1945 dan penghormatan instrumen hak asasi manusia,” katanya.

    Maka dari itu, Syamsul Jahidin dan Ernawati mengajukan uji materi ke MK dan meminta MK menyatakan Pasal 37 ayat (2) UU Polri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

    “Kami juga meminta Mahkamah Konstitusi memerintahkan Presiden Republik Indonesia untuk membubarkan Kompolnas seketika sejak dibacakan dalam putusan,” ujarnya.

  • MK Kabulkan Gugatan soal Larangan Lembaga Pemantau Pemilihan Lakukan Kegiatan Lain

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (
    MK
    ) kembali disorot
    DPR
    setelah memutuskan untuk memisah pemilihan umum (
    pemilu
    ) nasional dan daerah mulai 2029.
    Dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan pemilihan anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan
    Pilkada
    .
    Putusan ini disorot DPR karena MK terkesan melampaui kewenangannya sebagai penjaga konstitusi atau
    guardian of constitution
    .
    Pasalnya, pemisahan pemilu nasional dan daerah akan berdampak terhadap sejumlah undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
    Pemilu
    , Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
    Namun sebelum putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK sudah beberapa kali melakukan koreksi terhadap undang-undang yang dibentuk dan disahkan oleh DPR.
    Banyak dari produk politik DPR yang berkaitan dengan sistem kepemiluan di Indonesia “direvisi” oleh MK. Apa saja koreksi MK terhadap produk politik buatan DPR terkait kepemiluan? Berikut daftarnya
    Pada Senin (16/10/2023), MK mengabulkan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam
    UU Pemilu
    .
    Pemohon gugatan adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.
    Dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
    Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
    Atas putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
    “Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman saat itu.
    Diketahui, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi gerbang masuk Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftar sebagai cawapres dari Prabowo subianto pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
    MK kemudian mengabulkan sebagian gugatan ambang batas parlemen atau
    parliamentary threshold
    (PT) sebesar 4 persen yang dimuat Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
    Perkara yang terdaftar dengan Nomor 116/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Ketua Pengurus Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
    Dalam putusannya, MK menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu atau ambang batas parlemen 4 persen tetap konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk pemilihan anggota DPR pada 2024.
    Selanjutnya,, MK menyatakan aturan itu konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilihan DPR pada 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan berpedoman pada beberapa syarat yang sudah ditentukan.
    Dengan kata lain, MK menyebut ambang batas 4 persen harus diubah sebelum Pemilu serentak tahun 2029.
    “Dalam pokok permohonan; satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2023).
    Setelah itu, mengatur ulang besaran ambang batas pencalonan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).
    MK lewat putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyatakan inkonstitusional Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 yang mengatur hanya partai politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bisa mencalonkan kepala daerah.
    Dengan adanya putusan itu, partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu yang memiliki suara sah bisa mengajukan calon kepala daerah tanpa harus mendapatkan kursi di DPRD.
    Kemudian, ambang batas pencalonan kepala daerah oleh parpol atau gabungan parpol tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara hasil pemilihan anggota DPRD atau 20 persen kursi di DPRD.
    Setelah mengubah parliamentary threshold sebesar 4 persen, MK juga menghapus ambang batas pencalonan presiden atau
    presidential threshold
    sebesar 20 persen.
    Penghapusan presidential threshold ini diputuskan dalam sidang perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis (2/1/2025).
    Diketahui, UU Pemilu mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh parpol atau gabungan parpol adalah paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional.
    MK menilai,
    presidential threshold
    sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 UU Pemilu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, serta hak politik dan kedaulatan rakyat.
    “Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
    Dalam batas penalaran yang wajar, MK memandang
    presidential threshold
    dalam Pasal 222 UU Pemilu menutup dan menghilangkan hak konstitusional parpol untuk mengusulkan capres-cawapres.
    Terutama, partai politik yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya.
    MK berpandangan, penerapan angka ambang batas minimal persentase tersebut terbukti tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
    Di sisi lain, penetapan besaran atau persentasenya dinilai tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
    Terbaru, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menilai reaksi partai politik yang resisten dengan putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal disebabkan oleh kenyamanan yang terganggu.
    Menurut Bivitri, pengurus partai politik sudah terlanjur nyaman dengan sistem pemilu yang berlaku selama ini sehingga putusan MK tersebut membuat mereka protes.
    “Tentu saja Nasdem mungkin, maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK,” ucap Bivitri di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
    Bivitri juga menepis anggapan yang dikemukakan Partai Nasdem bahwa putusan MK tersebut inkonstitusional.
    Menurut dia, apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sebagai penjaga konstitusi negara.
    Ia mengatakan, bukti bahwa putusan MK masih dalam koridor tugas mereka adalah adanya permintaan rekayasa konstitusional kepada pembentuk undang-undang.
    MK disebut masih menyerahkan kewenangan pemerintah dan DPR untuk membentuk aturan yang sesuai dengan penafsiran konstitusi.
    “Karena lihat saja, mereka (MK) minta tolong pembentuk undang-undang kan. Bikin dong rekayasa konstitusionalnya. Karena mereka memang tidak ada intensi untuk bikin undang-undang, mereka benar-benar hanya menafsirkan pasal yang diminta,” kata Bivitri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD “45 karena Pisahkan Pemilu

    Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD “45 karena Pisahkan Pemilu

    Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD 45 karena Pisahkan Pemilu
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai
    Nasdem
    menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) terkait
    pemisahan pemilu
    adalah melanggar konstitusi serta mencuri kedaulatan rakyat. Begini pernyataan lengkap
    NasDem
    .
    Pernyataan sikap partai ini disampaikan di Nasdem Tower, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025) malam.
    Pernyataan sikap ini disampaikan oleh Anggota Majelis Tinggi
    Partai Nasdem
    Lestari Moerdijat, yang disaksikan oleh sejumlah kader Nasdem.
    Adapun kader-kader yang hadir meliputi Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
    Ada pula Ketua Komisi II DPR RI yang merupakan kader Nasdem, Rifqinizamy Karyasuda.
    DPP Partai Nasdem menilai putusan tersebut
    inkonstitusional
    sehingga mencuri kedaulatan masyarakat.

    Nasdem pun beranggapan bahwa
    putusan MK
    seolah mengambil tanah legislasi.
    “Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyangkut pemisahan skema pemilihan umum, Dewan Pimpinan Pusat
    Partai NasDem
    menyampaikan bahwa terdapat problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara,” kata Lestari memulai pernyataan sikap.
    Berikut adalah 10 poin yang disampaikan Lestari Moerdijat mewakili DPP Partai NasDem:
    1. Kewenangan MK dalam UUD NRI 1945 Pasal 24C Ayat (1) menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
    2. Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock konstitutional. Sebab, apabila putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi. Pasal 22E UUD NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali [ayat (1)]. Kemudian, pemilu (sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut) diselenggarakan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD [ayat (2)]. Dengan demikian, ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional.
    3. MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah). MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi.
    4. MK melanggar prinsip kepastian hukum, yakni prinsip hukum yang tidak mudah berubah, bahwa putusan hakim harus konsisten. Dari sini jelas menegaskan pentingnya kepastian hukum dan stabilitas dalam sistem hukum, dan putusan hakim yang tidak konsisten dan berubah-ubah dapat menyebabkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum; ini sebagai moralitas internal dari sistem hukum.
    5. Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional. Hal ini bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali. Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022, sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda.
    6. MK, dalam kapasitas sebagai guardian of constitution, tidak diberikan kewenangan untuk mengubah norma dalam UUD, sehingga putusan MK terkait pergeseran pemilihan kepala daerah dan DPRD melampaui masa pemilihan 5 tahun adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 22B UUD NRI 1945.
    7. Bahwa perpanjangan masa jabatan anggota DPRD setelah selesai periode 5 tahun, akan menempatkan para anggota DPRD tersebut bertugas dan menjabat tanpa landasan demokratis, padahal jabatan anggota DPRD adalah jabatan politis yang hanya dapat dijalankan berdasarkan hasil pemilu sebagaimana Pasal 22E UUD NRI 1945. Artinya, berdasarkan konstitusi, tidak ada jalan lain selain pemilu yang dapat memberikan legitimasi seseorang menjadi anggota DPRD. Menjalankan tugas perwakilan rakyat tanpa mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu adalah inkonstitusional.
    8. Perubahan sistem pemilu berdasarkan putusan MK yang mengambil posisi positive legislator ini harus dirunut sejak putusan MK yang memerintahkan pilpres dan pileg serentak, yang pertimbangannya bukan didasarkan tafsir konstitusional yang berdasarkan risalah pembahasan terkait pelaksanaan pemilu dengan 5 kotak, termasuk kotak DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Namun, dalam putusan MK kali ini, MK menegasikan pertimbangan pemilu 5 kotak yang didasarkan pada tafsir konstitusionalitas MK sendiri, dengan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah. Oleh karena itu, krisis konstitusional ini harus dicarikan jalan keluarnya agar semua kembali kepada ketaatan konstitusi, di mana konstitusi memerintahkan pemilu (pileg dan pilpres) dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, tanpa ada perintah sistem pemilu seperti apa yang harus dijalankan, sehingga pilihan sistem penyelenggaraan pemilu harus kembali menjadi open legal policy sesuai yang dimaksudkan oleh konstitusi itu sendiri.
    9. MK tunduk pada batas kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membuat putusan mengubah norma konstitusi UUD NRI 1945. Dengan keputusan ini, MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat.
    10. Partai NasDem mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma Konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.