Produk: UUD 45

  • MK Putuskan Klaim Asuransi Tak Bisa Dibatalkan Secara Sepihak, Apa Alasannya?

    MK Putuskan Klaim Asuransi Tak Bisa Dibatalkan Secara Sepihak, Apa Alasannya?

    MK Putuskan Klaim Asuransi Tak Bisa Dibatalkan Secara Sepihak, Apa Alasannya?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –

    Mahkamah Konstitusi
    (MK) menyatakan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) terkait pembatalan sepihak klaim asuransi oleh perusahaan asuransi atau pihak penanggung.
    Hal ini tertuang dalam putusan perkara nomor 83/PUU-XXII/2024 yang menyebut Pasal 251 KUHD bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
    “Sepanjang tidak dimaknai, termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung berdasarkan putusan pengadilan,” tulis putusan MK, dikutip pada Rabu (8/1/2025).
    Dalam pertimbangan hukumnya, MK menilai bahwa norma Pasal 251 KUHD inkonstitusional bersyarat karena berpotensi menimbulkan adanya tafsir yang beragam.
    Terutama ketika dikaitkan dengan syarat batalnya perjanjian asuransi yang terdapat persoalan yang berkenaan dengan adanya unsur yang disembunyikan oleh tertanggung, sekalipun dengan iktikad baik.
    Hal ini dikarenakan Pasal 251 KUHD tidak secara tegas mengatur mekanisme syarat batal atau cara pembatalan dilakukan jika terdapat hal-hal yang disembunyikan dalam membuat perjanjian.
    “Oleh karena itu, tampak dengan nyata tidak terdapatnya penegasan berkenaan dengan tata cara pembatalan akibat adanya hal-hal yang keliru atau disembunyikan dalam pemberitahuan oleh pihak tertanggung berkaitan dengan perjanjian yang dibuat oleh penanggung,” tulis putusan MK.
    Selain itu, MK juga beralasan bahwa norma Pasal 251 KUHD merupakan produk hukum pemerintah kolonial Belanda yang telah tertinggal, sehingga tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum saat ini.
    Mahkamah memandang bahwa norma ketentuan tersebut tidak lagi relevan dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
    “Norma Pasal 251 KUHD merupakan produk hukum pemerintah kolonial Belanda yang telah tertinggal, sehingga tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum saat ini,” tulis putusan MK.
    Mahkamah melalui putusan ini mengedepankan pemberian dan/atau pemberlakuan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam konteks perjanjian asuransi.
    Artinya, Mahkamah tidak menghendaki pihak penanggung dalam suatu perjanjian asuransi untuk menjadikan norma Pasal 251 KUHD sebagai instrumen untuk berlindung dari kewajiban tertanggung.
    Terlebih, perjanjian asuransi memiliki sifat khusus karena masih didasarkan pada keadaan/peristiwa yang belum pasti terjadi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR sebut putusan “Parliamentary Treshold” juga jadi bahan revisi UU

    DPR sebut putusan “Parliamentary Treshold” juga jadi bahan revisi UU

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan putusan MK soal ambang batas parlemen atau parliamentary treshold juga akan menjadi bahan pembahasan ketika merevisi undang-undang (UU) atau penyusunan undang-undang sapu jagat (Omnibus Law) tentang politik.

    Sejauh ini, dia mengatakan bahwa DPR belum memutuskan bahwa poin-poin dari putusan MK itu, baik presidential treshold maupun parliamentary treshold, akan dibahas menjadi UU atau Omnibus Law karena menunggu masa reses selesai pada 15 Januari. Namun, putusan MK itu bersifat final dan mengikat yang wajib ditaati.

    “Nah bahwa itu kemudian akan dimasukkan dalam revisi undang-undang atau kemudian ada undang-undang yang di-omnibus-kan itu nanti belum kita putuskan,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

    Menurut dia, DPR akan melakukan kajian terkait putusan MK terhadap sistem politik tersebut karena MK pun membuka ruang untuk DPR menyusun norma baru. Kajian itu pun, kata dia, akan membahas agar produk undang-undang tak menyalahi aturan yang ada.

    “Dan juga ada keinginan MK juga bahwa jangan sampai calon presiden terlalu banyak atau juga terlalu sedikit,” kata dia.

    Pada Kamis (2/1), MK memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Adapun pasal yang dihapus itu berisi tentang syarat pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang harus didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 20 persen kursi di DPR RI, atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada Pemilu Legislatif sebelumnya.

    Pada 29 Februari 2024, MK juga telah mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem untuk menghapus ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar empat persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

    MK menilai kebijakan ambang batas parlemen telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika calon yang dipilih mendapatkan suara lebih banyak, namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

  • DPR Segera Sikapi Putusan MK yang Hapus Ambang Batas Capres

    DPR Segera Sikapi Putusan MK yang Hapus Ambang Batas Capres

    Jakarta

    Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan Presiden atau presidential threshold (PT) 20%. Dasco menegaskan DPR segera melakukan kajian-kajian.

    “Ya jadi kita sama-sama sudah tahu bahwa MK sudah membuat keputusan tentang ambang batas. Tentunya akan disikapi oleh DPR dengan kemudian nanti melakukan kajian-kajian,” kata Dasco di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (7/1/2025).

    Dasco mengungkit keinginan MK agar capres tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit. Karenanya, DPR bakal melakukan kajian atas putusan tersebut.

    “Dan kita sama-sama tahu bahwa MK juga membuka ruang. Dan juga ada keinginan MK juga bahwa jangan sampai calon presiden terlalu banyak atau juga terlalu sedikit. Nah sehingga kita akan coba kaji dengan teman-teman di parlemen,” tuturnya.

    Dasco menegaskan, putusan MK itu harus ditaati karena bersifat final dan mengikat. DPR akan menyikapinya setelah selesai masa reses.

    “Nah bahwa itu kemudian akan dimasukkan dalam revisi undang-undang atau kemudian ada undang-undang yang di Omnibuskan itu nanti belum kita putuskan,” kata dia.

    MK sebelumnya telah membacakan putusan perkara nomor 62/PUU-XXI/2023 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1). MK mengabulkan permohonan yang pada intinya menghapus ambang batas pencalonan presiden.

    “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo.

    (ial/gbr)

  • Putusan MK 62/2024 perlu dikawal dengan revisi UU kepemiluan

    Putusan MK 62/2024 perlu dikawal dengan revisi UU kepemiluan

    Sumber foto: Antara/elshinta.com

    Pakar: Putusan MK 62/2024 perlu dikawal dengan revisi UU kepemiluan
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 07 Januari 2025 – 00:06 WIB

    Elshinta.com –

    Pakar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Caroline Paskarina memandang perlu mengawal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang mengatur penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dengan merevisi undang-undang kepemiluan.

    “Tentunya masih harus dikawal dengan revisi UU kepemiluan sehingga pembenahan secara sistemis bisa dilakukan,” kata Caroline saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.

    Menurut dia, pengawalan tersebut perlu karena putusan MK tersebut dinilai sebagai upaya untuk memperbaiki sistem kepemiluan, terutama yang berkaitan dengan pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Caroline berharap putusan MK tersebut dapat memperluas ruang kompetisi antarpartai politik sehingga figur-figur potensial dengan kinerja dan track record (rekam jejak) baik bisa punya peluang lebih besar untuk dicalonkan oleh partai politik.

    Selain itu, kata dia, partai politik juga bisa memanfaatkan putusan MK tersebut untuk membenahi mekanisme rekrutmen dan kandidasi.

    Sebelumnya, Kamis (2/1), MK memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

    Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

    Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

    Sumber : Antara

  • Penghapusan ambang batas dapat tingkatkan partisipasi politik

    Penghapusan ambang batas dapat tingkatkan partisipasi politik

    Sumber foto: Antara/elshinta.com

    Pakar: Penghapusan ambang batas dapat tingkatkan partisipasi politik
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 06 Januari 2025 – 19:38 WIB

    Elshinta.com – Pakar ilmu politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta (VJ) Ardli Johan Kusuma memandang bahwa penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dapat meningkatkan partisipasi politik masyarakat.

    “Masyarakat yang memiliki kapabilitas yang baik, maka mereka akan mendapatkan peluang untuk turut serta dalam pertarungan calon presiden dan wakil presiden. Artinya, menempatkan semua individu pada posisi yang setara,” kata Ardli saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.

    Selain itu, dia mengatakan bahwa penghapusan presidential threshold mengembalikan harapan terwujudnya demokrasi yang hakiki.

    “Karena pencalonan presiden dan wakil presiden tidak akan lagi dimonopoli oleh partai-partai besar yang cenderung mempraktikkan politik transaksional yang mengakibatkan demokrasi hanya dijalankan sebatas prosedurnya saja, namun nihil esensi,” jelasnya.

    Walaupun demikian, dia mengatakan bahwa penghapusan presidential threshold dapat memunculkan tantangan, seperti potensi terjadinya konflik antarpartai politik, dan masyarakat yang terfragmentasi atau terbagi-bagi dalam banyak kandidat.

    “Untuk itu dibutuhkan peningkatan kesadaran dan pengetahuan politik, baik para elite dan politisi maupun masyarakat kita,” ujarnya.

    Sebelumnya (2/1), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penghapusan tersebut diatur dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024.

    MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

    Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

    Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

    Sumber : Antara

  • Pakar usai ambang batas dihapus: Tim independen dapat minimalkan calon

    Pakar usai ambang batas dihapus: Tim independen dapat minimalkan calon

    Rakyat mau jadi ASN saja syaratnya ketat sekali, tetapi kok posisi sepenting presiden dan wakil presiden sebuah negara enggak bisa seketat itu.

    Jakarta (ANTARA) – Guru Besar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Sri Zul Chairiyah mengusulkan adanya tim independen untuk meminimalkan jumlah calon setelah penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

    Profesor Sri Zul Chairiyah menjelaskan bahwa negara dapat membentuk tim independen tersebut untuk melihat kesiapan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tim independen ini dapat diisi oleh akademikus, ekonom, hingga praktisi hukum.

    “Akan tetapi, tidak ada orang partai di dalamnya,” kata Prof. Sri saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.

    Menurut dia, secara teknis dapat dimulai dengan partai politik mengajukan nama pasangan calon presiden dan wakil presiden, kemudian tim independen menyeleksi kelayakannya, lalu partai politik mendeklarasikan pencalonannya.

    Selain itu, dia mengusulkan agar persyaratan pencalonan juga diperketat seperti berusia minimal 40 tahun dan maksimal 70 tahun serta minimal telah menempuh pendidikan S-2 untuk menunjukkan kualitas pendidikan dan pola pikirnya.

    Selanjutnya, tidak pernah terjerat kasus pidana atau perdata sebelumnya, serta telah menjadi anggota partai politik selama 3 atau 5 tahun dan mendalami visi maupun misi partainya.

    “Bukan karbitan atau jadi anggota partai karena ingin mencalonkan diri. Ini juga bisa sebagai bentuk penyaringan kualitas kader untuk menjadi pemimpin,” jelasnya.

    Ia menjelaskan bahwa pengetatan pencalonan presiden dan wakil presiden tersebut agar rakyat dapat merasakan keadilan.

    “Rakyat mau jadi ASN (aparatur sipil negara) saja syaratnya ketat sekali, tetapi kok posisi sepenting presiden dan wakil presiden sebuah negara enggak bisa seketat dan seberkualitas itu yang tersaring?” katanya.

    Sebelumnya, Kamis (2/1), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penghapusan tersebut diatur dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024.

    MK menilai presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

    Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

    Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Pakar: Putusan MK 62/2024 perlu dikawal dengan revisi UU kepemiluan

    Pakar: Putusan MK 62/2024 perlu dikawal dengan revisi UU kepemiluan

    Tentunya masih harus dikawal dengan revisi UU kepemiluan sehingga pembenahan secara sistemis bisa dilakukan.

    Jakarta (ANTARA) – Pakar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Caroline Paskarina memandang perlu mengawal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang mengatur penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dengan merevisi undang-undang kepemiluan.

    “Tentunya masih harus dikawal dengan revisi UU kepemiluan sehingga pembenahan secara sistemis bisa dilakukan,” kata Caroline saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.

    Menurut dia, pengawalan tersebut perlu karena putusan MK tersebut dinilai sebagai upaya untuk memperbaiki sistem kepemiluan, terutama yang berkaitan dengan pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Caroline berharap putusan MK tersebut dapat memperluas ruang kompetisi antarpartai politik sehingga figur-figur potensial dengan kinerja dan track record (rekam jejak) baik bisa punya peluang lebih besar untuk dicalonkan oleh partai politik.

    Selain itu, kata dia, partai politik juga bisa memanfaatkan putusan MK tersebut untuk membenahi mekanisme rekrutmen dan kandidasi.

    Sebelumnya, Kamis (2/1), MK memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

    Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

    Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Pakar: Penghapusan ambang batas dapat tingkatkan partisipasi politik

    Pakar: Penghapusan ambang batas dapat tingkatkan partisipasi politik

    Walaupun demikian, penghapusan presidential threshold dapat memunculkan tantangan, seperti potensi terjadinya konflik antarpartai politik, dan masyarakat yang terfragmentasi atau terbagi-bagi dalam banyak kandidat. Untuk itu dibutuhkan peningkatan k

    Jakarta (ANTARA) – Pakar ilmu politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta (VJ) Ardli Johan Kusuma memandang bahwa penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dapat meningkatkan partisipasi politik masyarakat.

    “Masyarakat yang memiliki kapabilitas yang baik, maka mereka akan mendapatkan peluang untuk turut serta dalam pertarungan calon presiden dan wakil presiden. Artinya, menempatkan semua individu pada posisi yang setara,” kata Ardli saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.

    Selain itu, dia mengatakan bahwa penghapusan presidential threshold mengembalikan harapan terwujudnya demokrasi yang hakiki.

    “Untuk itu dibutuhkan peningkatan kesadaran dan pengetahuan politik, baik para elite dan politisi maupun masyarakat kita,” ujarnya.

    Sebelumnya (2/1), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penghapusan tersebut diatur dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024.

    Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

    Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

    Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

  • Pakar: Parpol harus bekerja dari sekarang setelah ambang batas dihapus

    Pakar: Parpol harus bekerja dari sekarang setelah ambang batas dihapus

    Jakarta (ANTARA) – Pakar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Yusa Djuyandi mengatakan bahwa partai politik (parpol) harus bekerja dari sekarang setelah ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dihapus.

    “Bekerja itu maksudnya parpol menyiapkan siapa saja kader yang akan mereka usung, atau melakukan penjaringan internal sejak dini,” kata Yusa saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.

    Menurut dia, menyiapkan kader sejak dini perlu karena penghapusan presidential threshold akan memberikan kesempatan parpol-parpol di Tanah Air untuk menawarkan kader terbaiknya sebagai calon pemimpin negara.

    Yusa mengatakan bahwa menyiapkan kader sejak dini perlu karena masyarakat nantinya akan dihadapkan dengan banyaknya pilihan untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Ia mengusulkan agar terdapat syarat pengalaman bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk maju dalam pemilu sebagai respons penghapusan ambang batas tersebut.

    Syarat pengalaman yang dimaksud, kata dia, adalah sebagai pemimpin di pemerintahan atau dalam konteks perpolitikan.

    “Batas usia juga penting. Menurut saya, minimal 45 tahun untuk calon presiden maupun calon wakil presiden sebab pada usia itu mereka yang maju mungkin sudah punya pengalaman,” jelasnya.

    Sebelumnya, Kamis (2/1), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penghapusan tersebut diatur dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024.

    MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

    Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

    Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Pakar soal ambang batas dihapus: Koalisi politik permanen dibutuhkan

    Pakar soal ambang batas dihapus: Koalisi politik permanen dibutuhkan

    Dengan keputusan MK ini, penyederhanaan kepartaian bisa jalan alamiah.

    Jakarta (ANTARA) – Pakar Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Luthfi Makhasin memandang perlu koalisi politik yang permanen setelah penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

    “Sepertinya kita butuh model koalisi politik yang lebih permanen agar jelas siapa yang berkuasa dan oposisi. Kalau seperti sekarang, koalisi jadi sangat cair ketika kandidat calon presiden dan wapres yang diusungnya kalah, langsung saja boyongan ramai-ramai mendukung yang menang,” kata Luthfi saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.

    Oleh sebab itu, dia berpendapat bahwa penyederhanaan partai politik juga tetap perlu, sekaligus berharap penghapusan presidential threshold oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 membuat hal tersebut terjadi.

    “Dengan keputusan MK ini, penyederhanaan kepartaian bisa jalan alamiah juga agar kandidasi dalam pilpres juga lebih sederhana,” ujarnya.

    Putusan MK yang mengatur penghapusan presidential threshold​​​​​​​, kata dia, disambut gembira oleh para aktivis pro demokrasi karena aspirasi untuk perbaikan prosedural demokrasi telah terpenuhi.

    “Tanpa batasan presidential threshold, semua partai politik punya kesempatan sama untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” katanya.

    Namun, dia mengingatkan agar pihak-pihak terkait tetap memperhatikan fenomena politik uang agar perbaikan prosedural demokrasi tetap terjamin sehingga tetap meningkatkan kualitas demokrasi di Tanah Air.

    Sebelumnya, Kamis (2/1), MK memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

    Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

    Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025