Produk: UUD 1945

  • MK Putuskan Libur Satu Hari dalam Sepekan Langgar Konstitusi

    MK Putuskan Libur Satu Hari dalam Sepekan Langgar Konstitusi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan libur sehari dalam sepekan bertentangan dengan konstitusi. Itu Setelah MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

    Salah satu pasal dalam UU Cipta Kerja yang dikabulkan uji materinya adalah Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU Cipta Kerja.

    “Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu’, bertentangan dengan UUD 1945,” sebagaimana dikutip dalam salinan putusan MK, Senin (4/11/2024).

    Keputusan tersebut tertuang dalam putusan uji materi UU 6/2023 nomor perkara: 168/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Partai Buruh dkk. Putusan MK itu dibacakan pada Kamis (31/10).

    MK mengubah bunyi pasal mengenai libur para pekerja tersebut menjadi dua hari dalam seminggu.

    “Sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa, ‘atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu’,” bunyi putusan MK.

    Gugatan uji materi mengenai UU Ciptaker diajukan oleh perwakilan Partai Buruh dan serikat pekerja lainnya ke MK. Ada puluhan pasal yang digugat oleh mereka. MK mengabulkan sebagian gugatan itu dan mengubah 21 pasal yang ada di UU Ciptaker.

    (Arya/Fajar)

  • MK Minta DPR Buat UU Ketenagakerjaan Baru, Anggota Komisi IX: Kita Rumuskan dengan Pemerintah
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 November 2024

    MK Minta DPR Buat UU Ketenagakerjaan Baru, Anggota Komisi IX: Kita Rumuskan dengan Pemerintah Nasional 3 November 2024

    MK Minta DPR Buat UU Ketenagakerjaan Baru, Anggota Komisi IX: Kita Rumuskan dengan Pemerintah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota
    Komisi IX DPR

    Nurhadi
    meyakini pihaknya bisa merumuskan Undang-undang Ketenagakerjaan yang baru sebagaimana menjadi keputusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) Nomor 168/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan sebagian gugatan serikat pekerja terhadap Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
    Adapun dalam putusannya, MK meminta agar sejumlah pengaturan terkait ketenagakerjaan dilakukan oleh pembentuk undang-undang melalui
    UU Ketenagakerjaan
    yang terpisah dari UU Ciptaker.
    “Dalam putusan tersebut, MK memberikan waktu dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk membuat
    UU ketenagakerjaan
    baru,” kata Nurhadi kepada Kompas.com, Minggu (3/11/2024).
    “Tentu, tenggat waktu tersebut bisa kita rumuskan kembali dengan pemerintah agar penganuliran beberapa kluster dalam UU cipta kerja memiliki kepastian hukum,” lanjutnya.
    Sebagai anggota Komisi IX DPR, Nurhadi mengaku menghormati putusan MK atas UU Ciptaker tersebut.
    Putusan MK itu dinilai konstitusional dan memiliki kekuatan hukum tetap, bersifat final dan mengikat.
    “(Putusan MK) berlaku seketika sejak dibacakan kecuali dinyatakan lain secara eksplisit di dalam putusan,” imbuhnya.
    Dengan membentuk UU Ketenagakerjaan Baru, menurutnya, akan memberikan kepastian hukum dan kekokohan regulasi bagi pelaku usaha serta investor dalam membuat perencanaan jangka panjang.
    Perencanaan jangka panjang itu termasuk di dalamnya berkaitan dengan rekrutmen tenaga kerja.
    Dalam merumuskan UU Ketenagakerjaan yang baru, Nurhadi memastikan Komisi IX akan melibatkan pemangku kepentingan terkait, termasuk asosiasi buruh dan dunia usaha.
    “Kita tidak ingin ada kebijakan pecah bambu. Artinya mengangkat sisi salah satu dengan menginjak sisi yang lain,” ujar politikus Partai Nasdem ini.
    “Kita terus mendorong dan memperhatikan agar pekerja-buruh mendapatkan hak yang layak, tetapi dunia usaha tetap harus bisa tumbuh dan berkembang,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, MK memerintahkan DPR dan Pemerintah menyusun UU Ketenagakerjaan baru dalam waktu maksimal dua tahun.
    Pernyataan ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan putusan uji materi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh Partai Buruh dkk.
    Pembentukan UU Keternagakerjaan baru diperintahkan lantaran UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang diubah menjadi UU Cipta Kerja banyak yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK.
    “Waktu paling lama dua tahun dinilai oleh Mahkamah cukup bagi pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi UU Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Nomor 6 Tahun 2023,” kata Enny dalam sidang MK, di Gedung MK, Kamis (31/10/2024).
    Enny menyampaikan, UU Ketenagakerjaan yang baru juga harus menampung substansi terhangat sejumlah putusan MK yang berkenaan dengan ketenagakerjaan dengan melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja/serikat buruh.
    Ia juga menjelaskan, perintah untuk pembentuk Undang-undang dilakukan lantaran secara faktual, materi/substansi UU Ketenagakerjaan telah berulang kali dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya ke MK.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Airlangga Respons Putusan MK Soal UU Cipta Kerja: Pemerintah Akan Jalankan

    Airlangga Respons Putusan MK Soal UU Cipta Kerja: Pemerintah Akan Jalankan

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto buka suara terkait putusan Mahkmah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

    Menanggapi hal itu, Airlangga mengatakan bahwa pemerintah akan menghormati putusan MK. Selain itu, dia menekankan bahwa pemerintah akan menjalankan putusan tersebut.

    “Putusan MK akan kita hormati, pemerintah akan menjalankan,” kata Airlangga saat ditemui seusai acara Kadin Indonesia bertajuk Diplomatic—Economic Reception Dinner di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Jumat (1/11/2024) malam.

    Airlangga pun mengatakan, pemerintah akan mempelajari amar putusan tersebut terlebih dahulu untuk mengetahui lebih lanjut koordinasi seperti apa yang akan dilakukan Kabinet Merah Putih.

    Sebelumnya, di hadapan puluhan duta besar pada acara tersebut, Airlangga juga sempat berkomentar terkait putusan MK mengenai beberapa peraturan ketenagakerjaan yang termuat di dalam UU Cipta Kerja. Namun, Airlangga mengungkap bahwa pemerintah juga telah meninjau hasil pembatalan MK.

    “Dan tidak perlu khawatir karena sebagian besar hal yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi Agung sebenarnya sesuai dengan peraturan yang sudah berasal dari hukum,” tuturnya.

    Airlangga mengaku bahwa Menteri Ketenagakerjaan Yassierli juga sudah bekerja untuk mengurangi risiko ketenagakerjaan atas putusan anyar ini. Selain itu, pemerintah juga akan berdiskusi dengan berbagai pihak mulai dari organisasi buruh serta asosiasi pengusaha terkait putusan MK.

    “Saya yakin bahwa sebenarnya Mahkamah Agung Mahkamah Konstitusi hanya memperkuat kebijakan tenaga kerja kita,” imbuhnya.

    Lebih lanjut, dia meyakini bahwa putusan MK terkait ketenagakerjaan ini sejalan dengan Presiden Prabowo Subianto. “Menurut saya ini sejalan dengan apa yang ditunggu-tunggu oleh pemerintah Pak Prabowo untuk membawa seluruh pemangku kepentingan investasi ke dalam perencanaan yang disebutkan sebelumnya,” tandasnya.

    Sebelumnya, MK telah mengabulkan permohonan Partai Buruh dan pemohon lainnya terkait Undang-Undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker. Permohonan itu dikabulkan dalam sidang putusan perkara nomor 168/PUU-XXI/2023 itu di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (31/10/2024). 

    Pada intinya, puluhan pasal yang digugat itu terkait dengan pengupahan, hubungan kerja, hingga tenaga kerja asing.  Dalam pertimbangannya, hakim MK menyatakan bahwa gugatan sebagian puluhan pasal itu dikabulkan dinilai mengancam perlindungan hak kerja hingga mengganggu keharmonisan aturan yang berlaku.

    Sebagaimana satu dari 21 pasal UU Ciptaker yang diubah MK, menyatakan Pasal 88 ayat 2 dalam Pasal 81 angka 27 UU No.6/2023 penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja yang menyatakan ‘Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan layak bagi kemanusiaan’. 

    Di mana hal tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan’.

  • Kabar Baik! MK Hidupkan Lagi Aturan UMS untuk Pekerja

    Kabar Baik! MK Hidupkan Lagi Aturan UMS untuk Pekerja

    GELORA.CO – Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan penting dengan mewajibkan kembali penerapan Upah Minimum Sektoral (UMS), sebuah kebijakan yang sempat dihapus dalam UU Cipta Kerja.  

    Hal ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2024, yang mengabulkan sebagian tuntutan serikat pekerja terkait ketenagakerjaan. 

    Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa Pasal 88C dalam UU Ciptaker tidak sesuai dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum, kecuali jika dimaknai bahwa gubernur wajib menetapkan UMS di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. 

    UMS sendiri sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan tahun 2003, namun dihapus dalam UU Ciptaker. 

     MK setuju dengan argumen serikat pekerja bahwa penghapusan UMS berpotensi mengurangi perlindungan bagi pekerja, terutama di sektor-sektor yang membutuhkan upah lebih tinggi karena beban kerja atau spesialisasi tertentu. 

    MK menegaskan bahwa penghapusan UMS bertentangan dengan prinsip perlindungan hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, khususnya hak atas upah yang adil dan layak.  

     Oleh karena itu, MK mewajibkan pemberlakuan kembali UMS sebagai bentuk perlindungan yang memadai bagi pekerja di berbagai sektor. 

    Selain itu, MK juga mengubah beberapa pasal terkait pengupahan.  Pertama, komponen hidup layak yang sempat dihapus dalam UU Ciptaker, kini dikembalikan sebagai bagian dari perhitungan upah.  

    Upah pekerja harus mencakup kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. 

    Kedua, peran dewan pengupahan yang melibatkan pemerintah daerah juga dihidupkan kembali, dengan partisipasi aktif dalam menetapkan kebijakan upah bersama pemerintah pusat. 

    Keputusan ini diharapkan mampu memberikan perlindungan lebih baik bagi pekerja di seluruh sektor, serta memastikan kebijakan pengupahan yang lebih adil dan manusiawi

  • Dihapus UU Ciptaker, MK Wajibkan Lagi Upah Minimum Sektoral
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        1 November 2024

    Dihapus UU Ciptaker, MK Wajibkan Lagi Upah Minimum Sektoral Nasional 1 November 2024

    Dihapus UU Ciptaker, MK Wajibkan Lagi Upah Minimum Sektoral
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (
    MK
    ) mewajibkan kembali pemberlakuan
    upah minimum sektoral
    (UMS).
    Hal ini termaktub dalam Putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan sebagian tuntutan sejumlah serikat pekerja soal isu ketenagakerjaan di dalam Undang-undang (UU) Ciptaker teranyar.
    “Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 … bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota’,” tulis MK dalam putusannya.
    Sebelumnya, aturan tentang pemberlakuan UMS terdapat pada UU Ketenagakerjaan yang diteken pada 2003.
    Namun, UU Ciptaker menghapus ketentuan tersebut.
    MK sependapat dengan gugatan yang dilayangkan kaum buruh bahwa dalam praktiknya, penghapusan UMS sama saja negara tak memberi perlindungan yang memadai bagi pekerja.
    Sebab, pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda.
    Ada tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan sehingga memerlukan standar upah yang lebih tinggi.
    Penghapusan UMS dinilai justru bisa mengancam standar perlindungan pekerja, khususnya pada sektor-sektor yang sebetulnya memerlukan perhatian khusus dari negara.
    Oleh karena itu, MK menegaskan, UMS mesti diberlakukan lagi.
    “Penghapusan ketentuan upah minimum sektoral bertentangan dengan prinsip perlindungan hak-hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, terutama hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” bunyi pertimbangan putusan MK.
    Dalam putusan yang sama, MK juga mengubah sejumlah pasal dalam klaster pengupahan.
    Pertama, Mahkamah mengembalikan komponen hidup layak sebagai bagian tak terpisahkan dari hitungan upah yang sebelumnya dihapus UU Ciptaker.
    MK meminta pasal soal pengupahan harus “mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua”.
    Kedua, MK juga menghidupkan lagi peran dewan pengupahan yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah sebagai bahan bagi pemerintah pusat menetapkan kebijakan upah.
    Aturan soal dewan pengupahan juga dilengkapi MK dengan klausul bahwa dewan tersebut “berpartisipasi secara aktif’.
    Ketiga, majelis hakim juga merasa perlu menambahkan frasa “yang proporsional” untuk melengkapi frasa “struktur dan skala upah”.
    MK juga memperjelas frasa “indeks tertentu” dalam hal pengupahan sebagai “variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh.”
    Keempat, Mahkamah juga memasukkan kembali frasa “serikat pekerja/buruh” pada aturan soal upah di atas upah minimum.
    Sebelumnya, di dalam Perppu/UU Ciptaker, kesepakatan itu dibatasi hanya antara perusahaan dan pekerja.
    Kelima, MK juga menambahkan agar struktur dan skala upah di perusahaan tak hanya memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, tetapi juga “golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi”.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • BPJPH: Produk nonhalal dikecualikan dari wajib sertifikasi halal

    BPJPH: Produk nonhalal dikecualikan dari wajib sertifikasi halal

    Dalam Pasal 2 ayat 3, produk yang tidak bisa disertifikat halal ya wajib diberi keterangan tidak halalJakarta (ANTARA) – Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Haikal Hassan mengatakan bahwa produk nonhalal dikecualikan dari wajib sertifikat halal.

    Haikal saat jumpa pers di Jakarta, Jumat mengatakan bahwa merujuk UU Nomor 33 Tahun 2014 Pasal 4 tegas menyatakan seluruh produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, dengan batasan dan ketentuan yang jelas.

    Dia menyebutkan bahwa berdasarkan UU tersebut yang dimaksud dengan produk yaitu makanan, minuman, kosmetik, obat yang diedarkan di Indonesia, didistribusikan, diperjualbelikan, harus bersertifikat halal.

    “Namun, pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan tidak halal atau nonhalal tentu dikecualikan dari mengajukan sertifikat halal,” kata Haikal.

    Hal itu merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa produk yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal. Kemudian wajib diberikan keterangan tidak halal, seperti pada ayat 3 pasal tersebut.

    “Yang enggak halal bagaimana? Lihat Pasal 2 ayat 2 bahwa produk yang dikategorikan tidak halal, dikecualikan. Dalam Pasal 2 ayat 3, produk yang tidak bisa disertifikat halal ya wajib diberi keterangan tidak halal. Sesimpel itu,” kata Haikal.

    “Jadi yang jualan babi, mohon maaf, silahkan enggak ada masalah, katakan itu dari babi,” lanjut pria yang biasa disapa Babe Haikal tersebut.

    Terkait hal itu, ia mengaku telah mendapatkan kiriman pesan di Tiktok yang menyebutkan ada seorang wanita penjual kuas dan kuasnya bertuliskan “dari bulu babi”. Ia menilai, hal itulah yang seharusnya dilakukan karena telah sesuai prosedur.

    “Ini yang benar, sehingga melindungi segenap tumpah darah Indonesia itu amanat negara dan amanat UUD 1945 yang sekarang telah dijalankan oleh kabinet ini,” kata Haikal.

    Baca juga: BPJPH kembali menegaskan wajib halal telah berlaku
    Baca juga: Babe Haikal, Kepala BPJPH baru dan upaya RI jadi pusat halal global
    Baca juga: BPJPH akan data pelaku usaha yang belum urus sertifikasi halal

    Pewarta: Muhammad Harianto
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2024

  • Perlukah Gen Z Wajib Militer?

    Perlukah Gen Z Wajib Militer?

    Bisnis.com, JAKARTA – Pada 24 Oktober 2024, Kabinet Merah Putih mulai mengadakan retret di Akademi Militer (Akmil)-Magelang untuk membahas strategi dan kebijakan negara. Acara ini dihadiri oleh seluruh menteri, wakil menteri, kepala badan, staf khusus, dan penasihat dalam Kabinet Merah Putih, dengan tujuan memperkuat kolaborasi dan koordinasi antar-kementerian di bawah pemerintahan Presiden Prabowo.

    Retret berasal dari kata bahasa Inggris retreat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi web, retret artinya mengundurkan diri dari dunia ramai untuk mencari ketenangan batin.

    Tentunya dalam konteks kolaborasi dan koordinasi antar-kementerian, maka retret ini menjadi agenda yang sangat strategis, karena pada moment ini Presiden Prabowo ingin menunjukan dan menegaskan kepada seluruh masyarakat Indonesia mengenai komitmen presiden dalam Menyusun kabinet kerja yang kompeten dan memiliki satu visi yang sama dalam membangun Indonesia.

    Namun, ada hal menarik dimana latar belakang sebagian besar dari menteri, wakil menteri, kepala badan, staf khusus, dan penasihat dalam Kabinet Merah Putih yang bukanlah dari militer, tetapi pada retret tersebut mereka diharuskan untuk menggunakan atribut dan fasilitas militer.

    Seperti pada unggahan beberapa menteri pada akun Instagramnya saat terbang dengan pesawat C-130J Super Hercules A-1340 milik TNI Angkatan Udara atau saat seluruh peserta retret mengenakan pakaian lapangan Komponen Cadangan (Komcad). Internalisasi “jiwa militer” begitu terlihat dalam kegiatan retret tersebut, bahkan Presiden Prabowo menyatakan dengan sangat jelas bahwa “Sistem pertahanan terbaik adalah Sistem Pertahanan Rakyat Semesta, di mana setiap warga negara harus siap sedia membela negaranya.”

    Tantangan dan Peluang

    Bagi Gen Z, peluang dan tantangan dalam mengikuti program wajib militer (wamil) cukup unik karena mereka merupakan generasi yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya, baik dalam cara berpikir, kemampuan teknologi, hingga pandangan sosial.

    Wajib militer memberikan pengalaman berharga untuk meningkatkan kedisiplinan, kedewasaan, dan kemampuan bertanggung jawab yang penting bagi perkembangan diri dan karier.

    Gen Z yang terbiasa dengan teknologi bisa mendapatkan keterampilan baru yang lebih fisik dan praktis. Pelatihan militer mencakup kemampuan bertahan hidup, ketahanan fisik, hingga pengetahuan tentang strategi pertahanan. Wajib militer dapat memperkuat rasa cinta tanah air dan persatuan antar-generasi. Gen Z bisa berinteraksi dengan teman-teman dari berbagai latar belakang, yang membantu mereka melihat keragaman budaya Indonesia dari sudut pandang yang lebih luas.

    Perspektif Hukum

    Dari sudut pandang hukum, program wajib militer (wamil) memerlukan analisis yang mendalam terkait hak dan kewajiban warga negara, serta prinsip hak asasi manusia. Beberapa aspek hukum yang relevan mencakup:

    UUD 1945: Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Dasar konstitusi ini memberi legitimasi bagi negara untuk mewajibkan warganya, termasuk Gen Z, untuk terlibat dalam pertahanan negara.

    Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara: Pasal 9 menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam upaya bela negara. UU ini mengamanatkan pelaksanaan bela negara sebagai tanggung jawab seluruh rakyat, yang bisa diinterpretasikan sebagai landasan hukum untuk mengimplementasikan program wajib militer.

    Undang-Undang No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara: Pasal 4 dan 6 menyebutkan bahwa wajib militer atau bentuk lain dari bela negara dapat dilakukan melalui pembentukan komponen cadangan yang melibatkan warga negara dalam bela negara. Dalam UU ini juga ditegaskan hak-hak dasar warga yang ikut serta dalam program ini.

    Ketahanan Nasional

    Prinsip Keseimbangan antara Hak Individu dan Kepentingan Negara: Dalam doktrin hukum nasional, terdapat prinsip bahwa hak individu dapat dibatasi demi kepentingan umum. Program wajib militer bisa dibenarkan dari segi hukum jika terbukti bertujuan memperkuat ketahanan negara serta memenuhi kebutuhan nasional akan komponen pertahanan.

    Rekomendasi

    Untuk menjalankan program wajib militer (wamil) yang sesuai dengan karakteristik Gen Z dan menghormati hak asasi serta kebutuhan pertahanan nasional, pemerintah perlu mempertimbangkan rekomendasi berikut:

    Penerapan Wamil dengan Model Pilihan atau Bertahap, Model Sukarela dan Bertahap: Mulailah dengan sistem sukarela untuk melihat ketertarikan dan partisipasi warga, khususnya di kalangan Gen Z. Sistem ini bisa diperkuat dengan insentif seperti pengakuan sertifikasi, beasiswa, atau prioritas dalam rekrutmen pekerjaan di sektor pemerintah.

    Program Bertahap untuk Gen Z: Rancang program bertahap dengan durasi singkat dan intensitas yang menyesuaikan dengan kesiapan fisik dan mental. Tahapan ini bisa mencakup pelatihan dasar yang berlanjut ke pelatihan intensif hanya bagi yang menunjukkan minat dan kemampuan.

    Wajib Militer terhadap Gen Z dapat diterapkan dengan optimal dengan memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan, teknologi, dan alternatif program yang tersedia dengan merujuk pada UU 23/2019. UU ini mengatur tentang pembentukan komponen cadangan dan berbagai aspek terkait program bela negara, yang mencakup perekrutan, pelatihan, hak-hak, serta tanggung jawab komponen cadangan yang akan bertugas membantu komponen utama (TNI) dalam pertahanan negara.

    Sebagian besar rekomendasi untuk menyesuaikan program wajib militer dengan karakteristik Gen Z dapat diterapkan berdasarkan UU 23/2019. Undang-undang ini memberikan landasan hukum yang cukup fleksibel untuk mengakomodasi model bertahap, pemberian alternatif non-militer, penyediaan fasilitas kesehatan, serta penyesuaian teknologi dalam pelatihan.

    Namun, implementasinya akan sangat bergantung pada peraturan turunan yang lebih spesifik untuk memastikan semua mekanisme berjalan efektif dan transparan.

  • MK Kabulkan Sebagian Gugatan soal UU Cipta Kerja, Buruh Buka Suara

    MK Kabulkan Sebagian Gugatan soal UU Cipta Kerja, Buruh Buka Suara

    Jakarta

    Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengabulkan permohonan judical review uji materi terhadap UU Cipta Kerja yang diajukan kalangan buruh dan beberapa pemohon lainnya.

    MK meminta mengubah sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja. Hal itu seperti dalam putusan perkara nomor: 168/PUU-XXI/2023 tentang Cipta Kerja.

    Kalangan buruh pun menyambut baik putusan tersebut. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea menberikan apresiasi kasih pada hakim MK atas gugatan UU Cipta Kerja.

    “Putusan ini sangat luar biasa buat kami. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh buruh Indonesia yang telah menjalani perjuangan panjang bersama. Kemenangan gugatan ini menjadi milik seluruh buruh dan rakyat Indonesia,” kata Andi Gani dalam keterangannya, Jumat (1/11/2024).

    Adapun, ada tujuh poin yang dikabulkan MK sesuai dengan tuntunan buruh yaitu, sistem pengupahan, ⁠outsourcing, masalah PHK, PKWT (soal kontrak kerja), tenaga kerja asing, istirahat panjang dan cuti, serta kepastian upah untuk pekerja perempuan yang menjalani cuti haid dan cuti melahirkan.

    Andi Gani memaparkan dalam poin tuntutan pengupahan, setelah ada putusan MK seharusnya pemerintah dapat menentukan UMP akan kembali mempertimbangkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan melibatkan dewan pengupahan.

    “Ada survei kehidupan layak yang akan dikembalikan karena dihitung kebutuhan masing-masing dasar di masing-masing daerah dan itu sudah lama hilang,” tutur Andi Gani.

    Kemudian, pria yang juga menjabat sebagai Presiden ASEAN Trade Union Council (ASEAN TUC) ini mengatakan putusan MK mengabulkan tuntutan mengenai PHK. Setelah tuntutan dikabulkan seharusnya perusahaan tidak bisa lagi melakukan PHK secara semena-mena dan wajib dimusyawarahkan dengan serikat pekerja.

    Lalu, untuk poin perekrutan Tenaga Kerja Asing (TKA) kini akan kembali dibatasi dan memiliki tenggat masa kerja. Sebelumnya, Andi Gani bilang selama ada UU Cipta Kerja, TKA bekerja di Indonesia begitu saja meski tanpa memiliki kemampuan.

    “Tenaga kerja asing bisa masuk begitu saja tanpa ada skill. Dengan adanya keputusan ini semua terbatas sekarang, dan mesti ada batas waktu, ada tenaga kerja pendamping dari tenaga kerja Indonesia,” jelas Andi Gani.

    Selain itu, MK juga mengabulkan tuntutan terkait pekerjaan alih daya atau outsourcing yang harus diatur dalam UU untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja.

    Dalam pembacaan putusan yang dilakukan Kamis 31 Oktober 2024 kemarin, MK meminta pembentuk undang-undang harus segera membentuk UU Ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023. MK mengatakan hal itu dapat mengatasi ketidakharmonisan aturan.

    “Menurut mahkamah, pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023,” ujar Hakim MK Enny Nurbaningsih.

    MK juga menguraikan pasal-pasal mana saja yang gugatannya dianggap beralasan menurut hukum sebagian. Ada 21 pasal yang diubah MK.

    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.

    Berikut poin-poin lengkap amar putusan MK:
    1. Menyatakan frasa ‘Pemerintah Pusat’ dalam Pasal 42 ayat (1) dalam pasal 81 angka 4 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘menteri yang bertanggung jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan in casu menteri Tenaga Kerja’

    2. Menyatakan pasal 42 ayat (4) dalam pasal 81 angka 4 UU 6/2023 yang menyatakan ‘tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Tenaga kerja asing dapa dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia’

    3. Menyatakan pasal 56 ayat (3) dalam pasal 81 angka 12 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja’, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan’

    4. Menyatakan pasal 57 ayat 1 dalam pasal 81 angka 13 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta harus menggunakan secara Bahasa Indonesia dan huruf Latin’, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf Latin’

    5. Menyatakan pasal 64 ayat 2 dalam pasal 81 angka 18 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan dimaksud pada ayat (1)’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya’

    6. Menyatakan pasal 79 ayat 2 huruf b dalam pasal 81 angka 25 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa ‘atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu’

    7. Menyatakan kata ‘dapat’ dalam pasal 79 ayat 5 dalam pasal 81 angka 25 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat

    8. Menyatakan pasal 88 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Setiap pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua’

    9. Menyatakan Pasal 88 ayat 2 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan layak bagi kemanusiaan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan’

    10. Menyatakan frasa ‘struktur dan skala upah’ pasal 88 ayat 3 huruf b dalam pasal 81 angka 27 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘struktur dan skala upah yang proporsional’

    11. Menyatakan pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota’

    12. Menyatakan frasa ‘indeks tertentu’ dalam pasal 88D ayat 2 dalam pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh’

    13. Menyatakan frasa ‘dalam keadaan tertentu’ dalam pasal 88F dalam pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan tertentu’ mencakup antara lain bencana alam atau nonalam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’

    14. Menyatakan Pasal 90A dalam pasal 81 angka 31 yang menyatakan ‘upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan’

    15. Menyatakan pasal 92 ayat 1 dalam pasal 81 angka 33 UU 5/2023 yang menyatakan ‘Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi’

    16. Menyatakan pasal 95 ayat 3 dalam pasal 81 angka 36 UU 6/2023 yang menyatakan ‘Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan’

    17. Menyatakan pasal 98 ayat 1 dalam pasal 81 angka 39 UU 6/2023 yang menyatakan ‘untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif’

    18. Menyatakan frasa ‘wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh’ dalam pasal 151 ayat (3) dalam pasal 81 angka 40 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh’

    19. Menyatakan frasa ‘Pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial’ dalam pasal 151 ayat (4) dalam pasal 81 angka 40 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Dalam perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap’

    20. Menyatakan frasa ‘dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya’ dalam norma pasal 157A ayat (3) dalam pasal 81 angka 49 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI’

    21. Menyatakan frasa ‘diberikan dengan ketentuan sebagai berikut’ pasal 156 ayat 2 dalam pasal 81 angka 47 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘paling sedikit’.

    Lihat Video: DPR-Pemerintah Akan Kaji Usulan MK tentang UU Ketenagakerjaan Baru

    (hal/rrd)

  • 4
                    
                        Poin-poin Penting Putusan MK atas UU Cipta Kerja, dari soal Upah hingga PHK 
                        Nasional

    4 Poin-poin Penting Putusan MK atas UU Cipta Kerja, dari soal Upah hingga PHK Nasional

    Poin-poin Penting Putusan MK atas UU Cipta Kerja, dari soal Upah hingga PHK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    mengabulkan sejumlah gugatan terkait Undang-Undang Cipta Kerja yang diajukan oleh kelompok
    buruh
    , Kamis (31/10/2024) kemarin.
    Gugatan tersebut dilayangkan oleh sejumlah serikat buruh, seperti FSPMI, KSPSI, KPBI, KSPI, dan Partai
    Buruh
    itu sendiri, serta dua orang buruh perorangan.
    Bos Partai Buruh Said Iqbal ikut turun ke jalan bersama massa buruh yang menggelar unjuk rasa mengawal pembacaan Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 sepanjang 687 halaman itu.
    Majelis hakim membagi putusan tersebut ke dalam sejumlah klaster.
    Kompas.com
    merangkumnya ke dalam 12 poin penting:
    1. UU Ketenagakerjaan dipisah
    Dalam putusan itu, MK meminta pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang
    ketenagakerjaan
    yang baru, terpisah dari
    UU Cipta Kerja
    .
    Mahkamah menyoroti “impitan norma” soal ketenagakerjaan yang dinilai sulit dipahami awam dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta ketidakadilan yang berkepanjangan.
    2. Tenaga kerja Indonesia harus diutamakan dari TKA
    MK membatalkan beleid multitafsir yang tidak mengatur pembatasan secara tegas soal masuknya tenaga kerja asing (TKA) “hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki”.
    Majelis hakim menambahkan klausul “dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia” pada Pasal 81 angka 4 UU Cipta Kerja.
    3. Durasi kontrak kerja dipertegas

    MK juga menegaskan lagi soal aturan durasi perjanjian kerja waktu tertentu (
    PKWT
    ) yang sebelumnya, dalam UU Cipta Kerja, dikembalikan pada perjanjian/kontrak kerja.
    Pasalnya, UU Ketenagakerjaan sebelumnya mengatur agar durasi tersebut didasarkan pada waktu yang ditentukan oleh undang-undang.
    Melalui putusan ini, demi melindungi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh, MK menegaskan bahwa durasi PKWT maksimum 5 tahun–termasuk bila terdapat perpanjangan PKWT.
    4. Jenis outsourcing dibatasi
    Majelis hakim juga meminta supaya undang-undang kelak menyatakan agar menteri menetapkan jenis dan bidang pekerjaan alih daya (
    outsourcing
    ) demi perlindungan hukum yang adil bagi pekerja.
    Menurut MK, perusahaan, penyedia jasa
    outsourcing
    , dan pekerja perlu punya standar yang jelas mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dapat dibuat
    outsourcing
    , sehingga para buruh hanya akan bekerja outsourcing sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian.
    Batasan ini juga diharapkan dapat mempertegas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam praktik
    outsourcing
    yang kerap memicu konflik/sengketa pekerja dengan perusahaan.
    5. Bisa libur 2 hari seminggu

    MK pun mengembalikan alternatif bahwa terdapat opsi libur 2 hari dan 5 hari kerja seminggu untuk para pekerja.
    Sebelumnya, aturan dalam UU Cipta Kerja hanya memberi jatah libur 1 hari seminggu untuk pekerja tanpa opsi alternatif libur 2 hari.
    Padahal, UU Ketenagakerjaan sejak awal menyediakan opsi libur 2 hari seminggu untuk pegawai yang dibebaskan berdasarkan produktivitas masing-masing perusahaan.
    6. Upah harus mengandung komponen hidup layak
    UU Ciptaker melenyapkan penjelasan mengenai komponen hidup layak pada pasal soal penghasilan/
    upah
    yang sebelumnya diatur UU Ketenagakerjaan.
    “Berkenaan dengan norma baru tersebut, menurut Mahkamah tetap diperlukan adanya penjelasan maksud ‘penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ karena penjelasan tersebut merupakan bagian penting dalam pengupahan,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan.
    Oleh karena itu, MK meminta pasal soal pengupahan harus “mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua”.
    7. Hidupkan lagi dewan pengupahan

    Mahkamah juga menghidupkan lagi peran dewan pengupahan yang dihapus di UU Cipta Kerja, sehingga penetapan kebijakan upah ke depan tak lagi sepihak di tangan pemerintah pusat.
    MK menegaskan, kebijakan upah mesti “melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah” sebagai bahan bagi pemerintah pusat menetapkan kebijakan upah.
    Aturan soal dewan pengupahan pada UU Cipta Kerja juga dilengkapi MK dengan klausul bahwa dewan tersebut “berpartisipasi secara aktif’.
    8. Skala upah harus proporsional

    Majelis hakim juga merasa perlu menambahkan frasa “yang proporsional” untuk melengkapi frasa “struktur dan skala upah”.
    MK juga memperjelas frasa “indeks tertentu” dalam hal pengupahan sebagai “variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”.
    9. Upah minimum sektoral berlaku lagi
    UU Cipta Kerja sebelumnya telah menghapus ketentuan
    upah minimum
    sektoral (UMS). MK menilai, kebijakan itu dalam praktiknya sama saja negara tak memberi perlindungan yang memadai bagi pekerja.
    MK menegaskan, UMS mesti diberlakukan karena pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda, tergantung tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan.
    Sehingga, dihapusnya UMS dinilai bisa mengancam standar perlindungan pekerja.
    10. Serikat pekerja berperan dalam pengupahan, upah harus memperhatikan masa kerja
    Mahkamah juga memasukkan kembali frasa “serikat pekerja/buruh” pada aturan soal upah di atas upah minimum.
    Sebelumnya, di dalam UU Cipta Kerja, kesepakatan itu dibatasi hanya antara perusahaan dan pekerja.
    Di samping itu, MK juga menambahkan agar struktur dan skala upah di perusahaan tak hanya memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, tetapi juga “golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi”.
    11. PHK baru bisa dilakukan usai putusan inkrah
    MK menegaskan, perundingan bipartit terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) harus dilakukan secara musyawarah mufakat.
    Apabila perundingan itu mentok, MK menegaskan bahwa PHK “hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap” sesuai ketentuan dalam Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
    12. Batas bawah uang penghargaan masa kerja (UPMK)
    Mahkamah juga menyatakan bahwa pengaturan soal hitungan UPMK di dalam UU Cipta Kerja adalah nominal batas bawah.
    MK menegaskan, Pasal 156 ayat (2) dalam pasal 81 angka 47 beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “paling sedikit”.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MK Kabulkan Gugatan Partai Buruh Cs, 21 Pasal UU Ciptaker Diubah!

    MK Kabulkan Gugatan Partai Buruh Cs, 21 Pasal UU Ciptaker Diubah!

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan Partai Buruh dan pemohon lainnya terkait Undang-Undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker.

    Permohonan itu dikabulkan dalam sidang putusan perkara nomor 168/PUU-XXI/2023 itu di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (31/10/2024). 

    Selain Partai Buruh, pemohon lainnya yakni FSPMI, KSPSI, KPBI serta KSPI juga ikut menggugat 71 Pasal UU Ciptaker No.6/2023 tentang Penetapan Perppu Ciptaker sebagai UU. Pada intinya, puluhan pasal yang digugat itu terkait dengan pengupahan, hubungan kerja, hingga tenaga kerja asing. 

    Dalam pertimbangannya, hakim MK menyatakan bahwa gugatan sebagian puluhan pasal itu dikabulkan dinilai mengancam perlindungan hak kerja hingga menggangu keharmonisan aturan yang berlaku.

    “Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo di persidangan seperti dikutip, Kamis (31/10/2024). 

    21 Pasal UU Ciptaker yang Diubah MK

    Setidaknya, terdapat 21 pasal UU Ciptaker No.6/2023 tentang Penetapan Perppu Ciptaker sebagai UU. Nah, berikut 21 Pasal UU Ciptaker yang diubah oleh MK :

    1. Menyatakan frasa ‘Pemerintah Pusat’ dalam Pasal 42 ayat (1) dalam pasal 81 angka 4 UU No.6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘menteri yang bertanggung jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan in casu menteri Tenaga Kerja’

    2. Menyatakan pasal 42 ayat (4) dalam pasal 81 angka 4 UU No.6/2023 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 tentang cipta kerja menjadi UU yang menyatakan ‘tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia’.

    3. Menyatakan pasal 56 ayat (3) dalam pasal 81 angka 12 UU No.6/2023 yang menyatakan ‘Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja’, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan’

    4. Menyatakan pasal 57 ayat 1 dalam pasal 81 angka 13 UU No.6/2023 yang menyatakan ‘Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta harus menggunakan secara Bahasa Indonesia dan huruf latin’, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin’.

    5. Menyatakan pasal 64 ayat 2 dalam pasal 81 angka 18 UU No.6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi UU yang menyatakan ‘Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan dimaksud pada ayat (1)’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya’.

    6. Menyatakan pasal 79 ayat 2 huruf b dalam pasal 81 angka 25 UU 6/2023 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja yang menyatakan ‘Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa ‘atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu’.

    7. Menyatakan kata ‘dapat’ dalam pasal 79 ayat 5 dalam pasal 81 angka 25 tentang UU No.6/2023 Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat

    8. Menyatakan pasal 88 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 27 UU No.6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja yang menyatakan ‘Setiap pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua’.

    9. Menyatakan Pasal 88 ayat 2 dalam Pasal 81 angka 27 UU No.6/2023 penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja yang menyatakan ‘Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan layak bagi kemanusiaan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan’.

    10. Menyatakan frasa ‘struktur dan skala upah’ dalam pasal 88 ayat 3 huruf b dalam pasal 81 angka 27 lampiran UU No.6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘struktur dan skala upah yang proporsional’.

    11. Menyatakan pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota’.

    12. Menyatakan frasa ‘indeks tertentu’ dalam pasal 88D ayat 2 dalam pasal 81 angka 28 UU 6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh’.

    13. Menyatakan frasa ‘dalam keadaan tertentu’ dalam pasal 88F dalam pasal 81 angka 28 UU 6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan tertentu’ mencakup antara lain bencana alam atau nonalam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’.

    14. Menyatakan Pasal 90A dalam pasal 81 angka 31 UU No.6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU yang menyatakan ‘upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan’.

    15. Menyatakan pasal 92 ayat 1 dalam pasal 81 angka 33 UU 6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU yang menyatakan ‘Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi’.

    16. Menyatakan pasal 95 ayat 3 dalam pasal 81 angka 36 UU No.6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU yang menyatakan ‘Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan’.

    17. Menyatakan pasal 98 ayat 1 dalam pasal 81 angka 39 UU No.6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU yang menyatakan ‘untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif’.

    18. Menyatakan frasa ‘wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh’ dalam pasal 151 ayat (3) dalam pasal 81 angka 40 UU No.6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh’.

    19. Menyatakan frasa ‘Pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial’ dalam pasal 151 ayat (4) dalam pasal 81 angka 40 UU No.6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Dalam perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap’.

    20. Menyatakan frasa ‘dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya’ dalam norma pasal 157A ayat (3) dalam pasal 81 angka 49 UU No.6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI’.

    21. Menyatakan frasa ‘diberikan dengan ketentuan sebagai berikut’ pasal 156 ayat 2 dalam pasal 81 angka 47 UU No. 6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti menjadi UU No.2/2022 Tentang Cipta Kerja menjadi UU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘paling sedikit’.