Produk: UUD 1945

  • Kesbangpol Tuban Gandeng Gen Z untuk Penguatan Wawasan Kebangsaan

    Kesbangpol Tuban Gandeng Gen Z untuk Penguatan Wawasan Kebangsaan

    Tuban (beritajatim.com) – Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Tuban menggandeng para pelajar SMA/SMK sederajat dan tokoh pemuda di tiga kecamatan untuk mengikuti sosialisasi wawasan kebangsaan di Gedung Lantai 3 Pemkab Tuban. Kegiatan ini menjadi upaya pemerintah daerah dalam memperkuat pemahaman generasi Z mengenai nilai-nilai kebangsaan, bela negara, serta peran aktif mereka dalam kehidupan bermasyarakat.

    Kepala Badan Kesbangpol Tuban, Yudi Irwanto, menjelaskan bahwa kegiatan ini dirancang untuk menanamkan pemahaman dasar tentang semangat kebangsaan kepada generasi muda. Ia menegaskan pentingnya generasi Z memahami konsep bela negara melalui cara yang relevan dengan kehidupan mereka saat ini.

    “Hari ini kami mengadakan sosialisasi wawasan kebangsaan bela negara dengan diikuti 100 orang peserta,” ujar Yudi Irwanto, Selasa (18/11/2025).

    Para peserta berasal dari SMA/SMK negeri maupun swasta serta tokoh pemuda dari Kecamatan Tuban, Palang, dan Semanding. Sosialisasi ini juga menyasar pemahaman dasar mengenai prinsip-prinsip kebangsaan sebagaimana diamanatkan dalam Permendagri, mencakup cinta tanah air, wawasan kebangsaan, serta nilai-nilai NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

    “Khususnya saat ini ditekankan dari Permendagri bahwa mereka harus mengetahui tentang cinta tanah air, tentang wawasan kebangsaan dan didalamnya kan ada tentang NKRI, Pancasila, UUD dan Bhineka Tunggal Ika,” imbuhnya.

    Yudi menambahkan bahwa nilai kebangsaan perlu diterapkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, terutama oleh generasi Z yang saat ini menjadi kelompok terbesar dalam populasi pelajar. Ia mencontohkan bentuk sederhana kepedulian sosial yang dapat diterapkan.

    “Misalkan, ada di sekolah atau di lingkungannya ada orang meninggal ya sewajarnya ikut takziah, sehingga mereka diharapkan tanggap terhadap lingkungannya,” terang Yudi sapanya.

    Menurut Yudi, masih banyak perilaku positif yang dapat dikembangkan para pelajar dan pemuda sebagai wujud penerapan wawasan kebangsaan, baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Untuk memperkaya materi, Kesbangpol menghadirkan narasumber dari Bakesbangpol, Kodim 0811 Tuban, Polres Tuban, serta Komisi II DPRD Tuban.

    “Kalau untuk pemateri langsung dari Bakesbangpol, Kodim 0811 Tuban, Polres Tuban dan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tuban,” pungkasnya. [dya/beq]

  • KPK Masih Telaah Implikasi Putusan MK soal Larangan Polisi Isi Jabatan Sipil

    KPK Masih Telaah Implikasi Putusan MK soal Larangan Polisi Isi Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai anggota polisi dilarang mengisi jabatan sipil.

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyampaikan pihaknya masih menelaah implikasi putusan tersebut terhadap jabatan anggota kepolisian di KPK.

    “Pasca putusan itu tim biro hukum KPK langsung melakukan analisis untuk mempelajari terkait dengan implikasi dari putusan itu tehadap KPK dengan jabatan-jabatan yang ada di KPK,” kata Budi dalam keterangannya, Selasa (18/11/2025).

    Sampai saat ini, kata Budi, proses analisis masih terus berlangsung di mana hasilnya akan disampaikan ke Publik. Sebab, sumber daya manusia di KPK terdiri dari berbagai instansi. 

    Dia menyebutkan, pegawai KPK berasal dari instansi mengisi bidang pengolahan data, pencegahan korupsi, pengolahan barang milik negara, hingga kehumasan tata usaha.

    “Selain dari insan-insan komisi, KPK mendapatkan dukungan sumber daya manusia dari institusi lain, dari kejaksaan, dari kepolisian, kementerian [dan] lembaga,” ujar Budi.

    Budi juga merespons terkait Ketua KPK Setyo Budiyanto yang sebelumnya diberitakan masih aktif sebagai anggota Polisi.

    Budi menjelaskan bahwa Setyo sudah purnawirawan atau tidak aktif di struktural Polri sehingga Setyo secara penuh bekerja di ruang lingkup Komisi Pemberantasan Korupsi.

    “Setyo Budianto juga per 1 Juli 2025 juga sudah masuk menjadi purnawirawan atau purna tugas, artinya putusan MK tidak ada implikasi terhadap status dari ketua KPK,” tegas Budi.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian selama masih berstatus aktif.

    Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

  • Telaah Dua Putusan Kontroversial MK, dari IKN hingga Rangkap Jabatan Polri

    Telaah Dua Putusan Kontroversial MK, dari IKN hingga Rangkap Jabatan Polri

    Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi akhir-akhir mengeluarkan dua putusan yang sangat kontroversial di Indonesia yakni terkait IKN dan rangkap jabatan Polri.

    Prinsip yang dipegang oleh MK merilis dua putusan baru adalah taat pada UUD 1945, patuh terhadap konstitusi negara, hingga memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang selama ini sering sekali terpinggirkan. Sebab, UUD 1945 adalah pedoman tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintah.

    Adapun putusan pertama yakni MK menghapus hak 190 tahun atas hak guna usaha (HGU) di IKN, karena menentang UUD 1945. MK menilai bahwa UU IKN yang diteken oleh Presiden RI ke-7 Joko Widodo, khususnya pasal 16A telah melanggar UUD 1945.

    Kini, majelis hakim merilis mekanisme penggunaan Hak Atas Tanah (HAT), agar penggunaan tanah di IKN sesuai dengan konstitusi negara. Pembaruan ini juga bisa untuk menjaga hak-hak masyarakat adat yang berada di Kalimantan.

    Kali ini, MK memberikan tafsir baru atas pengaturan jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP). Tafsir yang dikeluarkan MK terkait IKN ini menegaskan bahwa mekanisme penggunaan HAT harus mengikuti tahapan pemberian, perpanjangan, dan pembaruan, bukan diberikan sekaligus dalam dua siklus sebagaimana frasa yang tercantum dalam UU IKN.

    Ketua MK Suhartoyo menyatakan dalam sidang pembacaan bahwa amar Putusan Nomor 185/PUU-XXII/2024 bertentangan dengan konstitusi. Dia juga mengatur bahwa HGU diberikan waktu paling lama menjadi 35 tahun, perpanjangan hak paling lama 25 tahun, dan pembaruan hak paling lama 35 tahun, sesuai dengan kriteria dan tahapan evaluasi.

    Suhartoyo juga membacakan dua amar serupa untuk HGB dan HP, masing-masing dengan jangka waktu maksimal 30 tahun untuk pemberian, 20 tahun untuk perpanjangan, dan 30 tahun untuk pembaruan.

    Ambiguitas 190 Tahun dan Respon Kepala BPN

    UU IKN yang menyebutkan bahwa angka 190 tahun, menimbulkan makna yang ambigu, sehingga bisa disalahartikan oleh pihak-pihak lain.

    Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut. Menurut dia, ketentuan Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 menimbulkan ambiguitas karena menyebutkan HGU diberikan melalui satu siklus dan dapat diberikan kembali untuk satu siklus kedua, yang jika dijumlahkan mencapai 190 tahun.

    “Sehingga hal demikian menimbulkan norma yang ambigu yang berpeluang disalahartikan,” ujarnya. 

    Kendati begitu, Enny menegaskan MK tetap mengakui mekanisme tiga tahapan yakni pemberian, perpanjangan, dan pembaruan yang selama ini menjadi praktik pertanahan nasional dan telah ditegaskan dalam putusan MK sebelumnya.

    Dia mengungkapkan bahwa pemberian HAT sekaligus dalam dua siklus tidak sesuai dengan prinsip evaluasi berkala yang wajib dilakukan negara. Karena itu, frasa tentang “siklus pertama” dan “siklus kedua” harus dibatalkan.

    “Artinya, batasan waktu paling lama 95 tahun dimaksud dapat diperoleh sepanjang memenuhi persyaratan selama memenuhi kriteria dan tahapan evaluasi,” ujarnya.

    Dalam kesempatan terpisah, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengaku menghormati segala bentuk keputusan MK mengenai aturan tersebut.

    Menurutnya, keputusan ini bisa menjadi landasan penting dalam memperkuat kepastian hukum, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah Penajam Paser Utara (PPU).

    “Kami menghormati dan siap melaksanakan sepenuhnya putusan MK. Ini adalah landasan penting untuk memperkuat kepastian hukum, transparansi, dan tata kelola pertanahan yang lebih baik dalam pembangunan IKN,” jelas Nusron dalam keterangannya, Minggu (16/11/2025).

    Pada saat yang sama, Nusron juga menilai ketetapan ini sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 mengenai prinsip penguasaan negara atas sumber daya alam.

    Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa putusan MK menjadi momentum untuk memperkuat fungsi sosial tanah, terutama perlindungan terhadap masyarakat lokal dan adat. Dia berpandangan, keseimbangan antara pembangunan dan keadilan sosial menjadi prinsip utama yang terus dijaga pemerintah.

    “Presiden Prabowo memberi perhatian besar pada perlindungan masyarakat lokal dalam pembangunan IKN. Dengan putusan ini, negara semakin kuat dalam memastikan kepastian hukum sekaligus keadilan sosial,” tambahnya.

    Sebagai informasi, MK menetapkan untuk membatalkan Pemberian HAT lahan IKN Selama 190 tahun dalam putusan yang dibacakan pada Kamis (13/11/2025). 

    Respon Putusan MK, Polri Bentuk Tim Pokja 

    Baru-baru ini, MK telah memutuskan untuk menghapus frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

    Hal itu tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025). Adapun, putusan ini kemudian menimbulkan persepsi soal anggota Polri tidak bisa menduduki jabatan sipil.

    Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 

    Meskipun MK berupaya untuk mengikuti UUD 1945, Polri kini malah menindaklanjuti putusan tersebut dengan membuat Pokja. Tim Pokja akan terlebih dahulu untuk menyamakan persepsi terkait putusan MK dengan sejumlah pihak itu agar tidak multitafsir.

    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah membentuk kelompok kerja untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal anggota Polri duduk di jabatan sipil.

    Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan Kapolri Sigit telah menggelar rapat dengan pejabat utama untuk membahas putusan itu. Hasilnya, Sigit telah memutuskan untuk membuat tim pokja untuk menindaklanjuti putusan MK.

    “Bapak Kapolri berdasarkan hasil putusan rapat tersebut bahwa Polri akan membentuk tim Pokja yang bisa membuat kajian cepat terkait dengan putusan MK tersebut,” ujar Sandi di Mabes Polri, Senin (17/11/2025).

    Pokja itu, kata Sandi, bakal berkoordinasi dengan pihak terkait seperti Kemenpan RB, Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Kemenkum, Kemenkeu hingga Mahkamah Konstitusi (MK).

    “Sehingga tidak menjadi multitafsir harapannya ke depannya. Karena hal ini juga menyangkut adanya beberapa hal yang berkaitan dengan kementerian lembaga lainnya,” imbuhnya.

    Adapun, Sandi menekankan bahwa kepolisian pasti akan menghormati apapun keputusan MK sesuai dengan amanat undang-undang yang ada.

    “Yang pasti, bahwa Kepolisian sangat mengapresiasi dan menghormati putusan dari MK dan akan menindaklanjuti keputusan MK tersebut,” pungkasnya.

  • Ketua MPR Dorong Finalis LCC Jadi Inspirasi Persatuan Bangsa

    Ketua MPR Dorong Finalis LCC Jadi Inspirasi Persatuan Bangsa

    Jakarta

    Ketua MPR RI Ahmad Muzani membuka secara resmi Grand Final Lomba Cerdas Cermat (LCC) Empat Pilar MPR RI Tahun 2025 di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/11). Ajang yang diikuti oleh ratusan pelajar dari 38 SMA perwakilan provinsi se-Indonesia ini merupakan puncak rangkaian kegiatan LCC Empat Pilar yang telah berlangsung sejak Mei 2025 di tingkat provinsi.

    Dalam sambutannya, Muzani mengatakan bahwa para finalis yang hadir merupakan generasi muda dari berbagai daerah yang telah menunjukkan kemampuannya dalam memahami konstitusi dan ideologi negara. Ia berharap para peserta dapat menjadi inspirasi bagi pelajar lain di seluruh Indonesia.

    “Siapapun yang jadi juara, sebenarnya kita semua adalah juara. Saya berharap finalis dari 38 provinsi ini dapat memberi semangat dan menjadi contoh bagi pelajar lainnya, serta menginspirasi upaya mempersatukan kehidupan bangsa dan negara,” ujar Muzani dalam keterangannya, Senin (17/11/2025).

    Politisi Partai Gerindra ini menegaskan bahwa para peserta LCC merupakan calon pemimpin bangsa di masa mendatang. Ia menilai kehadiran para pelajar di Ruang Paripurna, di Gedung Nusantara yang menjadi tempat pelantikan anggota legislatif dan presiden, memiliki makna simbolis yang kuat.

    “Tempat ini mulia. Di sinilah anggota DPR, DPD, dan MPR dilantik. Terakhir, Presiden Prabowo Subianto mengangkat sumpah pada 20 Oktober 2024 di ruang ini. Sengaja Pimpinan MPR menempatkan acara pembukaan Lomba Cerdas Cermat Tingkat Nasional di tempat ini, karena kami yakin tempat ini memberi aura dan semangat bagi adik-adik, disinilah Indonesia dipersatukan, disinilah semangat Indonesia digelorakan,” paparnya.

    Dalam kaitan dengan menjaga ideologi negara, lanjut Muzani, MPR melakukannya melalui Sosialisasi Empat Pilar MPR (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika). Sosialisasi dilakukan bersama dengan seluruh anggota MPR yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah

    “Dalam melakukan sosialisasi, MPR melakukannya dengan berbagai metode, ada yang bertemu langsung, ada yang lewat budaya, ada yang lewat agama, ada yang lewat usaha atau UMKM, ada yang lewat olahraga, dan berbagai macam kegiatan dalam upaya terus menyadarkan kita dalam berbangsa dan bernegara. Tapi disisi lain, MPR juga melakukan kegiatan-kegiatan yang langsung ditangani oleh MPR. Salah satunya adalah seperti ini, Lomba Cerdas-Cermat di tingkat nasional yang sebelumnya dilakukan di tingkat provinsi ini,” ujarnya.

    Menurut Muzani, LCC bukan hanya kompetisi, tetapi juga simbol persatuan. Meski ada penentuan pemenang, makna terdalam dari perlombaan ini adalah berkumpulnya pelajar dari beragam budaya, bahasa, hingga agama.

    “Percayalah, juara itu simbol. Hakikatnya, kalian semua adalah duta persatuan Indonesia. Dari berbagai suku dan daerah, kalian bersatu untuk merah putih dan masa depan Indonesia,” ujarnya.

    Muzani mengingatkan bahwa pada 2045 Indonesia akan memasuki era Indonesia Emas. Para peserta yang kini berusia 17-20 tahun akan berada pada usia produktif sebagai penggerak bangsa saat bangsa ini memasuki era Indonesia Emas.

    “Kami berharap adik-adik menjadi motor persatuan, keberagaman, dan kemajuan Indonesia masa depan. Jika generasi Indonesia Emas memiliki kesadaran kuat tentang persatuan dan kedaulatan, maka masa depan bangsa ini akan cerah,” katanya.

    Acara Pembukaan Grand Final LCC Tahun 2025 sendiri berlangsung lancar dan khidmat. Di sesi akhir, Muzani didampingi para Wakil Ketua MPR RI, Ketua Badan Sosialisasi MPR RI dan Sekjen MPR RI bersama-sama secara menekan LED cube secara simbolis membuka resmi Grand Final LCC Empat Pilar MPR RI Tahun 2025, dilanjutkan dengan foto bersama seluruh peserta di tangga depan gedung ikonik Nusantara.

    Turut hadir dalam acara, para Wakil Ketua MPR RI, Kahar Muzakir, Lestari Moerdijat, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas); Ketua Badan Sosialisasi MPR RI, Abraham Liyanto, Ketua Fraksi Partai Golkar dan Ketua Badan Penganggaran MPR RI, Melchias Markus Mekeng; para Anggota MPR RI, Sekretaris Jenderal MPR RI, Siti Fauziah; Deputi Bidang Pengkajian dan Pemasyarakatan Konstitusi Setjen MPR RI, Hentoro Cahyono; Staf Ahli Mendikdasmen Bidang Manajemen Talenta, Mariman Darto; Para Pejabat dan pegawai di lingkungan Setjen MPR RI, serta siswa dan siswi peserta Grand Final LCC Empat Pilar MPR RI 2025 dari 38 provinsi beserta guru pendamping.

    (akd/ega)

  • Kapolri Bentuk Pokja untuk Kaji Putusan MK Soal Polisi Duduki Jabatan Sipil

    Kapolri Bentuk Pokja untuk Kaji Putusan MK Soal Polisi Duduki Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA — Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah membentuk kelompok kerja untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal anggota Polri duduk di jabatan sipil.

    Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan Kapolri Sigit telah menggelar rapat dengan pejabat utama untuk membahas putusan itu. Hasilnya, Sigit telah memutuskan hntuk membuat tim pokja untuk menindaklanjuti putusan MK.

    “Bapak Kapolri berdasarkan hasil putusan rapat tersebut bahwa Polri akan membentuk tim Pokja yang bisa membuat kajian cepat terkait dengan putusan MK tersebut,” ujar Sandi di Mabes Polri, Senin (17/11/2025).

    Pokja itu, kata Sandi, bakal berkoordinasi dengan pihak terkait seperti Kemenpan RB, Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Kemenkum, Kemenkeu hingga Mahkamah Konstitusi (MK).

    Pada intinya, tim Pokja akan terlebih dahulu untuk menyamakan persepsi terkait putusan MK dengan sejumlah pihak itu agar tidak multitafsir.

    “Sehingga tidak menjadi multitafsir harapannya ke depannya. Karena hal ini juga menyangkut adanya beberapa hal yang berkaitan dengan kementerian lembaga lainnya,” imbuhnya.

    Adapun, Sandi menekankan bahwa kepolisian pasti akan menghormati apapun keputusan MK sesuai dengan amanat undang-undang yang ada.

    “Yang pasti, bahwa Kepolisian sangat mengapresiasi dan menghormati putusan dari MK dan akan menindaklanjuti keputusan MK tersebut,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, MK telah memutuskan untuk menghapus frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

    Hal itu tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025). Adapun, putusan ini kemudian menimbulkan persepsi soal anggota Polri tidak bisa menduduki jabatan sipil.

    Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 

  • Dekan UMAHA Jelaskan Dampak Putusan MK terhadap Anggota Polri

    Dekan UMAHA Jelaskan Dampak Putusan MK terhadap Anggota Polri

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 memberikan penegasan baru dalam penafsiran Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Melalui amar putusannya, MK secara resmi menghapus frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” yang selama ini dinilai menimbulkan multitafsir dalam penerapan ketentuan jabatan di luar institusi Polri.

    Dekan Fakultas Hukum Universitas Maarif Hasyim Latif (UMAHA) Sidoarjo, Dr. Faiar Rachmad DM., S.H., M.H., menjelaskan bahwa sebelum putusan tersebut terbit, penjelasan Pasal 28 ayat (3) mengandung dua persoalan utama: makna “sangkut paut dengan kepolisian” dan keharusan adanya penugasan dari Kapolri sebagai dasar anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar institusi.

    Dengan dihapuskannya frasa yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 itu, frasa tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Dengan dihapuskannya frasa tersebut, dasar penentuan kewajiban mundur bagi anggota Polri tidak lagi bergantung pada ada atau tidaknya penugasan dari Kapolri,” jelas Dr. Faiar, Senin (17/11/2025).

    Ia menegaskan bahwa anggota Polri tidak wajib mengundurkan diri jika jabatan yang diduduki di luar kepolisian memiliki keterkaitan langsung dengan tugas dan fungsi Polri.

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah “sangkut paut” berarti hubungan atau pertalian. Dengan demikian, jabatan yang memiliki relevansi fungsional dengan tugas pokok Polri dapat dikategorikan sebagai jabatan yang masih berkaitan erat dengan kepolisian.

    Ia mencontohkan beberapa lembaga yang memiliki keterkaitan substantif dengan tugas Polri. Diantaranya, Badan Narkotika Nasional (BNN) yang memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan narkotika, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang berwenang menangani pencegahan dan penindakan terorisme, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjalankan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan korupsi, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang berperan dalam keamanan siber nasional, Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang menjalankan fungsi penegakan hukum di perairan serta berbagai direktorat penegakan hukum di kementerian/lembaga, seperti Ditjen Imigrasi dan Ditjen Bea Cukai.

    “Lembaga-lembaga ini memiliki peran yang berkaitan dengan keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum. Karena itu, tidak otomatis mewajibkan anggota Polri untuk mengundurkan diri ketika menduduki jabatan di instansi tersebut,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Dr. Faiar menilai putusan ini sebagai tonggak penting untuk memastikan kepastian hukum, kejelasan norma, dan pencegahan multitafsir terkait jabatan anggota Polri di luar institusi Bhayangkara. Putusan MK ini juga memperkuat prinsip netralitas serta pencegahan konflik kepentingan.

    Ia mendorong pemerintah dan DPR segera menindaklanjuti putusan tersebut dengan membuat pengaturan lanjutan yang lebih limitatif, eksplisit, dan terukur, agar tidak terjadi kekosongan norma dan untuk memastikan profesionalitas Polri dalam penyelenggaraan jabatan publik.

    “Putusan ini adalah penegasan batas konstitusional, bukan perluasan ruang rangkap jabatan. Prinsip yang harus dijaga tetap sama: integritas, profesionalitas, dan kepastian hukum,” tegasnya. (isa/but)

     

     

  • MK Batalkan Hak Atas Tanah IKN, Nusron Tegaskan Janji Ini ke Investor

    MK Batalkan Hak Atas Tanah IKN, Nusron Tegaskan Janji Ini ke Investor

    Jakarta, CNBC Indonesia – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan tafsir jangka waktu penggunaan Hak Atas Tanah (HAT), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) dalam Undang-Undang Nomor 3/2022 tentang Ibu Kota Nusantara (UU IKN). MK memutuskan, siklus penggunaan Hak Atas Tanah tak lagi 2 siklus.

    Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan Nomor 185/PUU-XXII/2024, pada Kamis (13/11/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, yang menyatakan Pasal 16A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak guna usaha, diberikan hak, paling lama 35 tahun; perpanjangan hak, paling lama 25 tahun; dan pembaruan hak, paling lama 35 tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi.

    Merespons keputusan MK tersebut, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menyatakan menyambut baik. Dan menegaskan, Kementerian ATR/BPN bersama Otorita IKN dan kementerian terkait segera melakukan koordinasi untuk harmonisasi regulasi serta penyelarasan aturan teknis, agar seluruh pelaksanaan di lapangan berjalan sesuai ketentuan MK.

    “Kami menghormati dan siap melaksanakan sepenuhnya putusan MK. Ini adalah landasan penting untuk memperkuat kepastian hukum, transparansi, dan tata kelola pertanahan yang lebih baik dalam pembangunan IKN,” kata Menteri Nusron, dikutip dari keterangannya, Senin (17/11/2025).

    “Putusan MK menegaskan pemberian HGU, HGB, dan Hak Pakai di IKN tidak dapat menggunakan skema dua siklus 95 tahun, dan harus kembali mengikuti batasan nasional dengan mekanisme evaluasi yang jelas dan terukur. Ketetapan ini sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 mengenai prinsip penguasaan negara atas sumber daya alam,” tambahnya,

    Karena itu, lanjut Nusron, keputusan MK justru memperkuat posisi negara sekaligus memberikan kepastian hukum bagi investasi dan pembangunan IKN.

    “Putusan tersebut konsisten dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pembangunan IKN yang adil, transparan, modern, dan tetap berlandaskan konstitusi,” ujarnya.

    “Putusan MK tidak menghambat investasi. Yang dikoreksi adalah durasi hak, bukan kepastian berusaha. Semua proses yang sudah berjalan dapat dilanjutkan dengan penyesuaian. Ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo untuk menjaga iklim investasi yang sehat,” sambungnya.

    Dia menambahkan, putusan MK menjadi momentum untuk memperkuat fungsi sosial tanah, terutama perlindungan terhadap masyarakat lokal dan adat.

    “Keseimbangan antara pembangunan dan keadilan sosial menjadi prinsip utama yang terus dijaga pemerintah,” katanya.

    “Presiden Prabowo memberi perhatian besar pada perlindungan masyarakat lokal dalam pembangunan IKN. Dengan putusan ini, negara semakin kuat dalam memastikan kepastian hukum sekaligus keadilan sosial,” ujar Nusron.

    Dia pun menjamin, sistem evaluasi, monitoring, dan tata kelola pertanahan di IKN akan terus diperkuat guna menjamin transparansi dan akuntabilitas.

    Penjelasan Ketua MK

    Sebagai informasi, putusan ini berawal dari pengajuan oleh Pemohon Prinsipal Stepanus Febyan Babaro dan Kuasa Hukumnya Syamsul Jahidin untuk pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara.

    Pemohon mendalilkan terdapat dua regulasi berbeda mengenai jangka waktu HGU, HGB dan Hak Pakai yaitu dengan diberlakukan Pasal 16A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU IKN dan aturan sama terdapat dalam Pasal 9 Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

    Selain itu, Pemohon mengungkapkan, UU IKN dan Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN tidak mengatur secara jelas pihak-pihak yang berhak memiliki HGU, HGB, dan Hak Pakai. Disebutkan, hal ini membuka peluang bagi pihak asing untuk menguasai tanah di IKN dalam jangka waktu yang sangat panjang. Pemohon menegaskan, pemberian hak atas tanah dengan durasi yang terlalu lama dapat mengorbankan kepentingan generasi mendatang

    Ketua MK Suhartoyo menjelaskan, Pasal 16A ayat (2) UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai

    “Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak guna bangunan, diberikan hak, paling lama 30 tahun; perpanjangan hak, paling lama 20 tahun; dan pembaruan hak, paling lama 30 tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi,” katanya, dikutip dari situs resmi MK, Senin (17/11/2025).

    “Kemudian, Pasal 16A ayat (3) UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak pakai, diberikan hak, paling lama 30 tahun; perpanjangan hak, paling lama 20 tahun; dan pembaruan hak, paling lama 30 tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi,” ucapnya.

    Memperlemah Posisi Negara

    Terkait Pemohon yang menguji Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 dan Penjelasannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengungkapkan, terdapat ketidaksesuaian Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 dan Penjelasannya. Hal ini karena norma Pasal a quo menentukan, HAT-dalam hal ini HGU-diberikan melalui 1 (satu) siklus dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 (satu) siklus kedua. Pemberian HAT melalui satu siklus tersebut menimbulkan kesan seolah-olah HGU langsung diberikan selama 95 (sembilan puluh lima) tahun.

    Sementara itu, Penjelasan Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 menyatakan pemberian HAT secara bertahap diatur masing-masing tahapan tersebut dalam Penjelasan Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023.

    “Sehingga hal demikian menimbulkan norma yang ambigu yang berpeluang disalahartikan, sekalipun terdapat ketentuan yang menyatakan pemberiannya didasarkan pada kriteria dan tahapan evaluasi. Sebab, persoalannya terletak pada perumusan norma pokok yang menentukan atau menggunakan frasa melalui 1 (satu) siklus dan dapat diberikan kembali untuk 1 (satu) siklus kedua, yang menurut Mahkamah maknanya sama dengan memberikan batasan waktu yang sekaligus, yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21- 22/PUU-V/2007,” ucap Enny.

    Belum lagi, sambunganya, ditentukan pula dalam norma Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 jumlah waktunya adalah 95 tahun untuk 1 siklus pertama HGU dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 siklus kedua dengan jumlah 95 tahun, yang apabila diakumulasi dari kedua siklus tersebut menjadi 190 tahun.

    “Ketentuan ini tidak sejalan atau memperlemah posisi negara dalam menguasai HAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Setelah Mahkamah mencermati Penjelasan Umum UU 21/2023 dinyatakan bahwa salah satu maksud perubahan UU 3/2022 pada pokoknya untuk melakukan pengaturan jangka waktu HAT yang kompetitif,” ujar Enny.

    Foto: Ekspresi Pemohon Prinsipal Stepanus Febyan Babaro dan Kuasa Hukumnya Syamsul Jahidin usai mendengarkan sidang pengucapan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara, Kamis (13/11) di Ruang Sidang MK. (Dok. Humas/Ifa via mkri)
    Ekspresi Pemohon Prinsipal Stepanus Febyan Babaro dan Kuasa Hukumnya Syamsul Jahidin usai mendengarkan sidang pengucapan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara, Kamis (13/11) di Ruang Sidang MK. (Dok. Humas/Ifa via mkri)

    (dce/dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • 2
                    
                        Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif
                        Nasional

    2 Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif Nasional

    Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Erga omnes
    , istilah yang kerap dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki arti berlaku terhadap semua.
    Erga omnes
    adalah bahasa latin yang memberikan pengertian bahwa putusan MK adalah putusan yang memberlakukan norma untuk semua warga negara di Indonesia atas sengketa undang-undang yang diuji.
    Putusan
    MK
    juga bersifat
    final and binding
    , yang memiliki arti
    putusan MK
    langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh setelahnya.
    Penjelasan terkait
    final and binding
    ini juga dimuat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
    Mahkamah Konstitusi
    .
    Namun seiring berjalannya waktu, putusan MK yang bersifat mengikat ini tak lantas dipatuhi, termasuk oleh para pejabat penyelenggara negara.
    Hal ini disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti saat ditemui di Harris Hotel, Bandung, Jawa Barat, Jumat (15/11/2025).
    Dia langsung memberikan contoh putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam proses pembentukannya.
    “Itu kan (putusan) nggak dilaksanakan, yang dilaksanakan (pemerintah dan DPR) itu hanya mengubah undang-undang nomor 12 tahun 2011 untuk memasukkan metode omnibus,” katanya.
    Padahal sangat jelas, MK meminta agar ada pembahasan ulang. Pemerintah juga bermanuver dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
    Susi juga menyebut, pembangkangan terhadap putusan MK juga terlihat dari putusan yang meminta agar wakil menteri dilarang merangkap jabatan.
    “Nah seperti itu kan wakil menteri sudah enggak boleh,” katanya.
    Untuk diketahui, MK menyatakan wakil menteri dilarang rangkap jabatan melalui putusan 128/PUU-XXIII/2025.
    Namun dalam putusan itu, MK kembali menegaskan, aturan tersebut sebenarnya sudah lama diputuskan MK, yakni saat pembacaan putusan 80/PUU-XVII/2019 yang dibacakan 11 Agustus 2020.
    MK dalam pertimbangannya menyatakan:

    Berkenaan dengan pokok permohonan Pemohon a quo yang mempersoalkan larangan rangkap jabatan wakil menteri, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 sesungguhnya telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri.

    Secara yuridis, pertimbangan hukum putusan sebelumnya memiliki kekuatan hukum mengikat karena merupakan bagian dari putusan Mahkamah Konstitusi yang secara konstitusional bersifat final.
    Sebab, putusan Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan, bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
    MK kemudian memberikan waktu 2 tahun kepada pemerintah untuk menarik para wakil menterinya dari jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN.
    Namun yang terjadi justru sebaliknya, ada lebih banyak wakil menteri yang merangkap jabatan.
    Salah satunya, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Angga Raka Prabowo yang diangkat menjadi Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, dan Komisaris Utama PT Telkom.
    Dalam penjelasannya, Angga Raka mengaku posisi yang dia rangkap adalah penugasan, dan tidak mendapat fasilitas tambahan atas rangkap jabatannya tersebut.
    “Sesuai yang diketahui, saya ditugaskan oleh Presiden untuk memimpin Badan Komunikasi Pemerintah. Saya jelaskan dulu bahwa seperti peraturan yang berlaku, ini sifatnya penugasan. Yang namanya penugasan tidak berarti pendapatan dan fasilitas juga
    double
    , tetap satu sesuai ketentuan, tanggung jawabnya yang bertambah. Ini praktik umum untuk penguatan fungsi tertentu dan sejalan dengan arahan Presiden agar kita efektif dan efisien,” ujar Angga Raka kepada
    Kompas.com
    , Jumat (19/9/2025) lalu.
    Angga Raka menyampaikan bahwa tugas-tugas tersebut diberikan karena Presiden Prabowo melihat ada kesinambungan antara posisinya sebagai Wamen Komdigi, Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, serta Komut PT Telkom. Menurutnya, substansi dan bidang dari semua tugasnya itu sama.
    “Ini penting, karena kita ingin segera mewujudkan instruksi Presiden untuk mengakselerasi penguatan komunikasi pemerintah sesegera mungkin,” tegasnya.
    Maka dari itu, dengan penugasan ini, Angga Raka merasa fungsi kedua instansi pemerintah tersebut makin kuat. Dia pun jadi bisa membuat sisi regulasi dan eksekusi selaras, serta langsung melakukan aksi.
    “Sehingga publik akan mendapatkan informasi yang jernih dan tidak tumpang tindih dari seluruh lembaga pemerintah,” imbuh Angga Raka.
    Pembangkangan terhadap putusan MK juga dilakukan oleh lembaga politik seperti Partai Politik saat diucapkan putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menetapkan pemilihan umum lokal dan nasional dipisah dengan jeda waktu dua tahun.
    MK menetapkan, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden.
    Sedangkan pemilihan legislatif (Pileg) anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Reaksi pembangkangan paling keras datang dari Partai Nasdem yang menyebut MK mencuri kedaulatan rakyat.
    “Putusan MK ini menimbulkan problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara,” ujar anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, dalam pembacaan sikap resmi DPP Nasdem di Nasdem Tower, Jakarta, Senin (30/6/2025) malam.
    Lewat pernyataan sikap yang dibacakan Lestari, Nasdem menyampaikan sepuluh poin keberatannya terhadap putusan tersebut. Salah satunya, Nasdem menilai MK telah memasuki kewenangan legislatif dengan menciptakan norma baru yang seharusnya menjadi domain DPR dan pemerintah.
    Menurut Nasdem, hal itu bertentangan dengan prinsip
    open legal policy
    yang dimiliki lembaga legislatif.
    “MK telah menjadi
    negative legislator
    sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum demokratis,” kata Lestari.
    Sementara itu, Golkar melalui Wakil Ketua Umum Adies Kadir menilai, putusan MK berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan serta memunculkan ketidakpastian hukum.
    Menurut Adies, Pasal 22E dan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan satu rezim yang harus dilaksanakan setiap lima tahun.
    Selain itu, pemisahan pemilu nasional dan daerah dinilai bertentangan dengan semangat keserentakan yang justru pernah diputuskan MK sendiri melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    “Putusan itu memberikan enam pilihan dan dipilih satu. Itu kan juga putusan MK yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan pemilu,” kata Adies.
    Sikap tegas juga disampaikan Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal yang menyebut MK telah melampaui batas konstitusional dengan memutuskan pemilu dipisah.
    “Putusannya sudah melebihi undang-undang, konstitusi. Konstitusi pemilu itu kan lima tahun sekali. Masa penjaga konstitusi, konstitusinya dilanggar,” kata Cucun.
    Pemerintah juga saat itu menilai putusan MK justru berpotensi melanggar konstitusi.
    Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Karena dalam konstitusi disebutkan pemilu dari tingkat nasional dan lokal harus terselenggara lima tahun sekali.
    Putusan MK ini akan berakibat pada penundaan pemilu selama 2 tahun untuk Pilkada.
    MK secara langsung pernah menjawab bentuk pembangkangan ini dalam putusan 98/PUU-XVI/2018.
    Ketika itu, terbit putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga Mahkamah Agung (MA) yang berkebalikan dengan putusan MK mengenai syarat pengunduran diri calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari partai politik.
    Akibat hal itu, terjadi ketidakpastian hukum yang membelit KPU karena ada dua putusan berbeda yang tersedia, namun KPU akhirnya memilih manut putusan MK.
    Majelis hakim konstitusi tidak setuju jika situasi pada tahun 2018 itu disebut sebagai ketidakpastian hukum, karena putusan MK seharusnya final dan mengikat untuk semua (
    erga omnes
    ).
    “Sekali Mahkamah telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka tindakan yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi demikian, dalam pengertian tetap menggunakan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, membawa konsekuensi bukan hanya ilegalnya tindakan itu, melainkan pada saat yang sama juga bertentangan dengan UUD 1945,” bunyi putusan tersebut.
    “Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi,” tulis putusan tersebut.
    Namun terlepas dari penegasan MK tersebut, Guru Besar FH Unpad Susi Dwi Harijanti menilai, fenomena pembangkangan ini sebagai bukti bahwa cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang yang paling lemah.

    “Memang itu menunjukkan bahwa cabang kekuasaan kehakiman itu adalah cabang kekuasaan yang paling lemah di antara legislatif dan eksekutif,” ucapnya.
    Dia mengutip pandangan alam buku
    The Federalist Papers
    karya Alexander Hamilton, John Jay, dan James Madison, bahwa kekuasaan kehakiman hanya punya palu untuk memutus.
    Berbeda dengan kekuasaan eksekutif memiliki pedang untuk mengeksekusi, sedangkan legislatif punya kekuasaan untuk mengatur anggaran.
    Sebab itu, Susi menilai sudah saatnya Indonesia mulai memikirkan aturan yang lebih rigit untuk kekuasaan yudikatif sebagai upaya independensi dan akuntabilitas prinsip negara hukum.
    Negara harus mengatur agar
    contempt of court
    atau penghinaan dan tindakan yang merendahkan pengadilan bisa juga mendapat hukuman yang jelas, termasuk membangkang dari perintah pengadilan.
    “Sekarang persoalannya, ketika mereka tidak memenuhi apa yang diminta oleh Mahkamah, apa yang bisa dilakukan? Ini yang saya lagi berpikir, bisa nggak dia terkena
    contempt of court
    ? Sayangnya di Indonesia belum ada undang-undang
    contempt of court
    ,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nasib KY Setelah Dua Dekade dengan Kewenangan yang Semakin Minim

    Nasib KY Setelah Dua Dekade dengan Kewenangan yang Semakin Minim

    Nasib KY Setelah Dua Dekade dengan Kewenangan yang Semakin Minim
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Dua dekade lalu, lahir sebuah lembaga sebagai kehendak politik yang dituangkan dalam amendemen Undang-Undang Dasar 1945.
    Lembaga ini termasuk dalam cita-cita
    reformasi
    sebagai orientasi
    checks and balances
    dalam sistem kekuatan kehakiman.
    Lembaga itu dinamakan
    Komisi Yudisial
    .
    Dalam buku Risalah KY yang diterbitkan oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia tahun 2013, KY digambarkan sebagai wujud pemikiran kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak bisa dibiarkan tanpa kontrol sebagai wujud akuntabilitas.
    Independensi dan akuntabilitas menjadi dua sisi mata uang.
    Dalam konteks kebebasan
    hakim
    , harus ada perimbangan dengan pasangannya, yakni akuntabilitas.
    KY berada dalam latar belakang tersebut.
    Namun, setelah 20 tahun berdiri, apakah makna tersebut telah bergeser?
    Di mana peran KY dan bagaimana lembaga yang prematur ini bertahan dari gempuran dinamika politik di era reformasi?
    Ketua Komisi Yudisial RI, Amzulian Rifai, mengatakan bahwa refleksi dua dekade menjaga integritas hakim penuh dengan tantangan, salah satu tantangannya adalah
    kepercayaan publik
    .
    “Salah satu kekuatan negara-negara maju, di Australia misalnya, itu adalah
    trust
    publik. Itu bisa direfleksikan, antara lain, kalau dunia peradilan, adalah berapa banyak suatu kasus itu misalnya yang dikasasikan, berapa banyak tunggakan perkara,” kata Amzulian dalam acara Sinergitas KY dan Media Massa, di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/11/2025) malam.
    Dia memberikan contoh bahwa Australia telah sukses menggelar perkara sampai hampir nol.
    Pada survei pertengahan tahun 2025, yang mempertanyakan kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga negara, jika kita perhatikan, lembaga negara Mahkamah Agung berada di urutan kelima, jika saya tidak salah, di bawah lembaga TNI, Presiden, dan antara lain, Kejaksaan Agung serta KPK.
    Hal ini cukup miris, karena Indonesia digembar-gemborkan sebagai negara hukum.
    Seharusnya, kata Amzulian, Mahkamah Agung berada di posisi pertama.
    “Tapi faktanya tidak demikian,” ucapnya.
    Di sini KY mengambil peran untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga peradilan secara keseluruhan.
    KY memiliki tugas mengawasi perilaku hakim, menyeleksi calon hakim agung, hingga memberikan rekomendasi jika terbukti ada hakim yang melanggar etik.
    Amzulian pun mengakui lembaga yang ia pimpin masih banyak kekurangan, terutama di mata publik.
    “Saya cukup banyak, bukan hanya membaca media, tetapi juga berkeliling di banyak tempat di perguruan tinggi, itu umumnya mereka masih agak kecewa dengan eksistensi Komisi Yudisial. Walaupun sebenarnya kekecewaan itu hampir kepada seluruh lembaga negara,” tutur dia.
    Kendati demikian, Amzulian mengungkapkan ada banyak tugas yang KY kerjakan untuk memperbaiki wajah penegakan peradilan di Indonesia selama dua dekade berdirinya lembaga tersebut.
    Misalnya, hampir semua laporan masyarakat ditindaklanjuti oleh KY.
    Setiap minggu diadakan sidang pleno untuk memutuskan satu laporan masyarakat.
    Memang, sebagian besar laporan masyarakat harus berakhir tanpa ditindaklanjuti dengan alasan bukti yang lemah, teknis yudisial, dan bukan
    kewenangan KY
    , tetapi ada beberapa juga yang berlanjut.
    “Salah satunya memandang hakim itu tidak adil karena berbicara kepada salah satu pihak. Itu lebih keras, sedangkan kepada pihak lain itu lemah-lembut. Dinilainya itu memihak salah satu pihak. Bagaimana kami menindaklanjuti?” imbuh dia.
    Selain tindak lanjut pemeriksaan etik hakim dari laporan masyarakat dan pemberitaan media massa, KY juga mengerjakan mandatnya sebagai lembaga yang menyeleksi calon hakim agung secara ketat.
    Amzulian menjamin, langkah seleksi ini bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
    Meskipun konsekuensinya, hasil seleksi mereka kadang seluruhnya ditolak saat fit and proper test di DPR-RI.
    “Jadi itulah tugas-tugas konstitusional kami, walaupun tentu saja tidak akan pernah puas masyarakat dengan apa yang kami lakukan. Dan ternyata, masyarakat ada yang tidak tahu apa yang dilakukan oleh KY,” ujar Amzulian.
    Meski terkesan tak bertaji saat ini, KY sesungguhnya pernah sakti saat awal pendiriannya, bisa memberikan pengawasan tak hanya untuk hakim tingkat rendah, tetapi juga sampai ke level Hakim Konstitusi.
    Mereka juga punya kewenangan menjadi panitia seleksi untuk calon hakim tingkat pertama, seperti hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, hingga hakim pengadilan tata usaha negara.
    KY juga pernah memiliki kewenangan untuk memiliki perwakilan pada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
    Namun, kewenangan itu seiring waktu dipreteli lewat putusan MK.
    Kewenangan yang pertama dicabut adalah pengawasan terhadap hakim MK dan hakim agung.
    Pengkebirian ini dilakukan lewat putusan MK nomor 005/PUU-IV/2006 yang diucapkan pada 16 Agustus 2006 oleh Jimly Asshiddiqie selaku ketua MK pada saat itu.
    Putusan itu menyebut, hakim MK tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY, sedangkan pengawasan hakim agung dikembalikan kembali kepada Mahkamah Agung.
    Kemudian, dalam putusan I/PUU-XII/2014, MK kembali mengkebiri pengawasan KY.
    Putusan ini menyebutkan KY tidak lagi bisa menempatkan orang sebagai organ pelengkap dalam Majelis Kehormatan MK (MKMK).
    Terakhir, pada putusan 43/PUU-XIII/2025, MK mencabut kewenangan KY terkait seleksi calon hakim tingkat pertama.
    MK mendalilkan, KY tak memiliki mandat tersebut dalam UUD 1945 dan sistem peradilan satu atap adalah kewenangan dari Mahkamah Agung.
    Namun, setelah dua dekade KY berdiri, wajah peradilan di Indonesia tak sepenuhnya mendapat kepercayaan publik.
    Oleh sebab itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti, menilai KY harus memiliki peran yang lebih besar.
    KY tak boleh lagi hanya diberikan wewenang yang prematur, mengawasi dan memberikan rekomendasi sanksi, atau sekadar jadi pansel calon hakim agung.
    Susi kemudian mengutip ucapan dari Presiden Latvia, Egils Levits, dalam acara 10 tahun Judicial Council di negara tersebut.
    Egils menyebut KY Latvia harus memainkan peran lebih besar dan memberikan fokus pemecahan masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh siapapun selain lembaga peradilan itu sendiri.
    Dengan cara itu, KY Latvia bisa menjadi instrumen kepercayaan publik untuk melihat kembali lembaga peradilan yang bersih dan bisa dipercaya.

    It does also become a trust instrument
    , jadi KY itu akan menjadi instrumen kepercayaan,” imbuh dia.
    Susi mengatakan, harapan Presiden Latvia ini juga senada dengan kepercayaan mayoritas masyarakat di Indonesia.
    Sebab itu, DPR juga harus memikirkan bagaimana KY bisa lagi menjadi sakti dan bertaji, salah satu caranya dengan merevisi undang-undang KY.
    Saat ini, kata Susi, ada proses revisi UU Jabatan Hakim yang menjadi prioritas pembahasan DPR.
    Menurut dia, sudah selayaknya pembahasan terkait UU tersebut juga berlangsung secara paralel dengan UU KY.
    “Harusnya pembahasannya itu adalah paralel, karena pasti itu ada kaitan antara Jabatan Hakim dan KY, termasuk juga penegakan kehormatan dan integritas hakim,” kata Susi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kompolnas Nilai Polisi Masih Bisa Ditugaskan di Luar Struktur: Asal Berkaitan

    Kompolnas Nilai Polisi Masih Bisa Ditugaskan di Luar Struktur: Asal Berkaitan

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyatakan anggota aktif masih bisa menjabat di luar struktur kepolisian meski sudah diputus Mahkamah Konstitusi (MK).

    Komisioner Kompolnas, Choirul Anam berpandangan putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 hanya mengikat pada frasa atau kalimat yang mendasarkan tidak penugasan dari Kapolri.

    Dengan demikian, kata Anam, selagi penugasan itu masih ada kaitannya dengan tugas pokok kepolisian, maka masih boleh dijabat anggota aktif.

    “Kalimat yang lain masih berlaku, artinya yang memaknai bahwa penugasan di luar struktur itu, makna penugasan di luar struktur itu adalah yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepolisian. Kalau masih ada sangkut pautnya dengan kepolisian itu artinya boleh,” ujar Anam saat dihubungi, Minggu (16/11/2025).

    Di samping itu, Anam juga menyinggung soal dissenting opinion yang diungkap oleh Hakim MK Arsul Sani yang memperbolehkan penugasan anggota jika masih ada keterkaitan dengan tupoksi kepolisian.

    “Bahkan beliau [Arsul] juga mencontohkan lembaga-lembaga yang memang tupoksinya itu sangat lekat dengan kepolisian,” imbuhnya.

    Adapun, Anam menilai putusan MK ini telah memberikan batasan yang jelas mana saja lembaga/kementerian yang bisa diisi anggota kepolisian. 

    Dengan demikian, putusan ini bisa sejalan dengan dengan undang-undang aparatur sipil negara (ASN) yang direspon Polri melalui Perpol.

    “Oleh karenanya pasca putusan MK ini, ya maknanya boleh dengan batasan. Dan batasanya ada pentingnya memang me-listing lembaga yang memang erat sekali hubungan dengan kepolisian,” pungkasnya.

    Sebelumnya, MK menegaskan bahwa anggota Polri tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif.

    Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara [ASN] di luar kepolisian,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (13/11/2025).