Produk: UUD 1945

  • Putusan MK dan Masa Depan IKN

    Putusan MK dan Masa Depan IKN

    Putusan MK dan Masa Depan IKN
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    TIDAK
    ada kebijakan negara yang berdiri lebih tinggi daripada konstitusi. Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, dengan visi megaproyek dan ambisi pemerataan pembangunan, tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi pengecualian.
    Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023—khususnya mengenai jangka waktu hak atas tanah di
    IKN
    —menegaskan hal itu dengan jelas.
    Negara boleh membangun ibu kota baru, menarik investasi, membuka ruang partisipasi swasta, tetapi semua itu harus dilakukan tanpa menyingkirkan koridor konstitusi.
    Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menempatkan bumi, air, dan kekayaan alam di bawah penguasaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kembali tampil ke panggung paling depan.
    Dalam logika MK, jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai hingga dua siklus panjang selama 130–190 tahun bukan hanya berlebihan, tetapi berpotensi meminggirkan kendali negara atas tanah yang menjadi aset strategis.
    Negara tidak boleh menggadaikan penguasaan atas tanah hingga dua abad hanya demi memikat investasi. Konstitusi tidak dapat dinegosiasikan oleh kebutuhan pragmatis pembangunan.
    Putusan ini hadir bukan untuk menghalangi pembangunan, melainkan untuk memastikan bahwa pembangunan tetap berada di atas rel konstitusi: negara menguasai, rakyat memperoleh manfaat, dan hak atas tanah tidak menjadi instrumen penundukan negara oleh kepentingan modal jangka panjang.
    Tanah selalu menjadi titik sensitif dalam pembangunan skala besar. Di wilayah IKN, isu ini menjadi semakin rumit karena mencakup tiga lapis kepentingan: kepentingan negara sebagai pengatur, kepentingan investor sebagai pembangun, dan kepentingan masyarakat sekitar sebagai pihak terdampak.
    Ketika UU IKN memberikan peluang pemberian hak atas tanah hingga lebih dari satu abad, persoalannya bukan hanya soal investasi, tetapi soal masa depan kendali negara.
    Putusan MK
    menetapkan batas baru yang lebih moderat: HGU maksimal 35 tahun, perpanjangan 25 tahun, dan pembaruan 35 tahun. HGB maksimal 30+20+30 tahun, dan Hak Pakai dengan batasan serupa.
    Semua itu hanya boleh diberikan bila kriteria evaluasi objektif terpenuhi. Tidak ada perpanjangan otomatis, tidak ada hak tanpa evaluasi, tidak ada konsesi panjang yang mengunci negara.
    Prinsipnya sederhana: negara harus dapat memulihkan kendali apabila syarat konstitusional tidak terpenuhi.
    Dalam konteks pembangunan IKN, landasan ini memaksa pemerintah untuk menata ulang relasi antara aset tanah dan investasi.
    Tanah bukan komoditas yang harus dibiarkan tersandera kontrak panjang, tetapi sumber daya strategis yang menjadi penentu masa depan negara.
    Pengelolaan yang keliru bukan hanya merugikan generasi hari ini, melainkan juga generasi mendatang yang tidak memiliki suara saat kebijakan dibuat.
    Tidak ada pembangunan IKN tanpa investasi. Narasi itu valid. Pemerintah perlu pola pembiayaan kreatif untuk menghindari pembebanan fiskal jangka panjang, dan partisipasi swasta menjadi kunci.
    Namun, putusan MK memberi pengingat penting: investasi bukan alasan untuk melemahkan asas keadilan antargenerasi dan penguasaan negara atas aset strategis.
    Kepastian hukum adalah syarat penting bagi investor. Namun, kepastian hukum yang ditawarkan negara tidak boleh berubah menjadi kepastian penyerahan kendali. Putusan MK tidak menutup pintu investasi; yang berubah adalah parameter permainan.
    Investor tetap bisa masuk, tetapi dalam skema yang transparan, rasional, dan tidak mengunci negara selama satu setengah abad ke depan.
    Inilah bentuk perlindungan hukum yang paling sehat: pembangunan berjalan, tetapi negara tidak kehilangan kedaulatan atas setiap jengkal tanah.
    Dalam perspektif tata kelola, putusan MK memaksa pemerintah untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap peraturan turunannya—baik Perpres, peraturan Otorita IKN, maupun kerja sama investasi.
    Semua harus dikaji ulang agar selaras dengan prinsip konstitusi. Ini bukan penundaan; ini koreksi ke arah tata kelola yang lebih cerdas dan berkelanjutan.
    Pembangunan IKN akan bertahan bukan karena gedung-gedungnya menjulang, tetapi karena kepercayaan publik ikut berdiri.
    Masyarakat membutuhkan jaminan bahwa pembangunan ini tidak melanggar hak mereka, tidak merusak lingkungan, dan tidak meminggirkan kelompok rentan.
    Putusan MK memperluas ruang kepercayaan itu. Koreksi terhadap durasi hak atas tanah mengirim sinyal bahwa kepentingan modal tidak boleh melampaui kepentingan rakyat.
    Kepercayaan investor juga tetap dijaga. Putusan MK justru memberikan ruang kepastian melalui regulasi yang proporsional: jangka waktu jelas, mekanisme evaluasi jelas, dan kepastian hukum tetap ada.
    Ketidakpastian hukum justru muncul apabila hak diberikan sedemikian panjang sehingga negara kehilangan kemampuan melakukan koreksi ketika kebijakan tidak lagi adil atau relevan.
    Dengan putusan ini, keseimbangan menjadi inti persoalan. Negara harus mampu menjaga kepercayaan publik dan kepercayaan investor sekaligus.
    Pembangunan IKN bukan proyek satu rezim atau satu generasi, melainkan proyek lintas generasi. Tanpa kepercayaan, semua visi dapat runtuh, bahkan sebelum bangunan berdiri.
    Putusan MK bukan akhir dari cerita, melainkan penentu arah. Masa depan IKN tidak ditentukan oleh seberapa cepat proyek ini selesai, tetapi seberapa kuat ia berdiri dalam prinsip negara hukum.
    Pembangunan yang mengabaikan konstitusi mungkin akan terlihat efektif sesaat, tetapi akan rapuh ketika digugat oleh kenyataan dan sejarah.
    Tugas pemerintah sekarang bukan mempertanyakan putusan MK, tetapi mengintegrasikannya ke dalam kebijakan.
    Revisi regulasi turunan perlu dilakukan cepat, transparan, dan terukur. Mekanisme evaluasi hak atas tanah harus dirumuskan secara tegas dan tidak menjadi celah politik.
    Yang lebih penting lagi, pemerintah perlu menyadari bahwa legitimasi pembangunan tidak hanya datang dari investor, tetapi juga dari rakyat yang percaya bahwa negara tidak mengkhianati prinsip konstitusinya sendiri.
    Pada akhirnya, IKN tidak boleh hanya menjadi simbol perpindahan ibu kota. IKN harus menjadi simbol kematangan negara dalam mengelola pembangunan besar tanpa mengorbankan konstitusi. Putusan MK sudah memberi arah.
    Pertanyaannya kini sederhana: apakah negara akan berjalan mengikuti kompas konstitusi, atau kembali membiarkan pembangunan bergeser dari rel hukum?
    Masa depan IKN akan ditentukan bukan hanya oleh crane dan beton, tetapi oleh penghormatan terhadap konstitusi. Di situlah letak fondasi yang sesungguhnya.
    Tanpa itu, bangunan apa pun hanya akan berdiri di atas pasir. Dengan itu, pembangunan bukan hanya megah—tetapi bermartabat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komisi II DPR Bakal Kaji UU IKN Buntut Putusan MK soal Hak Tanah

    Komisi II DPR Bakal Kaji UU IKN Buntut Putusan MK soal Hak Tanah

    Jakarta

    Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima mengatakan pihaknya akan mengevaluasi seluruh ketentuan terkait IKN Nusantara buntut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pemberian HGU 190 tahun. Aria Bima mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat.

    “Komisi II akan mengevaluasi kembali bersama Menteri ATR BPN untuk melihat kembali, mengkaji seluruh peraturan yang terkait undang-undang maupun peraturan pemerintah dan peraturan menteri, termasuk Undang-Undang IKN,” kata Aria Bima di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (21/11/2025).

    Aria Bima mengatakan, tak bisa lagi membuat kekhususan masa sewa maupun masa berlaku HGB dan HGU di IKN jika tak memenuhi prasyarat yang ditetapkan MK. Namun, dia menyoroti perlunya kepastian pemberlakuan putusan MK.

    “Intinya jangan sampai terjadi konstruksi antara yang existing maupun yang ke depan. Tentu ada cara-cara mensikapi keputusan Mahkamah Konstitusi itu dengan realitas yang ada, karena realitas itu adalah akibat dari ketentuan undang-undang yang sudah ada,” ujarnya.

    Aria Bima mengatakan langkah penyesuaian aturan harus dilakukan tanpa menimbulkan kepanikan di kalangan investor. Selain itu, juga baik di kalangan swasta maupun BUMN.

    “Karena semua kita persandingkan. Mulai harga gas, labor cost, juga tentang termasuk menyangkut pertanahannya, ini kan kita akan sandingkan,” sambungnya.

    Aria Bima menyebut salah satu opsi yang dapat dikaji dalam menyikapi putusan MK ialah mempertahankan masa berlaku hak seperti sekarang. Namun dengan pola perpanjangan yang mengikuti batasan MK, seperti perpanjangan setiap 30 atau 60 tahun dengan prioritas bagi pemegang hak yang sudah ada.

    Sebagai informasi, MK telah memutuskan pembatalan pada ketentuan pemberian hak atas tanah (HAT) bagi para investor di Ibu Kota Nusantara (IKN) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara (UU IKN).

    Dalam beleid tersebut, awalnya ditetapkan para investasi mendapatkan hak atas tanah berupa Hak Guna Usaha (HGU) hingga 190 tahun dan diberikan melalui dua siklus. Dalam pemberian satu siklus HGU diberikan paling lama 35 tahun, perpanjangan hak paling lama 25 tahun, dan pembaruan hak paling lama 35 tahun.

    “Putusan MK tidak menghambat investasi. Yang dikoreksi adalah durasi hak, bukan kepastian berusaha,” ujar Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, dalam keterangannya, dikutip Minggu (16/11).

    Menurutnya, putusan MK menegaskan pemberian HGU, HGB, dan Hak Pakai di IKN tidak dapat menggunakan skema dua siklus 95 tahun, dan harus kembali mengikuti batasan nasional dengan mekanisme evaluasi yang jelas dan terukur.

    Nusron menilai, ketetapan ini sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 mengenai prinsip penguasaan negara atas sumber daya alam. Ia juga menegaskan, keputusan MK justru memperkuat posisi negara sekaligus memberikan kepastian hukum bagi investasi dan pembangunan IKN.

    Menurutnya, putusan tersebut konsisten dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pembangunan IKN yang adil, transparan, modern, dan tetap berlandaskan konstitusi. Seiring dengan keputusan tersebut, proses pemberian HAT yang telah berjalan akan dilanjutkan dengan penyesuaian.

    (amw/gbr)

  • ​Hak Guna Lahan IKN 190 Tahun Dipangkas MK Jadi 35 Tahun

    ​Hak Guna Lahan IKN 190 Tahun Dipangkas MK Jadi 35 Tahun

    Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan Nomor Perkara 185/PUU-XXII/2024. 

    Dalam putusannya, MK menyatakan beberapa ketentuan dalam Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena dinilai memberikan hak atas tanah di wilayah IKN dalam jangka waktu yang terlalu panjang tanpa batas evaluasi yang jelas.

    “Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sesuai dengan kriteria dan tahapan evaluasi yang telah ditentukan,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Gedung MK. 

    Pertimbangannya, pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) di IKN hingga 190 tahun (dua siklus 95 tahun), yang bertentangan dengan prinsip penguasaan negara atas tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
     

    Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menjelaskan, substansi permohonan para pemohon berfokus pada lamanya jangka waktu pemberian hak atas tanah di wilayah IKN yang jauh melampaui ketentuan dalam UUPA.

    “Para Pemohon mempersoalkan jangka waktu pemberian hak atas tanah di wilayah IKN yang dapat diberikan kembali untuk satu siklus kedua, yang berarti jauh melebihi batas waktu sebagaimana ditentukan dalam UUPA,” kata Guntur.

    Mahkamah menilai, jangka waktu tersebut dapat menimbulkan dominasi penguasaan tanah oleh pihak tertentu dan mengurangi kontrol negara terhadap penggunaan tanah di wilayah IKN.

    “Norma demikian jelas berpotensi mengurangi makna ‘hak menguasai oleh negara’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Negara tetap harus memastikan tanah dikelola sesuai dengan tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tegas Guntur.
     
    Hak guna lahan IKN dipangkas jadi 35 tahun

    Mahkamah juga merujuk pada Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 yang pernah menguji Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 

    Dalam putusan itu, MK menegaskan bahwa pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak atas tanah harus dilakukan berdasarkan evaluasi yang ketat terhadap pemanfaatan tanah dan kepatuhan pada peraturan.

    Atas dasar itu, MK menyatakan bahwa Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) UU IKN harus dimaknai ulang. Untuk HGU, jangka waktu maksimal adalah 35 tahun untuk pemberian hak, 25 tahun untuk perpanjangan, dan 35 tahun untuk pembaruan. 

    Sementara untuk HGB dan HP masing-masing diberikan dengan tahapan 30 tahun pemberian, 20 tahun perpanjangan, dan 30 tahun pembaruan.

    “Artinya, batas waktu maksimal sebagaimana dimaksud dapat diperoleh sepanjang memenuhi kriteria dan tahapan evaluasi. Prinsipnya, hak atas tanah tidak boleh diberikan secara mutlak tanpa pengawasan negara,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

    Menurutnya, penjelasan Pasal 16A UU IKN yang semula menambahkan rumusan tentang “satu siklus pertama dan dapat diberikan kembali untuk satu siklus kedua” telah memperluas makna norma dan karenanya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Penjelasan tidak boleh memperluas atau mengubah isi norma di batang tubuh. Rumusan yang memberi ruang dua siklus hak atas tanah bertentangan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya,” tegas Enny.

    Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan Nomor Perkara 185/PUU-XXII/2024. 
     
    Dalam putusannya, MK menyatakan beberapa ketentuan dalam Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena dinilai memberikan hak atas tanah di wilayah IKN dalam jangka waktu yang terlalu panjang tanpa batas evaluasi yang jelas.
     
    “Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sesuai dengan kriteria dan tahapan evaluasi yang telah ditentukan,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Gedung MK. 

    Pertimbangannya, pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) di IKN hingga 190 tahun (dua siklus 95 tahun), yang bertentangan dengan prinsip penguasaan negara atas tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
     

     
    Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menjelaskan, substansi permohonan para pemohon berfokus pada lamanya jangka waktu pemberian hak atas tanah di wilayah IKN yang jauh melampaui ketentuan dalam UUPA.
     
    “Para Pemohon mempersoalkan jangka waktu pemberian hak atas tanah di wilayah IKN yang dapat diberikan kembali untuk satu siklus kedua, yang berarti jauh melebihi batas waktu sebagaimana ditentukan dalam UUPA,” kata Guntur.
     
    Mahkamah menilai, jangka waktu tersebut dapat menimbulkan dominasi penguasaan tanah oleh pihak tertentu dan mengurangi kontrol negara terhadap penggunaan tanah di wilayah IKN.
     
    “Norma demikian jelas berpotensi mengurangi makna ‘hak menguasai oleh negara’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Negara tetap harus memastikan tanah dikelola sesuai dengan tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tegas Guntur.
     

    Hak guna lahan IKN dipangkas jadi 35 tahun

    Mahkamah juga merujuk pada Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 yang pernah menguji Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 
     
    Dalam putusan itu, MK menegaskan bahwa pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak atas tanah harus dilakukan berdasarkan evaluasi yang ketat terhadap pemanfaatan tanah dan kepatuhan pada peraturan.
     
    Atas dasar itu, MK menyatakan bahwa Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) UU IKN harus dimaknai ulang. Untuk HGU, jangka waktu maksimal adalah 35 tahun untuk pemberian hak, 25 tahun untuk perpanjangan, dan 35 tahun untuk pembaruan. 
     
    Sementara untuk HGB dan HP masing-masing diberikan dengan tahapan 30 tahun pemberian, 20 tahun perpanjangan, dan 30 tahun pembaruan.
     
    “Artinya, batas waktu maksimal sebagaimana dimaksud dapat diperoleh sepanjang memenuhi kriteria dan tahapan evaluasi. Prinsipnya, hak atas tanah tidak boleh diberikan secara mutlak tanpa pengawasan negara,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
     
    Menurutnya, penjelasan Pasal 16A UU IKN yang semula menambahkan rumusan tentang “satu siklus pertama dan dapat diberikan kembali untuk satu siklus kedua” telah memperluas makna norma dan karenanya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
     
    “Penjelasan tidak boleh memperluas atau mengubah isi norma di batang tubuh. Rumusan yang memberi ruang dua siklus hak atas tanah bertentangan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya,” tegas Enny.

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (PRI)

  • Mahasiswa Uji UU MD3 ke MK, Tuntut Mekanisme Pemecatan Anggota DPR oleh Rakyat

    Mahasiswa Uji UU MD3 ke MK, Tuntut Mekanisme Pemecatan Anggota DPR oleh Rakyat

    Mahasiswa Uji UU MD3 ke MK, Tuntut Mekanisme Pemecatan Anggota DPR oleh Rakyat
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Lima mahasiswa menggugat Pasal 239 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
    Kelima Pemohon dalam Perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025 tersebut adalah Ikhsan Fatkhul Azis (Pemohon I), Rizki Maulana Syafei (Pemohon II), Faisal Nasirul Haq (Pemohon III), Muhammad Adnan (Pemohon IV), dan Tsalis Khoirul Fatna (Pemohon V).
    Mereka mempersoalkan mekanisme pemberhentian anggota DPR melalui Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Kelimanya pun meminta adanya mekanisme untuk rakyat bisa memberhentikan wakilnya di parlemen.
    “Permohonan a quo yang dimohonkan oleh Para Pemohon tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah. Para Pemohon tidak menginginkan ada lagi korban jiwa akibat kebuntuan kontrol terhadap DPR,” ujar Ikhsan yang hadir secara daring, dikutip Rabu (19/11/2025).
    Kehadiran Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 membuat terjadinya pengeksklusifan partai politik untuk memberhentikan anggota DPR.
    Pasalnya selama ini, partai politik kerap memberhentikan kadernya yang menjadi anggota DPR tanpa alasan jelas dan tidak mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat.
    Sebaliknya ketika terdapat anggota DPR yang semestinya diberhentikan atas permintaan rakyat, partai politik justru tidak mengambil tindakan tersebut.
    Dalam dalilnya, Pemohon melihat tidak tersedianya mekanisme pemberhentian oleh konstituen dalam ketentuan pasal yang digugat tersebut.
    Hal tersebut membuat peran para Pemohon sebagai pemilih dalam pemilihan umum (pemilu) hanya sebatas prosedural formal, karena pemberhentian anggota DPR tidak lagi melibatkan rakyat. Padahal, suara rakyatlah yang membuat kader partai politik bisa duduk di kursi parlemen.
    Sejalan dengan implementasi kewenangan recall yang dimiliki partai politik, telah nyata terjadi praktik yang berseberangan dengan ketentuan UU MD3 dan kehendak rakyat.
    Hal tersebut terlihat dari Ahmad Sahroni, Nafa Indria Urbach, Surya Utama atau Uya Kuya, Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio, dan Adies Kadir yang dinonaktifkan setelah adanya desakan dari masyarakat.
    Menurut para Pemohon, alih-alih melakukan pemberhentian dan penggantian sesuai ketentuan UU MD3 sebagaimana tuntutan masyarakat, partai politik justru menjalankan praktik yang tidak diatur dalam UU MD3 dan justru menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat.
    Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Sidang Perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025 dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
    Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan permohonan ini akan disampaikan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang terdiri dari sembilan hakim konstitusi untuk menyimpulkan apakah permohonan ini bisa diputus tanpa sidang pemeriksaan atau harus dilakukan sidang pemeriksaan untuk pembuktian lebih lanjut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dosen UMY Sebut KUHAP Baru Berpotensi Langgar Konstitusi!

    Dosen UMY Sebut KUHAP Baru Berpotensi Langgar Konstitusi!

    Yogyakarta, Beritasatu.com – Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan DPR kembali memicu polemik publik. Sejumlah pihak menilai aturan baru ini memberikan kewenangan besar kepada aparat penegak hukum tanpa mekanisme pengawasan yang memadai, terutama terkait penyadapan, penahanan, dan penyitaan.

    Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Biantara Albab, mengkritisi sejumlah poin tersebut. Menurutnya, beberapa ketentuan justru mempertahankan pola lama yang cenderung dominatif dan membuka peluang penyalahgunaan kewenangan sehingga bertentangan dengan semangat pembaruan hukum.

    “Masih ada aturan yang menanggalkan hak-hak warga negara. Ini menunjukkan produk hukum sangat dipengaruhi konfigurasi politik. Ketika konfigurasi politiknya demokratis, regulasinya aspiratif; jika condong otoriter, hasilnya dominatif dan jauh dari perlindungan hak-hak sipil,” ujar Bian pada Rabu (19/11/2025).

    Dari perspektif hukum tata negara, Bian menilai beberapa ketentuan dalam KUHAP berpotensi melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 28D tentang hak atas kepastian hukum serta Pasal 28G mengenai hak atas rasa aman. Ia menegaskan perluasan kewenangan, seperti penyadapan dan penahanan tidak boleh dilakukan tanpa supervisi pengadilan karena berisiko menghilangkan mekanisme checks and balances.

    “Jika penyadapan atau penahanan dilakukan tanpa keterlibatan pengadilan, berarti tidak ada kontrol institusional. Warga negara bisa menjadi korban penyadapan atau penangkapan tiba-tiba tanpa mekanisme pengawasan dan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi serta konstitusi,” tegasnya.

    Tidak hanya substansi aturan, Bian juga menyoroti proses legislasi yang dinilai minim ruang dialog publik. Padahal, dalam negara demokratis, penyusunan undang-undang harus dilakukan secara inklusif agar tidak multitafsir dan tidak menimbulkan risiko penyalahgunaan di lapangan.

    Dalam situasi seperti ini, Bian menekankan pentingnya masyarakat memahami hak-hak dasar ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum. Pemahaman tersebut menjadi perlindungan awal untuk mencegah potensi tindakan sewenang-wenang.

    “Masyarakat harus tahu batas kewenangan aparat dan potensi pelanggaran HAM yang mungkin muncul. Semakin paham masyarakat, semakin sempit ruang bagi abuse of power,” tutupnya.

  • Kisah Pengadilan Negeri Surabaya Kabulkan Nikah Beda Agama

    Kisah Pengadilan Negeri Surabaya Kabulkan Nikah Beda Agama

    JAKARTA – Menikah adalah prosesi sakral dan istimewa bagi banyak orang. Dua pasangan berbeda jenis kelamin berucap janji suci. Alhasil, segala macam kemudahan untuk menikah hadir kala keduanya seiman. Alias memiliki agama yang sama. Beda hal dengan mereka yang beda agama.

    Hukum di Indonesia tak menghendaki nikah beda agama kejadian. Namun, seisi Indonesia tercengang kala Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengizinkan nikah beda agama pada 2022. Pertama, demi menegakkan HAM. Kedua, supaya tak kumpul kebo.

    Kisah cinta beda agama kerap menguras pikiran. Sepasang kekasih niscaya akan menemukan kesimpulan antara berpisah atau pindah agama supaya dapat melangsungkan pernikahan. Namun, tidak dengan pasangan berinisial RA (Islam) dan EDS (Kristen).

    Alih-alih memilih berpisah atau pindah ke agama, keduanya bersikukuh melakukan pernikahan beda agama. RA dan EDS pun melangsungkan pernikahan dua kali, dengan cara Islam dan Kristen. Prosesi bahagia itu ingin dicatatkan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Surabaya.

    Hasilnya sebagaimana yang sudah-sudah: ditolak. RA dan EDS bak menolak takluk. Mereka bergerak mengajukan permohonan ke PN Surabaya supaya bisa pernikahan mereka bisa sah pada April 2020. Keinginan menikah beda agama akhirnya terjawab pada 26 April 2020.

    Majelis Hakim PN Surabaya mengabulkan permohonan keduanya. Alhasil, PN Surabaya mengizinkan kedua pasangan nikah beda agama. PN Surabaya pun perintahkan Dukcapil Surabaya untuk masukkan pernikahan keduanya ke dalam register perkawinan.

    Istimewanya, keputusan itu keluar karena hakim mempertimbangkan HAM. Artinya, setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan dengan perkawinan yang sah dan supaya tak kumpul kebo.

    Keinginan itu diterjemahkan hakim PN Surabaya dari penggalian makna UUD 1945 terkait manusia senantiasa dapat memeluk agamanya masing-masing. Dukcapil pun akhirnya mengeluarkan akta pernikahan pada 9 Juni 2022.

    “Untuk case kemarin, karena sudah mencukupi ketentuan persyaratan yang berlaku diperundang-undangan, maka itu kita proses. Karena di undang-undang disebutkan dukcapil itu diberikan tugas untuk melaksanakan apa yang menjadi penetapan hakim di pengadilan sehingga itu kita terbitkan,” ujar Kepala Dinas Dukcapil Surabaya, Agus Imam Sonhaji sebagaimana dikutip laman BBC Indonesia, 22 Juni 2020.

    Pancing Perdebatan

    Penetapan izin yang berikan PN Surabaya jadi polemik. Pro dan kontra bermunculan. Mereka yang mendukung menganggap bahwa PN Surabaya bertindak tepat karena cinta kasih tak harus ditentang. Apalagi, Indonesia menghadirkan kekebasan memeluk agama bagi tiap individu.

    Mereka yang menolak tak kalah sedikit. Penolakan paling keras muncul dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI menentang keras putusan Nomor 916/Pdt./2022/PN/Sby. MUI menyayangkan keputusan PN Surabaya yang gegabah dan mengizinkan pernikahan beda agama.

    Lembaga para ulama itu meminta PN Surabaya seharusnya menolak. Kondisi itu karena nikah beda agama dipandang bertentangan dengan aturan yang dibentuk negara. Ambil contoh dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    Pasal 2 ayat 1 berisikan pesan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Belum lagi pernikahan beda agama dipandang juga keluar dari yang digariskan oleh UUD 1945.

    Kebebasan memeluk agama dianggap MUI jangan diartikan ke arah menikah boleh beda agama. Konteksnya lebih kepada kebebasan memeluk agama dan keyakinan saja. Penolakan yang dilakukan MUI terus berlanjut kala gugatan uji materi UU Perkawinan masuk dapur Mahkamah Konstitusi (MK) sedari 26 September 2022.

    MUI lagi-lagi menegaskan nikah beda agama haram. MK melihat sendiri kasus PN Surabaya membuat suara terkait nikah beda agama kian mengemuka. MK pun segera mengambil kesimpulan pada 31 Januari 2023.

    MK menolakan legalkan nikah beda agama di Indonesia. Penolakan itu karena MK tetap beranggapan bahwa nikah harus seagama dan seiman. Barang siapa yang menikah beda agama, negara takkan legalkan pernikahannya.

    “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Mahkamah tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya serta setiap perkawinan harus tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ujar Ketua MK, Anwar Usmans sebagaimana dikutip laman detik.com, 31 Januari 2023.

  • Badan Pengkajian MPR Soroti Relevansi Pasal-pasal UUD 1945

    Badan Pengkajian MPR Soroti Relevansi Pasal-pasal UUD 1945

    Badan Pengkajian MPR Soroti Relevansi Pasal-pasal UUD 1945
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com-
    Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memyoroti relevansi sejumlah pasal oada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945 dengan situasi saat ini.
    Wakil Ketua
    Badan Pengkajian MPR
    RI
    Tifatul Sembiring
    membeberkan sejumlah pasal dimaksud, salah satunya adalah Pasal 2 ayat (3) tentang keputusan MPR diambil dengan suara terbanyak.
    “Jangan sampai majelis permusyawaratan berubah menjadi majelis per-voting-an. Memang selama ini voting dilakukan, tetapi semangat permusyawaratan jangan hilang,” kata Tifatul dalam forum diskusi terpumpun (FGD) di Depok, Jawa Barat, Senin (17/11/2025), dikutip dari
    Antara
    .
    Selain itu, dia juga menyoroti Pasal 18
    UUD 1945
    yang tidak menyebutkan keberadaan desa sebagai unit pemerintahan kecil.
    Dia turut menyinggung keterbatasan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Pasal 22D serta ketentuan pemberhentian presiden dan wakil presiden pada Pasal 7 yang, menurut dia, tidak memberikan ruang pemisah di antara dua jabatan tersebut.
    Ketika membahas Pasal 23, Tifatul menegaskan fungsi APBN sebagai alat untuk memakmurkan rakyat.
    Ia lantas membedakan pendekatan anggaran era pemerintahan Joko Widodo dan saat ini.
    “Di era Presiden Jokowi, banyak anggaran difokuskan untuk infrastruktur, sedangkan saat ini pemerintah menekankan bagaimana tidak ada rakyat yang kelaparan, bagaimana semua mendapat pekerjaan. Itu yang disebut
    multiplier effect
    ,” tutur dia.
    Dalam pembahasan Pasal 33, Tifatul menyoroti prinsip ekonomi Indonesia yang berdasar asas kekeluargaan, tetapi dalam praktiknya masih banyak penyimpangan.
    Terkait Pasal 34, Tifatul mengingatkan pentingnya pembedaan makna antara fakir dan miskin.
    Menurut dia, fakir adalah mereka yang tidak memiliki apa-apa, sementara miskin memiliki sesuatu, tetapi tidak mencukupi.
    Adapun FGD bertajuk “Kajian Komprehensif terhadap UUD NRI Tahun 1945 dan Pelaksanaannya” itu digelar dengan tiga fokus utama, yaitu sistem keuangan negara, perekonomian nasional, dan kesejahteraan sosial.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hadapi Ancaman Non-Militer, Pasal 30 UUD 1945 Dinilai Perlu Direvisi

    Hadapi Ancaman Non-Militer, Pasal 30 UUD 1945 Dinilai Perlu Direvisi

    Jakarta

    Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Benny K. Harman menilai Pasal 30 UUD 1945 masih berpijak pada paradigma lama yang hanya fokus pada ancaman fisik, sementara Indonesia kini menghadapi ancaman non-militer yang jauh lebih kompleks. Ia menegaskan perlunya pembaruan konsep pertahanan nasional agar mampu merespons ancaman pangan, energi, siber, dan disrupsi internal.

    “Tantangan kita hari ini bukan hanya pada ancaman militer. Ancaman pangan, energi, lingkungan hidup, hingga serangan siber menjadi isu krusial yang menentukan ketahanan nasional. Jika bangsa ini bergantung sepenuhnya pada pangan dari luar, negara bisa masuk dalam situasi yang membahayakan,” ujar Benny dalam keterangan tertulis, Selasa (18/11/2025).

    Hal itu disampaikan dalam Forum Group Discussion (FGD) Kelompok V Badan Pengkajian MPR RI bertema ‘Pertahanan dan Keamanan Negara’ di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (18/11).

    Politisi Demokrat itu menyoroti bahwa Pasal 30 sebetulnya telah mengatur tiga pilar pertahanan dan keamanan negara (TNI, Polri, dan rakyat). Namun, perkembangan ancaman modern menuntut perumusan ulang konsep pertahanan yang lebih adaptif.

    Ia juga menyampaikan kekhawatiran terkait kerentanan Indonesia sebagai negara majemuk dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor asing maupun kelompok berkepentingan di dalam negeri. Ancaman disrupsi internal dianggap justru lebih berbahaya daripada ancaman militer terbuka.

    “Yang lebih menakutkan adalah kemampuan pihak tertentu untuk melemahkan bangsa dari dalam. Isu pangan, energi, dan penguasaan sumber daya alam menjadi titik kritis. Jika tidak dikelola dengan baik, itu bisa menjadi alat untuk melemahkan kedaulatan kita,” terangnya.

    Menurutnya, banyak undang-undang terkait keamanan nasional termasuk Undang-Undang Terorisme, Undang-Undang Pertahanan, dan sejumlah regulasi turunan belum dirumuskan secara lengkap. Contoh paling jelas adalah persoalan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang tidak berjalan optimal karena tidak memiliki pedoman operasional yang tuntas.

    “Secara teori hukum, sebuah sistem harus runtut dari Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hingga aturan pelaksana. Namun saat ini banyak celah yang membuat lembaga negara kebingungan dalam bertindak,” tegasnya.

    “Ketahanan pangan, energi, kesehatan, dan ekonomi adalah bagian dari elemen power nasional. Tanpa postur yang jelas, pemerintah sulit menilai kesiapan menghadapi ancaman non-militer maupun hibrida,” jelasnya.

    Puguh menyebutkan pentingnya Indonesia segera memiliki Undang-Undang Keamanan Nasional (Kamnas) sebagai ‘fishbone’ tata kelola keamanan yang nantinya menjadi dasar pembentukan Dewan Keamanan Nasional atau lembaga serupa yang berada langsung di bawah Presiden.

    Sementara itu, Mayjen TNI (Purn) I Gede Sumertha menegaskan Indonesia membutuhkan pembenahan besar pada tata kelola pertahanan dan keamanan untuk menghadapi ancaman modern yang semakin kompleks.

    Sumertha juga menjelaskan meskipun kerangka hukum sudah memisahkan urusan pertahanan dan keamanan, secara praktik kedua sektor tersebut membutuhkan penyatuan koordinasi melalui strategi keamanan nasional (national security).

    Ia juga menyoroti bahwa peraturan terkait tugas TNI selain perang masih minim, sehingga sering terjadi tumpang tindih dengan Polri, khususnya dalam operasi di Papua.

    “Tidak ada Rule of Engagement yang jelas, tidak ada SOP lintas institusi. Bahkan latihan bersama pun hampir tidak pernah dilakukan,” ujarnya.

    Selain itu, ia menekankan Indonesia masih kekurangan doktrin pertahanan non-militer, padahal ancaman saat ini tidak hanya bersifat militer, namun juga mencakup ancaman kesehatan, ekonomi, digital, hingga genomik.

    Sumertha pun menegaskan Indonesia membutuhkan grand strategy keamanan nasional yang terintegrasi serta didukung oleh regulasi, komando, dan koordinasi lintas sektor yang jelas.

    “Selama kita tidak punya National Security Council, tidak punya doktrin non-militer, dan belum rapi dalam kerja lintas lembaga, maka respons kita terhadap ancaman modern akan selalu tertinggal,” pungkasnya.

    Pada kesempatan yang sama, Laksda TNI Ivan Yulivan menyampaikan strategi pertahanan Indonesia perlu menyesuaikan dengan ancaman kontemporer yang bersifat hybrid dan berbasis teknologi tinggi. Selain itu, perlu pembaharuan dengan pemanfaatan intelijen, AI, dan kolaborasi riset ilmiah.

    “Tidak mungkin Indonesia diserang secara head-to-head karena biaya dan luas wilayah yang sangat besar. Ancaman modern datang dari dalam, menghancurkan ekonomi, demokrasi, perilaku, dan sistem informasi,” tambahnya.

    Ivan juga menyampaikan pentingnya integrasi lintas lembaga dan peran rakyat dalam pertahanan negara. Selain itu, perlunya koordinasi antara DPN, TNI, Polri, kementerian, lembaga riset, serta industri pertahanan untuk menyusun kebijakan terintegrasi dan menghadapi ancaman global seperti cyber attack, satelit, dan propaganda internasional.

    Persiapan teknologi dan industri pertahanan, kata Ivan, adalah hal yang juga dinilai sangat penting. Ia juga mengingatkan bahwa peran rakyat, integrasi strategi, dan modernisasi doktrin pertahanan merupakan kunci agar Indonesia dapat menghadapi ancaman masa depan dengan efektif dan terukur.

    “Penguatan drone, rudal taktis, kapal patroli, serta sistem AI harus menjadi prioritas, karena perang modern bukan lagi fisik langsung, tapi informasi dan teknologi,” katanya.

    Diskusi ini dihadiri oleh anggota Badan Pengkajian MPR RI, di antaranya Heri Gunawan dari Fraksi Partai Gerindra, Mayjen TNI (Purn) Hasanuddin dari Fraksi PDIP, Jialyka Maharani, Al Hidayat Samsu, dan Jupri Mahmud dari Kelompok DPD.

    (akd/akd)

  • Detail Pasal UU IKN Soal Hak Tanah 190 Tahun yang Dihapus MK

    Detail Pasal UU IKN Soal Hak Tanah 190 Tahun yang Dihapus MK

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) pekan lalu mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN). Putusan tersebut menegaskan kembali batasan waktu pemberian Hak Atas Tanah (HAT) di kawasan IKN, sekaligus menyatakan sejumlah ketentuan dalam Pasal 16A tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sesuai tafsir konstitusional yang ditetapkan MK.

    Permohonan uji materi diajukan Stepanus Febyan Babaro, yang mempersoalkan ketentuan HAT yang dinilai membuka peluang pemberian hak dalam jangka waktu sangat panjang tanpa evaluasi memadai. Dalam amar putusan, MK menyatakan Pasal 16A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sebagai norma yang bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai ulang dengan batasan durasi yang lebih ketat dan berbasis evaluasi.

    Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan amar Putusan Nomor 185/PUU-XXII/2024 menyampaikan ketentuan yang dinilai bertentangan dengan konstitusi. Ia membacakan amar putusan: “Menyatakan Pasal 16A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara […] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Dalam hal HAT yang diperjanjikan […] dalam bentuk hak guna usaha, diberikan hak, paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun; perpanjangan hak, paling lama 25 (dua puluh lima) tahun; dan pembaruan hak, paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi,” kata Suhartoyo pekan lalu dikutip dari laman MK, Selasa (18/11/2025).

    MK menegaskan bahwa untuk hak guna usaha, pemberian hak maksimal 35 tahun, dengan perpanjangan 25 tahun dan pembaruan 35 tahun. Untuk hak guna bangunan, pemberian hak paling lama 30 tahun, perpanjangan 20 tahun, dan pembaruan 30 tahun. Adapun hak pakai, dibatasi pemberian hak selama 30 tahun, perpanjangan 20 tahun, serta pembaruan 30 tahun. Seluruh tahapan tersebut wajib disertai kriteria dan evaluasi tertentu.

    Selain itu, penjelasan Pasal 16A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. MK memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. Selanjutnya permohonan selebihnya dari para pemohon dinyatakan ditolak.

    Meski demikian, bagaimana bunyi Pasal 16A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sehingga MK menilai regulasi itu bertentangan dengan UUD 1945? Dikutip dari laman MK, berikut bunyinya: 

    Pasal 16A ayat (1)
    “Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak guna usaha, diberikan untuk jangka waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 (satu) siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi.”

    Pasal 16A ayat (2)
    “Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak guna bangunan, diberikan untuk jangka waktu paling Iama 80 (delapan puluh) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali melalui 1 (satu) siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 80 (delapan puluh) tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi.”

    Pasal 16A ayat (3)
    “Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak pakai, diberikan untuk jangka waktu paling lama 80 (delapan puluh) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali melalui 1 (satu) siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 80 (delapan puluh) tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi.”

  • Respon Putusan MK, Kapolri Tarik Anggota Aktif dari Jabatan Sipil

    Respon Putusan MK, Kapolri Tarik Anggota Aktif dari Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA — Mabes Polri menjelaskan kans anggota kepolisian yang menjabat di luar struktur ditarik dari jabatan sipil usai putusan MK.

    Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan keputusan penarikan itu dilakukan setelah Kapolri mendapatkan laporan dari tim kelompok kerja (pokja).

    “Ya untuk masalah keputusan nanti Bapak Kapolri akan mendapatkan laporan khusus dari tim pokja tersebut tentang apa yang akan dikerjakan oleh polri,” ujar Sandi di Mabes Polri, dikutip Selasa (18/11/2025).

    Dia menambahkan, tim pokja bakal ditugaskan berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk menyamakan persepsi soal putusan MK nomor 114/PUU-XXIII/2025 agar tidak multitafsir.

    Pihak yang dilibatkan yaitu Kemenpan RB, Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Kemenkum, Kemenkeu hingga Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara, pokja Mabes Polri yang dilibatkan berasal dari tim As SDM dan Divisi Hukum.

    “Bahwa tim Pokja membuat kajian percepatan tadi bisa menjadi landasan kita dengan berkolaborasi, berkonsultasi, dan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait,” imbuhnya.

    Adapun, Sandi menekankan bahwa kepolisian pasti akan menghormati apapun keputusan MK sesuai dengan amanat undang-undang yang ada.

    “Yang pasti, bahwa Kepolisian sangat mengapresiasi dan menghormati putusan dari MK dan akan menindaklanjuti keputusan MK tersebut,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, MK telah memutuskan untuk menghapus frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

    Hal itu tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025). Adapun, putusan ini kemudian menimbulkan persepsi soal anggota Polri tidak bisa menduduki jabatan sipil.