Retret dan Batas Kewenangan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
RETRET
kepala daerah Jilid II yang digelar di IPDN Jatinangor pada 22–26 Juni 2025, kembali menguji cara negara membina relasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Menghadirkan 84 kepala daerah dari berbagai wilayah, forum ini diklaim sebagai bagian dari pembinaan, penyamaan visi, dan penguatan kapasitas dalam mendukung program nasional.
Namun, di tengah semangat
otonomi daerah
yang telah menjadi pilar utama reformasi sejak 1999, kegiatan retret ini layak ditelaah secara kritis.
Tidak hanya dalam hal bentuk dan substansi, tetapi juga dari sisi batas kewenangan pusat dalam membina pemimpin daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.
Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa negara dibagi atas daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing memiliki pemerintahan daerah.
Dalam ayat (4) dinyatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Kedudukan kepala daerah bukanlah perpanjangan tangan pemerintah pusat, melainkan pemegang mandat rakyat dalam sistem pemerintahan yang desentralistik.
Namun, konstitusi juga mengatur bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
Norma ini menjadi dasar bagi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 218 hingga 222, yang mengatur bentuk pembinaan, metode pengawasan, serta peran menteri dalam menjaga sinergi antarlevel pemerintahan.
Dua norma ini—otonomi daerah dan pembinaan oleh pusat—harus dijalankan secara seimbang. Keduanya tidak bertentangan, tetapi bila pembinaan melampaui proporsinya, maka relasi setara antara pusat dan daerah dapat berubah menjadi relasi subordinatif.
Kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dalam hal ini, tanggung jawab utama mereka bukan kepada pemerintah pusat, melainkan kepada konstituen yang memilih. Relasi mereka dengan pemerintah pusat bersifat koordinatif, bukan hirarkis.
Ketika kepala daerah dikumpulkan dalam forum retret yang disusun secara terpusat, dengan format satu arah, jadwal ketat, dan simbolisme tinggi (termasuk seragam, protokol disiplin, dan materi tunggal), maka relasi tersebut dapat menyimpang dari prinsip otonomi.
Dalam banyak hal, forum retret menyerupai upaya konsolidasi vertikal. Di balik narasi pembinaan, terselip logika penyeragaman.
Ketika kepala daerah diarahkan untuk menyelaraskan narasi pembangunan dengan program pusat tanpa ruang reflektif, maka pembinaan berubah wajah menjadi pengarahan.
UU No. 23 Tahun 2014 memang memberikan ruang pembinaan kepada pemerintah pusat. Pasal 219 secara eksplisit menyebut bahwa pembinaan dilakukan melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, dan supervisi.
Namun, dalam praktik pemerintahan modern, semua pembinaan harus memenuhi asas legalitas dan proporsionalitas.
Asas legalitas mengharuskan setiap tindakan pemerintahan memiliki dasar hukum yang jelas. Sementara asas proporsionalitas menuntut agar tindakan pemerintah tidak melebihi kebutuhan dan tujuan yang hendak dicapai.
Ketika pembinaan dilakukan dalam bentuk forum tertutup, tanpa indikator terukur, serta beraroma instruksi politik, maka kita perlu bertanya: apakah bentuk itu masih dalam batas?
Pertanyaan ini penting diajukan untuk mencegah pembinaan berubah menjadi penyeragaman sikap. Kepala daerah bukan aparat birokrasi, melainkan aktor politik yang harus tetap independen dalam menjalankan mandatnya.
Demokrasi lokal dibangun dari hubungan langsung antara rakyat dan kepala daerah. Ketika kepala daerah merasa lebih bertanggung jawab kepada pemerintah pusat karena pembinaan, penghargaan, atau rotasi program pusat, maka hubungan dengan rakyat menjadi rapuh.
Retret yang terlalu sentralistik dapat menggerus demokrasi lokal. Kepala daerah akan cenderung bersikap loyal kepada pusat, bukan kepada warga.
Kritik terhadap kebijakan nasional bisa diredam karena khawatir berdampak pada relasi politik dan administrasi.
Dalam jangka panjang, hal ini mengancam prinsip
checks and balances
antara pusat dan daerah. Pembinaan yang tidak memahami batas justru menghasilkan kepala daerah yang teknokratis secara administratif, tetapi lemah secara representatif.
Desentralisasi Indonesia yang dibangun pascareformasi mulai menunjukkan gejala kontradiktif. Di satu sisi, kewenangan daerah tetap dijamin. Namun di sisi lain, intervensi pusat dalam bentuk regulasi, anggaran, hingga pembinaan semakin meningkat.
Retret adalah contoh konkret. Ia mungkin sah secara hukum administratif, tetapi jika dilihat dalam konteks politik dan demokrasi, kegiatan semacam ini mengarah pada pembentukan barisan kekuasaan yang merentang dari pusat ke daerah.
Di situlah muncul tanda-tanda sentralisasi baru yang dilakukan secara simbolik dan bertahap.
Perlu diingat, reformasi justru dilahirkan dari keinginan untuk mengakhiri model sentralistik yang menutup ruang perbedaan dan inisiatif lokal.
Pembinaan terhadap kepala daerah tetap menjadi kebutuhan dalam sistem ketatanegaraan kita. Namun, pendekatan yang digunakan perlu diperbarui agar sejalan dengan prinsip otonomi, demokrasi lokal, dan keragaman konteks daerah.
Format retret yang tertutup, seragam, dan berorientasi satu arah tidak lagi memadai untuk menjawab kompleksitas tantangan pemerintahan daerah saat ini.
Alternatif pembinaan dapat diarahkan ke format yang lebih terbuka dan dialogis. Pemerintah pusat sebaiknya mengundang kepala daerah dalam forum koordinasi yang mengedepankan pertukaran gagasan dan praktik baik, bukan hanya pengulangan materi dari atas ke bawah.
Dalam forum seperti ini, kepala daerah bisa saling belajar, saling memberi masukan, dan menyampaikan hambatan riil yang mereka hadapi dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kurikulum pembinaan juga perlu dirancang berdasarkan tipologi daerah. Wilayah kepulauan tentu berbeda kebutuhan pembinaannya dengan daerah metropolitan atau perbatasan.
Jika materi disamaratakan, maka yang terjadi bukan peningkatan kapasitas, melainkan pengulangan retorika yang menjauh dari kebutuhan di lapangan.
Selain itu, pemanfaatan teknologi pembelajaran jarak jauh dapat menjadi pelengkap yang efektif. Kepala daerah bisa mengakses materi secara fleksibel, kapan pun dibutuhkan, dengan penyesuaian terhadap agenda dan dinamika lokal yang mereka hadapi.
Dengan model pembinaan seperti ini, semangat koordinasi tetap terjaga, tetapi tidak mengorbankan prinsip desentralisasi dan peran substantif kepala daerah sebagai pemegang mandat rakyat.
Pemerintah pusat tetap menjalankan fungsi konstitusionalnya dalam membina dan mengawasi, tapi tidak dengan cara menundukkan, melainkan dengan memberdayakan.
Retret kepala daerah
seharusnya tidak dimaknai semata sebagai kegiatan seremonial pembinaan. Ia adalah cermin dari cara negara memandang kepala daerah: sebagai mitra strategis yang setara, atau sekadar pelaksana kebijakan pusat.
Dalam negara demokrasi desentralistik, relasi tersebut harus dijaga. Pemerintah pusat memiliki fungsi pembinaan, tetapi kepala daerah tetap pemegang mandat rakyat.
Maka, pembinaan tidak boleh melewati batas. Karena jika itu terjadi, yang dikorbankan bukan hanya otonomi, tapi juga legitimasi demokrasi di tingkat lokal.
Batas itu perlu disadari, dihormati, dan dijaga—agar retret tidak menjadi alat kendali, tetapi ruang tumbuh bersama dalam semangat konstitusi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Produk: UUD 1945
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5260636/original/029245500_1750599332-image__1_.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
HNW Tekankan Peran Etika dalam Menjaga Eksistensi Bangsa di Forum Diskusi Aktual – Page 3
Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, turut hadir sebagai narasumber dalam Forum Diskusi Aktual Berbangsa dan Bernegara (FDABB) yang diselenggarakan di panggung utama Islamic Book Fair (IBF) 2025, JCC Senayan, Jakarta, pada Sabtu malam (21/6/2025).
Dalam kesempatan itu, juga sekaligus diselenggarakan peluncuran buku karya Hidayat Nur Wahid berjudul “Negara Sejahtera Berlandaskan Etika”.
Diskusi yang mengusung tema serupa dengan judul buku ini menghadirkan sejumlah narasumber lintas sektor, antara lain Menteri Ketenagakerjaan RI Prof. Yassrierli, anggota MPR RI Sohibul Iman dan Kurniasih Mufidayati, anggota Dewan Pers Asep Setiawan, serta Wakil Wali Kota Serang Nur Agis Aulia.
Dalam pemaparannya, Hidayat Nur Wahid atau akrab disapa HNW menekankan pentingnya nilai etika dalam menjaga eksistensi bangsa dan negara. Ia mengutip Syawqi Bey, tokoh sastra asal Mesir, yang menyampaikan bahwa “suatu bangsa hanya akan tetap eksis selama etika masih dijunjung tinggi”.
“Eksistensi umat dan bangsa tergantung dari eksisnya etika. Kalau etikanya tidak lagi ada, maka bangsa juga tidak akan eksis,” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini dalam forum tersebut.
HNW menegaskan, etika bukan hanya nilai abstrak, melainkan prinsip fundamental yang tertanam dalam ideologi negara, yakni Pancasila. Ia menyebut sila pertama—Ketuhanan Yang Maha Esa—sebagai landasan utama dalam membangun etika kehidupan berbangsa.
Selain itu, ia mengingatkan kembali makna pembukaan UUD 1945 yang menegaskan cita-cita Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Menurutnya, pencapaian kesejahteraan umum tak bisa dilepaskan dari pondasi etik yang kokoh.
Negara ini, menurut Hidayat, dibentuk tidak hanya untuk melindungi segenap bangsa dan mencerdaskan kehidupan, tetapi juga untuk mewujudkan kesejahteraan umum itu. Demikian ketentuan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 45.
“Dan tujuan akhir dari ber-Pancasila adalah hadirnya kesejahteraan berkeadilan sebagaimana termaktub dalam paruh akhir alinea ke-4 Pembukaan UUD 45 adalah untuk “mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”, merupakan sila ke-5 dari Pancasila yang merupakan kesatuan tak terpisahkan dari pemahaman dan pengamalan sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan rujukan bangsa dan negara dalam beretika,” jelasnya.
Dalam konteks ini, Hidayat Nur Wahid menggarisbawahi pentingnya sosialisasi kembali TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, yang memang masih berlaku dan menurutnya masih sangat relevan hingga kini.
Buku yang diluncurkannya menjadi refleksi atas kondisi bangsa saat ini, di mana menurutnya sering kali terjadi anomali antara nilai etika yang disepakati secara prinsip dan ideologi bangsa dan negara dengan laku dan realitas di lapangan.
“Buku ini hadir sebagai pengingat, bahwa negara yang ingin hadirkan kesejahteraan bagi warganya haruslah berlandaskan etika. Namun sayangnya di lapangan, realitasnya tidak selalu seperti itu. Memang kita tidak membayangkan utopia negara Republika versi Plato, tapi berbagai rujukan ideologi dan ketentuan berbangsa dan bernegara serta cita-cita mulia kemerdekaan Indonesia, tentunya dapat mengatasi dinamika itu, untuk akhirnya mengingatkan semua pihak pada komitmen beretika dengan menjalankan dan menaati kesepakatan bersama sebagai Bangsa dan Negara,” terang HNW.
Forum ini menjadi bagian dari komitmen MPR RI, dalam menguatkan kembali pemahaman berkonstitusi serta praktek nilai-nilai kebangsaan melalui pendekatan etis dan religius, sebagaimana ketentuan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD NRI 1945, hal yang makin diperlukan terutama di tengah berbagai dinamika sosial-politik yang terus berkembang, agar tetap jaya rayalah NKRI, menyongsong Indonesia Emas 2045.
-
/data/photo/2025/06/18/68529a41c495e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Mahasiswa Dihalau Saat Ingin Aksi ke Wapres, Anggota DPR: Aparat Jangan Represif Nasional
Mahasiswa Dihalau Saat Ingin Aksi ke Wapres, Anggota DPR: Aparat Jangan Represif
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Anggota Komisi III DPR RI Abdullah mengkritik adanya penghalauan dan penahanan sementara terhadap tiga mahasiswa yang ingin menggelar aksi protes secara damai kepada Wakil Presiden (Wapres)
Gibran Rakabuming Raka
di Kota Blitar, Jawa Timur.
Abdullah meminta aparat keamanan agar tidak bereaksi berlebihan atau bertindak represif menghadapi sejumlah mahasiswa yang ingin menyampaikan aspirasi.
Apalagi, lanjut Abdullah, tiga mahasiswa itu tidak memuat unsur kekerasan, ujaran kebencian, atau tindakan yang mengancam keselamatan pejabat negara.
“Penangkapan mahasiswa karena membawa poster bertuliskan pertanyaan atau kritik terhadap Wakil Presiden, apapun narasinya, adalah bentuk reaksi yang berlebihan,” kata Abdullah, kepada wartawan, Sabtu (21/6/2025).
Menurut dia, sikap reaktif aparat yang berlebihan dapat menciptakan iklim ketakutan terhadap
kebebasan berekspresi
di Tanah Air.
“Aparat jangan-lah
over reaction
, apalagi sampai represif seperti itu dalam menyikapi bentuk aspirasi publik yang dilindungi dalam konstitusi kita,” imbuh dia.
Abdullah menilai, penghadangan terhadap mahasiswa itu tidak sesuai konstitusi.
Sebab, warga negara punya hak konstitusional untuk bebas menyampaikan pendapat yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
“Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan menyampaikan pendapat. Aksi mahasiswa yang membentangkan poster kritik terhadap kebijakan publik jelas merupakan ekspresi damai, bukan ancaman keamanan,” ujar dia.
Meski akhirnya ketiga mahasiswa itu dibebaskan, Abdullah menilai bahwa kritik terhadap pejabat tertinggi bukanlah tindakan kriminal, melainkan bagian dari partisipasi publik yang seharusnya dilindungi.
Legislator dari Dapil Jawa Timur VI itu pun menilai sikap aparat tersebut tidak dapat dibenarkan secara demokratis.
“Maka tindakan pengamanan yang berujung pada penahanan selama berjam-jam adalah bentuk pembatasan kebebasan sipil yang tidak dapat dibenarkan secara demokratis,” ujar dia.
Politikus PKB ini menyoroti tindakan aparat yang membawa mahasiswa ke suatu tempat tertutup selama kurang lebih empat jam tanpa proses hukum dan kejelasan status.
Menurut dia, tindakan polisi ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip
due process of law
dan membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang.
“Aparat sebagai perwakilan negara dalam kasus ini, seharusnya hadir sebagai pelindung ruang demokrasi, bukan pengendali narasi tunggal kekuasaan,” kata Abdullah.
Abdullah mengatakan, pengamanan terhadap pejabat tinggi negara memang penting.
Namun, jangan dijadikan alasan pengamanan untuk meredam aspirasi masyarakat secara sewenang-wenang.
Dia menekankan demokrasi bukan hanya soal pemilu, tapi juga tentang keberanian mendengar suara berbeda.
“Kalau ruang kritik yang sah dan damai ditanggapi dengan penangkapan atau pembungkaman, maka kita sedang menghadirkan demokrasi yang hanya prosedural, bukan substantif,” tutur Abdullah.
Abdullah berharap ke depannya tidak ada upaya lanjutan untuk membungkam mahasiswa secara struktural.
Sebagai bagian dari fungsi pengawasan, Komisi III DPR RI disebut akan terus memastikan bahwa prinsip-prinsip negara hukum dijalankan secara adil.
“Kami akan mengawal agar tidak ada bentuk intimidasi lanjutan. Kritik mahasiswa adalah bagian dari kontrol publik. Justru pejabat publik perlu mendengarkannya secara terbuka dan bertanggung jawab,” ujar dia.
Diberitakan sebelumnya, tiga mahasiswa diringkus personel Paspampres saat membentangkan poster ke arah iring-iringan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang tengah menuju ke sebuah rumah makan di Jalan Kalimantan, Kota Blitar, Rabu (18/6/2025) siang.
Aksi tersebut terekam dalam sebuah video berdurasi 10 detik.
Terlihat tiga personel Paspampres memiting dua mahasiswa serta merebut sejumlah poster dari tangan mereka.
Satu orang mahasiswa yang juga ikut membentangkan poster itu tidak terlihat dalam video tersebut.
Wakil Kepala Polres Blitar Kota, Kompol Subiyantana, membenarkan peristiwa tersebut, tetapi membantah adanya penangkapan.
“Informasinya tiga mahasiswa itu membawa poster mau menerobos rombongan Wakil Presiden itu sehingga dihalau untuk dipinggirkan,” ujar Subiyantana saat dikonfirmasi awak media.
“Ketiganya sekarang sudah pulang. Wong cuma dihalau, suruh minggir. Kalau VVIP kan harus steril,” kata dia lagi.
Terpisah, Ketua Pengurus Cabang Blitar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Muhammad Thoha Ma’ruf, melalui keterangan tertulisnya kepada awak media mengatakan bahwa sebenarnya ada empat mahasiswa yang membentangkan empat poster.
“Ada empat poster catatan kritis mahasiswa PMII Blitar terhadap Wapres Gibran. Kami memang berniat membentangkan poster itu sebagai sambutan untuk Wapres Gibran,” ujar Thoha.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Aksi 3 Kader PMII Ditindak secara Represif, Ketum: Mas Wapres Baper?
GELORA.CO – Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dianggap “baper” alias terbawa perasaan, atas aksi 3 kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang membentangkan spanduk mengkritik dinasti politik saat dirinya melakukan kunjungan kerja ke Blitar, Jawa Timur.
Ketua Umum Pengurus Besar (Ketum PB) PMII, Mohammad Shofiyulloh Cokro memandang, aksi 3 kadernya merupakan aspirasi masyarakat yang wajar disampaikan di alam demokrasi.
Sehingga, dia tak habis pikir aksi 3 kadernya itu direspons dengan tindakan represif, bahkan hingga diduga ada upaya pemukulan oleh pasukan pengamanan presiden (Paspampres) yang mengawal Gibran.
“Apa karena merasa atau bagaimana? Padahal kan memang semuanya tahu, dan bahkan mungkin Mas Wapres pun juga ngerti, kalau politik dinasti itu berbahaya,” ujar sosok yang disapa Gus Shofi itu, saat dihubungi RMOL, Jumat, 20 Juni 2025.
Menurut Gus Shofi, UUD 1945 jelas-jelas mengamanatkan adanya kebebasan berekspresi di Indonesia, dan tidak boleh dilakukan tindakan represif
“Kebebasan berekspresi yang dilindungi demokrasi iya, dan tentu dilindungi konstitusi itu ya,” tegasnya.
“Terlebih lagi tidak hanya kebebasan, tapi itu memang tanggung jawab, tugas dari masyarakat untuk monitoring, untuk mendampingi,” demikian Gus Shofi.
-

Tegaskan Syarat Pemakzulan Gibran Terpenuhi, Pakar Hukum Ungkap Realitas Politik
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Wacana pemakzulan Gibran dari jabatan Wapres hingga kini masih jadi perhatian publik.
Pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan bahwa secara konstitusional, semua syarat untuk memakzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sudah terpenuhi.
Pria yang akrab disapa Uceng ini mengungkapkan hal itu dalam forum diskusi bertajuk “Menuju Pemakzulan Gibran: Sampai Kemana DPR Melangkah?” yang digelar oleh Formappi, Rabu, 18 Juni 2025.
“Ada tiga dasar pemakzulan dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945: pelanggaran pidana, administratif, dan perbuatan tercela,” ujar Zainal melansir laman msn.
Ia menyoroti laporan dugaan korupsi yang dilayangkan Ubedilah Badrun sebagai potensi unsur pelanggaran pidana. Sementara dari sisi administratif, kata dia, keabsahan dokumen seperti ijazah menjadi bahan pertimbangan penting.
“Kalau bicara perbuatan tercela? Ya ampun, itu sudah banyak. Dari Fufufafa sampai praktik nepotisme,” sindirnya, tajam.
Menurutnya, secara teori hukum, pemakzulan terhadap Gibran sangat mungkin dilakukan. Namun realitas politik di DPR menjadi tembok penghalang yang sulit ditembus.
Hak menyatakan pendapat, sebagai tahapan awal proses pemakzulan, hanya bisa dilakukan jika mayoritas anggota DPR sepakat.
“Dengan koalisi Prabowo-Gibran yang masih solid, saya pesimistis DPR akan berani memulai langkah itu,” jelasnya.
Uceng juga menilai Mahkamah Konstitusi (MK), yang memiliki peran penting dalam menilai pelanggaran hukum Wapres, sudah tidak netral.
“Maaf, saya tak bisa lagi anggap MK sebagai lembaga hukum. Bagi saya, MK sudah jadi makhluk politik,” tegasnya.
-
/data/photo/2023/07/13/64af931298d10.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Ormas Dilarang Pakai Seragam Mirip TNI-Polri, Pemuda Pancasila: Mana Ada Tentara Oranye? Nasional
Ormas Dilarang Pakai Seragam Mirip TNI-Polri, Pemuda Pancasila: Mana Ada Tentara Oranye?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sekretaris Jenderal (Sekjen)
Pemuda Pancasila
(PP) Arif Rahman menekankan bahwa
seragam loreng oranye
milik PP memiliki makna historis tersendiri.
Arif pun membantah bahwa seragam PP mirip TNI/Polri.
Menurutnya, tentara tidak memiliki seragam loreng berwarna oranye.
Hal tersebut disampaikan Arif dalam merespons
Kemendagri
yang melarang ormas menggunakan seragam menyerupai TNI, Polri, atau aparat lainnya.
“Ya jadi gini, kita kan juga memakai seragam loreng itu kan ada sejarahnya, ada historisnya. Kalau dibilang mirip, mana ada tentara oranye warnanya. Itu sangat mencolok perbedaannya,” ujar Arif kepada Kompas.com, Kamis (19/6/2025).
“Dan yang paling penting, kita ini ormas yang memang berdiri sejak tahun 1958 saat itu. Jadi memang ormas yang didirikan oleh para petinggi TNI untuk menghalau kekuatan-kekuatan kelompok komunis pada saat itu,” sambungnya.
Arif menyampaikan bahwa hal itulah yang membuat ormas berbeda dengan TNI, di mana loreng-loreng versi sipil berbeda dengan TNI.
Dia pun meminta Kemendagri mengumpulkan ormas terlebih dahulu sebelum membuat larangan seperti itu.
“Mengundang kami untuk membahas. Kalau memang diseragamkan, ya kita bisa ikutin. Tapi kan seragam kita kan memang loreng. Mungkin ada warna oranye, ada lurik-lurik seperti loreng, itu kan warna dari Pemuda Pancasila. Tapi itu kan berbeda sekali kalau bicara TNI/Polri,” tegas Arif.
Arif berpandangan bahwa yang bermasalah adalah ormas-ormas lain yang seragamnya menyerupai TNI/Polri.
Menurutnya, ada satgas dari ormas-ormas lain yang seragamnya mirip aparat.
“Kalau kita seragam memang loreng dari awal berdiri. Kita setuju saja kalau memang itu untuk kepentingan bangsa negara,” imbuhnya.
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia menegaskan bahwa tidak diperbolehkan adanya organisasi kemasyarakatan (ormas) yang mengenakan pakaian menyerupai TNI/Polri maupun Kejaksaan.
Penegasan ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi ormas di Indonesia.
Direktur Jenderal (Dirjen) Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri, Bahtiar, menjelaskan bahwa berorganisasi di bidang sosial kemasyarakatan dijamin oleh Undang-Undang (UU) sebagai bentuk kebebasan berserikat dan berkumpul yang dilindungi negara.
“Tetapi berserikat dan berkumpul dalam konteks bernegara, masyarakat (termasuk ormas) dibatasi oleh hak-hak lain, dalam bentuk norma, nilai, dan hukum yang sesuai dengan Pasal 28 J UUD 1945 dan sudah diatur hukumnya dalam UU Ormas,” ujar Bahtiar.
“Larangannya tidak boleh menggunakan pakaian-pakaian yang sama dengan pakaian TNI/Polri atau lembaga pemerintahan lainnya, harus ditertibkan, jangan pakai pakaian seperti jaksa, polisi, itu harus ditertibkan,” tegasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Zainal Arifin Mochtar: Syarat Pemakzulan Gibran Sudah Terpenuhi, Hambatannya di Politik
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar menyebut bahwa secara konstitusional, syarat untuk memakzulkan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka sejatinya sudah terpenuhi.
Hal tersebut diungkapkannya saat menjadi narasumber dalam diskusi publik bertajuk “Menuju Pemakzulan Gibran: Sampai Kemana DPR Melangkah?” yang digelar Formappi, kemarin.
“Ada tiga alasan pemakzulan berdasarkan pasal 7, khususnya dari pasal 7A-7B UUD 1945, yaitu pelanggaran pidana, pelanggaran administratif, dan perbuatan tercela,” kata Zainal dikutip pada Kamis (19/6/2025).
Dikatakan Zainal, unsur pelanggaran pidana bisa dilihat dari laporan yang disampaikan Ubedilah Badrun terkait dugaan keterlibatan Gibran dalam kasus korupsi.
Sementara aspek administratif, lanjut Zainal, bisa muncul dari persoalan seperti legalitas ijazah atau tahapan verifikasi administratif lainnya.
“Perbuatan tercela? Banyak sekali. Ada Fufufafa, nepotisme,” tegasnya.
Meski menyebut konstruksi hukum untuk pemakzulan telah tersedia, pria yang akrab disapa Uceng ini menilai bahwa proses tersebut sulit diwujudkan karena hambatan politik yang cukup besar.
Ia juga menyinggung dominasi koalisi pendukung pemerintah sebagai faktor kunci.
“Kalau pendukung Prabowo-Gibran masih bersatu padu kuat maka hitungannya tidak akan mencapai menuju kepada hak menyampaikan pendapat, itu kalau kita melihat secara koalisi pemerintahan,” jelasnya.
Lebih jauh, Zainal juga mengkritisi peran Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurutnya tidak lagi berdiri sebagai institusi hukum yang netral.
-

Sri Mulyani Tak Setuju Saran Ekonom AS soal Tarif Pajak, Begini Alasannya
Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menanggapi saran ekonom AS Arthur Luffer terkait pajak datar, tarif rendah, serta cakupan luas untuk meningkatkan penerimaan.
Sri Mulyani menuturkan bahwa sejatinya Indonesia memiliki lima lapisan penghasilan dengan tarif mulai dari 5% hingga 35% sehingga jumlah pembayaran pajak akan berbeda untuk setiap orangnya tergantung besaran upah yang diterima.
“Saya tanya sama audience di sini, kalau yang sangat kaya dengan yang pendapatannya hanya di UMR, bayar pajaknya sama, setuju enggak? Saya hampir yakin semua bilang enggak setuju, tetapi yang beliau [Luffer] sampaikan tadi begitu,” ujarnya di Hotel Borobudur, Rabu (18/6/2025).
Dirinya menekankan bahwa adanya lapisan penghasilan tersebut merupakan bentuk amanat asas keadilan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Sebagaimana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai alat fiskal untuk memperbaiki distribusi dan menciptakan keadilan melalui perbedaan tarif pajak, belanja pun demikian.
Bendahara Negara tersebut memandang bahwa belanja yang dikeluarkan untuk setiap warga negara tidak sama karena UUD 1945 mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Alhasil, APBN sebagai countercyclical dan pemberian insentif bekerja dalam memberikan bantuan yang berbeda untuk setiap kelas di masyarakat sehingga kelas bawah dapat bersaing dengan kelas menengah maupun atas.
“Enggak mungkin anak-anak yang bayinya tidak kena imunisasi atau yang gizinya kurang bersaing secara sempurna dan adil dengan mereka yang bayinya gizinya baik. Di situlah fiscal tools muncul,” lanjut Sri Mulyani.
Pada kesempatan yang sama, sebelumnya Mantan Penasihat Presiden AS Donald Trump sekaligus ekonom Amerika Arthur Luffer menyarankan pemerintah dapat menurunkan tarif pajak untuk mendapatkan penerimaan yang lebih tinggi.
Secara prinsip, Luffer memperkenalkan teorinya—Luffer Curve—yakni meningkatkan penerimaan dengan kebijakan low rate, broad based, flat tax atau tarif rendah, cakupan luas, dan rata alias sama untuk seluruh kelas masyarakat.
Luffer memandang dengan pajak datar dan tarif rendah serta cakupan luas yang tidak mendiskriminasi satu kelompok atau melawan satu kelompok menjadikannya netral.
“Pajak itu ada secara eksklusif untuk mengumpulkan pendapatan, untuk membiayai program pemerintah yang perlu dibiayai. Anda perlu melakukannya,” ujarnya.
-
/data/photo/2021/04/29/608a561aa7324.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Politik Amien Rais: Gagal di Pilpres, Keluar dari PAN, Kini Digugat Ummat Nasional
Politik Amien Rais: Gagal di Pilpres, Keluar dari PAN, Kini Digugat Ummat
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
–
Amien Rais
kembali menghiasi perpolitikan Tanah Air usai namanya disebut melakukan kesewenangan sebagai Ketua Majelis Syura
Partai Ummat
.
Mantan Ketua MPR itu diprotes oleh sejumlah Dewan Pengurus Daerah (DPD) dan Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Ummat karena anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai yang disebut tak mencerminkan prinsip demokrasi.
Anggota Mahkamah Partai Ummat, Herman Kadir menyebut Majelis Syura Partai Ummat di bawah kepemimpinan Amien Rais mengesahkan AD/ART yang baru tanpa melalui mekanisme musyawarah nasional (Munas) ataupun rapat kerja nasional (Rakernas).
Setidaknya ada 24 DPW yang akan menyurati Kementerian Hukum terkait AD/ART baru Partai Ummat yang baru-baru ini disebut telah disahkan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.
Jika somasi yang diajukan 24 DPW Partai Ummat tak direspon oleh Kementerian Hukum, pihaknya akan menggugat AD/ART yang disahkan Amien Rais itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Tegasnya, Majelis Syura Partai Ummat yang dipimpin Amien Rais telah menyimpang dari nilai dan prinsip keadilan yang menjadi dasar pembentukan partai.
“Partai ini didirikan untuk menegakkan keadilan dan melawan kezaliman. Tapi, kenapa kita sendiri yang berbuat zalim? Apalagi sama kader,” ujar Herman.
“Kami akan mengajukan perlawanan. Saya sebagai ketua tim hukum dari teman-teman DPW dan DPD akan mengajukan perlawanan terhadap kesewenangan Majelis Syuro dan DPP ini,” sambungnya.
Ketidakpuasan kader Partai Ummat kepada Amien Rais seakan menambah asam garam dalam karier politiknya. Bagaimana kiprah politik Amien Rais hingga diprotes kadernya sendiri sat ini? Berikut perjalanannya:
Amien Rais pada pemilihan presiden (Pilpres) 2004 maju sebagai calon presiden (capres) dengan didukung oleh delapan partai politik. Ke-8 partai politik itu adalah Partai Amanat Nasional (
PAN
), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bintang Reformasi (PBR).
Selanjutnya ada Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Sarikat Indonesia, dan Partai Buruh Sosial Demokrat.
Amien Rais berpasangan dengan Siswono Yudo Husodo dan mendapatkan nomor urut 3 pada Pilpres 2004. Mereka bersaing dengan Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Namun mereka gagal pada kontestasi tersebut, setelah hanya meraih 17,39 juta suara atau 14,66 persen, meski sudah didukung oleh delapan partai.
Lompat ke 2020, hubungan Amien Rais dan PAN memanas jelang Kongres V PAN yang akan memilih ketua umum untuk periode 2020-2025.
Jelang Kongres V yang digelar di Kendari, Sulawesi Tenggara pada Februari 2020 itu, ketokohan Amien Rais mulai memudar. Padahal, nama Amien Rais Amien adalah sosok yang membidani lahirnya PAN bersama Goenawan Mohammad, Abdillah Toha, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Alvin Lie, Emil Salim hingga Faisal Basri pada 1998.
Adapun dalam Kongres V, Amien Rais mendukung Mulfachri Harahap untuk memimpin PAN. Janji Mulfachri jika terpilih, maka Hanafi Rais yang merupakan anak dari Amien Rais, akan didapuk sebagai sekretaris jenderal partai itu.
Kubu Amien Rais akan melawan Zulkifli Hasan yang notabenenya adalah petahana ketua umum PAN. Kongres V juga diketahui sempat ricuh, hingga akhirnya menetapkan Zulkifli Hasan sebagai ketua umum PAN periode 2020-2025.
Di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan, Amien Rais tak lagi didaulat sebagai Ketua Dewan Kehormatan. Kursi itu diberikan Zulkifli kepada Soetrisno Bachir.
Internal PAN pun bergejolak, hingga sejumlah loyalis Amien Rais seperti Agung Mozin, Asri Anas, dan Hanafi Rais memilih hengkang dari partai tersebut.
Singkat cerita, Amien Rais secara resmi mengumumkan nama partai barunya, Partai Ummat pada Kamis (1/10/2020). Ia menyatakan partai bentukannya akan bekerja dan berjuang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan sesuai prinsip demokrasi.
Amien Rais menjelaskan, Partai Ummat memiliki slogan “Lawan kezaliman dan tegakkan keadilan”. Sementara itu, asas dari partai tersebut adalah rahmatan lil alamin.
Akhirnya, Partai Ummat dinyatakan sah dan terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) pada 20 Agustus 2021. Adapun Ketua Umum Partai Ummat adalah Ridho Rahmadi, yang merupakan suami dari putri ke-4 Amien Rais yang bernama Tasniem Fauzia Rais.
Mereka juga menjadi salah satu partai politik peserta pemilihan umum (Pemilu) 2024. Dalam kontestasi pertamanya itu, mereka duduk di posisi buncit dengan perolehan 642.545 suara atau 0,42 persen.
Sementara itu pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024, Partai Ummat dan Amien Rais tergabung dalam Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/06/22/68579632c6921.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
