MK Kabulkan Gugatan soal Larangan Lembaga Pemantau Pemilihan Lakukan Kegiatan Lain
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
–
Mahkamah Konstitusi
(MK) mengabulkan gugatan soal
larangan lembaga pemantau
pemilu melakukan kegiatan lain.
Hal ini disampaikan dalam Sidang Pengucapan Putusan Gugatan Nomor 91/PUU-XXIII/2025 yang dilayangkan oleh Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (DPD-LPRI) Kalimantan Selatan.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Suhartoyo, dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Kegiatan lain yang dimaksud adalah yang tidak berkaitan dengan pemantauan pemilihan dalam Pasal 128 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (
UU Pilkada
).
Suhartoyo menyatakan, Pasal 128 huruf k UU Pilkada itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, MK menilai frasa “kegiatan lain” dalam Pasal 128 huruf k UU 1/2015 merupakan bentuk frasa terbuka (open-ended clause).
Dengan demikian, frasa ini tidak mendefinisikan secara tegas apa saja yang termasuk atau dikecualikan sebagai kegiatan yang “bukan” bagian dari pemantauan pemilihan.
Oleh karenanya, frasa ini memberikan keleluasaan bagi aparat penegak hukum untuk menafsirkan segala bentuk kegiatan lembaga pemantau sebagai “kegiatan lain” yang dilarang.
Menurut dia, rumusan norma yang bersifat terbuka dan menimbulkan multitafsir semacam itu cenderung merupakan pasal “keranjang sampah”, “mulur mungkret” atau “pasal karet” (catch-all provision) yang memiliki dimensi hukum yang berbeda.
“Padahal, dalam hukum pidana dan hukum administrasi yang berkonsekuensi terhadap sanksi, rumusan norma larangan dibatasi oleh prinsip-prinsip sebagaimana telah dikemukakan di atas, agar dapat mewujudkan kepastian hukum yang adil,” ucap Arief.
Selain itu, Arief menyebutkan tidak adanya penjelasan mengenai makna frasa “kegiatan lain” dalam Pasal 128 huruf k.
Pada bagian keterangan dalam UU Pilkada hanya dijelaskan dengan keterangan “cukup jelas”.
Hal ini pun dinilai menimbulkan
ketidakpastian hukum
.
MK pun menilai hal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis.
Dalam konteks pemilihan yang demokratis, MK menekankan bahwa lembaga pemantau seharusnya menjadi motor penggerak demokrasi yang sehat, terutama dalam pemilihan dengan satu pasangan calon.
Dia menekankan, lembaga pemantau perlu menjalankan tugasnya secara jujur, adil, dan netral, serta tidak terlibat dalam kampanye mendukung atau menolak calon.
Selain itu, MK menegaskan bahwa independensi pemantau pemilu harus bebas dari tekanan pihak manapun, termasuk dari penyelenggara pemilu yang memiliki kewenangan mencabut akreditasi.
Maka itu, MK menyatakan dalil Pemohon bahwa Pasal 128 huruf k UU 1/2015 telah melanggar hak konstitusional atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, norma Pasal 128 huruf k UU 1/2015 telah ternyata menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Arief.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Produk: UUD 1945
-
/data/photo/2025/01/13/6784ea212e2e7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
MK Kabulkan Gugatan soal Larangan Lembaga Pemantau Pemilihan Lakukan Kegiatan Lain
-
/data/photo/2025/05/22/682f003f4396f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
7 Yusril Ungkap Potensi Pelanggaran Konstitusi jika Putusan MK Pemisahan Pemilu Diterapkan Nasional
Yusril Ungkap Potensi Pelanggaran Konstitusi jika Putusan MK Pemisahan Pemilu Diterapkan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas)
Yusril Ihza Mahendra
mengatakan, ada potensi
pelanggaran konstitusi
yang bisa terjadi jika
putusan Mahkamah Konstitusi
yang memisahkan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan lokal diterapkan.
Salah satunya adalah jeda waktu 2-2,5 tahun antara pemilu nasional dengan pemilu lokal.
Jeda ini akan memberikan makna pemilihan DPRD tidak lagi dipilih lima tahun sekali dan tidak sesuai dengan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Kalau kita baca Pasal 22E UUD 45 kan tegas dikatakan pemilu dilaksanakan sekali 5 tahun, enggak bisa ada tafsir lain itu, dan pemilu itu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden, dan wakil presiden,” kata Yusril, saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).
Oleh sebab itu, dia mempertanyakan bagaimana bisa pemilihan lokal ditunda selama 2-2,5 tahun, sedangkan Pasal 22E
UUD 1945
tegas mengatakan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
Adapun pasal yang disebutkan Yusril terdapat pada Pasal 22E Ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Atas aturan konstitusi tersebut, Yusril mengatakan perlu ada pemikiran serius dari pembentuk undang-undang untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
“Jadi, mesti ada satu pemikiran yang agak serius dari segi ketatanegaraan mengenai persoalan ini,” kata dia.
Selain itu, Yusril juga mempertanyakan bagaimana langkah yang tepat untuk menyikapi persoalan yang timbul akibat
putusan MK
, seperti masa jabatan DPRD.
Hal ini menjadi masalah baru yang masih belum ada solusi dan juga berpotensi melanggar undang-undang.
“Apakah bisa anggota DPRD itu diperpanjang? Apakah ini tidak
against
(melawan) konstitusi sendiri, karena memang anggota DPRD itu harus dipilih oleh rakyat? Atas dasar kuasa apa kita memperpanjang mereka itu untuk 2-2,5 tahun? Apakah dibentuk DPRD sementara atau bagaimana? Itu juga masalah-masalah yang masih perlu kita diskusikan supaya kita tidak nabrak konstitusi,” ucap dia.
Putusan MK
terkait
pemisahan pemilu
nasional dan daerah itu tertuang dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Keputusan tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal harus dilakukan secara terpisah mulai tahun 2029.
Putusan yang dibacakan MK pada Kamis (26/6/2025) tersebut menyatakan bahwa keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
MK juga menyatakan bahwa pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pengawasan ke Polri Lemah, MK Diminta Bubarkan Kompolnas
Bisnis.com, Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk membubarkan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang tidak pernah menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengawas Polri.
Pihak Pemohon, Syamsul Jahidin menyatakan pihaknya telah mengajukan uji materi ke MK untuk menguji Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
Alasannya, kata Syamsul, Kompolnas saat ini dinilai hanya menjadi beban negara dan juru bicara sekaligus kepanjangan tangan dari Polri. Padahal, Syamsul mengemukakan bahwa tugas Kompolnas seharusnya adalah menjadi pengawas dan mengontrol semua tindakan Polri yang dianggap melanggar hukum.
“Keberadaan Kompolnas hanya menambah beban negara karena hanya menjadi juru bicara dan/atau perpanjangan tangan Polri. Akibatnya, menimbulkan ketidakpastian hukum yang berimplikasi lemahnya kontrol hukum terhadap Polri,” tuturnya di Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Dia juga menjelaskan bahwa Pasal 37 ayat (2) pada UU Polri yang kini tengah diuji di MK terkait pembentukan Kompolnas dinilai tidak logis. Pasal tersebut, kata Syamsul, menempatkan Kompolnas sebagai lembaga yang terus menghamburkan uang negara dan tidak pernah berhasil menjadi lembaga pengawas Polri.
“Lemahnya pengawasan dari Kompolnas ini berpotensi memungkinkan aparat bertindak represif terhadap seseorang atau kelompok berdasarkan dugaan atau kecurigaan subjektif, tanpa didasarkan pembuktian yang objektif. Hal ini bertentangan dengan prinsip presumption of innocence yang dijamin UUD 1945 dan penghormatan instrumen hak asasi manusia,” katanya.
Maka dari itu, Syamsul Jahidin dan Ernawati mengajukan uji materi ke MK dan meminta MK menyatakan Pasal 37 ayat (2) UU Polri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Kami juga meminta Mahkamah Konstitusi memerintahkan Presiden Republik Indonesia untuk membubarkan Kompolnas seketika sejak dibacakan dalam putusan,” ujarnya.
-

12 KBRI Kosong Tanpa Dubes, Kemlu Bilang Begini
Jakarta –
Sebanyak 12 Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di luar negeri kosong tanpa duta besar (Dubes). Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyebut penunjukan dubes merupakan hak Presiden Prabowo Subianto.
“Adalah hak presiden untuk pilih Dubes Indonesia untuk negara asing sesuai isi UUD 1945, dengan konsultasi seperlunya dengan DPR,” kata jubir Kemlu, Roy Soemirat, kepada wartawan, Selasa (1/7/2025).
Roy mengatakan Kemlu sendiri memiliki mekanisme kerja birokrasi yang jelas. Hal itu untuk memastikan kinerja KBRI di luar negeri tetap berjalan meski posisi Dubes kosong.
“Adapun untuk Kemlu kami punya mekanisme kerja birokrasi yang jelas untuk terus menjamin kinerja perwakilan Indonesia di luar negeri (KBRI atau KJRI) dalam keadaan kekosongan pimpinan tertinggi,” ucapnya.
Roy menyampaikan Kemlu akan menunjuk pejabat sementara atau ad interim sampai posisi Dubes diisi secara definitif. Dia menjamin tidak ada hal yang terbengkalai meski posisi Dubes kosong.
“Kemlu akan menunjuk kuasa usaha ad interim/kuai (charge d’affaires) yang menjadi pengganti sementara dengan mandat penuh. Hal ini menjamin kontinuitas kerja sampai adanya pejabat definitif,” ucapnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPR Anton Sukartono Suratto mengungkapkan 12 kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI) di luar negeri kosong tanpa duta besar atau dubes. Kursi kosong dubes itu berada di Amerika Serikat (AS), Jerman, hingga Korea Utara (Korut).
“Kita, data yang saya ada ada 12 KBRI kosong tanpa dubes, Amerika Serikat dari tahun 2023 karena dubesnya ditunjuk jadi Wamen BUMN, PBB New York dari 2024 dubesnya jadi wamenlu, dubes Jerman jadi wamenlu juga, PBB Jenewa dubesnya jadi Wamen PPN dan Bappenas,” ujar Anton dalam rapat kerja dengan Menlu Sugiono di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/6/2025).
Anton meminta jabatan dubes untuk negara-negara sahabat itu secepatnya diisi sosok yang tepat. Anton menyebut hal ini akan berkaitan dengan diplomasi RI di kancah internasional.
“Kita sama-sama paham bahwa dubes faktor yang paling penting Pak di Kemenlu, selain sebagai melindungi WNI kita, diplomasi kita, dan lain sebagainya. Ya kalau saya sih maunya yang kosong ini segera diisilah, apa pun alasannya,” katanya.
Anton menyebut dubes RI untuk Meksiko hingga Jepang akan berakhir. Anton berharap Menlu Sugiono proaktif untuk menyampaikan ke Presiden Prabowo Subianto agar calon dubes bisa diuji DPR.
“Jadi saya pikir ke depannya yang namanya dubes itu hak prerogatif dari Pak Presiden, tapi kalau kita bisa infokan ke Pak Presiden, ‘Pak izin tahun depan dubes akan berakhir’, kita akan adakan fit and proper beberapa dubes sehingga kalau waktu selesai, langsung diganti Pak,” tutupnya.
Dalam rapat tersebut, Menlu Sugiono mengatakan segera mengirim surat berisikan nama-nama calon dubes ke DPR. Surat itu termasuk calon wakil tetap untuk PBB di New York, AS.
“Terima kasih bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, concern-nya memang benar. Saya kira ini juga kesalahan kami sehingga proses ini tidak berlangsung dengan cepat dan smooth, tapi yang pasti untuk beberapa pos yang tadi disebutkan kami berharap dalam satu dua hari ini sudah ada surat ke DPR untuk bisa segera,” ujar Sugiono.
Menlu menilai posisi dubes harus diisi lantaran perannya yang strategis. Namun, Sugiono mengakui, proses memilih dubes untuk negara lain tak mudah.
Menurut Menlu, perlu waktu untuk mengisi dubes itu. “Jadi perlu waktu. Oleh karena itu, semua prosesnya sudah bisa kami selesaikan. Semoga dalam 1-2 hari ini usulannya sudah bisa sampai ke DPR,” imbuhnya.
(dek/idn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
-
/data/photo/2025/06/30/6862973d234db.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah
Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Partai
Nasdem
dalam pernyataan sikapnya mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta penjelasan Mahkamah Konstitusi (
MK
) terkait putusan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (
pemilu
) serentak nasional dan lokal.
“Partai
NasDem
mendesak
DPR RI
untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma Konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya,” kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, Lestari Moerdijat di kantor DPP Nasdem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
Pasalnya, Nasdem dengan tegas menyatakan bahwa
putusan MK
tersebut menyalahi konstitusi.
“Pemisahan skema pemilihan presiden,
DPR
RI, DPR RI dengan kepala daerah dan DPRD adalah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” ujar Lestari.
Wakil Ketua MPR yang biasa disapa sebagai Rerie ini memaparkan bahwa putusan MK itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
“Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22e UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam putusan MK 95/2022,” katanya.
“Sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” ujar Lestari lagi.
Selain itu, dia menyebut, MK telah memasuki dan mengambil kewenangan legislatif dan pemerintah. Sebab, penentuan waktu pasti penyelenggaraan pemilu merupakan
open legal policy
yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden atau pemerintah.
“MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait
open legal policy
yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah),” kata Lestari.
Tak hanya itu, Nasdem menilai, MK melakukan pencurian terhadap kedaulatan rakyat karena memutuskan pemisahan pemilu serentak nasional dan lokal.
Sebab, lagi-lagi berdasarkan Pasal 22e ayat 1 UUD NRI 1945, pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
“MK tunduk pada batas kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membuat putusan merubah norma konstitusi UUD NRI 1945. Dengan keputusan ini MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat,” ujar Lestari.
Dalam pernyataan sikap ini, hadir politikus elite NasDem lain antara lain Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
Diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Dalam putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025, MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
Dalam pertimbangan hukum, MK menyoroti pelaksanaan
Pemilu
2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.
Selain itu, MK juga menyoroti tenggelamnya masalah pembangunan daerah di tengah isu nasional karena pemilu nasional dan lokal digabungkan
Menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu nasional.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

MK Putuskan Pemilu Nasional Dipisah dengan Daerah, Rifqi Nilai Ada yang Kontradiktif
FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pelaksaan pemilu nasional dan pemilu daerah dipisahkan, terus menuai perbincangan menarik dari berbagai kalangan.
Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda atau Rifqi menyebut, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135/PUU-XXII/2024 sebenarnya kontradiktif dengan ketetapan yang pernah dibuat lembaga tersebut.
“Saya kira putusan MK itu juga kalau dibandingkan dengan putusan MK sebelumnya terkesan kontradiktif,” kata Rifqi menjawab pertanyaan awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/6).
Ketua DPP NasDem itu mengatakan putusan nomor 135 bertolak belakang dengan ketetapan MK nomor 55/PUU-XVII/2019.
Menurut Rifqi, MK dalam putusan 55 membuat pertimbangan hukum ke pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah untuk memilih satu dari enam model keserantakan pemilu.
“Nah, yang satu dari enam model keserentakan pemilu itu sendiri sudah dilaksanakan pada pemilu 2024 yang lalu,” ujar dia.
Namun, kata Rifqi, MK pada 2025 tidak memberi peluang bagi pembentuk aturan menetapkan model keserentakan pemilu.
“Mk sendiri yang kemudian menetapkan salah satu model ini,” katanya.
Rifqi mengatakan Komisi II belum bisa menentukan sikap resmi terkait putusan MK nomor 135.
Terlebih lagi, kata dia, MK dalam putusan itu menyatakan pemilihan secara demokratis dimaknai pemungutan suara langsung.
Sementara itu, Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 menyatakan pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis. “Nanti sikap resminya tentu akan disampaikan secara resmi oleh pimpinan DPR,” ujar Rifqi.
-
/data/photo/2020/02/24/5e53e1d1a8135.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat
NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Partai
NasDem
menilai putusan
MK
soal pemisahan pemilu serentak tidak punya kekuatan hukum yang mengikat lantaran bersifat inkonstitusional.
“Dan karenanya putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional,” kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem,
Lestari Moerdijat
di kantor DPP NasDem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
Dalam pengumuman pernyataan sikap DPP Partai NasDem ini, hadir politikus elite NasDem lain antara lain Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
NasDem menilai putusan MK itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap lima tahun sekali.
Adapun menurut putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, pemilu nantinya dipisah antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal dengan jeda antara 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Putusan itu akan diberlakukan untuk
Pemilu 2029
.
“Pemisahan skema pemilihan presiden, DPR RI, DPR RI dengan kepala daerah dan DPRD adalah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” kata Rerie, sapaan Lestari Moerdijat.
NasDem juga menyatakan MK tidak punya kewenangan mengubah norma hukum dan konstitusi.
Sebagaimana diketahui, MK memutuskan bahwa pemilu serentak dibagi menjadi dua, yakni, pertama, pemilu serentak nasional terdiri dari Pilpres, Pileg DPR, MPR, dan DPD. Kedua, pemilu serentak lokal terdiri dari Pilkada, Pileg DPRD Provinsi, dan Pileg DPRD Kabupaten/Kota.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/30/6862974d6cacf.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Soal Pemilu Dipisah, Nasdem: MK Memasuki dan Ambil Kewenangan Legislatif…
Soal Pemilu Dipisah, Nasdem: MK Memasuki dan Ambil Kewenangan Legislatif…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Partai
Nasdem
menyebut bahwa Mahkamah Konstitusi (
MK
) memasuki dan mengambil kewenangan legislatif dan pemerintah karena memutuskan
pemilu
anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
Pasalnya, dalam pernyataan sikapnya, Nasdem menegaskan bahwa hal itu harusnya
open legal policy
yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden atau pemerintah.
“MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah),” kata anggota Majelis Tinggi Partai
NasDem
, Lestari Moerdijat di kantor DPP NasDem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
Selain itu, Lestari mengatakan, Nasdem menilai bahwa MK telah menjadi negative legislator sendiri. Padahal, bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis.
“Dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua MPR yang biasa disapa sebagai Rerie ini memaparkan bahwa
putusan MK
itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
“Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22e UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam putusan MK 95/2022,” katanya.
“Sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” ujar Lestari melanjutkan.
Dalam pernyataan sikap ini, hadir politikus elite Nasdem lain antara lain Ketua Fraksi Nasdem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar Nasdem Peter F Gontha.
Diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Dalam putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025, MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
Dalam pertimbangan hukum, MK menyoroti pelaksanaan
Pemilu
2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.
Selain itu, MK juga menyoroti tenggelamnya masalah pembangunan daerah di tengah isu nasional karena pemilu nasional dan lokal digabungkan
Menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu nasional.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

DPR Belum Bisa Sikapi Putusan MK Terbaru soal Pemilu
Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda menyampaikan bahwa DPR RI belum bisa memberikan sikap resmi soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal pemilu.
Legislator NasDem ini menyebut berdasarkan hasil rapat dengan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan jajaran menteri serta lembaga negara terkait, disepakati bahwa akan mengkaji lebih dalam putusan MK tersebut.
“DPR belum memberikan sikap resmi, izinkan kami melakukan penelaahan secara serius terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yang saya kira putusan Mahkamah Konstitusi itu juga kalau kita bandingkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya terkesan kontradiktif,” ungkapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
Dia menjelaskan pada 2019 lalu MK melalui putusan Nomor 55 dalam pertimbangan hukumnya memberikan kewenangan (guidance) kepada pembentuk undang-undang untuk memilih 1 dari 6 model keserentakan pemilu. Adapun, salah satunya sudah dilaksanakan pada Pemilu tahun 2024 kemarin.
“Tetapi kemudian pada tahun 2025 ini Mahkamah Konstitusi tiba-tiba dalam tanda kutip bukan memberikan peluang kepada kami pembentuk undang-undang, untuk kemudian menetapkan 1 dari 6 model itu di dalam revisi undang-undang pemilu yang baru, tetapi Mahkamah Konstitusi sendiri yang kemudian menetapkan salah satu model ini,” jelasnya.
Rifqi melanjutkan, jika memang harus menormakan sejumlah ketentuan terkait dengan dua model pemilu putusan MK itu, maka berpotensi juga memberi tafsir bahkan melanggar konstitusi.
Salah satu contoh, ujarnya, ketentuan terkait pemilihan gubernur, bupati, wali kota dalam ketentuan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 disebutkan mereka dipilih secara demokratis.
“Tapi kemudian MK men-state dalam putusannya harus dipilih secara langsung melalui metode pemilu, sementara maka makna dari demokratis itu bisa direct demokrasi dan indirect demokrasi,” ujarnya.
Oleh karena itu, imbuhnya, pihaknya akan melihat risalah amandemen konstitusi dahulu terkait makna tersebut. “Karena itu DPR akan melihat lebih jauh original content atau risalah pada saat ketentuan pasal 18 ini dibentuk dulu pada saat amandemen konstitusi yang kedua, kalau tidak salah tahun 2000 yang lalu,” bebernya.
