Produk: UUD 1945

  • Komisi XIII DPR: KemenHAM Keliru Jadi Penjamin Penangguhan Penahanan Pelaku Persekusi Retret di Sukabumi – Page 3

    Komisi XIII DPR: KemenHAM Keliru Jadi Penjamin Penangguhan Penahanan Pelaku Persekusi Retret di Sukabumi – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Anggota Komisi XIII DPR RI, Iman Sukri mempertanyakan alasan Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) menjamin penangguhan penahanan tujuh tersangka kasus persekusi retret pelajar Kristen di Kampung Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

    Sebagai mitra kerja KemenHAM, Iman akan menanyakan langsung alasan permintaan penangguhan terhadap ketujuh tersangka tersebut. Menurutnya, langkah KemenHAM tersebut bertentangan dengan kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam mencegah terjadinya tindakan intoleransi di tanah air.

    “KemenHAM jadi penjamin tersangka itu dasarnya apa? Saya kira ini tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mengecam segala tindakan intoleransi oleh agama mana pun,” kata Iman dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (5/7/2025).

    Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengatakan, jika KemenHAM menjadi penjamin penangguhan penahanan terhadap tersangka persekusi tersebut, maka pemerintah seolah melakukan pembiaran terhadap tindakan intoleransi.

    “Saya kira KemenHAM keliru menjadi penjamin penangguhan penahanan terhadap pelaku kriminal dan pelanggar HAM. Seharusnya KemenHAM sebagai institusi negara mengecam tindakan intoleransi yang berpotensi menimbulkan perpecahan antar umat beragama di tanah air,” tegas Iman.

    Iman menegaskan, tidak ada toleransi bagi siapapun pelaku tindakan intoleransi. Sebab, tindakan intoleransi adalah melanggar konstitusi. Mengingat, setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinannya masing-masing.

    “Negara menjamin setiap warga negara dalam menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, Hak dan kebebasan setiap warga negara dalam menjalankan ibadah dijamin oleh UUD 1945,” tegasnya.

  • Ketua MPR: Putusan MK Pemilu Nasional-Daerah Dipisah Berpotensi Menimbulkan Masalah Baru

    Ketua MPR: Putusan MK Pemilu Nasional-Daerah Dipisah Berpotensi Menimbulkan Masalah Baru

    FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Ketua MPR RI, Ahmad Muzani, menyebut bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) daerah yang dipisahkan dengan Pemilu nasional dengan jeda waktu paling singkat dua tahun, atau paling lama dua tahun dan enam bulan, bukan hal baru dibicarakan.

    Dikatakan Muzani, putusan MK tersebut telah lama diwacanakan. Terlebih pada pembahasan UU Pemilu.

    “Sudah pernah didiskusikan apakah pemilihan nasional, dalam hal ini pemilihan Presiden dan DPR RI, dapat dipisahkan dari pemilihan daerah,” ujar Muzani kepada awak media di Hotel Claro Makassar, Jumat (4/7/2025).

    Lebih lanjut, Muzani mengatakan bahwa ide tersebut pernah muncul ketika proses penyusunan Undang-Undang Pemilu di DPR RI.

    “Namun, akhirnya tidak menjadi pilihan. Mengapa? Karena teman-teman di DPR RI menilai bahwa pemisahan itu lebih mencerminkan semangat negara federal,” ucapnya.

    Kata Muzani, saat ini Indonesia sedang menetapkan diri sebagai negara kesatuan. Maka dari itu diambil keputusan bahwa Pemilu tetap disatukan antara nasional dan daerah.

    “Keserentakan Pemilu saat ini justru merupakan hasil putusan MK sebelumnya. MK lah yang dulu memutuskan agar pemilu dilaksanakan serentak, Presiden, DPR RI, DPD, hingga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kita mengikuti keputusan itu, dan skema serentak pun diberlakukan,” bebernya.

    Sekjen DPP Partai Gerindra ini menuturkan bahwa MK kembali mengubah putusan sebelumnya.

    “Ini tentu menimbulkan pertanyaan. Apalagi, dalam Pasal 22E UUD 1945 disebutkan bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun, untuk memilih DPR, DPD, Presiden, dan DPRD,” Muzani menuturkan.

  • 2
                    
                        Anggota DPR: Kalau KemenHAM Jadi Penjamin Pelaku Intoleransi, Siapa Lindungi Korban?
                        Regional

    2 Anggota DPR: Kalau KemenHAM Jadi Penjamin Pelaku Intoleransi, Siapa Lindungi Korban? Regional

    Anggota DPR: Kalau KemenHAM Jadi Penjamin Pelaku Intoleransi, Siapa Lindungi Korban?
    Tim Redaksi
    KUPANG, KOMPAS.com –
    Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Golkar, Umbu Rudi Kabunang, menanggapi pernyataan Staf Khusus Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Thomas Harming Suwarta, yang mengusulkan penangguhan penahanan terhadap tujuh tersangka kasus perusakan rumah singgah retret pelajar
    Sukabumi
    di Sukabumi,
    Jawa Barat
    .
    Adapun
    KemenHAM
    juga bersedia menjadi penjamin para tersangka agar penahanan mereka ditangguhkan.
    Umbu Rudi menyebut langkah itu sebagai bentuk pengkhianatan terhadap tugas negara melindungi korban
    pelanggaran HAM
    .
    “Kalau KemenHAM malah jadi penjamin pelaku intoleransi, lalu siapa yang lindungi korban? Negara jangan jadi pelindung ketidakadilan,” ujar Umbu Rudi kepada wartawan, Jumat, (4/7/2025) malam.
    Umbu Rudi, yang merupakan legislator dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur (NTT) II, menilai peristiwa di Sukabumi bukan sekadar konflik sosial biasa, tetapi bentuk nyata pelanggaran hak atas kebebasan beribadah yang dijamin oleh UUD 1945 dan Pancasila.
    “Negara wajib melindungi anak-anak bangsa dalam menjalankan keyakinannya. Ini bukan isu minor, ini tentang hak dasar yang dilindungi UUD 1945,” tegasnya.
    Umbu juga mempertanyakan pernyataan KemenHAM yang menyebut para tersangka sebagai warga biasa, tidak terorganisir, dan menyesal. Alasan kemanusiaan pun dilontarkan.
    Ada yang istrinya sedang hamil, ada yang punya anak kecil.
    “Kalau begitu, semua pelaku kejahatan bisa berlindung di balik narasi kasihan. Negara ini tidak dibangun dari empati buta, tapi dari hukum yang adil dan tegas,” ujar politikus asal Pulau Sumba, NTT.
    Ia menyayangkan pendekatan mediasi dan Restorative Justice (RJ) yang menurutnya justru mengaburkan garis tegas antara pelanggar dan korban.
    “Apa ini artinya, pelaku intoleransi bisa bebas asal bilang maaf?” katanya.
    “Saya minta Menteri HAM segera membatalkan rencana menjadi penjamin. Kalau ini dibiarkan, Indonesia mau jadi apa? Negara hukum atau negara yang tidak aman bagi minoritas?” tegasnya.
    Ia mengingatkan, terlalu banyak kasus serupa di Indonesia seperti pembubaran ibadah, perusakan rumah ibadat, dan pengusiran umat minoritas yang tidak pernah tuntas karena negara memilih kompromi.
    “Sudah saatnya negara bersikap. Kalau pemerintah tidak tegas, kita sedang menggali kubur untuk keberagaman kita sendiri,” sebutnya.
    Umbu Rudi menyambut baik kehadiran Kementerian HAM dalam Kabinet Prabowo sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi.
    Namun, ia menegaskan, hak itu tak boleh dimaknai sempit.
    “HAM bukan berarti lunak terhadap pelanggar hukum. HAM justru harus menjadi pembela korban, bukan pelindung pelaku,” ujarnya.
    DPR, kata Umbu Rudi, akan terus mengawal kasus ini agar tidak berakhir pada kompromi politik.
    Diberitakan sebelumnya, sebuah rumah di Kampung Tangkil RT 4 RW 1, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, sempat didatangi warga pada Jumat (27/6/2025) lalu.
    Warga sempat mengira rumah tersebut dijadikan tempat ibadah umat kristen dan mereka kemudian membubarkan aktivitas serta merusak beberapa fasilitas di tempat tersebut.
    Namun, di rumah tersebut ternyata sedang berlangsung kegiatan retret para pelajar.
    Polisi sudah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka.
    Namun, Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) menyatakan siap menjadi penjamin bagi tujuh tersangka.
    Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, menyampaikan bahwa Kemenkumham akan mengajukan permohonan penangguhan penahanan secara resmi kepada pihak kepolisian.
    “Kami siap dari Kementerian HAM untuk memberikan jaminan agar para tujuh tersangka kami lakukan penangguhan penahanan dan ini (permintaan penangguhan penahanan) kami akan sampaikan secara resmi kepada pihak kepolisian,” kata Thomas saat berada di Pendopo Kabupaten Sukabumi, Kamis (3/7/2025), usai menghadiri kegiatan bersama Bupati, Kapolres, dan tokoh agama.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Soekarno keluarkan dekrit, UUD 1945 diberlakukan kembali

    Soekarno keluarkan dekrit, UUD 1945 diberlakukan kembali

    Presiden Soekarno sedang membacakan dekrit di Serambi Istana Merdeka, Jakarta. (wikipedia)

    5 Juli 1959: Soekarno keluarkan dekrit, UUD 1945 diberlakukan kembali
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Sabtu, 05 Juli 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Tepat 66 tahun yang lalu, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, yang secara resmi membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan ini menjadi titik balik penting dalam sejarah politik Indonesia dan menjadi awal dimulainya era Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.

    Dekrit ini dikeluarkan setelah Konstituante yang dibentuk melalui pemilu 1955 gagal mencapai kesepakatan mengenai pengesahan konstitusi baru pengganti UUD Sementara 1950. Perdebatan panjang dan tarik-menarik ideologis antara kelompok nasionalis, Islamis, dan komunis menyebabkan kebuntuan politik yang semakin mengganggu stabilitas negara. Di tengah kondisi itu, Presiden Soekarno mengambil langkah tegas demi menghindari kekacauan pemerintahan.

    Melalui siaran radio nasional pada 5 Juli 1959 dari Istana Merdeka, Presiden Soekarno membacakan isi dekrit yang secara garis besar mencakup tiga hal: pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai dasar negara, dan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Keputusan tersebut mendapat dukungan penuh dari TNI dan sebagian besar rakyat Indonesia yang sudah muak dengan ketidakpastian politik.

    Dekrit ini mengakhiri sistem parlementer yang berlaku sejak 1950 dan membuka jalan bagi sistem presidensial yang lebih kuat di bawah kendali langsung Presiden. Meski di kemudian hari sistem Demokrasi Terpimpin mengundang pro dan kontra, langkah ini dinilai sebagai upaya penyelamatan negara dari krisis konstitusional yang berkepanjangan.

    Penerbitan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Selain menandai berakhirnya masa transisi pascakemerdekaan, dekrit ini juga menunjukkan kuatnya peran presiden dalam menentukan arah politik nasional di tengah krisis kelembagaan.

    Sumber : Sumber Lain

  • Soekarno keluarkan dekrit, UUD 1945 diberlakukan kembali

    Soekarno keluarkan dekrit, UUD 1945 diberlakukan kembali

    Presiden Soekarno sedang membacakan dekrit di Serambi Istana Merdeka, Jakarta. (wikipedia)

    5 Juli 1959: Soekarno keluarkan dekrit, UUD 1945 diberlakukan kembali
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Sabtu, 05 Juli 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Tepat 66 tahun yang lalu, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, yang secara resmi membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan ini menjadi titik balik penting dalam sejarah politik Indonesia dan menjadi awal dimulainya era Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.

    Dekrit ini dikeluarkan setelah Konstituante yang dibentuk melalui pemilu 1955 gagal mencapai kesepakatan mengenai pengesahan konstitusi baru pengganti UUD Sementara 1950. Perdebatan panjang dan tarik-menarik ideologis antara kelompok nasionalis, Islamis, dan komunis menyebabkan kebuntuan politik yang semakin mengganggu stabilitas negara. Di tengah kondisi itu, Presiden Soekarno mengambil langkah tegas demi menghindari kekacauan pemerintahan.

    Melalui siaran radio nasional pada 5 Juli 1959 dari Istana Merdeka, Presiden Soekarno membacakan isi dekrit yang secara garis besar mencakup tiga hal: pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai dasar negara, dan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Keputusan tersebut mendapat dukungan penuh dari TNI dan sebagian besar rakyat Indonesia yang sudah muak dengan ketidakpastian politik.

    Dekrit ini mengakhiri sistem parlementer yang berlaku sejak 1950 dan membuka jalan bagi sistem presidensial yang lebih kuat di bawah kendali langsung Presiden. Meski di kemudian hari sistem Demokrasi Terpimpin mengundang pro dan kontra, langkah ini dinilai sebagai upaya penyelamatan negara dari krisis konstitusional yang berkepanjangan.

    Penerbitan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Selain menandai berakhirnya masa transisi pascakemerdekaan, dekrit ini juga menunjukkan kuatnya peran presiden dalam menentukan arah politik nasional di tengah krisis kelembagaan.

    Sumber : Sumber Lain

  • Taufik Basari: Putusan MK soal Pemilu DPRD Hadirkan Deadlock Konstitusional

    Taufik Basari: Putusan MK soal Pemilu DPRD Hadirkan Deadlock Konstitusional

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR Taufik Basari menyoroti munculnya dilema serius yang timbul dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai jadwal pemilu anggota DPRD.

    Menurutnya, putusan tersebut menimbulkan kondisi “deadlock konstitusional” karena baik dilaksanakan maupun tidak, sama-sama berpotensi melanggar konstitusi.

    “Di dalam ayat 1, 22E ayat 1 [UUD 1945], normanya adalah pemilihan umum dilaksanakan secara luber, langsung umum, bebas rahasia, jujur dan adil, setiap 5 tahun sekali, saya berikan huruf tebal disitu sebagai penekanan, setiap 5 tahun sekali,” ujarnya dalam Rapat Dengar Komisi III DPR RI, Jumat (4/7/2025).

    Dia menjelaskan pada pasal 22E ayat 2 UUD 1945 juga menegaskan pemilu digunakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta DPRD. Sementara pasal 18 ayat 3 menyebutkan anggota DPRD harus dipilih melalui pemilu, tanpa jalur lain. 

    Lebih lanjut, dia mengurai bahwa amar putusan MK menyatakan pemilu anggota DPRD baru akan digelar paling cepat dua atau dua setengah tahun setelah pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden. Artinya, akan ada jeda yang membuat masa jabatan DPRD melewati periode lima tahunan yang diamanatkan konstitusi.

     “Nah tetapi, Bapak-Ibu, kalau putusan MK ini dilaksanakan oleh pembuat Undang-Undang, yaitu DPR dan Presiden dalam bentuk mengubah Undang-Undangnya, maka justru akan melanggar pasal 22E ayat 1, terkait dengan pemilu yang harus dilaksanakan 5 tahun sekali,” jelasnya. 

    Di sisi lain, jika putusan MK tersebut tidak dilaksanakan, itu juga melanggar konstitusi. Penyebabnya, kata Taufik, di dalam pasal 24C ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa putusan MK bersifat final. Oleh sebab itu, dia menyebut situasi ini sebagai dilema besar yang harus dicarikan jalan keluar.

    Menurut Taufik, kondisi deadlock ini menuntut DPR dan pemerintah untuk segera merumuskan solusi agar pelaksanaan pemilu tetap sesuai amanat konstitusi dan putusan MK tetap dihormati.

    “Ini yang saya sebut sebagai dilematis, conditional deadlock. Dimakan masuk mulut buaya, tidak dimakan masuk mulut harimau. Kenapa kan begitu? Dilaksanakan melanggar konstitusi, tidak dilaksanakan melanggar konstitusi,” pungkas Taufik.

  • Puan Sebut DPR Tengah Kaji Putusan MK Terkait Pemisahan Pemilu – Page 3

    Puan Sebut DPR Tengah Kaji Putusan MK Terkait Pemisahan Pemilu – Page 3

    Ia juga menyebut  fraksinya yakni PDIP juga masih menunggu hasil kajian sebelum bersikap, termasuk apakah putusan MK ini melanggar UUD 1945 atau tidak.

    “Kita masih kaji hal tersebut, apakah kemudian ada hal yang dilanggar sesuai dengan Undang-Undang Dasar,” ungkapnya.

    Sebab, Puan menuturkan, dalam amanat UUD 1945 diatur bahwa pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. “Karena pemilu sesuai dengan Undang-Undang Dasar sudah lima tahun sekali,” ujar Puan.

  • PKS: Ketidakkonsistenan Putusan Perlemah Posisi Hukum MK

    PKS: Ketidakkonsistenan Putusan Perlemah Posisi Hukum MK

    PKS: Ketidakkonsistenan Putusan Perlemah Posisi Hukum MK
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Badan Legislasi DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Zainudin Paru menilai
    Mahkamah Konstitusi
    (
    MK
    ) tidak konsisten ketika memutus memisahkan pemilihan umum (
    pemilu
    ) nasional dan daerah.
    Pasalnya, MK telah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 pada 26 Februari 2020. Dalam putusan tersebut, MK mengusulkan enam model keserentakan pemilu kepada pembentuk undang-undang.
    Namun, MK justru kembali mengeluarkan putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan
    pemilu nasional
    dan daerah.
    “Putusan ini seharusnya masuk dalam ranah manajemen pemilu, bukan konstitusionalitas. Ketidakkonsistenan ini semakin memperlemah posisi hukum MK, apalagi dalam putusan sebelumnya No. 55/PUU-XX/2022,
    Pilkada
    disamakan dengan
    Pemilu
    ,” ujar Zainudin lewat keterangan tertulisnya, Kamis (3/7/2025).
    Ia menilai, MK lewat putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 melangkah terlalu jauh dan dan mengambil peran pembentuk undang-undang.
    “MK seolah-olah mengambil alih peran pembentuk UUD, padahal ranah itu bukan kewenangannya. Ini menjadi preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan kita,” ujar Zainudin.
    Di samping itu, memisahkan pemilu nasional dan daerah berdampak terhadap masa jabatan anggota DPRD di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
    Tegasnya, perpanjangan masa jabatan DPRD tidaklah sesuai konstitusi. Sebab, keterpilihan anggota DPRD adalah hasil dari pemilu yang harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali, sebagaimana diatur dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
    “Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa Pemilu adalah bentuk tindakan inkonstitusional. Hal ini melanggar Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, baik dari sisi waktu maupun subjek lembaga yang diatur,” ujar Zainudin.
    Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Dalam pertimbangan hukum, MK mengusulkan agar pemilihan legislatif (Pileg) DPRD yang bersamaan dengan
    pilkada
    digelar paling cepat dua tahun setelah pelantikan presiden/wakil presiden.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wamendagri Sorot Kewenangan MK, Sebut Tak Ada Pemilu yang Sempurna

    Wamendagri Sorot Kewenangan MK, Sebut Tak Ada Pemilu yang Sempurna

    Wamendagri Sorot Kewenangan MK, Sebut Tak Ada Pemilu yang Sempurna
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Menteri Dalam Negeri (
    Wamendagri
    )
    Bima Arya Sugiarto
    mengatakan, tidak ada pemilihan umum (pemilu) yang sempurna di dunia ini. Sehingga membutuhkan perubahan yang sistematis, bukan secara ekstrem.
    Hal tersebut disampaikannya dalam menyorot putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.
    “Karena itu yang kita butuhkan adalah perbaikan yang sistematis dan melembaga, bukan sistem yang berubah-ubah secara ekstrem setiap pemilu. Karena tidak ada sistem pemilu yang sempurna di dunia ini,” kata Bima dalam pesan singkat kepada Kompas.com, Kamis (3/7/2025).
    Ia juga menyorot
    kewenangan MK
    yang sering menyerobot ranah DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang.
    Menurutnya, perlu ada penelaahan mendasar kembali ihwal posisi ketatanegaraan MK.
    “Sejauh mana kewenangan MK dalam konteks pembentukan Undang-Undang di Indonesia yang demokratis dengan DPR dan pemerintah sebagai institusi utama,” ujar Bima.
    Kendati demikian, pemerintah akan mempelajari terlebih dahulu putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 secara detail dan teliti.
    Ungkapnya, revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dipastikannya masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2025.
    “Proses
    revisi UU Pemilu
    harus berlandaskan dan ditujukan untuk menjalankan UUD 1945. Materi keputusan MK akan menjadi materi yang didiskusikan, dikaji ulang, dan diselaraskan dengan tujuan UUD 1945,” ujar politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
    Anggota
    Komisi II
    DPR Muhammad Khozin menilai MK telah mencampuri kewenangan pembentuk undang-undang terkait putusan memisahkan pemilu nasional dengan daerah.
    Sebab, ia menilai bahwa penentuan model keserentakan pemilu merupakan ranah pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.
    “Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk lompat pagar atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU,” ujar Khozin lewat keterangan tertulisnya, Jumat (27/6/2025).
    Ia menjelaskan, MK telah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 pada 26 Februari 2020.
    Dalam putusan tersebut, MK mengusulkan enam model keserentakan pemilu kepada pembentuk undang-undang.
    Khozin menegaskan, MK seharusnya menunggu pembentuk undang-undang menindaklanjuti putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 lewat revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
    Namun, MK justru mengeluarkan putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang langsung menetapkan pemilu nasional hanya untuk memilih presiden/wakil presiden, DPR, dan DPD. Sedangkan pemilihan DPRD dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    “Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020, MK telah memberi enam opsi keserentakan pemilu. Tapi putusan MK yang baru justru membatasi, ini paradoks,” ujar Khozin.
    Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Soal Pemilu Dipisah, Wamendagri: Sejauh Mana Kewenangan MK dalam Pembentukan Undang-Undang?

    Soal Pemilu Dipisah, Wamendagri: Sejauh Mana Kewenangan MK dalam Pembentukan Undang-Undang?

    Soal Pemilu Dipisah, Wamendagri: Sejauh Mana Kewenangan MK dalam Pembentukan Undang-Undang?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Menteri Dalam Negeri
    Bima Arya
    mempertanyakan lingkup kewenangan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) dalam pembentukan sebuah undang-undang.
    Pertanyaan itu menjadi salah satu catatan Bima Arya merespons putusan MK nomor 135/PUU-XXIII/2025 yang memisahkan jadwal pemilu nasional dan lokal.
    “Terlepas dari substansi keputusan MK Nomor 135 tersebut, saat ini sangat penting untuk kita telaah secara mendasar posisi MK dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia,” kata Bima, kepada Kompas.com melalui pesan singkat, Kamis (3/7/2025).
    “Sejauh mana kewenangan MK dalam konteks pembentukan undang-undang di Indonesia yang demokratis dengan DPR dan pemerintah sebagai institusi utama?” sambung dia.
    Bima juga memberikan catatan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi memerlukan sistem politik dan kepemiluan yang kokoh dan melembaga.
    Oleh sebab itu, Bima menilai yang dibutuhkan Indonesia adalah perbaikan sistematis dan melembaga melalui lembaga pembentuk undang-undang.
    “Bukan sistem yang berubah-ubah secara ekstrem setiap pemilu. Karena tidak ada
    sistem pemilu
    yang sempurna di dunia ini,” ucap dia.
    Bima Arya menyebut pemerintah sedang mempelajari secara detail dan teliti putusan 135 tersebut.
    Karena menurut Bima, proses revisi UU Pemilu yang sedang dikerjakan saat ini harus berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
    “Materi keputusan MK akan menjadi materi yang didiskusikan, dikaji ulang, dan diselaraskan dengan tujuan UUD 1945,” ujar dia.
    Adapun putusan MK terkait
    pemisahan pemilu
    nasional dan daerah itu tertuang dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Keputusan tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal harus dilakukan secara terpisah mulai tahun 2029.
    Putusan yang dibacakan MK pada Kamis (26/6/2025) tersebut menyatakan bahwa keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
    Hakim MK juga menyatakan bahwa pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.