Produk: UUD 1945

  • Yusril Klarifikasi Wapres Gibran Tidak akan Berkantor di Papua

    Yusril Klarifikasi Wapres Gibran Tidak akan Berkantor di Papua

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra meluruskan kembali pernyataannya terkait dengan penugasan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam percepatan pembangunan Papua, sekaligus penempatannya untuk berkantor di sana.

    Hal itu sebelumnya disampaikan oleh Yusril pada acara penyampaian Laporan Tahunan Komnas HAM, Rabu (2/7/2025). 

    Melalui keterangan tertulis, Yusril meluruskan bahwa yang dimaksud olehnya berkantor di Papua adalah Sekretariat Badan Percepatan Pembangunan Otsus Papua. Badan itu dibentuk oleh Presiden berdasarkan amanat undang-undang, sehingga bukan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

    Meski demikian, Yusril menyebut pernyataannya mengenai penugasan Gibran untuk mempercepat pembangunan di Papua tertuang pada ketentuan Pasal 68A Undang-Undang (UU) No.2/2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

    “Dalam Pasal 68A UU Otsus Papua tersebut, diatur tentang keberadaan Badan Khusus untuk melakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Badan Khusus itu telah dibentuk oleh Presiden Joko Widodo dengan Perpres No. 121 Tahun 2022. Namun aturan-aturan terkait dengan pembentukan badan tersebut bisa saja direvisi sesuai kebutuhan untuk lebih mempercepat pembangunan Papua,” jelas Yusril dikutip dari siaran pers, Rabu (9/7/2025). 

    Adapun Badan Khusus Percepatan Pembangunan Otsus Papua itu diketuai oleh Wakil Presiden dan beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan satu orang wakil dari tiap provinsi yang ada di Papua. 

    Ketentuan lebih lanjut terkait dengan badan tersebut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Yusril mengingatkan, bisa saja struktur sekretariat dan personalia pelaksana badan yang sudah ada itu ditata ulang dengan Peraturan Pemerintah sesuai kebutuhan dan perkembangan.

    Oleh sebab itu, Yusril menegaskan bahwa pihak yang akan berkantor di Papua adalah kesekretariatan dan personalia pelaksana dari Badan Khusus yang diketuai oleh Wakil Presiden. Bukan Wapres Gibran.

    “Sebagai Ketua Badan Khusus, apabila Wakil Presiden dan para Menteri anggota badan itu jika sedang berada di Papua, beliau-beliau tentu dapat berkantor di Kesekretariatan Badan Khusus tersebut. Jadi bukan Wakil Presiden akan berkantor di Papua, apalagi akan pindah kantor ke Papua,” kata Yusril.

    Adapun Wakil Presiden mempunyai tugas tugas konstitusional yang telah diatur oleh UUD 1945, sehingga tempat kedudukannya berada di Ibu Kota Negara. Kedudukan Wakil Presiden berada di tempat kedudukan Presiden. 

    Secara konstitusional, tambah Yusril, tempat kedudukan Presiden dan Wakil Presiden tidak mungkin terpisah. Untuk itu, dia membantah sendiri pernyataannya sebagaimana yang diberitakan oleh sejumlah media massa. 

    “Tidak mungkin wakil presiden akan pindah kantor ke Papua sebagaimana diberitakan oleh beberapa media,” jelasnya.

    Sebagai informasi, Pasal 68A UU No.2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua mengamanatkan pembentukan Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua untuk melakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan Otsus Papua.

    Badan ini diketuai oleh Wakil Presiden, dengan anggota Mendagri, Menteri PPN Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, serta satu wakil dari setiap provinsi di Papua, dan bertugas memastikan percepatan pembangunan berjalan optimal.

    Untuk mendukung kerja Badan Khusus itu, terdapat lembaga kesekretariatan Badan Khusus yang berkantor di Jayapura, Papua. Keberadaan kantor di Jayapura ini berfungsi sebagai titik koordinasi dan pusat administrasi untuk memudahkan komunikasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Papua dalam pelaksanaan program percepatanpembangunan.

    Namun, seperti dijelaskan Mendagri Tito Karnavian, kantor tersebut bukan merupakan kantor Wakil Presiden secara permanen, melainkan kantor kesekretariatan badan khusus yang dapat digunakan Wapres saat berada di Papua untuk memimpin rapat atau koordinasi lapangan terkait tugas percepatan pembangunan Papua.

    Pada pemberitaan sebelumnya, Yusril sempat menyebut Gibran mendapatkan tugas khusus dari Prabowo terkait dengan pembangunan sekaligus permasalahan HAM di Papua. Ada kemungkinan anak dari Presiden ke-7 Joko Widodo itu bakal berkantor di Papua. 

    Ahli hukum tata negara itu menyebut tugas khusus ini akan tertuang dalam bentuk Keputusan Presiden (Kepres). Oleh sebab itu, Yusril mengatakan tidak menutup kemungkinan Gibran akan membuka kantor dan bekerja di Papua.

    “Bahkan mungkin ada juga kantornya Wakil Presiden untuk bekerja dari Papua menangani masalah ini,” ujarnya dalam Launching Laporan Tahunan Komnas HAM 2024, dikutip dari YouTube Komnas HAM. 

  • Yusril: Tidak Mungkin Wapres Gibran Pindah Kantor ke Papua

    Yusril: Tidak Mungkin Wapres Gibran Pindah Kantor ke Papua

    Yusril: Tidak Mungkin Wapres Gibran Pindah Kantor ke Papua
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas),
    Yusril Ihza Mahendra
    , menyatakan Wakil Presiden
    Gibran Rakabuming
    Raka mustahil pindah kantor ke
    Papua
    karena Wapres harus berkantor di Ibu Kota Negara.
    “Tidak mungkin Wakil Presiden akan pindah kantor ke Papua sebagaimana diberitakan oleh beberapa media,” kata Yusril dalam siaran persnya, Rabu (9/7/2025).
    Yusril mengklarifikasi pernyataannya sendiri pada pekan lalu soal
    Wapres Gibran
    yang mendapat tugas dari Prabowo untuk mengurusi Papua dan ada kantor untuk Wapres di Papua.
    Dalam siaran pers hari ini, Yusril menjelaskan bahwa wapres mempunyai tugas-tugas konstitusional yang telah diatur oleh UUD 1945, sehingga tempat kedudukan wakil presiden adalah di Ibu Kota Negara mengikuti tempat kedudukan Presiden.
    Secara konstitusional, tambah Yusril, tempat kedudukan Presiden dan Wakil Presiden tidak mungkin terpisah.
    Soal penugasan Prabowo untuk Gibran supaya mengurusi Papua, pihak yang berkantor langsung di Papua bukan Gibran tapi Badan Khusus Percepatan Pembangunan Otsus Papua yang diketuai oleh Wapres RI.
    “Jadi yang berkantor di Papua adalah kesekretariatan dan personalia pelaksana dari Badan Khusus yang diketuai oleh Wakil Presiden itu. Sebagai Ketua Badan Khusus, apabila Wakil Presiden dan para Menteri anggota badan itu jika sedang berada di Papua, beliau-beliau tentu dapat berkantor di Kesekretariatan Badan Khusus tersebut. Jadi bukan Wakil Presiden akan berkantor di Papua, apalagi akan pindah kantor ke Papua,” kata Yusril.
     
    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto disebut akan memberikan penugasan khusus kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk berkantor di Papua.
    Hal tersebut diungkap Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dalam acara Launching Laporan Tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Tahun 2024, pada Rabu (2/7/2025) lalu.
    “Concern pemerintah dalam menangani Papua ini, dalam beberapa hari terakhir sedang mendiskusikan untuk memberikan satu penugasan khusus dari Presiden kepada Wakil Presiden untuk percepatan pembangunan Papua,” ujar Yusril saat itu.
    Lanjutnya, kemungkinan besar akan ada kantor bagi Gibran di Papua selama menjalani penugasan khusus tersebut.
    “Sekarang ini akan diberikan penugasan, bahkan mungkin akan ada juga kantornya Wakil Presiden untuk bekerja dari Papua, menangani masalah ini,” ujar Yusril.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dukung Gibran Berkantor di Papua, Anggota Komisi II DPR: Masalah Papua Butuh Penanganan Cepat – Page 3

    Dukung Gibran Berkantor di Papua, Anggota Komisi II DPR: Masalah Papua Butuh Penanganan Cepat – Page 3

    Yusril menambahkan, Badan Khusus Percepatan Pembangunan Otsus Papua itu diketuai oleh Wakil Presiden dan beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan satu orang wakil dari tiap provinsi yang ada di Papua.

    Dia menambahkan, ketentuan lebih lanjut mengenai badan ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bisa saja struktur sekretariat dan personalia pelaksana badan yang sudah ada itu ditata ulang dengan Peraturan Pemerintah sesuai kebutuhan dan perkembangan.

    “Jadi yang berkantor di Papua adalah kesekretariatan dan personalia pelaksana dari Badan Khusus yang diketuai oleh Wakil Presiden itu. Sebagai Ketua Badan Khusus, apabila Wakil Presiden dan para Menteri anggota badan itu jika sedang berada di Papua, beliau-beliau tentu dapat berkantor di Kesekretariatan Badan Khusus tersebut. Jadi bukan Wakil Presiden akan berkantor di Papua, apalagi akan pindah kantor ke Papua,” tegas Yusril.

    Yusril menyatakan, Wakil Presiden mempunyai tugas-tugas konstitusional yang telah diatur oleh UUD 1945, sehingga tempat kedudukan wakil presiden adalah di Ibu Kota Negara.

    Sebelumnya diberitakan, Yusril mengatakan pemerintah memiliki konsen khusus dalam menangani konflik yang ada di Papua. Dia menyebut, pemerintah tengah mendiskusikan untuk memberikan satu penugasan khusus dari Presiden kepada Wakil Presiden untuk percepatan pembangunan di Bumi Cendrawasih.

    “Sekarang ini akan diberikan penugasan, bahkan mungkin akan ada juga kantornya Wakil Presiden untuk bekerja dari Papua.  Tentu tidak hanya sekedar spesifik pembangunan fisik, tetapi juga termasuk sejumlah penanganan masalah-masalah HAM dan bagaimana aparat keamanan kita menangani masalah Papua,” beber Yusril.

  • Menko Yusril Klarifikasi soal Wapres Gibran Bakal Berkantor di Papua – Page 3

    Menko Yusril Klarifikasi soal Wapres Gibran Bakal Berkantor di Papua – Page 3

    Yusril menambahkan, Badan Khusus Percepatan Pembangunan Otsus Papua itu diketuai oleh Wakil Presiden dan beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan satu orang wakil dari tiap provinsi yang ada di Papua.

    Dia menambahkan, ketentuan lebih lanjut mengenai badan ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bisa saja struktur sekretariat dan personalia pelaksana badan yang sudah ada itu ditata ulang dengan Peraturan Pemerintah sesuai kebutuhan dan perkembangan.

    “Jadi yang berkantor di Papua adalah kesekretariatan dan personalia pelaksana dari Badan Khusus yang diketuai oleh Wakil Presiden itu. Sebagai Ketua Badan Khusus, apabila Wakil Presiden dan para Menteri anggota badan itu jika sedang berada di Papua, beliau-beliau tentu dapat berkantor di Kesekretariatan Badan Khusus tersebut. Jadi bukan Wakil Presiden akan berkantor di Papua, apalagi akan pindah kantor ke Papua,” tegas Yusril.

    Yusril menyatakan, Wakil Presiden mempunyai tugas-tugas konstitusional yang telah diatur oleh UUD 1945, sehingga tempat kedudukan wakil presiden adalah di Ibu Kota Negara.

     

  • Respons Putusan MK, Wamendagri Bima Arya: Kita Perlu Sistem Pemilu yang Melembaga dan Berkelanjutan

    Respons Putusan MK, Wamendagri Bima Arya: Kita Perlu Sistem Pemilu yang Melembaga dan Berkelanjutan

    Wamendagri Bima mengatakan bahwa pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang sudah melakukan proses revisi Undang-Undang Pemilu.

    “Jadi, ada atau tidak putusan MK proses ini berjalan, itu yang pertama. Kedua, putusan MK ini sedang kami pelajari karena bagaimanapun juga revisi itu harus tetap selaras dan senafas dengan Undang-Undang Dasar, tidak boleh bertentangan,” tuturnya.

    Meski mengarah pada keinginan agar sistem pemilu tidak diubah, Wamendagri tidak langsung menyimpulkan sepakat atau tidaknya dengan MK.

    Dia lebih fokus pada revisi yang sedang dijalankan pemerintah sambil melihat muatan-muatan dari putusan MK yang sekiranya dapat dikolaborasikan.

    “Belum ada kesimpulan, ini kan, baru memulai penelitian baru memulai pengkajian kami akan kaji dulu. Kami berharap putusan MK ini bisa senafas dan selaras dengan UUD 1945,” ucap Bima Arya.

    Dia menyebut pemerintah sedang mempelajari putusan MK itu secara mendetail karena ingin proses revisi nantinya tetap berjalan dengan undang-undang. “Dalam proses kajian ini kami pun melihat muatan-muatan materi substansi dari putusan MK tadi,” sambungnya.

    Bima juga berpandangan adanya pemisahan pemilu itu karena perbedaan pandangan pendapat terkait rezim pemilu. Menurutnya, MK menganggap pilkada dan pemilu adalah satu rezim, sementara banyak kalangan yang berpendapat sebaliknya, sehingga penafsiran ini belum sama.

    “MK menganggap bahwa pilkada dan pemilu itu satu rezim, menafsirkan original intens dari proses perubahan Undang-Undang 1945, sementara banyak berpendapat bahwa Undang-Undang 1945 itu memisahkan antara rezim pilkada dan rezim pemilu, karena itu turunan undang-undangnya juga akan berbeda,” tutur Bima Arya. (fajar)

  • Respons Putusan MK, Wamendagri Bima Arya: Kita Perlu Sistem Pemilu yang Melembaga dan Berkelanjutan

    Respons Putusan MK, Wamendagri Bima Arya: Kita Perlu Sistem Pemilu yang Melembaga dan Berkelanjutan

    Wamendagri Bima mengatakan bahwa pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang sudah melakukan proses revisi Undang-Undang Pemilu.

    “Jadi, ada atau tidak putusan MK proses ini berjalan, itu yang pertama. Kedua, putusan MK ini sedang kami pelajari karena bagaimanapun juga revisi itu harus tetap selaras dan senafas dengan Undang-Undang Dasar, tidak boleh bertentangan,” tuturnya.

    Meski mengarah pada keinginan agar sistem pemilu tidak diubah, Wamendagri tidak langsung menyimpulkan sepakat atau tidaknya dengan MK.

    Dia lebih fokus pada revisi yang sedang dijalankan pemerintah sambil melihat muatan-muatan dari putusan MK yang sekiranya dapat dikolaborasikan.

    “Belum ada kesimpulan, ini kan, baru memulai penelitian baru memulai pengkajian kami akan kaji dulu. Kami berharap putusan MK ini bisa senafas dan selaras dengan UUD 1945,” ucap Bima Arya.

    Dia menyebut pemerintah sedang mempelajari putusan MK itu secara mendetail karena ingin proses revisi nantinya tetap berjalan dengan undang-undang. “Dalam proses kajian ini kami pun melihat muatan-muatan materi substansi dari putusan MK tadi,” sambungnya.

    Bima juga berpandangan adanya pemisahan pemilu itu karena perbedaan pandangan pendapat terkait rezim pemilu. Menurutnya, MK menganggap pilkada dan pemilu adalah satu rezim, sementara banyak kalangan yang berpendapat sebaliknya, sehingga penafsiran ini belum sama.

    “MK menganggap bahwa pilkada dan pemilu itu satu rezim, menafsirkan original intens dari proses perubahan Undang-Undang 1945, sementara banyak berpendapat bahwa Undang-Undang 1945 itu memisahkan antara rezim pilkada dan rezim pemilu, karena itu turunan undang-undangnya juga akan berbeda,” tutur Bima Arya. (fajar)

  • DPR RI: Putusan MK soal pemisahan pemilu berpotensi langgar konstitusi

    DPR RI: Putusan MK soal pemisahan pemilu berpotensi langgar konstitusi

    MK telah memasuki ranah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang seharusnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah

    Ponorogo, Jatim (ANTARA) – Anggota DPR RI Supriyanto menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah berpotensi melanggar konstitusi.

    “Pemilu seharusnya digelar setiap lima tahun sekali untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Kalau dipisah dan jaraknya 2,5 tahun, ini jelas tidak sesuai konstitusional,” ujar Supriyanto dalam keterangannya, Minggu.

    Supriyanto menyebut, jeda waktu yang terlalu panjang antara dua jenis pemilu tersebut mengakibatkan siklus pemilihan anggota DPRD tidak lagi 5 tahunan, sehingga tidak sesuai dengan amanat Pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

    Selain itu, menurut Supriyanto, MK telah memasuki ranah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang seharusnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah.

    “MK bukan pembuat undang-undang. Tugas pokok MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, bukan menambahkan norma baru dalam perundang-undangan,” ujarnya.

    Ia juga menilai putusan terbaru MK tersebut menunjukkan inkonsistensi, merujuk pada sikap MK sebelumnya dalam perkara presidential threshold yang selalu menyebutnya sebagai ranah open legal policy.

    Sebelumnya, dalam putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025 tersebut, MK menyatakan pemilu nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR RI, serta DPD RI digelar terpisah dari pemilu daerah yang meliputi pemilihan DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah dan wakil kepala daerah.

    Pemilu Daerah dijadwalkan dilaksanakan 2 hingga 2,5 tahun setelah Pemilu Nasional.

    “Dulu uji materi presidential threshold selalu ditolak dengan alasan itu wewenang pembentuk undang-undang. Tapi sekarang, MK justru menambahkan norma baru soal pemisahan pemilu,” katanya.

    Supriyanto juga mengingatkan bahwa pada 2019, MK telah mengeluarkan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menyarankan model pemilu serentak.

    Atas dasar putusan itu, pemerintah dan DPR menyusun regulasi dan menyelenggarakan Pemilu Serentak pada 2024.

    “Pemilu serentak sudah dijalankan 2024. Tapi belum lama, MK kembali mengubah arah dengan putusan baru ini yang justru memisahkan pemilu nasional dan daerah,” ujarnya.

    Ia menilai keputusan tersebut dapat mengganggu konsistensi siklus kepemimpinan serta sistem pelembagaan pemilu yang telah dibangun secara lima tahunan.

    “Kita butuh kepastian hukum dan konsistensi dari MK sebagai penjaga konstitusi. Bukan justru memperumit tata kelola demokrasi,” pungkasnya.

    Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Komunikolog Politik Setuju Wapres Diusulkan Presiden Terpilih-Ditetapkan MPR

    Komunikolog Politik Setuju Wapres Diusulkan Presiden Terpilih-Ditetapkan MPR

    GELORA.CO -Wacana perubahan mekanisme pemilihan wakil presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menuai beragam tanggapan. Tak sedikit yang setuju wapres dipilih dan ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan satu atau dua nama yang diajukan presiden terpilih.

    Komunikolog politik Tamil Selvan termasuk yang setuju. Dia menilai wapres ditetapkan MPR dari calon yang disodorkan presiden terpilih dapat mengurangi keharusan untuk dibentuknya gabungan partai politik sebelum pemilu yang cenderung bersifat transaksional.

    “Ketika presiden yang memilih para calon (wapres)-nya untuk kemudian nantinya dipilih di MPR saya kira ini hal benar. Kenapa? Tentu ini akan memangkas atau kira-kira mengurangi tindakan-tindakan transaksional yang selalu terjadi (dalam Pilpres),” katanya melalui sambungan telepon kepada rmol.id, Minggu, 6 Juli 2025.

    Kang Tamil, demikian ia disapa, berpandangan kecil kemungkinan diwarnai politik uang jika wapres dipilih MPR berdasarkan nama-nama yang disodorkan presiden terpilih.

    “Ketika pemimpin tertingginya (presiden) melakukan hal seperti itu maka saya yakin MPR tidak akan berani untuk membuka pintu-pintu transaksional,” tutur Kang Tamil.

    Akademisi Universitas Dian Nusantara ini menilai meskipun belum pernah terjadi wapres ditetapkan MPR berdasarkan usulan presiden terpilih sangat baik untuk kemajuan Indonesia. Ia mengatakan dengan begitu sekaligus memberikan ruang kepada presiden terpilih untuk mendapatkan partner yang sesuai.

    “Tapi saya kira ini hal baik karena tujuannya baik. Dan kemudian untuk apa? Untuk membawa roda pemerintahan kita ini lebih baik, lebih cepat, dan kemudian menuju Indonesia Emas 2045 yang kita nanti-nanti,” pungkas Kang Tamil.

    Wacana wapres dipilih dan ditetapkan MPR berdasarkan satu atau dua nama yang diajukan langsung oleh presiden terpilih menguat di tengah sorotan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilihan umum nasional dan daerah.

    Mekanisme pemilihan wapres model demikian diusulkan mantan Ketua MK Prof Jimly Asshiddiqie.

    Menurutnya, gagasan yang dikemukakan adalah tetap mempertahankan pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat, namun membuka ruang agar wapres dipilih dan ditetapkan MPR berdasarkan nama yang diajukan langsung oleh presiden terpilih kepada MPR.

    Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan usulan Jimly patut dipertimbangkan sebab relevan dengan ketentuan baru yang meniadakan persyaratan ambang batas 20% pencalonan presiden. Selain membuka peluang calon presiden lebih dari 3 orang, dengan mengurangi keharusan untuk dibentuknya gabungan partai politik sebelum pemilu yang cenderung bersifat transaksional. 

    “Di tengah tuntutan demokratisasi yang lebih substansial dan kebutuhan akan stabilitas pemerintahan yang kuat, pemisahan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dapat menjadi solusi atas sejumlah problem sistemik dalam praktik demokrasi elektoral kita. Salah satunya, tekanan kompromi politik dalam proses pencalonan pasangan capres-cawapres yang kerap kali menimbulkan distorsi arah kepemimpinan nasional,” ujar Bambang saat menghadiri acara Peluncuran Buku ‘Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945’ di Kantor Kompas Jakarta, Jumat 4 Juli 2025.

  • Politisi Nasdem Yogyakarta: Putusan MK Berpotensi Rugikan Daerah dan Langgar Konstitusi

    Politisi Nasdem Yogyakarta: Putusan MK Berpotensi Rugikan Daerah dan Langgar Konstitusi

    Liputan6.com, Yogyakarta – Suasana politik di Yogyakarta turut bergolak pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Di tengah diskusi yang kian hangat, Suharno, politisi Partai NasDem Yogyakarta, mengungkapkan keprihatinannya terhadap putusan tersebut yang dinilainya berlebihan dan melampaui kewenangan.

    Menurut Suharno, keputusan MK untuk memisahkan jadwal pemilihan presiden, DPR, dan DPD dari jadwal pemilihan DPRD dan kepala daerah, berpotensi menabrak konstitusi dan merugikan daerah. Ia menilai, keputusan tersebut akan memunculkan sejumlah dampak serius, termasuk pembengkakan anggaran dan kekacauan tahapan pencalonan legislatif.

    “Keputusan ini seharusnya dipertimbangkan lebih matang. Dengan kondisi anggaran negara yang perlu efisiensi, keputusan MK ini justru akan menambah beban. Apalagi kalau anggaran pemilu daerah dibebankan ke daerah masing-masing, ini sangat berat,” ujar Suharno, Kamis (3/7/2025).

    Suharno juga menekankan bahwa keputusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah mengganggu amanat Pasal 22E UUD 1945 yang dengan tegas menyebut pemilu harus digelar lima tahun sekali secara serentak untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. “Kalau jadwalnya dipisah dua tahun lebih, maka bisa saja masa jabatan DPRD diperpanjang tanpa pemilu. Itu jelas inkonstitusional. Apakah MK tidak menyadari ini akan bertentangan dengan UUD?” tegasnya.

    Tak hanya dari sisi hukum, Suharno juga mengkritisi potensi kerumitan dalam jenjang politik. Ia menyebut akan banyak politisi yang kesulitan dalam mencalonkan diri jika pemilu digelar dalam waktu berbeda. “Kalau ada anggota DPRD yang ingin naik ke DPR-RI, tetapi masa jabatannya belum habis, bagaimana teknisnya? Atau sebaliknya, anggota DPR-RI gagal nyalon, apakah bisa langsung nyalon DPRD? Ini semua belum ada kejelasan. Blunder,” kata Suharno.

    Ia menilai Mahkamah Konstitusi telah bertindak melampaui batas sebagai lembaga yudikatif. Menurutnya, pengaturan jadwal pemilu seharusnya merupakan domain pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, bukan MK. “MK ini sudah masuk ke ranah pembentuk UU. Mestinya ranah ini ada di tangan DPR dan pemerintah. Kalau seperti ini, ya mereka seolah menjadi lembaga legislatif juga,” tambahnya.

    Kritik Suharno juga menyasar inkonsistensi sikap MK terkait kedudukan pilkada. Ia menyebut dalam putusan sebelumnya (No 85/PUU-XX/2022), MK menegaskan pilkada merupakan bagian dari rezim pemilu. Namun kini, dalam putusan terbaru, MK justru memisahkannya. “Putusan ini mestinya lebih ke manajemen pemilu, bukan masalah konstitusionalitas. Tapi sekarang malah keputusan MK tidak konsisten. Ini makin memperlemah posisi hukumnya,” tutup Suharno.

  • CHED nilai kawasan tanpa rokok DKI tak ganggu ekonomi usaha kecil

    CHED nilai kawasan tanpa rokok DKI tak ganggu ekonomi usaha kecil

    Arsip foto – Sejumlah warga menikmati libur akhir pekan di Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Taman Ranggon Wijaya Kusuma, Jakarta Timur, Minggu (19/5/2024). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/YU/aa.

    CHED nilai kawasan tanpa rokok DKI tak ganggu ekonomi usaha kecil
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Sabtu, 05 Juli 2025 – 21:51 WIB

    Elshinta.com – Kepala Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta Roosita Meilani Dewi menilai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Jakarta tidak akan mengganggu ekonomi pelaku usaha kecil.

    Dalam pernyataan di Jakarta, Sabtu, Roosita mengatakan bahwa Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang saat ini dibahas DPRD DKI Jakarta memiliki landasan hukum yang kuat.

    “Ini adalah bentuk nyata dari implementasi hak atas hidup sehat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28, hingga Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2024 yang secara tegas melarang penjualan rokok kepada anak di bawah usia 21 tahun,” ujarnya.

    Secara khusus, dia menyoroti kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Raperda KTR akan berdampak negatif pada ekonomi daerah, yang terbantahkan dengan data keuangan resmi DKI Jakarta.

    Selama satu dekade penerapan larangan iklan rokok melalui Pergub No 1 Tahun 2015, penerimaan pajak reklame justru mengalami tren stabil, bahkan meningkat dari Rp714,9 miliar pada 2015 menjadi Rp961,3 miliar pada 2024, dengan puncak tertinggi Rp1,095 triliun pada 2022.

    “Fakta ini membantah narasi bahwa promosi rokok diperlukan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Justru, pengeluaran rumah tangga miskin untuk rokok yang menempati urutan kedua setelah beras, mencapai Rp79.226 per bulan (Susenas 2019), menunjukkan beban ekonomi yang justru ditanggung keluarga,” kata Roosita.

    Dukungan terhadap aturan itu juga disampaikan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).

    Sekretaris Jenderal LPAI Titik Suharyati menyebut bahwa kebijakan KTR merupakan investasi jangka panjang untuk melindungi anak-anak.

    “Kebijakan ini berperan penting dalam menekan angka perokok anak yang semakin mengkhawatirkan dari tahun ke tahun,” katanya.

    Diharapkan dengan data, dukungan publik, serta bukti lapangan yang tersedia, momen pembahasan Raperda KTR 2025 dapat menjadi titik balik bagi Jakarta untuk tampil sebagai kota percontohan dalam pengendalian tembakau di Indonesia.

    Sumber : Antara