Produk: UUD 1945

  • Koperasi Merah Putih Banjir Kritik, Akademisi: Jangan Sampai Hanya Jadi Instrumen Politis atau Proyek Sentralistik

    Koperasi Merah Putih Banjir Kritik, Akademisi: Jangan Sampai Hanya Jadi Instrumen Politis atau Proyek Sentralistik

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — 12 Juli merupakan peringatan Hari Koperasi Nasional. Sekitar 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes) Merah Putih telah terbentuk dan siap diresmikan, sebagaimana diamanatkan dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025. Ini merupakan langkah nyata pemerintah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Pembentukan Kopdes Merah Putih mencakup berbagai sektor, seperti pertanian, perikanan, dan bidang lainnya, dengan tujuan utama untuk menggerakkan ekonomi desa serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    Saat menyampaikan arahan dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (21/03/2025), Presiden Prabowo menegaskan peran strategis Kopdes Merah Putih dalam mendorong pertumbuhan ekonomi desa. Melalui program ini, Presiden berkomitmen untuk memberdayakan desa sebagai fondasi kemandirian ekonomi nasional.

    Wakil Rektor Bidang Pengelolaan Sumber Daya Universitas Paramadina, Dr. Handi Risza Idris, memberikan pandangan kritis terhadap target ambisius pemerintah membentuk 80.000 Koperasi Merah Putih (KMP).

    Menurutnya, koperasi memang merupakan amanat konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945, namun harus tetap menjunjung asas kemandirian dan kekeluargaan.

    “Jangan sampai koperasi hanya menjadi instrumen politis atau proyek sentralistik pemerintah pusat, seperti yang pernah terjadi pada KUD masa lalu. Terlebih, sumber pendanaan KMP berasal dari dana desa dan APBDes. Jika tidak dikelola dengan prinsip good governance, program ini berpotensi menjadi beban baru, bukan solusi,” tegas Handi pada diskusi publik bertajuk “Koperasi Merah Putih: Menghadapi Realita, Meretas Solusi” diselenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting pada Jumat (11/7/2025),

  • Sejarah Panjang Koperasi di Indonesia, dari Kolonial hingga Modern

    Sejarah Panjang Koperasi di Indonesia, dari Kolonial hingga Modern

    Jakarta, Beritasatu.com – Hari Koperasi Nasional yang diperingati setiap 12 Juli menjadi momen penting untuk merefleksikan perjalanan panjang koperasi di Indonesia. 

    Sejak masa kolonial hingga era kemerdekaan, koperasi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. 

    Sebagai badan usaha yang berasaskan kekeluargaan dan solidaritas ekonomi, koperasi memainkan peran strategis dalam membangun ekonomi kerakyatan.

    Lantas, bagaimana sebenarnya perjalanan sejarah terbentuknya koperasi di Indonesia ini? Dihimpun dari berbagai sumber, berikut informasinya!

    Sejarah Lahirnya Koperasi di Indonesia

    Sejarah koperasi di Indonesia merupakan cerminan perjuangan ekonomi rakyat yang dimulai dari keprihatinan terhadap praktik pinjaman berbunga tinggi. 

    Sejak akhir abad ke-19, semangat kebersamaan dan asas kekeluargaan telah mendorong lahirnya sistem koperasi yang kini menjadi bagian penting dari perekonomian nasional.

    Cikal bakal koperasi di Indonesia bermula pada tahun 1886 di Purwokerto. Saat itu, seorang Patih bernama Raden Aria Wiria Atmaja mendirikan lembaga keuangan untuk membantu para pegawai negeri yang kerap terjerat utang dari lintah darat. Gagasannya ini bertujuan menyediakan pinjaman dengan bunga ringan.

    Gagasan tersebut kemudian mendapatkan dukungan dari pemerintah kolonial, melalui seorang asisten residen Belanda bernama De Wolf van Westerrode. Ia mendorong agar lembaga tersebut diubah menjadi koperasi sesuai sistem yang telah berkembang di Eropa.

    Perkembangan Menuju Gerakan Nasional

    Pada awal abad ke-20, tokoh pergerakan nasional seperti Dr Soetomo ikut mendorong koperasi sebagai alat pemberdayaan ekonomi rakyat. 

    Tahun 1908 menjadi momentum penting karena koperasi mulai diperkenalkan ke dalam ranah gerakan sosial.

    Selanjutnya, pada 1915, pemerintah kolonial menerbitkan peraturan resmi koperasi pertama melalui Verordening op de Coöperatieve Vereeniging. 

    Sayangnya, peraturan ini lebih menguntungkan pihak Belanda karena mengharuskan penggunaan bahasa Belanda dalam anggaran dasar koperasi.

    Koperasi Pascakemerdekaan

    Setelah kemerdekaan Indonesia, koperasi mendapat tempat strategis dalam pembangunan ekonomi. Salah satu tonggak penting adalah diselenggarakannya Kongres Koperasi Pertama di Tasikmalaya pada 12 Juli 1947. 

    Kongres tersebut menghasilkan pembentukan Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI), penetapan asas gotong royong, dan penetapan 12 Juli sebagai Hari Koperasi Nasional.

    Konsep koperasi bukan hanya tentang badan usaha, tetapi juga wadah solidaritas ekonomi yang dijalankan oleh dan untuk anggota. 

    Prinsip koperasi yang mengedepankan keadilan, kesetaraan, dan demokrasi ekonomi telah menjadi tonggak penting dalam perjalanan bangsa menuju kesejahteraan bersama.

    Bapak Koperasi Indonesia

    Peran besar dalam penguatan koperasi nasional datang dari Mohammad Hatta. Wakil presiden pertama Indonesia ini dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. 

    Pada Konferensi Koperasi Nasional tahun 1946, Bung Hatta menyampaikan pentingnya koperasi sebagai dasar perekonomian sesuai Pasal 33 UUD 1945.

    Ia menyatakan bahwa koperasi adalah bentuk nyata sistem ekonomi yang berlandaskan asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. 

    Berkat dedikasi dan konsistensinya, Mohammad Hatta resmi dinobatkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia, dan kontribusinya dikenang hingga kini.

    Sejarah koperasi di Indonesia menunjukkan bahwa sistem ini lahir dari rakyat dan untuk rakyat. Dengan prinsip kesetaraan, koperasi telah berkembang menjadi pilar penting dalam memperkuat ekonomi masyarakat.

  • RUU masyarakat hukum adat jadi agenda Legislasi Prioritas PKB

    RUU masyarakat hukum adat jadi agenda Legislasi Prioritas PKB

    Sumber foto: Radio Elshinta/ Arie Dwi Prasetyo

    Wakil Ketua Baleg: RUU masyarakat hukum adat jadi agenda Legislasi Prioritas PKB
    Dalam Negeri   
    Editor: Valiant Izdiharudy Adas   
    Jumat, 11 Juli 2025 – 21:10 WIB

    Elshinta.com – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PKB Ahmad Iman Syukri menegaskan bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) menjadi agenda legislasi prioritas yang akan diperjuangan PKB di parlemen. Rancangan peraturan itu disusun untuk melindungi masyarakat adat dari marginalisasi, diskriminasi, serta kriminalisasi.

     

    “Kami sebagai pengusul RUU MHA secara konsisten menempatkan pengusungan RUU tentang Masyarakat Adat sebagai salah satu agenda legislasi prioritas,” ujar Iman dalam acara diskusi pakar dalam rangka penyusunan naskah akademik RUU MHA yang digelar Badan Keahlian DPR di Ruang Baleg, Jumat (11/7/2025).

     

    Lebih lanjut iman mengatakan ada sejumlah alasan yang menjadi dasar menyusunan RUU tersebut. Pertama, dasar UUD 1945, khususnya Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3), yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional. Kedua, Fraksi PKB yang memiliki akar historis dan sosiologis yang kuat dengan Nahdlatul Ulama (NU), secara inheren membawa tradisi pembelaan terhadap kelompok yang rentan dan seringkali terpinggirkan. 

     

    “Sejarah panjang NU dalam memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, termasuk masyarakat adat dan petani desa yang kerap menjadi korban ketidakadilan agraria, menjadi landasan kuat bagi PKB untuk meneruskan perjuangan tersebut melalui jalur legislasi,” ujarnya

     

    Kemudian, Iman menambahkan ketiadaan payung hukum yang spesifik dan kuat mengakibatkan pengakuan serta perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat menjadi lemah, yang pada akhirnya seringkali menjadi akar dari berbagai permasalahan dan konflik di lapangan.

     

    “PKB memandang perlindungan terhadap kelompok lemah sebagai kewajiban moral yang tak terpisahkan dari norma agama. PKB menempatkan adat sebagai salah satu kelompok masyarakat yang perlu dilindungi secara serius dari berbagai bentuk marginalisasi, diskriminasi, serta kriminalisasi yang seringkali mereka hadapi,” kata iman

     

    Iman mengatakan, saat ini pengaturan mengenai Masyarakat Adat diterapkan dalam berbagai undang-undang sektoral, seperti undang-undang kehutanan, agraria, desa, dan pesisir. Fragmentasi regulasi ini menciptakan tumpang tindih, yang justru menghambat upaya Masyarakat Adat untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka.

     

    Banyak dalil Al-Qur’an yang menjadi landasan Fraksi PKB dalam mengusung RUU Masyarakat Adat. Seperti QS Al-Mā’idah ayat 8 yang diperintahkan untuk “berlaku adil” kepada semua golongan. Kemudian hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya; ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkan (terzalimi)”.

     

    Kaidah fiqih juga menjadi landasan, yaitu “Dar’ al-mafsadah muqaddam ʿalā jalb al-maṣlaḥah” (menolak kerusakan didahulukan atas menarik kemaslahatan). Kaidah itu sangat relevan, di mana RUU Masyarakat Adat dipandang sebagai instrumen krusial untuk mencegah mafsadah berupa kriminalisasi dan urusan agraria yang merugikan masyarakat adat.

     

    “Jadi, pengkajian dan penyusunan RUU Masyarakat Adat ini bukan sekadar agenda legislasi biasa, melainkan sebuah langkah strategis dan mendesak untuk mengatasi kesenjangan hukum yang ada, dan mewujudkan keadilan sosial yang hakiki bagi seluruh Masyarakat Adat di Indonesia,” tegas Iman. 

     

    Hadir dalam acara diskusi, Wakil Ketua Baleg Martin Manurung, Direktur Jenderal dan Pelindungan Tradisi, Kementerian Kebudayaan Restu Gunawan, Ketua Komnas HAM Anis Hidayah, Pakar Masyarakat Hukum Adat Mathius Awoitauw, dan Erasmus Cahyadi dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat dan Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. ( Arie Dwi Prasetyo)

    Sumber : Radio Elshinta

  • Baleg DPR jamin RUU Masyarakat Hukum Adat bakal jadi agenda prioritas

    Baleg DPR jamin RUU Masyarakat Hukum Adat bakal jadi agenda prioritas

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Iman Syukri menjamin RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) akan menjadi agenda legislasi prioritas yang diperjuangkan untuk melindungi masyarakat adat dari marginalisasi, diskriminasi, serta kriminalisasi.

    “Kami sebagai pengusul RUU MHA secara konsisten menempatkan pengusungan RUU tentang Masyarakat Adat sebagai salah satu agenda legislasi prioritas,” kata Iman di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat.

    Menurut dia, ada sejumlah alasan yang menjadi dasar penyusunan RUU tersebut. Pertama, dasar UUD 1945, khususnya Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3), yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional.

    Dia menilai ketiadaan payung hukum yang spesifik dan kuat mengakibatkan pengakuan serta perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat menjadi lemah, yang pada akhirnya seringkali menjadi akar dari berbagai permasalahan dan konflik di lapangan.

    Untuk itu, dia memandang perlindungan terhadap kelompok lemah sebagai kewajiban moral yang tak terpisahkan dari norma agama.

    Menurut dia, adat sebagai salah satu kelompok masyarakat perlu dilindungi secara serius dari berbagai bentuk marginalisasi, diskriminasi, serta kriminalisasi yang seringkali mereka hadapi.

    Dia mengatakan saat ini pengaturan mengenai Masyarakat Adat diterapkan dalam berbagai undang-undang sektoral, seperti undang-undang kehutanan, agraria, desa, dan pesisir.

    Fragmentasi regulasi ini, kata dia, menciptakan tumpang tindih, yang justru menghambat upaya Masyarakat Adat untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka.

    “Pengkajian dan penyusunan RUU Masyarakat Adat ini bukan sekadar agenda legislasi biasa, melainkan sebuah langkah strategis dan mendesak untuk mengatasi kesenjangan hukum yang ada, dan mewujudkan keadilan sosial yang hakiki bagi seluruh Masyarakat Adat di Indonesia,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Soekarno lantik Kabinet Kerja I, awal demokrasi terpimpin

    Soekarno lantik Kabinet Kerja I, awal demokrasi terpimpin

    Presiden Soekarno bersama para menteri usai pelantikan di Istana Negara. (elshinta.com)

    10 Juli 1959: Soekarno lantik Kabinet Kerja I, awal demokrasi terpimpin
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Kamis, 10 Juli 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Presiden Soekarno secara resmi melantik Kabinet Kerja I sebagai bentuk pemerintahan baru yang menandai dimulainya era Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Pelantikan ini dilakukan tak lama setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945 sebagai dasar negara.

    Kabinet ini terdiri dari para menteri yang dipilih langsung oleh Presiden Soekarno, mencerminkan pergeseran sistem pemerintahan dari parlementer ke presidensial. Djuanda Kartawidjaja yang sebelumnya menjabat sebagai Perdana Menteri dipercaya menjadi Menteri Utama. Kabinet Kerja I memiliki struktur yang lebih ramping namun dengan penekanan kuat pada pembangunan nasional, ketahanan ekonomi, dan stabilitas politik.

    Pelantikan ini dilaksanakan di Istana Negara, Jakarta, dan disambut dengan dukungan luas oleh kelompok pendukung Demokrasi Terpimpin. Namun sejumlah kalangan mengkritik arah pemerintahan baru ini sebagai bentuk konsolidasi kekuasaan presiden yang terlalu dominan. Meski demikian, Kabinet Kerja I menjadi simbol awal dari masa transisi besar dalam politik Indonesia pasca-krisis parlemen yang berkepanjangan.

    Pembentukan kabinet ini menjadi tonggak penting dalam sejarah pemerintahan Indonesia modern. Kabinet Kerja menjadi cikal bakal struktur pemerintahan otoriter yang berkembang di dekade-dekade berikutnya, serta memainkan peran penting dalam merumuskan arah kebijakan luar negeri Indonesia, termasuk pembentukan Poros Jakarta–Peking–Pyongyang.

    Baca juga Pelantikan Kabinet Kerja I

    Sumber : Sumber Lain

  • Cerita Sebenarnya tentang Gibran Akan Urus Papua

    Cerita Sebenarnya tentang Gibran Akan Urus Papua

    Jakarta

    Wapres Gibran Rakabuming Raka mendapat mandat untuk mengurusi percepatan pembangunan Papua. Mandat itu ternyata bukan tugas khusus dari Presiden Prabowo Subianto, melainkan berdasarkan Undang-undang Otonomi Khusus (UU Otsus).

    Awalnya kabar Gibran mendapat tugas khusus dari Prabowo untuk mengurusi Papua itu diungkap Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. Ia menyebut pemerintah saat ini tengah mendiskusikan terkait percepatan pembangunan Papua dan Prabowo akan memberikan tugas itu ke Gibran.

    “Dan concern pemerintah dalam menangani papua ini dalam beberapa hari terakhir ini sedang mendiskusikan untuk memberikan suatu penugasan dari presiden kepada wakil presiden untuk percepatan pembangunan Papua,” kata Yusril dalam acara Launching Laporan Tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 2024, dilihat di YouTube Komnas HAM, Selasa (8/7/2025).

    “Saya kira ini pertama kali presiden akan memberikan penugasan kepada wapres untuk penanganan masalah Papua ini, karena memang sampai hari ini belum ada penugasan khusus dari presiden, dan biasanya itu dengan keppres,” lanjut Yusril.

    Yusril menyebut penugasan terhadap wapres ini hal yang wajar. Sama halnya seperti Wapres ke-13 Ma’ruf Amin yang diberikan tugas pengembangan ekonomi syariah oleh Presiden ke-7 Joko Widodo.

    Sementara itu, Gibran akan diberikan tugas penanganan masalah pembangunan di Papua. Bahkan menurutnya, bisa saja Gibran bekerja dan berkantor di Papua.

    “Kalau Pak Kiai Ma’ruf diberi tugas untuk pengembangan ekonomi syariah oleh Pak Jokowi, dan sekarang ini akan diberikan penugasan bahkan mungkin ada juga mungkin kantornya wapres bekerja dari Papua menangani masalah ini,” ujarnya.

    Gibran Urus Papua Berdasarkan UU Otsus

    Foto: Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra (Mulia/detikcom)

    Yusril menjelaskan Gibran mendapat tugas untuk mempercepat pembangunan di Papua bukan dari Presiden. Tugas itu berdasarkan pada ketentuan Pasal 68A Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

    “Dalam Pasal 68A UU Otsus Papua tersebut, diatur tentang keberadaan Badan Khusus untuk melakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan Otonomi Khusus Papua,” kata Yusril kepada wartawan, Rabu (9/7/2025).

    Adapun badan khusus itu dibentuk oleh Presiden ke-7 Joko Widodo dengan Perpres No 121 Tahun 2022. Namun, katanya, aturan-aturan terkait dengan pembentukan badan tersebut bisa saja direvisi sesuai kebutuhan untuk lebih mempercepat pembangunan Papua.

    Yusril mengungkapkan Badan Khusus Percepatan Pembangunan Otsus Papua itu diketuai oleh Wakil Presiden dan beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan satu orang wakil dari tiap provinsi yang ada di Papua. Ketentuan lebih lanjut mengenai badan ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    “Jadi yang berkantor di Papua adalah kesekretariatan dan personalia pelaksana dari Badan Khusus yang diketuai oleh Wakil Presiden itu. Sebagai Ketua Badan Khusus, apabila Wakil Presiden dan para Menteri anggota badan itu jika sedang berada di Papua, beliau-beliau tentu dapat berkantor di Kesekretariatan Badan Khusus tersebut. Jadi bukan Wakil Presiden akan berkantor di Papua, apalagi akan pindah kantor ke Papua,” jelas Yusril.

    Gibran, kata Yusril, mempunyai tugas-tugas konstitusional yang telah diatur oleh UUD 1945, sehingga tempat kedudukan wakil presiden adalah di Ibu Kota Negara mengikuti tempat kedudukan Presiden. Menurut Yusril, secara konstitusional, tempat kedudukan Presiden dan Wakil Presiden tidak mungkin terpisah.

    “Tidak mungkin wakil presiden akan pindah kantor ke Papua sebagaimana diberitakan oleh beberapa media,” katanya.

    Gibran Siap Ditugaskan di Mana Pun

    Wapres Gibran Rakabuming (Foto: dok. Puspen Kemendagri)

    Wapres Gibran Rakabuming menyatakan siap menjalankan tugas memimpin percepatan pembangunan di Papua. Dia siap melanjutkan hasil kerja eks Wapres Ma’ruf Amin tentang Papua.

    “Saya sebagai pembantu presiden siap ditugaskan ke mana pun, kapan pun, dan ini kan melanjutkan kerja keras dari Pak Wapres Maruf Amin untuk masalah Papua,” ujar Gibran di Klaten, Jawa Tengah, dilansir Antara, Rabu (9/7/2025).

    Sebagaimana rekaman video yang diterima di Jakarta, Rabu, Gibran mengatakan bahwa penugasan dirinya tersebut merupakan kelanjutan dari upaya yang telah dilakukan Wakil Presiden RI ke-13 Ma’ruf Amin. Gibran menjelaskan bahwa keterlibatannya dalam isu Papua bukanlah hal yang baru.

    Gibran menyampaikan bahwa jajaran di Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) yang berada di bawah koordinasinya sudah kerap menjalankan berbagai kegiatan di Papua. Di antaranya mengirimkan alat sekolah, laptop, dan mengecek kesiapan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sejumlah wilayah di Papua, seperti Sorong dan Merauke.

    Wapres juga menegaskan bahwa dirinya siap menjalankan tugas tersebut kapan pun dan di mana pun.

    “Kami sebagai pembantu presiden siap ditugaskan di mana pun, kapan pun. Dan saat ini kita menunggu perintah berikutnya. Kita siap, kita siap,” ucap Gibran.

    “Misalnya, keppres-nya (keputusan presiden) belum keluar pun saya juga siap kapan pun,” imbuhnya.

    Mengenai teknis pelaksanaan tugas, Gibran menyebutkan dia fleksibel dalam hal lokasi kerja.

    Wapres mengatakan dia dapat berkantor di mana saja, baik di Jakarta, Ibu Kota Nusantara (IKN), maupun di Papua.

    “Kalau saya bisa berkantor di mana saja. Bisa di Jakarta, di Kebon Sirih, bisa di IKN kalau Desember nanti sudah jadi, bisa di Papua, bisa juga di Klaten di Jawa Tengah. Ini kita di mana pun kita jadikan kantor,” ucap Gibran.

    Menurut dia, hal tersebut sejalan dengan komitmen sebagai pembantu presiden yang harus sering turun ke daerah, berdialog dengan berbagai pihak, serta membuka ruang untuk masukan dan evaluasi.

    “Karena bagi saya, sekali lagi sebagai pembantu presiden, harus sering ke daerah, harus sering berdialog dengan pelaku-pelaku usaha seperti tadi, menerima masukan, menerima kritikan, evaluasi apa pun itu. Jadi, bisa berkantor di mana saja, bisa bertemu dengan warga, itu yang paling penting,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 3

    (eva/fca)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • 10
                    
                        Saat DPR Semprot MK gara-gara Aturan Pemilu Diutak-atik
                        Nasional

    10 Saat DPR Semprot MK gara-gara Aturan Pemilu Diutak-atik Nasional

    Saat DPR Semprot MK gara-gara Aturan Pemilu Diutak-atik
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –

    Mahkamah Konstitusi
    (MK) menjadi sasaran kritik tajam dalam rapat kerja
    Komisi III DPR
    RI pada Rabu (9/7/2025).
    Para anggota dewan mengecam
    putusan MK
    yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Mereka menilai putusan itu menimbulkan kegaduhan dan menunjukkan inkonsistensi MK.
    Padahal rapat yang turut diikuti oleh Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) itu sebenarnya beragendakan pembahasan anggaran.
    Anggota Fraksi Partai Nasdem,
    Rudianto Lallo
    mengatakan, MK saat ini tengah menjadi perbincangan hangat karena telah membuat putusan yang kontroversial dan bahkan menabrak konstitusi.
    “MK ini kemudian yang paling banyak didiskusikan hari ini karena ada putusan kontroversi soal pengujian UU. Ya tentu kita berharap MK menjadi penjaga konstitusi kita. Mudah-mudahan tidak ada lagi putusan-putusan yang menjadi polemik di masyarakat,” kata Rudianto di Kompleks Parlemen, Senayan.
    Dia pun menyinggung proses legislasi di DPR yang melibatkan waktu panjang dan harus menjaring aspirasi publik. Namun, hasil kerja itu bisa langsung berubah drastis oleh satu putusan MK.
    “Kalau tiba-tiba satu pasal dianggap bertentangan tetapi justru amar putusan MK ini bertentangan, ini juga problem konstitusi kita. Nah ini
    deadlock
    jadinya,” ujar dia.
    Nada serupa dilontarkan anggota Fraksi PKB,
    Hasbiallah Ilyas
    . Dia menyindir dominasi sembilan hakim konstitusi dalam mengubah arah sistem pemilu yang disusun oleh ratusan anggota legislatif.
    “Jangan 500 orang ini, Pak, kalah dengan 9 hakim. Ini bikin undang-undang KUHAP saja sudah berapa lama kita belum selesai sampai hari ini. Tolong agak lebih bijaklah,” kata Hasbiallah.
    Dia juga mengkritisi inkonsistensi aturan pemilu dari waktu ke waktu yang dinilai menimbulkan kebingungan di masyarakat.
    “Misalnya pemilu, berapa kali setiap pemilu itu diubah. Dari tahun 2009 diubah, sekarang diubah lagi, ini yang bikin jadi kegaduhan di masyarakat,” ujar Hasbiallah.
    Berkaca dari persoalan ini, Hasbiallah pun mendorong agar proses seleksi calon hakim konstitusi lebih ketat ke depannya.
    “Menurut saya perlu diseleksi lebih optimal lagi, jangan sampai adanya MK ini keluar dari norma yang ada,” kata dia.
    Dari Fraksi Demokrat, Andi Muzakir juga menyuarakan kekhawatiran soal inkonsistensi MK karena akan berdampak buruk bagi sistem ketatanegaraan.
    “Saya hanya satu, Pak, konsisten dalam mengambil keputusan. Jangan setiap periode berubah lagi putusannya. Jadi tidak ada konsistensi dalam mengambil putusan. Tahun ini serempak, berikutnya dipisah. Tidak ada konsistensi. Mau dibawa ke mana negara ini?” ujar dia.
    Wakil Ketua Komisi III Dede Indra Permana Soediro turut mengingatkan MK agar menjalankan tugas sebagai penguji, bukan pembentuk norma hukum.
    “Sedikit masukan juga kepada MK bahwa sesuai dengan tugas yang sudah ada, bahwa MK adalah penguji norma, bukan membentuk (norma),” kata politikus PDI-P itu.
    Menanggapi banyak kritik, Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan menegaskan bahwa putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah dibacakan dan MK hanya tinggal menunggu DPR menindaklanjutinya.

    Putusan MK
    kan sudah diucapkan, kami tinggal menunggu kewenangan DPR untuk menindaklanjuti. Kami tunggu. Karena DPR juga punya kewenangan,” ujar Heru.
    Dia pun enggan berkomentar lebih jauh mengenai kritik yang diarahkan ke lembaganya ataupun terhadap putusan pemisahan pemilu nasional dan daerah.
    Sebagai informasi, melalui putusan tersebut, MK memutuskan agar pemilu nasional dan daerah dilaksanakan secara terpisah mulai 2029.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Selain itu, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Meski begitu, MK tidak menentukan secara pasti tenggat waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
    MK hanya mengusulkan agar pemilu daerah digelar paling cepat dua tahun setelah pemilu nasional, dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
    Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Taufik Basari menyatakan bahwa putusan pemisahan pemilu nasional dan daerah menimbulkan dilema konstitusional. Pasalnya, pelaksanaan maupun pengabaian putusan MK tersebut akan sama-sama melanggar konstitusi.
    “Melaksanakan atau tidak melaksanakan putusan MK akan sama-sama melanggar konstitusi,” ujar Taufik.
    Dia mengacu pada Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 yang menyebut pemilu harus dilaksanakan lima tahun sekali, serta Pasal 18 Ayat (3) yang menegaskan DPRD dipilih melalui pemilu.
    “Inilah yang saya sebut sebagai dilematis
    constitutional deadlock
    . Dimakan masuk mulut buaya, tidak dimakan masuk mulut harimau,” ucap Taufik.
    Sementara itu, Peneliti Politik BRIN Devi Darmawan menilai sikap MK yang langsung menetapkan
    pemilu dipisah
    menunjukkan ketidakpercayaan terhadap DPR.
    “Hal ini menunjukkan sebenarnya ada ketidakpercayaan dari Mahkamah Konstitusi ini kepada kinerja parlemen,” kata Devi dalam diskusi daring.
    Menurut Devi, DPR dan pemerintah selama ini lambat merevisi UU Pemilu, sehingga MK mengambil sikap tegas yang tidak memberi pilihan lain.
    Namun, dia mengingatkan agar MK tetap berada dalam koridor sebagai penguji konstitusionalitas, bukan pembentuk norma.
    “Kalau seperti sekarang berkesan seolah-olah MK agak lebih mendominasi dalam pembuatan peraturan Undang-Undang, khususnya yang terkait dengan sistem kepemiluan,” ucap Devi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • K3 MPR rumuskan opsi strategis sikapi putusan MK soal pemisahan Pemilu

    K3 MPR rumuskan opsi strategis sikapi putusan MK soal pemisahan Pemilu

    Jakarta (ANTARA) – Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI merumuskan sejumlah opsi strategis untuk menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2024 yang mewajibkan pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah.

    Ketua K3 MPR RI Taufik Basari menegaskan bahwa putusan ini menimbulkan dilema konstitusional dan menuntut respons kelembagaan yang cermat dari MPR RI sebagai satu-satunya lembaga negara yang berwenang mengubah UUD 1945.

    “Maka, sikap atau rekomendasi MPR atas kondisi dilematis ini harus mempertimbangkan kekuatan konstitusional yang dimilikinya,” kata Taufik dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Rabu.

    Dia menjelaskan, dalam putusan tersebut MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah harus dilaksanakan secara terpisah, dengan rentang waktu minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun antara keduanya.

    Pemilu nasional meliputi pemilihan DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan pemilu daerah meliputi DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah.

    Menurut dia, implementasi putusan ini dinilai menimbulkan dilema konstitusional. Di satu sisi, melaksanakan pemilu dengan pemisahan waktu sebagaimana amar putusan MK berpotensi melanggar ketentuan dalam Pasal 22E ayat (1) dan (2) serta Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun dan anggota DPRD dipilih melalui pemilihan umum.

    Di sisi lain, menurut dia, mengabaikan putusan MK juga berarti melanggar Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan putusan MK bersifat final dan mengikat.

    “Dua-duanya problematik. Jika dilaksanakan, maka bisa terjadi perpanjangan masa jabatan DPRD yang tak memiliki landasan konstitusional karena tidak dipilih oleh rakyat. Namun jika tidak dilaksanakan, berarti kita melanggar prinsip dasar bahwa putusan MK wajib dijalankan,” kata dia.

    Dia pun mendorong agar pimpinan MPR mengambil inisiatif untuk menggelar rapat konsultasi dengan DPR, Presiden, dan MK.

    Konsultasi tersebut, kata dia, dinilai penting untuk membahas berbagai opsi rekayasa konstitusi atau constitutional engineering yang memungkinkan sebagai respons atas putusan MK yang menuai kontroversi.

    Beberapa poin yang disiapkan antara lain mencakup skenario apabila terjadi gugatan kembali, kemungkinan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), hingga langkah-langkah alternatif lainnya.

    “Nantinya, keputusan akan ditentukan berdasarkan opsi-opsi yang disepakati dalam forum konsultasi,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tindakan Pembubaran Ibadah Harus Dihentikan

    Tindakan Pembubaran Ibadah Harus Dihentikan

    JAKARTA – Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya menyoroti berbagai peristiwa intoleransi yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, seperti di Jawa Barat. Ia pun menegaskan bahwa beribadah sesuai keyakinan adalah hak warga negara yang dijamin secara konstitusional.

    “Beribadah adalah hak konstitusional setiap warga negara dan wajib dilindungi oleh negara. Tidak ada alasan apapun membenarkan pembubaran aktivitas ibadah. Apalagi jika pembubaran diiringi dengan intimidasi dan persekusi,” ujar Willy Aditya, Rabu, 9 Juli.

    Willy mengatakan, hak kebebasan beribadah telah diatur secara tegas dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 dan 2 dimana disebutkan bahwa setiap orang bebas meyakini kepercayaan, sesuai hati nuraninya, memeluk agama, demikian juga beribadat menurut agamanya.

    Oleh karena itu, Willy berharap semua warga negara menjadikan aturan tersebut sebagai pedoman dalam hidup berbangsa dan bernegara. Ia mengatakan Indonesia adalah negara hukum sehingga pembubaran paksa suatu ibadah tidak dapat dibenarkan.

    “Dalam hukum kita, tidak ada ruang bagi tekanan kelompok untuk mengatasi prosedur negara. Jika ini dibiarkan, maka yang dilanggar bukan hanya hukum, tetapi juga prinsip kebinekaan itu sendiri,” tegas Willy.

    Menurut Willy, kerukunan umat beragama akan terwujud bila yang merasa minoritas terus merasa aman menjalankan ibadah bahkan dilingkungan yang dirasa berbeda dengannya. Ia juga menekankan bahwa toleransi bukan sekadar retorika, melainkan harus menjadi nilai yang diwujudkan dalam kebijakan, aturan, dan perilaku aparat negara.

    Ia pun mengajak semua masyarakat Indonesia agar berdialog menemukan persamaan untuk saling mendukung.

    “Kerukunan itu ada ketika semua umat saling menjaga satu sama lain. Bukan saling membatasi. Kalau kita benar-benar menghayati Pancasila, maka bersinergi di dalam perbedaan adalah bagian dari jati diri kita sebagai bangsa Indonesia,” pungkas Willy.

    Seperti diketahui, beberapa waktu lalu perusakan rumah terjadi di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, karena menjadi lokasi retret keagamaan. Insiden perusakan yang videonya viral itu menunjukkan sekelompok orang menurunkan kayu salib sambil berteriak-teriak.

    Sejumlah massa juga membubarkan retret pelajar Kristen di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi tersebut secara paksa. Pihak kepolisian menetapkan 8 tersangka dalam kasus tersebut.

    Para tersangka tersebut dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang perusakan secara bersama-sama. Selain itu, mereka juga diancam Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang.

    Kasus intoleransi lain baru-baru ini juga terjadi di wilayah Depok, Jawa Barat. Warga RT 2 dan RT 5 RW 03 Kelurahan Kalibaru menggelar aksi menolak pembangunan gereja di Jalan Palautan Eres, Kecamatan Cilodong, Kota Depok. Videonya viral di media sosial.

    Warga mengklaim penolakan dilakukan karena sejak awal tidak pernah ada sosialisasi ke warga sekitar soal pembangunan gereja.

  • MK Soal Polemik Putusan Pemisahan Pemilu: Kami Tunggu DPR Tindaklanjuti

    MK Soal Polemik Putusan Pemisahan Pemilu: Kami Tunggu DPR Tindaklanjuti

    Bisnis.com, JAKARTA — Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK), Heru Setiawan tak banyak buka suara perihal putusan MK soal pemisahan jadwal keserentakan pemilu nasional dan lokal yang memunculkan polemik, terkhusus bagi partai politik.

    Heru hanya mengatakan bahwa putusan MK sudah dibacakan dan tinggal ditindaklanjuti oleh DPR selaku pembentuk undang-undang, sehingga pihaknya hanya akan menunggu saja.

    “Putusan MK kan sudah diucapkan, kami tinggal menunggu kewenangan DPR untuk menindaklanjuti. Kami tunggu. Karena DPR juga punya kewenangan,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (9/7/2025).

    Diberitakan sebelumnya, partai politik ramai-ramai menentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pelaksanaan pemilu daerah dan nasional. 

    Seluruh partai politik tengah mengkosolidasikan sikapnya terhadap putusan tersebut. Mayoritas partai menentang tentang putusan tersebut.  Pasalnya, putusan MK tersebut dinilai telah bertentangan dengan konstitusi karena menyalahi Undang-Undang Dasar 1945. 

    Ketua Fraksi PKB pada MPR, Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz berpandangan bahwa UUD 1944 merupakan konstitusi tertinggi di Indonesia. Maka dari itu, menurutnya, setiap undang-undang atau peraturan hukum di bawahnya harus menyesuaikan UUD 1945.

    “Di pasal 22E UUD 1945 ayat 1 jelas disebut pemilu dilaksanakan secara LUBER setiap lima tahun sekali. Ayat 2 juga menyebutkan pemilu diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden dan Wapres, dan DPRD, jadi jelas dasar hukumnya. Tidak boleh ada aturan yang tidak sesuai dengan ini,” tuturnya di Jakarta, Senin (7/7).

    Di lain pihak, Politisi sekaigus legislator Nasdem, Rifqinizamy Karsayuda menilai Mahkamah Konstitusi (MK) menurunkan kualitasnya usai mengeluarkan putusan terkait dengan pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal. 

    Dia mengatakan seharusnya tugas MK hanya sampai di titik menilai suatu norma undang-undang saja soal apakah itu konstitusional atau inkonstitusional, sehingga tidak sampai membentuk suatu norma tertentu. 

    “Mahkamah men-downgrade dirinya dari yang harusnya hanya menilai satu norma undang-undang terhadap undang-undang dasar apakah bersifat konstitusional atau inkonstitusional, menjadi mahkamah yang membentuk norma,” singgungnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (7/7/2025).