Hasto Dapat Amnesti dari Prabowo, Politikus PDI-P: Jadi Koreksi terhadap Distorsi Hukum
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Politikus PDI-P yang juga Anggota Komisi II DPR RI,
Romy Soekarno
, menyebut pemberian amnesti dari
Presiden Prabowo Subianto
kepada Hasto Kristiyanto sebagai bentuk koreksi terhadap distorsi hukum yang terjadi dalam proses penanganan perkara.
Sebab, kata Romy, proses hukum terhadap Hasto sejak awal menimbulkan banyak pertanyaan publik karena dinilai janggal dari segi prosedur, konstruksi kasus, dan waktu penanganannya.
“Penanganan kasus ini, dalam banyak hal, lebih mencerminkan manuver kekuasaan ketimbang penegakan hukum yang objektif dan adil,” ujar Romy saat dihubungi Jumat (1/8/2025).
“Dalam konteks inilah, pemberian amnesti menjadi koreksi yang tepat terhadap distorsi hukum sekaligus bentuk pemulihan terhadap hak-hak politik seorang warga negara,” sambungnya.
Menurut Romy, pemberian amnesti ini bukan semata menyatakan Hasto tidak bersalah, melainkan penegasan bahwa hukum tidak boleh dijadikan alat kekuasaan untuk membungkam kritik lawan politik.
“Hukum harus tetap menjadi penjaga moral kolektif bangsa dan bandul keadilan yang berpihak kepada kebenaran dan kepentingan rakyat,” ucapnya.
Meski begitu, Romy mengapresiasi keputusan Presiden Prabowo Subianto tersebut.
Dia menilai tindakan tersebut menunjukkan keberanian Prabowo menyikapi persoalan hukum yang dinilainya sarat kepentingan politik.
“Keputusan ini mencerminkan sikap kenegarawanan yang mampu membaca persoalan hukum tidak semata-mata dalam bingkai legal-formal, tetapi juga dalam konteks politik, keadilan substantif, dan kepentingan demokrasi bangsa secara lebih luas,” tutur Romy.
Romy berharap, dengan amnesti ini, Hasto dapat kembali berkontribusi secara penuh dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
“Dengan amnesti ini, kita berharap beliau dapat kembali hadir secara penuh dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk terus berkontribusi dalam memperkuat demokrasi Indonesia yang konstitusional, sehat, dan berkeadaban,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, DPR menyetujui amnesti untuk Hasto Kristiyanto yang telah divonis 3,5 tahun penjara oleh hakim dalam kasus suap pergantian antar waktu (PAW) Fraksi PDI-P DPR.
“Pemberian persetujuan dan pertimbangan atas Surat Presiden Nomor 42 Pres 07 27 25 tanggal 30 Juli 2025 tentang amnesti terhadap 116 orang yang telah terpidana, diberikan amnesti, termasuk saudara Hasto Kristiyanto,” kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana.
Amnesti merupakan hak prerogatif presiden atau hak istimewa yang dimiliki kepala negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuatan badan-badan perwakilan.
Hak prerogatif presiden terdapat dalam Pasal 14 UUD 1945.
Adapun mengenai amnesti, diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut: Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Untuk diketahui, Hasto Kristiyanto divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap Harun Masiku.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Rios Rahmanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025).
Selain pidana badan, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman denda Rp 250.000.000.
“Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti pidana kurungan selama 3 bulan,” ujar Rios.
Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni 7 tahun penjara.
Dalam perkara ini, hakim menyatakan Hasto terbukti bersalah menyuap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017-2022, Wahyu Setiawan.
Hakim menyebutkan bahwa Hasto menyediakan uang suap senilai Rp 400 juta untuk menyuap Wahyu.
Sementara itu, hakim menyatakan dakwaan jaksa KPK bahwa Hasto merintangi penyidikan terhadap kasus Harun Masiku tidak terbukti.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Produk: UUD 1945
-
/data/photo/2025/07/25/6883409d35680.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hasto Dapat Amnesti dari Prabowo, Politikus PDI-P: Jadi Koreksi terhadap Distorsi Hukum Nasional 1 Agustus 2025
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5296743/original/073016400_1753606660-Screenshot_2025-07-27_145125.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
PDIP Nilai Wajar Amnesti Diberikan kepada Hasto: Waktu Sidang Harusnya Sudah Diputus Bebas – Page 3
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerima surat Presiden Prabowo Subianto terkait pemberian amnesti kepada terdakwa kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku, Hasto Kristiyanto.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budianto merespons bahwa hal itu merupakan kewenangan Kepala Negara.
“Itu kewenangan Presiden sesuai UUD 1945,” tutur Ketua KPK saat dikonfirmasi, Kamis (31/7/2025).
Dikonfirmasi terpisah, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyatakan pihaknya akan langsung mempelajari adanya amnesti dari Prabowo untuk Hasto Kristiyanto.
“Kami pelajari terlebih dulu informasi tersebut. Sementara proses hukumnya juga masih berjalan, proses pengajuan banding,” kata Budi.
-
/data/photo/2025/08/01/688bfd99c7942.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Abolisi-Amnesti untuk Tom dan Hasto: Kala Politik Mengatasi Hukum Nasional 1 Agustus 2025
Abolisi-Amnesti untuk Tom dan Hasto: Kala Politik Mengatasi Hukum
Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
TIGA BELAS
hari setelah putusan terhadap Thomas Lembong dan enam hari selepas putusan kepada Hasto Kristiyanto, Presiden Prabowo Subianto bikin usulan mengejutkan.
Tak pernah diduga, mengagetkan dan menerbitkan tempik sorak serta kecurigaan sekaligus. Agak seperti kado 80 tahun Republik Indonesia, sekalipun itu tadi tak mungkin direspons dengan nada yang sama.
Prabowo mengusulkan pemberian abolisi kepada Tom serta amnesti pada Hasto. Dua hak yang melekat pada presiden sesuai dengan pasal 14 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Pasal ini menyatakan, “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Presiden mengirim surat permohonan ke DPR untuk mendapat pertimbangan wakil rakyat. Kamis malam, 31 Juli 2025, DPR menyetujui surat yang dikirim presiden itu.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan sikap DPR kepada khalayak. Artinya tak ada lagi yang menghalangi pemberian abolisi dan amnesti itu.
Dengan begitu, dua kasus bernuansa politik ini bermuara ke pengadilan (proses hukum) dan diselesaikan dengan keputusan ‘politik’ oleh presiden.
Nama Hasto termasuk dari 1.116 terpidana yang dimintakan amnesti atau pengampunan hukum. Awalnya ada 44.000, tapi setelah diverifikasi, yang memenuhi syarat sebanyak 1.116 orang.
Sementara Tom Lembong dimintakan abolisi atau penghapusan tindak pidana. Setelah disetujui DPR, Presiden Prabowo akan segera meneken keputusan presiden soal abolisi untuk Lembong.
Konsekuensinya kasus hukum Tom harus tutup buku. Ia tak perlu menunggu hasil banding di pengadilan tinggi untuk mendapatkan keadilan, atau setidak-tidaknya pengurangan hukuman.
Adapun Hasto serta Komisi Pemberantasan Korupsi belum mengajukan banding atas putusan hakim pengadilan tindak pidana korupsi yang dibacakan pada 25 Juli lalu.
Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto diberikan demi kepentingan bangsa dan negara.
Pertimbangan ini bisa sepenuhnya berdasarkan subjektivitas presiden dan absah karena ia memiliki hak prerogatif untuk memberikan abolisi dan amnesti.
Bukan itu saja, pemberian abolisi dan amnesti ini, “mempertimbangkan untuk membangun bangsa ini secara bersama dengan seluruh elemen politik, kekuatan politik yang ada di Indonesia,” jelas Supratman (
Kompas.com
, 31 Juli 2025).
Sejauh ini kalimat membangun bangsa bersama-sama telah menjadi ciri kental Presiden Prabowo dalam mengemudikan republik. Ia terobsesi dengan persatuan, khususnya persatuan elite nasional.
Dalam kasus Lembong dan Hasto, keduanya berada di luar barisan Prabowo-Gibran di pemilihan presiden dan wakil presiden. Tom menyokong Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Adapun Hasto adalah pentolan PDIP yang mengajukan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Di akhir tahun 2024, Presiden Prabowo sempat mengembuskan diskursus mengampuni koruptor dengan syarat mengembalikan uang hasil korupsi ke negara. Ide ini memantik kontroversi.
Walhasil komitmen Prabowo untuk memerangi korupsi dan mengganyang koruptor dipertanyakan. Ia digugat cuma sedang beretorika ketika menyatakan bakal mengejar koruptor, bahkan jika mereka melarikan diri ke antartika (kutub selatan bumi).
Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menjelaskan, ide presiden itu tidak melanggar undang-undang. Yusril merujuk pada konstitusi (UUD 1945), yakni hak prerogatif presiden untuk memberikan amnesti.
Amnesti untuk Hasto berbeda dengan ide “mengampuni koruptor dengan syarat mengembalikan uang hasil korupsi ke negara”.
Dalam kasus yang menjerat Hasto, negara tidak mengalami kerugian. Hasto diputus bersalah dan diganjar hukuman 3,5 tahun karena terbukti terlibat menyiapkan uang senilai Rp 400 juta untuk menyuap anggota Komisi Pemilihan Umum saat kasus pidana ini mencuat tahun 2020, Wahyu Setiawan.
Adapun kasus yang melilit Tom Lembong lebih kontroversial. Ia divonis 4,5 tahun karena melakukan perbuatan melawan hukum serta memperkaya korporasi (8 perusahaan).
Menteri Perdagangan 2015-2016 ini tidak terbukti menerima aliran dana, alias uang sogok. Dan yang diungkit banyak kalangan, Tom disebut tak memiliki niat jahat (
mens rea
).
Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki niat jahat, dikenai hukum pidana?
Bahkan jika perbuatan atau kebijakan (
policy
) yang diterbitkan tanpa niat jahat itu berakibat merugikan negara.
Dalam putusan perkara Tom, angka kerugian yang disebut majelis hakim berbeda kontras dengan nilai kerugian negara yang dipaparkan jaksa dalam persidangan. Adapun jaksa mengacu pada audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Presiden Prabowo sedang mengirim pesan apa dengan kejutan pemberian abolisi untuk Tom dan amnesti kepada Hasto ini?
Setidaknya ada dua cara membacanya. Pertama, pemberian abolisi dan amnesti kepada tokoh yang terjerat kasus korupsi ini sebagai kasus khusus atau spesifik. Ia harus diletakkan di luar kotak atau tanpa kotak.
Kasus yang melilit Tom dan Hasto menyedot perhatian besar dari sejumlah pihak dari akademisi, aktivis antikorupsi, masyarakat luas hingga media asing.
Presiden dapat menakar aspek objektivitasnya dengan memperhatikan suara mereka serta masukan dari pembantunya di kabinet yang mengikuti jalannya persidangan Tom dan Hasto.
Dari timbangan itu, Presiden memutuskan dari kacamata objektif dan subjektif sekaligus. Soal ini tak dapat didebat sebab ia memiliki hak prerogatif.
Kedua, pemberian abolisi dan amnesti itu tak bisa tidak mesti dibaca dalam perspektif lebih luas, yakni masa depan pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Kejaksaan Agung menggunakan “gigi tiga” sejak pemerintahan dipiloti Prabowo. Mereka mengejar terduga pelaku dugaan korupsi yang merugikan negara dalam jumlah “wah”.
Sedangkan KPK, meski tak setrengginas di masa jayanya, komisi ini mengejar mereka yang diduga telah mencuri atau menggasak duit negara.
Akhir Juni lalu, KPK mencokok orang dekat Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, yakni Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Sumut Topan Obaja Putra Ginting. Topan dijerat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan proyek infrastruktur jalan.
Jangan sampai pemberian abolisi dan amnesti ini memberi sinyal dan pesan keliru kepada tersangka dan mereka yang berencana melakukan patgulipat menggarong uang negara.
Di sini komunikasi dari pemerintah kepada publik mesti jelas. Kalau bisa mengedepankan aspek-aspek objektif yang memiliki kesinambungan dengan nalar publik.
Sanggupkah pemerintah menjelaskan ke publik bahwa pemberian abolisi dan amnesti bukan “perlakuan khusus” kepada tokoh politik?
Saya kira ini preseden baru. Dan Presiden Prabowo sedang meniti buih. Di satu sisi keputusannya itu mengoreksi pengadilan, terutama dalam kasus Tom Lembong, yang oleh sebagian pakar hukum disebut “incorrect”–sebuah keputusan yang salah dan mengundang perdebatan, termasuk dimasalahkannya kapitalisme di balik putusan Tom mengimpor gula.
Di sisi lain, pemberian abolisi dan amnesti itu, mengungkap hal yang tak terbantah: Keputusan politik (oleh presiden dan diperkuat DPR) telah mengatasi hukum.
Mungkin orang seperti Tom lebih senang ia dibebaskan alias menang di pengadilan. Tapi mungkin juga ia mensyukurinya karena pasal 2 ayat 1 UU Tipikor terus mengirim terdakwa kasus dugaan korupsi ke penjara.
Rasanya Presiden Prabowo harus selektif dalam memberikan abolisi dan amnesti pada terdakwa/terpidana tindak pidana korupsi. Alasan di belakangnya harus kuat, terukur serta rasional.
Setelah kasus Tom dan Hasto seyogyanya tak ada “obral” penghentian, penghapusan, dan pengampunan hukum terhadap mereka yang tersangkut kasus dugaan korupsi.
Terakhir, agaknya sorotan “The Straits Times” (25 Juli 2025) patut dicermati dengan seksama. Koran berpengaruh di Singapura itu menulis, “kasus ini (Hasto) telah menghidupkan kembali kekhawatiran lama tentang independensi peradilan dalam demokrasi Asia Tenggara, terutama karena tokoh-tokoh lain yang terkait dengan oposisi berada di bawah pengawasan hukum.”
Apakah dengan pemberian amnesti kepada Hasto serta abolisi untuk Tom Lembong berarti oposisi di DPR bakal tegak?
Tom bukan tokoh partai politik, tapi Hasto orang nomor dua di PDI Perjuangan. Apakah PDIP yang memiliki 110 kursi (hampir 19 persen) bakal menjalankan fungsi sebagai kekuatan penyeimbang di Senayan?
Sehari sebelum DPR menyetujui amnesti untuk Hasto, dari Bali, ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyuratkan tugas politik partainya, yakni mendukung pemerintah. Ini isyarat bahwa partai tadi menyokong Prabowo Subianto.
Dan jika itu yang benar-benar terbentuk di DPR, artinya 100 persen partai politik men-support eksekutif, demokrasi kita sedang dalam bahaya besar. Tanpa pengawasan yang cukup, partai politik tidak sedang benar-benar cinta pada republik ini.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/24/68821228e5844.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 Mahfud MD Puji Prabowo yang Beri Amnesti ke Hasto dan Abolisi ke Tom Lembong Nasional
Mahfud MD Puji Prabowo yang Beri Amnesti ke Hasto dan Abolisi ke Tom Lembong
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam)
Mahfud MD
menilai pemberian amnesti kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk eks Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong sebagai langkah strategis Presiden
Prabowo Subianto
dalam penegakan keadilan.
Menurut Mahfud, kebijakan ini bukan sekadar pengampunan hukum, melainkan juga sinyal tegas bahwa praktik penyanderaan politik melalui rekayasa hukum tidak lagi bisa dibiarkan.
“Presiden Prabowo mengambil langkah strategis dalam penegakan keadilan dengan memberi amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Tom Lembong,”
tulis Mahfud dalam akun X pribadinya, Rabu (1/8/2025).
Kompas.com
sudah mendapatkan izin untuk mengutip pernyataan Mahfud. Dia menekankan bahwa ke depan, politik tidak boleh lagi dijadikan alat untuk menekan atau merekayasa proses hukum.
Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu bilang, bila praktik semacam itu masih dilakukan, Presiden kini memiliki posisi untuk mengadangnya.
“Ke depan tak boleh ada lagi yang menggunakan politik untuk merekayasa hukum melalui penyanderaan politik. Sebab kalau itu dilakukan, bisa dihadang oleh Presiden,”
ujarnya.
Hanya beberapa hari setelah palu vonis diketukkan di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, dua nama yang sempat mendominasi pemberitaan politik dan hukum nasional kini kembali muncul, tetapi dalam babak yang tak terduga.
Hasto dan Tom Lembong menjadi dua dari ratusan nama yang tercantum dalam surat Presiden Prabowo Subianto kepada DPR.
Sementara, Hasto termasuk dalam gelombang pertama penerima amnesti menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.
Presiden mengajukan dua surat resmi pada 30 Juli 2025.
Keesokan harinya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengumumkan bahwa parlemen telah memberikan persetujuan.
“DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R43/Pres tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI tentang pemberian abolisi terhadap Saudara Tom Lembong,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Kamis (31/7/2025) malam.
Tak hanya itu, Dasco juga mengumumkan pemberian amnesti kepada lebih dari 1.000 terpidana, termasuk Hasto Kristiyanto.
“Pemberian persetujuan dan pertimbangan atas Surat Presiden Nomor R42/PRES/07/2025 tanggal 30 Juli 2025 tentang amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana, diberikan amnesti, termasuk saudara Hasto Kristiyanto,” ucapnya.
Langkah ini bersandar pada Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa presiden berhak memberikan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Ketentuan serupa juga tertuang dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Di balik dua surat presiden tersebut, ada tangan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas yang menyusun dan menandatangani usulan resmi kepada Presiden Prabowo.
“Semuanya yang mengusulkan kepada Bapak Presiden adalah Menteri Hukum. Jadi surat permohonan dari hukum kepada Bapak Presiden untuk pemberian amnesti dan abolisi saya yang tanda tangan,” kata Supratman dalam konferensi pers yang sama.
Ia menyebutkan, pertimbangan utama dari kebijakan ini adalah upaya merajut kembali persatuan nasional menjelang 17 Agustus.
“Pertimbangannya demi kepentingan bangsa dan negara, berpikirnya tentang NKRI. Jadi itu yang paling utama. Yang kedua adalah kondusivitas dan merajut rasa persaudaraan di antara semua anak bangsa,” kata politikus Partai Gerindra itu.
“Langkah ini tidak hanya simbolis, tetapi strategis untuk memperkuat harmoni politik nasional,” tambahnya.
Supratman juga menyebutkan bahwa dari total 44.000 permohonan amnesti yang masuk, hanya 1.116 yang telah lolos verifikasi tahap pertama.
Sisanya akan diproses bertahap.
“Amnesti ada 1.116, salah satu yang menjadi dasar pertimbangan kepada dua orang yang saya sebutkan tadi yang disebutkan oleh Pak Ketua adalah salah satunya itu kita ingin menjadi ada persatuan dan dalam rangka untuk perayaan 17 Agustus,” imbuhnya.
Sebelum wacana pengampunan muncul, keduanya sudah lebih dulu divonis bersalah oleh pengadilan.
Tom Lembong dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, karena terbukti merugikan negara dalam perkara impor gula kristal mentah.
Majelis hakim menyebut negara mengalami kerugian sebesar Rp 194,7 miliar akibat kebijakan Tom yang memberikan izin impor kepada perusahaan swasta, yang kemudian menjual gula dengan harga lebih mahal kepada BUMN PT PPI.
Namun, hakim juga mempertimbangkan sejumlah hal meringankan.
“Terdakwa tidak menikmati hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan. Terdakwa bersikap sopan di persidangan, tidak mempersulit dalam persidangan,” kata hakim anggota Alfis Setiawan.
Sementara itu, Hasto Kristiyanto divonis 3 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025), dalam perkara suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR Fraksi PDIP.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan,” ujar Ketua Majelis Hakim Rios Rahmanto.
Hasto juga dikenai denda sebesar Rp 250 juta, dengan ketentuan subsider 3 bulan kurungan apabila tidak dibayar.
Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang sebelumnya menuntut 7 tahun penjara.
Hakim menyatakan Hasto terbukti menyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebesar Rp 400 juta.
Namun, dakwaan jaksa bahwa Hasto merintangi penyidikan kasus Harun Masiku tidak terbukti menurut majelis hakim.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/28/6886b016ea233.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Analisis Hukum Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto Nasional 1 Agustus 2025
Analisis Hukum Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto
Pemerhati masalah hukum dan kemasyarakatan
LANGKAH
pemerintah yang memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto menimbulkan polemik di tengah masyarakat dan kalangan akademisi hukum.
Banyak pihak mempertanyakan landasan hukum, urgensi politis, serta konsistensi penerapan prinsip-prinsip negara hukum dalam kebijakan tersebut. Kelihatannya didasari oleh kepentingan politik praktis.
Abolisi dan amnesti bukanlah tindakan hukum biasa. Keduanya merupakan instrumen hukum luar biasa (
extraordinary legal remedy
) yang berada di tangan presiden sebagai kepala negara, tapi tetap harus dikontrol oleh prinsip
checks and balance
s DPR agar tidak melanggar konstitusi dan etika keadilan.
Dalam teori hukum pidana, abolisi adalah penghapusan proses pidana sebelum dijatuhkannya putusan pengadilan.
Sedangkan amnesti adalah penghapusan seluruh akibat hukum dari suatu tindak pidana yang biasanya bersifat politis dan berlaku kolektif.
Hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa presiden memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR.
Tom Lembon (mantan menteri perdagangan di era pemerintahan Jokowi) yang dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta dalam perkara impor gula, tiba-tiba memperoleh abolisi.
Padahal proses peradilannya belum tuntas sepenuhnya (proses banding) dan belum ada data publik yang menunjukkan bahwa ia menjadi korban kriminalisasi.
Banyak ahli hukum beranggapan bahwa abolisi seharusnya diberikan dalam konteks rekonsiliasi nasional atau konflik politik berkepanjangan, bukan sebagai bentuk “pengampunan pribadi” terhadap elite yang sedang dalam sorotan hukum.
Menurut Prof. Andi Hamzah dalam bukunya
Pengantar Hukum Pidana Indonesia
(Prenada Media, Jakarta, 2008), abolisi hanya layak jika motifnya bersifat humaniter atau menghindari konflik sosial-politik besar.
Sementara itu, amnesti bagi Hasto Kristiyanto, politisi yang terseret dalam perkara
obstruction of justice
dalam kasus Harun Masiku, justru dianggap sebagai langkah politis yang sangat problematis.
Hasto oleh pengadilan divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta.
Meski secara normatif presiden memiliki hak memberikan amnesti. Namun, substansi keadilan dan kepastian hukum menjadi kabur jika tidak didasarkan pada mekanisme yudisial yang transparan.
Dalam Paradigma Hukum Progresif yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo dalam Hukum Progresif Hukum yang Membebaskan (Kompas, Jakarta, 2009), hukum tidak semata prosedural, tapi harus berpihak pada keadilan substantif.
Pemberian amnesti kepada seorang elite partai di tengah proses hukum aktif, tanpa pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik, mencederai rasa keadilan masyarakat.
Dalam pendekatan paradigmatik hukum konstitusional, pemberian abolisi dan amnesti harus diuji dari prinsip
constitutional supremacy
dan
democratic accountability.
Presiden memang memiliki hak prerogatif, tapi hak tersebut bukan kekuasaan absolut, melainkan harus mempertimbangkan aspirasi publik dan prinsip negara hukum.
Menurut Jimly Asshiddiqie dalam
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
(Konstitusi Press, Jakarta, 2005), kekuasaan eksekutif dalam sistem presidensial Indonesia tetap harus dikendalikan oleh mekanisme hukum dan lembaga legislatif, dalam hal ini DPR.
Transparansi harus menjadi dasar utama sebelum pemberian abolisi dan amnesti. Rakyat perlu diberi tahu alasan objektif dan dokumen pertimbangan hukum maupun politis yang digunakan presiden.
DPR sebagai lembaga pertimbangan jangan hanya menjadi stempel politik kekuasaan. Mereka harus kritis dan independen terhadap keputusan presiden, bukan tunduk pada kepentingan politik sesaat.
Reformulasi prosedur pengampunan negara perlu dipertimbangkan agar dapat dibatasi hanya pada situasi luar biasa (
extraordinary circumstances
) yang memiliki dasar hukum dan moral yang kuat.
Keadilan bukan hanya soal prosedur, tetapi juga soal etika konstitusional. Memberikan abolisi dan amnesti kepada figur politik yang sedang dalam pusaran kasus hukum dapat menggerus kepercayaan publik pada sistem hukum nasional.
Jika presiden ingin menjadikan kewenangan ini sebagai alat rekonsiliasi atau perlindungan terhadap ketidakadilan, maka harus ada pembuktian kuat di ruang publik bahwa pemberian abolisi dan amnesti tersebut berpijak pada keadilan, bukan pada politik kekuasaan.
Hukum memang terkadang menjadi alat politik.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/28/6886b016ea233.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Babak Baru Kasus Tom Lembong dan Hasto: Habis Vonis, Terbitlah "Ampunan" Nasional 1 Agustus 2025
Babak Baru Kasus Tom Lembong dan Hasto: Habis Vonis, Terbitlah “Ampunan”
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Hanya beberapa hari setelah palu vonis diketukkan di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, dua nama yang sempat mendominasi pemberitaan politik dan hukum nasional kini kembali muncul, tetapi dalam babak yang tak terduga.
Eks Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias
Tom Lembong
dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
Hasto Kristiyanto
menjadi dua dari ratusan nama yang tercantum dalam surat Presiden Prabowo Subianto kepada DPR.
Tom mendapat
abolisi
. Sementara itu, Hasto termasuk dalam gelombang pertama penerima
amnesti
menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.
Presiden mengajukan dua surat resmi pada 30 Juli 2025.
Keesokan harinya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengumumkan bahwa parlemen telah memberikan persetujuan.
“DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R43/Pres tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI tentang pemberian abolisi terhadap Saudara Tom Lembong,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Kamis (31/7/2025) malam.
Tak hanya itu, Dasco juga mengumumkan pemberian amnesti kepada lebih dari 1.000 terpidana, termasuk Hasto Kristiyanto.
“Pemberian persetujuan dan pertimbangan atas Surat Presiden Nomor R42/PRES/07/2025 tanggal 30 Juli 2025 tentang amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana, diberikan amnesti, termasuk saudara Hasto Kristiyanto,” ucapnya.
Langkah ini bersandar pada Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa presiden berhak memberikan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Ketentuan serupa juga tertuang dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang
Amnesti dan Abolisi
.
Di balik dua surat presiden tersebut, ada tangan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas yang menyusun dan menandatangani usulan resmi kepada Presiden Prabowo.
“Semuanya yang mengusulkan kepada Bapak Presiden adalah Menteri Hukum. Jadi surat permohonan dari hukum kepada Bapak Presiden untuk pemberian
amnesti dan abolisi
saya yang tanda tangan,” kata Supratman dalam konferensi pers yang sama.
Ia menyebut pertimbangan utama dari kebijakan ini adalah upaya merajut kembali persatuan nasional menjelang 17 Agustus.
“Pertimbangannya demi kepentingan bangsa dan negara, berpikirnya tentang NKRI. Jadi itu yang paling utama. Yang kedua adalah kondusivitas dan merajut rasa persaudaraan di antara semua anak bangsa,” kata politikus Partai Gerindra itu.
“Langkah ini tidak hanya simbolis tetapi strategis untuk memperkuat harmoni politik nasional,” tambahnya.
Supratman juga menyebutkan bahwa dari total 44.000 permohonan amnesti yang masuk, hanya 1.116 yang telah lolos verifikasi tahap pertama.
Sisanya akan diproses bertahap.
“
Amnesti
ada 1.116, salah satu yang menjadi dasar pertimbangan kepada dua orang yang saya sebutkan tadi yang disebutkan oleh Pak Ketua adalah salah satunya itu kita ingin menjadi ada persatuan dan dalam rangka untuk perayaan 17 Agustus,” imbuhnya.
Pemberian abolisi kepada Tom Lembong disambut positif oleh tim kuasa hukumnya.
Ari Yusuf Amir, pengacara Tom, menyampaikan terima kasih kepada pemerintah dan DPR atas atensinya.
“Kita satu, mengucapkan terima kasih atas atensinya para anggota DPR, politisi terhadap permasalahan ini,” kata Ari saat dihubungi wartawan, Kamis.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa pihaknya belum mengambil sikap resmi dan masih akan membahas dampak hukum dari abolisi tersebut.
“Karena ada akibat-akibat hukumnya apa, dari abolisi itu kita harus membahas dulu. Tapi upaya mereka itu harus kita hargai sebagai sikap untuk perbaikan, kan gitu,” ujar dia.
Respons serupa datang dari kuasa hukum Hasto Kristiyanto.
Maqdir Ismail menyambut baik usulan amnesti tersebut dan menganggapnya sebagai bentuk keseriusan pemerintah untuk tidak mempolitisasi proses hukum.
“Kita hargai keputusan pemerintah, itu artinya memang pemerintah tidak ingin apa ya melakukan politisasi terhadap kasusnya Mas Hasto ini,” kata Maqdir.
Meski keputusan politik telah diumumkan, proses hukum belum sepenuhnya selesai.
Kejaksaan Agung menyatakan masih akan mempelajari keputusan abolisi terhadap Tom Lembong, terutama karena jaksa baru saja menyatakan banding.
“Kita kan baru menyatakan upaya hukum banding. Kita akan fokus itu dulu. Apabila ada kebijakan (abolisi), kita akan pelajari dulu seperti apa,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, Kamis.
“Saya enggak komentar dulu ya. Saya kan belum mendengar langsung, tapi akan kami pelajari dulu. Nanti ada masukan dari tim JPU,” tambahnya.
Dari sisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ketua KPK Setyo Budiyanto menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Presiden sebagai pemegang hak prerogatif.
“Itu kewenangan Presiden sesuai Pasal 14 UUD 1945,” kata Setyo.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyatakan pihaknya masih akan mempelajari perkembangan tersebut, mengingat perkara Hasto masih dalam proses banding.
“Kami pelajari terlebih dulu informasi tersebut. Sementara proses hukumnya juga masih berjalan, proses pengajuan banding,” kata Budi.
Sebelum wacana pengampunan muncul, keduanya sudah lebih dulu divonis bersalah oleh pengadilan.
Tom Lembong dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, karena terbukti merugikan negara dalam perkara impor gula kristal mentah.
Majelis hakim menyebut negara mengalami kerugian sebesar Rp 194,7 miliar akibat kebijakan Tom yang memberikan izin impor kepada perusahaan swasta, yang kemudian menjual gula dengan harga lebih mahal kepada BUMN PT PPI.
Namun, hakim juga mempertimbangkan sejumlah hal meringankan.
“Terdakwa tidak menikmati hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan. Terdakwa bersikap sopan di persidangan, tidak mempersulit dalam persidangan,” kata hakim anggota Alfis Setiawan.
Sementara itu, Hasto Kristiyanto divonis 3 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025), dalam perkara suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR Fraksi PDIP.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan,” ujar Ketua Majelis Hakim Rios Rahmanto.
Hasto juga dikenai denda sebesar Rp 250 juta, dengan ketentuan subsider 3 bulan kurungan apabila tidak dibayar.
Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang sebelumnya menuntut 7 tahun penjara.
Hakim menyatakan Hasto terbukti menyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebesar Rp 400 juta.
Namun, dakwaan jaksa bahwa Hasto merintangi penyidikan kasus Harun Masiku tidak terbukti menurut majelis hakim.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/28/6886b016ea233.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 Beda Abolisi dan Amnesti yang Diberikan Prabowo untuk Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto Nasional
Beda Abolisi dan Amnesti yang Diberikan Prabowo untuk Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyetujui permintaan pertimbangan Presiden
Prabowo
terkait pemberian
abolisi
terhadap
Tom Lembong
.
“DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R43/Pres072025 tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI tentang pemberian abolisi terhadap Saudara Tom Lembong,” kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Kamis (31/7/2025).
Selain itu, Dasco mengumumkan bahwa DPR menyetujui pemberian
amnesti
untuk
Hasto
Kristiyanto.
“Pemberian persetujuan dan pertimbangan atas Surat Presiden Nomor 42 Pres 07 27 25 tanggal 30 Juli 2025 tentang amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana, diberikan amnesti, termasuk saudara
Hasto Kristiyanto
,” ujar Dasco.
Abolisi dan amnesti
sama-sama merupakan hak prerogatif Presiden dalam bidang hukum. Keduanya merupakan bentuk pengampunan yang diberikan Presiden. Hal itu diatur dalam Pasal 14 UUD 1945.
Guru Besar Hukum Pidana dan juga pengajar PPS bidang studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof., Dr. Indriyanto Seno Adji mengatakan, abolisi atau amnesti diberikan setelah mempertimbangkan kesatuan dan kedaulatan negara.
“Abolisi dan amnesti Ini biasa dilakukan bila masyarakat menilai hukum memiliki terstigma kriminalisasi politik dan hukum. Setiap era kekuasaan negara, pemberian
abolisi dan amnesti
pernah dilakukan di republik ini, antara lain juga bagi kepentingan kesatuan dan kedaulatan negara,” kata Indriyanto kepada
Kompas.com
, Kamis.
Lalu, apa perbedaan antara kedua hak tersebut? Diberitakan
Kompas.com
pada 7 September 2022, abolisi bisa diartikan sebagai suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara saat pengadilan belum menjatuhkan putusan atau vonis.
Dengan pemberian abolisi oleh Presiden, maka penuntutan terhadap orang atau kelompok orang yang menerima abolisi dihentikan dan ditiadakan.
Kemudian, menurut Marwan dan Jimmy dalam Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition (2009),
abolisi adalah
suatu hak untuk menghapus seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapus tuntutan pidana seseorang serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan.
Sementara itu, menurut Kamus Hukum (Marwan dan Jimmy: 2009), amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemidanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana.
Dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi disebutkan bahwa akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang tersebut dihapuskan.
Dengan diberikannya abolisi dan amnesti tersebut, Indriyanto mengatakan bahwa semua proses hukum terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto harus dihentikan.
Kemudian, terhadap Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong harus dilepaskan atau dibebaskan.
Hanya saja, Indriyanto mengatakan, hal itu bisa dilakukan setelah Keputusan Presiden (Keppres) pemberian abolisi dan amnesti dikeluarkan.
“Semua proses hukum baik yang pra ajudikasi, ajudikasi maupun pasca ajudikasi harus dinyatakan berhenti dan tentunya setelah ada Keppres para penerima abolisi atau amnesti dilepaskan dari proses hukumnya,” kata Indriyanto.
Hal senada disampaikan pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Dia menyebutkan, Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto harus dibebaskan usai mendapat abolisi dan amnesti.
“Harus dibebaskan,” kata Abdul Fickar kepada
Kompas.com
, Kamis.
Menurut Fickar, Tom Lembong harus dibebaskan karena abolisi berarti menghentikan proses hukum yang sedang berjalan.
Kemudian, Fickar menyebutkan, abolisi boleh diberikan meski status hukumnya belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap.
“Boleh (diberikan sebelum
inkracht
), itu kewenangan kepala negara, mutlak dan konstitusional. Artinya, Presiden melihat kasusnya berlatar belakang politis,” ujarnya.
Namun, Fickar mengatakan bahwa pemberian abolisi itu juga memiliki dampak kepada aparat penegak hukum. Dalam kasus Tom Lembong adalah Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Konsekuensinya, Presiden juga harus mengevaluasi kerja pimpinan Kejaksaan Agung,” kata Abdul Fickar.
Diketahui, eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong tengah mengajukan banding atas vonis 4,5 tahun penjara dalam perkara korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) tahun 2015-2016.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto juga sedang dalam proses banding atas vonis 3,5 tahun dalam kasus suap terkait penetapan anggota legislatif periode 2019-2024 melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/28/6886b016ea233.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tom Lembong dan Hasto Harus Dilepaskan dari Proses Hukum Usai Dapat Abolisi dan Amnesti Nasional 31 Juli 2025
Tom Lembong dan Hasto Harus Dilepaskan dari Proses Hukum Usai Dapat Abolisi dan Amnesti
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Guru Besar Hukum Pidana dan juga pengajar PPS bidang studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof., Dr. Indriyanto Seno Adji, mengatakan, semua proses hukum terhadap
Tom Lembong
dan
Hasto
Kristiyanto harus berhenti setelah keluar Keputusan Presiden (Keppres) terkait pemberian
abolisi
dan
amnesti
.
Kemudian, Indriyanto menyebut, terhadap
Hasto Kristiyanto
dan Tom Lembong harus dilepaskan atau dibebaskan.
Diketahui, eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong tengah mengajukan banding atas vonis 4,5 tahun penjara dalam perkara korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) tahun 2015-2016.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto juga sedang dalam proses banding atas vonis 3,5 tahun dalam kasus suap terkait penetapan anggota legislatif periode 2019-2024 melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
“Semua proses hukum baik yang pra ajudikasi, ajudikasi maupun pasca ajudikasi harus dinyatakan berhenti dan tentunya setelah ada Keppres para penerima abolisi/amnesti dilepaskan dari proses hukumnya,” kata Indriyanto kepada
Kompas.com
, Kamis (31/7/2025).
Lebih lanjut, Indriyanto menegaskan bahwa
abolisi dan amnesti
adalah hak prerogatif penuh Presiden dalam bidang hukum dan sama sekali bukan bentuk intervensi.
Kemudian, menurut mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, abolisi dan amnesti bisa diberikan jika dinilai ada kriminalisasi hukum dan politik.
”
Abolisi
dan amnesti Ini biasa dilakukan bila masyarakat menilai hukum memiliki terstigma kriminalisasi politik dan hukum. Setiap era kekuasaan negara, pemberian abolisi dan amnesti pernah dilakukan di republik ini, antara lain juga bagi kepentingan kesatuan dan kedaulatan negara,” ujar Indriyanto.
Amnesti adalah bentuk pengampunan sekaligus penghapusan akibat hukuman baik yang sudah dijatuhkan maupun yang akan dijatuhkan.
Sedangkan abolisi bisa diartikan sebagai suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara saat pengadilan belum menjatuhkan putusan atau vonis.
Dengan pemberian abolisi oleh Presiden, maka penuntutan terhadap orang atau kelompok orang yang menerima abolisi dihentikan dan ditiadakan.
Keduanya termasuk hak prerogratif atau hak istimewa Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945.
Namun, dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden berhak memberikan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR RI.
Selain itu, abolisi dan amnesti juga diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Sebagaimana diberitakan, DPR RI menyetujui permintaan Presiden Prabowo terkait pemberian abolisi terhadap Tom Lembong.
“DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R43/Pres072025 tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI tentang pemberian abolisi terhadap Saudara Tom Lembong,” kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Kamis (31/7/2025).
Selain itu, Dasco mengumumkan bahwa DPR menyetujui pemberian amnesti untuk Hasto Kristiyanto.
“Pemberian persetujuan dan pertimbangan atas Surat Presiden Nomor 42 Pres 07 27 25 tanggal 30 Juli 2025 tentang amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana, diberikan amnesti, termasuk saudara Hasto Kristiyanto,” ujar Dasco.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Prabowo Beri Amnesti ke Hasto, KPK Pasrah?
Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto buka suara terkait usulan pemberian amnesti dari Presiden Prabowo Subianto kepada Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto.
Usulan Prabowo itu telah disetujui oleh DPR pada rapat konsultasi dengan pemerintah hari ini, Kamis (31/7/2025).
Setyo mengatakan bahwa usulan amnesti dari Prabowo itu adalah kewenangan Kepala Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Itu kewenangan Presiden sesuai UUD 1945,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (31/7/2025).
Selain itu, lembaga antirasuah masih mempelajari informasi mengenai pemberian amnesti kepada Hasto.
Secara terpisah, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyebut proses hukum kepada Hasto masih berjalan, lantaran sebelumnya salah satu pimpinan lembaga antirasuah mengonfirmasi KPK bakal mengajukan banding.
“Kami pelajari terlebih dulu informasi tersebut. Sementara proses hukumnya juga masih berjalan, proses pengajuan banding,” ungkap Budi kepada wartawan.
Adapun Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto sebelumnya telah menyatakan lembaganya bakal mengajukan banding.
“Karena putusan kurang dua pertiga dari tuntutan, maka penuntut umum ajukan banding,” kata Fitroh kepada wartawan, Kamis (31/7/2025).
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat menjatuhkan pidana penjara selama 3,5 tahun dan denda Rp250 juta subsidair 3 bulan kurungan kepada Hasto lantaran terbukti memberikan suap penetapan anggota DPR 2019-2024 berkaitan dengan Harun Masiku.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan JPU yakni 7 tahun penjara dan denda Rp600 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong
Adapun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui usulan Prabowo untuk pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, serta amnesti kepada Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto.
Hal itu diungkap oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad usai rapat konsultasi antara pemerintah dengan DPR mengenai usulan presiden tersebut, Kamis (31/7/2025).
Rapat itu dihadiri oleh seluruh pimpinan unsur dan fraksi DPR. Tom sebelumnya dijatuhi pidana penjara 4,5 tahun atas perkara korupsi impor gula.
“Tadi kami telah mengadakan rapat konsultasi dan hasil rapat konsultasi tersebut DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap surat Presiden […] tentang Permintaan Pertimbangan DPR RI atas pemberian abolisi atas nama saudara Tom Lembong,” jelas Dasco di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Kemudian, Prabowo juga mengusulkan amnesti terhadap 1.116 orang terpidana. Sekjen PDIP juga menjadi salah satu orang yang diusulkan mendapatkan amnesti.
DPR juga menyetujui pemberian amnesti tersebut. “Tentang amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana diberikan amnesti termasuk saudara Hasto Kristiyanto,” pungkas Dasco.
-

Presiden Beri Amnesti ke Sekjen PDIP Hasto, KPK: Kami Pelajari, Proses Hukumnya Masih Berjalan
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pemberian amnesti atau pengampunan kepada Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto mendapat tanggapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pihak KPK mengatakan akan mempelajari terlebih dahulu perintah DPR dan kepala negara tersebut.
“Kami pelajari terlebih dulu informasi tersebut. Sementara proses hukumnya juga masih berjalan, proses pengajuan banding,” ujar Jubir KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Kamis (31/7/2025).
Budi mengatakan, keputusan KPK saat ini masih mengajukan banding atas vonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR yang menjerat Hasto Kristiyanto. Namun, keputusan itu bisa berubah jika amnesti Hasto sudah dipelajari.
Sebagai informasi, DPR RI baru saja melakukan rapat konsultasi dengan pemerintah terkait pertimbangan terhadap surat Presiden RI mengenai pemberian abolisi hingga amnesti. DPR memberikan persetujuan atas surat yang diajukan pemerintah.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto menegaskan Kepala Negara tidak melewati batasnya dalam kebijakan tersebut. “Itu kewenangan Presiden sesuai UUD 1945,” kata Setyo melalui keterangan tertulis, Kamis, 31 Juli 2025.
Setyo mengatakan, Presiden berhak memberikan ampunan kepada siapapun. Termasuk Hasto, yang terjerat kasus suap pada proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR.
Sebelumnya, Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Hasto Kristiyanto bersalah dan terbukti melakukan suap pada proses PAW anggota DPR untuk Harun Masiku. Majelis Hakim menjatuhkan vonis pidana penjara kepada Hasto Kristiyanto selama 3,5 tahun.