Produk: UUD 1945

  • Zulhas Sanjung Prabowo sebagai Satu-satunya Presiden yang Berani Terapkan Pasal 33
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 Agustus 2025

    Zulhas Sanjung Prabowo sebagai Satu-satunya Presiden yang Berani Terapkan Pasal 33 Nasional 24 Agustus 2025

    Zulhas Sanjung Prabowo sebagai Satu-satunya Presiden yang Berani Terapkan Pasal 33
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ketua Umum (Ketum) Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (Zulhas) menyanjung Presiden Prabowo Subianto sebagai satu-satunya presiden yang berani menerapkan prinsip Pasal 33 UUD 1945.
    “Saudara-saudara, kita punya Presiden Pak Prabowo Subianto, satu-satunya presiden yang berani menerapkan Pasal 33, pemberdayaan, pemerataan, gotong royong, ekonomi Pancasila,” ujar Zulhas saat memberikan sambutan dalam peringatan HUT ke-27 PAN, di Senayan Park, Jakarta, Minggu (24/8/2025) malam.
    Dia menilai, kebijakan yang diambil Prabowo sejalan dengan cita-cita PAN dalam memperjuangkan keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat.
    Menurut Zulhas, semangat ekonomi Pancasila yang dijalankan Prabowo harus terus didukung agar mampu menghadirkan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
    “Nah itulah yang Partai Amanat Nasional perjuangkan hari-hari ini dan hari yang akan datang,” ucapnya.
    Diketahui, pada akhir Juli 2025 lalu, dalam Harlah PKB, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa tujuan bernegara yang diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 disusun berdasarkan asas perekonomian kekeluargaan, bukan konglomerasi.
    “Pasal 33 ini tujuan nasional. Pasal 33 ayat 1, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, bukan asas konglomerasi. Asas keluarga, asas kekeluargaan ya seluruh bangsa Indonesia kita harus diperlakukan sebagai keluarga,” kata Prabowo.
    Oleh karena itu, Prabowo mengatakan, asas kekeluargaan yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945 bertentangan dengan mazhab-mazhab ekonomi, termasuk ekonomi neoliberal.
    Presiden mengungkapkan, pada ekonomi neoliberal, segelintir orang, terutama masyarakat kelas atas, akan bertambah kaya.
    Lalu, kekayaan itu lama-kelamaan akan “menetes” atau menurun pada masyarakat kelas bawah.
    “Di masa neoliberal ini, menurut mereka enggak apa-apa kalau yang segelintir orang tambah kaya. Menurut teori itu, lama-lama kekayaan itu akan menetes ke bawah, tapi kenyataannya menetesnya lama banget. Menetesnya 200 tahun, udah mati kita semua itu. Jadi itu enggak bener,” ujar Prabowo seraya berkelakar.
    Atas dasar itu, Prabowo mengajak semua yang hadir untuk menyimak Pasal 33 UUD 1945 yang menggariskan tujuan bernegara, yakni rakyat merasa aman, sejahtera, tidak ada kemiskinan dan kelaparan.
    “Demokrasi penting, demokrasi yang formal, demokrasi yang normatif, tapi rakyat tidak punya rumah yang baik, rakyat yang lapar, anak-anak yang stunting, mereka yang tidak bisa cari pekerjaan. Ini bukan tujuan bernegara bagi saya,” kata Prabowo.
    Adapun Pasal 33 UUD 1945 yang terdiri atas empat ayat yang mengatur prinsip ekonomi yang dianut oleh Indonesia.
    Ayat 1 berbunyi, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan”.
    Kemudian, ayat 2 berbunyi, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
    Lalu, ayat 3 bunyinya, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
    Terakhir, ayat 4 berbunyi, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR Tidak Bisa Dibubarkan, Kecuali Lewat Jalan Non-Konstitusional: ‘Revolusi’

    DPR Tidak Bisa Dibubarkan, Kecuali Lewat Jalan Non-Konstitusional: ‘Revolusi’

    Belakangan ini ramai di media sosial ajakan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

    Bahkan, beredar seruan demonstrasi pada 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR Senayan. Isu ini langsung memicu polemik besar di tengah masyarakat.

    Kritik terhadap DPR memang bukan hal baru.

    Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, merespons isu tersebut dengan keras dan menyebut ajakan membubarkan DPR sebagai tindakan yang tidak masuk akal.

    Pernyataan ini memang terkesan kasar, namun secara konstitusional memiliki dasar.

    Landasan Konstitusional: DPR Tidak Bisa Dibubarkan Presiden

    UUD 1945 hasil amandemen menutup celah pembubaran DPR oleh Presiden.

    Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7C: Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR.

    Prinsip ini lahir dari sistem presidensial yang menempatkan eksekutif dan legislatif sejajar untuk mencegah konsentrasi kekuasaan.

    Meski begitu, politik selalu menyimpan ruang kemungkinan. Ungkapan klasik, “politics is the art of the impossible, made possible”, tetap relevan.

    Kekecewaan Publik terhadap DPR

    Isu pembubaran DPR muncul tidak lepas dari kekecewaan masyarakat. Kritik publik antara lain:

    Besarnya gaji dan tunjangan anggota DPR.Kebijakan kontroversial seperti revisi UU Pilkada yang dianggap mengakali putusan MK.Kasus dugaan korupsi dan gaya hidup mewah anggota DPR.DPR dianggap kehilangan empati, misalnya ketika berjoget dalam sidang sementara rakyat menghadapi kesulitan ekonomi.Produk legislasi yang tidak berpihak pada rakyat dan lemahnya fungsi pengawasan terhadap pemerintah.

    Semua ini seharusnya menjadi bahan introspeksi agar DPR kembali pada jati dirinya sebagai wakil rakyat.

    Sejarah Pembubaran DPR di Luar Konstitusi

    Sejarah mencatat DPR pernah dibubarkan melalui langkah non-konstitusional.

    Pada 1960, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret untuk membubarkan DPR hasil Pemilu 1955. Sementara pada 2001, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sempat mencoba membekukan DPR dan MPR, namun langkah itu justru berakhir dengan pelengserannya.

    Dua peristiwa ini membuktikan bahwa pembubaran DPR secara ekstra-konstitusional selalu menimbulkan krisis politik.

    Karena itu, reformasi memperkuat posisi DPR agar tidak bisa lagi dibubarkan Presiden.

    Jalan Konstitusional: Amandemen dan Pemilu

    Secara hukum, cara satu-satunya untuk menghapus DPR adalah melalui amandemen UUD 1945.

    Namun, mekanisme ini sangat sulit karena membutuhkan persetujuan MPR, yang sebagian besar anggotanya justru dari DPR.

    Alternatif lain adalah boikot total Pemilu oleh rakyat, tetapi skenario ini hampir mustahil terjadi.

    Dengan demikian, secara politik dan praktis, upaya membubarkan DPR hampir tidak mungkin dilakukan.

    Apakah Revolusi Solusi?

    Secara teori, revolusi atau kudeta bisa mengganti seluruh tatanan negara termasuk DPR.

    Namun, cara ini jelas berbahaya, tidak sah secara hukum, tidak demokratis, dan berisiko menimbulkan instabilitas politik serta kehancuran ekonomi.

    Oleh karena itu, jika publik tidak puas terhadap DPR, solusi terbaik adalah reformasi struktural melalui tekanan publik, advokasi politik, dan mekanisme demokratis.

    DPR tidak bisa dibubarkan dalam sistem presidensial Indonesia. Upaya revolusi hanya akan merusak tatanan bangsa.

    Jalan terbaik adalah mendorong DPR melakukan introspeksi, memperbaiki citra, menghindari kemewahan dan korupsi, serta berani menggunakan hak konstitusional seperti interpelasi, angket, dan pernyataan pendapat.

    Hanya dengan cara demikian DPR dapat kembali dipercaya rakyat dan menjadi pilar demokrasi yang kuat.

    Jakarta, Minggu 24 Agustus 2025

  • Waka MPR Ingatkan Pentingnya Kesehatan Jiwa & Otak untuk Cerdaskan Bangsa

    Waka MPR Ingatkan Pentingnya Kesehatan Jiwa & Otak untuk Cerdaskan Bangsa

    Jakarta

    Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat mengingatkan bahwa setiap warga negara harus berperan aktif dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan daya saing di masa depan.

    Lestari mengungkapkan hal itu saat menjadi pembicara kunci pada seminar bertema Kesehatan Otak sebagai Pilar Penting dalam Pembangunan Nasional Menuju Daya Saing Global Indonesia Emas 2045 yang diselenggarakan dalam rangka Musyawarah Kerja Nasional Perhimpunan Dokter Spesialis Neurologi Indonesia (Mukernas Perdosni) Tahun 2025, di Bandung, Jawa Barat, hari ini.

    “Konstitusi kita menegaskan bahwa tujuan kita bernegara adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kemakmuran itu bukan semata sejahtera secara materi, tetapi juga sehat jasmani dan rohani yang di dalamnya termasuk kesehatan otak setiap anak bangsa,” kata Lestari Moerdijat dalam keterangannya, Sabtu (23/8/2025).

    Ia menekankan pentingnya mengedepankan upaya membangun ‘jembatan’ antara kesehatan jiwa dan kesehatan otak dalam konteks sebuah kebijakan. Karena seringkali negara melahirkan kebijakan atas dasar pola pikir mereka sendiri.

    “Sehingga kerap kali kebijakan yang lahir hanya mampu mengatasi gejala yang ada di permukaan saja. Akibatnya, permasalahan yang dihadapi selalu berulang,” jelasnya.

    Dalam konteks mewujudkan Indonesia Emas 2045, menurutnya, setiap orang harus mampu mewujudkan 4 pilar visi yang telah dicanangkan.

    “Untuk mewujudkan keempat visi tersebut tentu saja harus didukung dengan kesehatan berpikir yang didasari atas terpenuhinya kesehatan jiwa dan otak yang baik bagi setiap anak bangsa,” jelasnya.

    Dia mengatakan dibutuhkan peta jalan kesehatan otak yang tepat dan dapat dipahami sejumlah pihak. Hal itu agar berbagai kebijakan yang dilahirkan dapat tepat sasaran dalam upaya memastikan generasi penerus bangsa memiliki standar kesehatan jiwa dan kesehatan otak yang cukup dalam menghadapi tantangan di masa mendatang.

    “Mendorong agar semua pihak terkait seperti pemerintah dan pihak swasta dapat terlibat aktif mengajak masyarakat untuk peduli terhadap kesehatan otak, serta mengedepankan berbagai upaya promotif, bukan hanya kuratif dalam menghadapi berbagai tantangan di sektor kesehatan,” tutupnya.

    (prf/ega)

  • Antara Sri Mulyani, Pajak, dan Ketimpangan Pendapatan

    Antara Sri Mulyani, Pajak, dan Ketimpangan Pendapatan

    Bisnis.com, JAKARTA – Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyamakan pajak dengan zakat viral. Pernyataannya kurang lebih begini: “Dalam setiap rezeki ada hak orang lain. Ada yang disalurkan melalui zakat dan wakaf, ada juga melalui pajak.”

    Sontak, hal itu segera menuai polemik. Banyak yang mengkritisi. Apalagi, pernyataan eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu diungkapkan ketika publik sedang dibebani dengan berbagai macam persoalan ekonomi. Pendapatan antara si Kaya dan si Miskin sangat timpang. Rakyat juga sedang dihantui oleh berbagai macam kenaikan pungutan.

    Wajar, jika pernyataan Sri Mulyani menjadi bulan-bulanan di media sosial. Berbagai macam meme satire muncul. Semuanya mengkritisi perkataan Sri Mulyani. Meskipun kalau dicermati secara lebih detail, pernyataan Menkeu sejatinya ingin menempatkan bahwa pajak dan zakat memiliki esensi yang sama, yakni sebagai alat untuk distribusi pendapatan. Hanya saja, momentumnya yang tidak tepat.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati./JIBI

    Semua tahu, pajak adalah sebuah kewajiban yang harus dipikul oleh warga negara. Benjamin Franklin, salah satu founding fathers Amerika Serikat, bahkan pernah berujar bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti kecuali kematian dan pajak. Semua orang pasti mati. Itu adalah hukum alam. Orang lahir berwujud bayi kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa kemudian tua. Ujungnya tentu akan dipanggil lagi oleh sang pencipta. 

    Sementara, sebagai makhluk hidup yang tinggal di sebuah wilayah negara, manusia dari lahir hingga mati tidak bisa lepas dari pajak. Kebutuhan bayi hingga tetek bengek-nya pasti kena pajak. 

    Beli barang konsumsi kena pajak. Terus ketika bekerja, pendapatannya melebihi baseline penghasilan tidak kena pajak (PTKP) orang mulai membayar pajak penghasilan alias PPh. Punya usaha kena pajak korporasi. Bahkan saat meninggal, berbagai barang keperluan pemakaman juga ada yang kena pajak. Intinya manusia sulit lepas dari kewajiban membayar pajak.

    Apalagi dalam konteks Indonesia, konstitusi telah secara jelas memberikan kewenangan kepada negara untuk memungut pajak. Pasal 23A UUD 1945, misalnya, menekankan bahwa pajak dan pungutan lain bersifat memaksa. Tidak ada istilah sukarela, negara dibekali kewenangan konstitusional untuk memaksa warga negara membayar pajak. Tetapi tentu saja sifat memaksa ini dibatasi oleh ketentuan dan kewenangan yang berlaku.

    Seperti yang sudah selintas disinggung di atas, orang menjadi wajib pajak dan dipungut pajaknya ketika telah memperoleh penghasilan dengan batasan tertentu. Tidak semua orang berpenghasilan kena pajak. Tidak setiap badan usaha wajib menjadi pengusaha kena pajak. Kalau mereka berstatus UMKM, perlakuan pajaknya berbeda dengan korporasi besar.

    Wajib pajak (WP) berpuluh-puluh tahun tidak mempersoalkan itu. Mereka tetap bayar pajak, apalagi karyawan, yang secara otomatis dipotong pajaknya oleh pemberi kerja.

    Hanya saja, kalau melihat tren 5 tahun belakangan ini, ada sebuah fenomena dimana pemerintah cenderung fokus untuk memajaki ‘masyarakat kebanyakan’. Hal ini dimulai dengan berlakunya Undang-undang No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Salah satu mandat dalam UU HPP adalah kenaikan PPN dari 10% ke 11%. PPN adalah pajak yang sifatnya berlaku umum. Tidak peduli kaya atau miskin. Kalau mereka beli barang konsumsi, mereka harus membayar PPN.

    Beli air mineral kena pajak 11%, beli barang konsumsi yang di luar barang yang dikecualikan juga kena pajak 11%. Alhasil, beban masyarakat naik. Padahal, sampai kuartal II/2025 kemarin, konsumsi rumah tangga adalah backbone perekonomian. Kenaikan pungutan pajak, berarti menambah beban konsumsi mayarakat. Sejatinya pada awal tahun lalu, UU HPP mengamanatkan PPN naik menjadi 12%. Namun karena sorotan dan desakan banyak pihak, kenaikan tarif itupun diberlakukan terbatas, hanya untuk barang mewah.

    Belum reda masyarakat menanggung kenaikan PPN, pemerintah menerapkan UU No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah atau UU HKPD, yang intinya mendorong daerah untuk mandiri secara fiskal. Namun bukannya daerah makin inovatif, yang terjadi justru kenaikan dan perlombaan tarif untuk sejumlah pajak yang diatur pemerintah daerah.

    Ada opsen pajak yang ikut mengerek tagihan pajak kendaraan bermotor hingga kenaikan PBB-P2 dari ratusan persen hingga ribuan persen. Kasus yang terakhir sempat memunculkan perlawanan dari masyarakat. Di Pati, warga memprotes dan melawan kebijakan tersebut, di Bone juga sama. Mereka bentrok dengan aparat.

    Berbagai kericuhan itu sejatinya tidak akan terjadi ketika pemerintah benar-benar tahu kondisi di masyarakat. Distribusi pendapatan bisa berlangsung secara merata. Jurang antara yang kaya dan miskin tidak begitu lebar.

    Adapun Indonesia secara formal memang tergolong sebagai negara dengan ketimpangan rendah. Meski demikian, ketimpangan antara golongan yang kaya dengan yang miskin masih sangat lebar.

    Di sisi lain, alih-alih melakukan efisiensi, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang kontroversial dengan memberikan fasilitas ke pejabatnya. Yang terbaru tentu keputusan memberikan tunjangan perumahan Rp50 juta kepada anggota dewan.

    Hal ini kontras dengan situasi riil di akar rumput. Kalau mengacu kepada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis 25 Juli 2025 lalu, saat ini ada banyak orang yang masih hidup dengan pendapatan Rp609.160 per kapita per bulan atau Rp566.655 per kapita per bulan. Jauh dari nilai tunjangan perumahan yang didapatkan oleh DPR.

    Selain itu, masih menggunakan data BPS, pengeluaran masyarakat juga masih timpang. Distribusi pengeluaran masih dikuasai oleh 20% penduduk teratas. Mereka berkontribusi terhadap 45,56% pengeluaran secara nasional per Maret 2025 lalu. Sementara itu, 40% penduduk menengah hanya berkontribusi sebesar 35,79%.

    Sedangkan 40% penduduk terendah hanya berkontribusi di angka 18,65% dari total pengeluaran nasional. Meski ada peningkatan dibandingkan posisi Maret 2024 yang tercatat sebesar 18,40%, namun jumlah itu tidak sampai separuhnya pengeluaran dari penduduk 20% teratas.

    Dengan potret ketimpangan pengeluaran tersebut, wajar jika setiap upaya menaikkan pungutan entah itu pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat maupun daerah, akan menimbulkan protes dari kalangan masyarakat.

    Pati dan Bone bisa menjadi peringatan bagi pemerintah supaya behati-hati menerapkan kebijakan pajak. Pemerintah perlu mencermati pernyataan Jean Baptiste Colbert, Menkeu Prancis pada era monarki absolut ratusan tahun lalu: “agar bagaimana bulu angsa bisa dicabut sebanyak mungkin tetapi dengan koak yang sepelan mungkin.”

  • Korupsi, Amnesti, dan Hilangnya Rasa Bersalah
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 Agustus 2025

    Korupsi, Amnesti, dan Hilangnya Rasa Bersalah Nasional 23 Agustus 2025

    Korupsi, Amnesti, dan Hilangnya Rasa Bersalah
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    KORUPSI
    adalah luka yang tak kunjung sembuh dalam tubuh republik. Setiap kali luka itu mulai mengering, selalu ada tangan pejabat yang kembali mengupasnya.
    Luka itu bukan sekadar soal uang yang raib, tetapi juga tentang kepercayaan publik yang terkoyak.
    Kasus Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer menegaskan luka itu. Bukan saja karena dugaan pemerasan miliaran rupiah dari sertifikasi K3, tetapi karena keberaniannya meminta amnesti dari presiden.
    Luka publik makin perih: hukum seolah hanya formalitas, sementara pengampunan dianggap barang dagangan politik.
    Korupsi adalah salah. Kesalahan hukum, kesalahan moral, dan kesalahan politik. Namun, anehnya, di negeri ini, kata salah seakan kehilangan bobotnya.
     
    Orang bisa tersenyum di kamera setelah ditetapkan tersangka. Orang bisa menyebut dirinya korban, padahal ia sedang memakan uang rakyat.
    Lebih mengejutkan, kesalahan itu kadang justru dilihat sebagai peluang untuk menawar. Tersangka meminta amnesti, terdakwa berharap remisi, terpidana menanti grasi. Kata salah bukan lagi soal tanggung jawab, melainkan soal negosiasi
    Di sinilah amnesti berubah menjadi amnesia. Instrumen konstitusional yang semula dimaksudkan untuk kepentingan besar bangsa—rekonsiliasi politik, perdamaian, penyelesaian konflik—diselewengkan menjadi jalan pintas melupakan dosa korupsi.
    Permintaan amnesti Noel adalah contoh bagaimana hukum direduksi menjadi alat penghapusan ingatan.
    Padahal, korupsi justru harus diingat, agar publik tahu siapa yang mengkhianati amanah. Dengan amnesti, dosa hendak disapu bersih, seolah-olah tak pernah ada.
    Amnesti di sini bukan lagi pengampunan demi bangsa, melainkan penghapus rasa bersalah demi kepentingan pribadi.
    Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 memang menyebut presiden berhak memberi amnesti dengan pertimbangan DPR. Namun, legitimasi hukum tidak otomatis berarti legitimasi moral.
    Di sinilah letak persoalan: apakah konstitusi bisa dipakai sebagai selimut bagi pejabat yang merampas hak rakyat?
    Legitimasi hukum harus selaras dengan legitimasi moral. Hukum tanpa moral hanyalah topeng.
    Gustav Radbruch, filsuf hukum Jerman, mengingatkan: hukum yang kehilangan keadilan bukanlah hukum.
    Jika amnesti dipakai untuk melindungi koruptor, maka yang rusak bukan hanya hukum, tetapi juga legitimasi negara.
    Korupsi di Indonesia telah mencapai tingkat banalitas. Ia begitu biasa sehingga publik hampir tidak lagi kaget mendengar pejabat ditangkap. Yang mengejutkan justru bukan perkaranya, tetapi keberanian meminta amnesti setelah ditetapkan sebagai tersangka.
    Hannah Arendt menyebut istilah
    the banality of evil
    —kejahatan yang terasa lumrah karena dilakukan berulang-ulang tanpa rasa bersalah.
    Korupsi kita persis seperti itu. Ia tidak lagi dianggap kejahatan luar biasa, melainkan rutinitas birokrasi. Dan ketika tersangka masih punya nyali meminta amnesti, itu menandakan kejahatan sudah dianggap sebagai “hak istimewa jabatan.”
    Negara hukum hanya bisa tegak jika pejabat berani memikul tanggung jawab. Bukan hanya tanggung jawab politik, tetapi juga tanggung jawab hukum dan moral.
    Permintaan amnesti menunjukkan sebaliknya: lari dari tanggung jawab, mencari penghapusan dosa instan.
    Di negara dengan tradisi malu yang kuat, pejabat yang terseret kasus akan segera mundur. Di negeri ini, pejabat justru menantang publik dengan meminta pemaafan. Inilah krisis tanggung jawab yang sesungguhnya.
    Rakyat adalah korban utama. Mereka yang diperas lewat pungutan ilegal, mereka yang kehilangan layanan publik, mereka yang gajinya tergerus inflasi, mereka yang setiap hari dipaksa membayar pajak. Ketika seorang pejabat meminta amnesti, publik merasa dipermainkan.
    Survei Transparency International menempatkan Indonesia dengan skor 34/100 pada 2024. Itu artinya, publik menilai korupsi masih parah, dan penegakan hukumnya lemah.
    Permintaan amnesti hanya memperkuat kesan: di negeri ini, korupsi bukan kejahatan, tetapi negosiasi.
    Permintaan amnesti Noel tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari politik patronase. Ia lahir dari keyakinan bahwa kedekatan dengan presiden bisa menjadi jalan keselamatan. Ini menegaskan bagaimana politik kita masih dikuasai logika balas budi dan loyalitas personal.
    Padahal, presiden bukanlah raja yang bisa seenaknya memberi pengampunan. Presiden adalah kepala negara yang terikat konstitusi, moral publik, dan akuntabilitas.
    Jika amnesti diberikan untuk kasus korupsi, maka rusaklah komitmen negara terhadap pemberantasan korupsi.
    Untuk memahami arti sejati amnesti, mari menengok ke luar negeri.
    Afrika Selatan pasca-Apartheid membentuk Truth and Reconciliation Commission (TRC). Amnesti diberikan bukan untuk melupakan kejahatan, melainkan dengan syarat pelaku menyatakan kebenaran di hadapan publik. Amnesti di sana adalah jalan untuk menyembuhkan luka bangsa.
    Spanyol pasca-Franco juga memberi amnesti bagi tahanan politik sebagai jalan transisi menuju demokrasi. Amnesti dimaknai sebagai jembatan agar bangsa bisa bergerak maju.
    Kedua kasus itu menunjukkan: amnesti adalah instrumen politik kebangsaan, bukan mekanisme untuk menghapus rasa bersalah pribadi.
    Dibandingkan itu, permintaan amnesti oleh pejabat korup di Indonesia justru menunjukkan penyalahgunaan makna.
    Apa jalan keluarnya? Pertama, presiden harus menutup rapat pintu amnesti untuk korupsi. Kedua, DPR harus berani menolak segala bentuk legitimasi politik atas penghapusan dosa pejabat.
    Ketiga, publik harus bersuara lantang agar kasus ini tidak menjadi preseden.
    Lebih jauh, bangsa ini perlu membangun kembali budaya malu. Malu adalah akar etika. Tanpa malu, hukum bisa ditawar. Tanpa malu, pejabat berani korupsi lalu minta amnesti. Tanpa malu, negara hukum tinggal nama.
    “Korupsi, Amnesti, dan Hilangnya Rasa Bersalah” adalah cermin kondisi bangsa. Korupsi yang banal, amnesti yang diselewengkan, rasa bersalah yang hilang.
    Afrika Selatan dan Spanyol memperlihatkan amnesti bisa menjadi jalan transisi politik yang bermartabat. Namun di Indonesia, bila amnesti dipakai untuk korupsi, ia akan menjadi amnesia kolektif, melupakan dosa yang seharusnya dipertanggungjawabkan.
    Republik ini bisa runtuh bukan karena serangan musuh luar, melainkan karena pejabat di dalam negeri yang kehilangan rasa bersalah. Jika amnesti untuk korupsi dibiarkan, maka bangsa ini sedang melegitimasi kejahatan.
    Hukum harus ditegakkan dengan nurani, bukan ditawar dengan kuasa. Dan pejabat publik hanya layak dihormati bila berani bertanggung jawab, bukan bila pandai mencari amnesti.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4
                    
                        Seorang Kepala Desa Minta MK Copot Kewenangan Intelijen Kejaksaan
                        Nasional

    4 Seorang Kepala Desa Minta MK Copot Kewenangan Intelijen Kejaksaan Nasional

    Seorang Kepala Desa Minta MK Copot Kewenangan Intelijen Kejaksaan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kepala Desa Dadapan, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk, Yuliantono, mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
    Kepala desa itu meminta agar frasa “bidang intelijen” dan “penyelidikan” dalam Pasal 30B UU Kejaksaan RI dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
    Karena menurut pemohon, kewenangan jaksa bidang intelijen dalam melakukan penyelidikan dan menjadikannya dasar penyidikan berpotensi menimbulkan multitafsir serta membuka peluang kesewenang-wenangan.
    Berikut adalah bunyi pasal yang digugat oleh Kepala Desa itu:
    Pasal 30B
    Dalam bidang intelijen penegakan hukum, Kejaksaan berwenang:

    a. menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamarlan, dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum;

    b. menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan;

    c. melakukan kerja sarna intelijen penegakan hukum dengan lembaga intelijen dan/atau penyelenggara intelijen negara lainnya, di dalam maupun di luar negeri;

    d. melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi, nepotisme; dan

    e. melaksanakan pengawasan multimedia.
    Ia menilai aturan itu tidak memberikan kepastian hukum dan mengabaikan hak konstitusional warga negara di hadapan hukum.
    Kuasa hukum pemohon, Prayogi Laksono, mengatakan, penyelidikan seharusnya diatur secara jelas oleh undang-undang, termasuk siapa pejabat yang berwenang melakukannya.
    “Namun dalam UU Kejaksaan, hal ini tidak dijelaskan secara tegas sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum,” kata Prayogi dalam sidang yang digelar, Jumat (22/8/2025).
    Dia juga menyinggung putusan MK Nomor 28/PUU-V/2007 yang sebelumnya pernah menguji kewenangan jaksa sebagai penyidik.
    Dalam putusan itu disebutkan, KUHAP dan UU KPK secara jelas mengatur kedudukan penyelidik.
    Dengan dasar tersebut, Yuliantono meminta MK menyatakan Pasal 30B huruf a UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
    Kemudian menyatakan Pasal 30B frasa “Bidang Intelijen” dan Pasal 30B huruf a frasa “Penyelidikan” UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
    Menanggapi permohonan tersebut, Hakim MK Guntur Hamzah mempertanyakan latar belakang permohonan pemohon yang menyebut ada proses penyelidikan yang tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
    Jika latar belakang demikian, Guntur Hamzah menanyakan apakah pemohon sudah melaporkan hal tersebut kepada Komisi Kejaksaan atau belum.
    “Kan ada Komisi Kejaksaan kalau bicara caranya yang tidak sesuai dengan tata cara yang diatur dalam KUHAP, misalnya untuk penyelidikan ya,” imbuhnya.
    Guntur Hamzah juga menyebut, adanya pelanggaran terhadap penyelidikan yang dilakukan oleh oknum kejaksaan bukan berarti bermasalah pada norma undang-undangnya.
    Karena kasus yang dialami pemohon bukan karena norma yang bermasalah, tetapi tataran pelaksanaan undang-undang.
    “Apalagi kalau oknumnya yang macam-macam, mau menggertaklah, mau mengintimidasi lah, mau apa ya, itu larinya ke oknum, karena semuanya kan harus ada tata caranya,” ucap Guntur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pimpinan MPR tegaskan fasilitasi dikusi menuju amendemen UUD

    Pimpinan MPR tegaskan fasilitasi dikusi menuju amendemen UUD

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Bambang Wuryanto menegaskan pihaknya berkomitmen memfasilitasi diskusi rutin yang membicarakan menuju perubahan atau amendemen UUD NRI Tahun 1945.

    “Sebagai pimpinan MPR, saya pastikan untuk menuju perubahan UUD NRI Tahun 1945, MPR akan memfasilitasi dengan menggelar diskusi rutin untuk amendemen UUD NRI Tahun 1945,” kata Bambang Pacul, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Hal itu disampaikannya dalam Seminar Konstitusi dengan tema “Dialektika Konstitusi: Refleksi UUD NRI Tahun 1945 Menjelang 25 Tahun Reformasi Konstitusi” di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (21/8).

    Dia mengatakan diskusi itu nantinya diisi oleh mereka yang sudah memiliki pemahaman terhadap sejarah perubahan konstitusi sejak UUD 1945.

    “Menuju amandemen UUD NRI Tahun 1945 ini didukung tim yang terdiri dari para pakar,” ujarnya.

    Pacul mengatakan bahwa usulan amendemen terhadap UUD NRI Tahun 1945 sudah pasti ada karena perubahan sendiri adalah suatu keniscayaan.

    “Perubahan atau amandemen UUD merupakan kewenangan MPR RI sesuai Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945,” ucapnya.

    Sementara itu, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa UUD adalah buatan manusia, apalagi dibuat melalui kesepakatan bersama, sehingga dalam UUD pasti memiliki ruang ketidaksempurnaan.

    “Sehebat apapun perumus konstitusi akan tetap tidak sempurna,” ujar Jimly yang hadir sebagai narasumber dalam seminar.

    Jimly mengatakan Bung Karno sudah menegaskan bahwa UUD 1945 adalah UUD kilat atau sementara yang akan disempurnakan, lalu pada tahun 1950 diupayakan penyempurnaan melalui UUD Sementara.

    “Jadi jangan membayangkan UUD 1945 sempurna,” katanya.

    Lebih lanjut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengatakan perubahan UUD 1945 empat tahap tahun 1999-2002 juga tidak lah sempurna.

    Dia menambahkan UUD NRI Tahun 1945 hasil dari perubahan empat tahap UUD tahun 1999-2002 itu harus dievaluasi secara menyeluruh.

    “Konstitusi kita tidak sempurna, Dari waktu ke waktu, konstitusi harus menampung nilai-nilai dan norma baru. Caranya melalui amandemen UUD, tetapi tidak mungkin konstitusi selalu diubah, maka diperlukan adanya konvensi ketatanegaraan,” tuturnya.

    Meski demikian, dia mengatakan apabila dilakukan kembali amendemen UUD maka jangan hanya dilakukan untuk memasukkan ketentuan tentang Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

    Dia memandang evaluasi menyeluruh terhadap konstitusi itu perlu dilakukan menjelang 25 tahun reformasi, misalnya penataan lembaga DPD dan kewenangan Komisi Yudisial (KY).

    “Momentum kepemimpinan MPR periode 2024-2029 di bawah Ketua MPR Ahmad Muzani sesudah terbentuknya pemerintahan baru Prabowo Subianto adalah saat tepat untuk memperbaiki sistem konstitusi kita,” ujarnya.

    Sependapat dengan Jimly, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menambahkan sesempurna apapun konstitusi dirumuskan maka tidak akan selalu menjawab perkembangan ketatanegaraan kita.

    “Kalau konstitusi diubah terus menerus maka tidak ada bedanya dengan UU maka biasanya dibangun tradisi positif yang dikenal dengan konvensi ketatanegaraan,” ujarnya.

    Dia lantas berkata, “Perubahan UUD memang hasil kompromistis, tetapi kalau tidak disepakati maka akan ada kelompok yang tidak terwakili dalam perubahan konstitusi.”

    Seminar Konstitusi yang dibuka oleh Ketua MPR RI Ahmad Muzani itu dihadiri pula oleh Wakil Ketua MPR RI lainnya yakni Rusdi Kirana dan Hidayat Nur Wahid.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MPR tak tutup rapat sekaligus buka lebar amendemen UUD

    MPR tak tutup rapat sekaligus buka lebar amendemen UUD

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Muzani: MPR tak tutup rapat sekaligus buka lebar amendemen UUD
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 21 Agustus 2025 – 23:23 WIB

    Elshinta.com – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Ahmad Muzani mengatakan MPR tidak menutup rapat-rapat terhadap amendemen Undang-Undang Dasar (UUD), sekaligus membuka selebar-lebarnya terhadap perubahan konstitusi.

    Sebab, kata dia, UUD tidak boleh terlalu sering dilakukan perubahan, tetapi juga UUD tidak boleh ditutup rapat untuk perubahan agar bisa mengikuti perubahan dan perkembangan zaman.

    “Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD, kami tidak menutup diri dan menutup rapat-rapat atas perubahan itu. Meskipun di sisi lain, kami juga tidak membuka lebar-lebar atas keinginan terhadap perubahan UUD,” kata Muzani dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

    Hal itu disampaikannya ketika membuka Seminar Konstitusi dengan tema “Dialektika Konstitusi: Refleksi UUD NRI Tahun 1945 Menjelang 25 Tahun Reformasi Konstitusi” di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta.

    Dia pun menegaskan MPR merupakan lembaga negara yang diberikan kewenangan penuh oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk melakukan perubahan atau amandemen UUD.

    Dia mengatakan MPR perlu terus menerus mendengar dan merefleksi diri tentang makna konstitusi ini supaya MPR mengambil keputusan yang benar tentang perlu tidaknya dilakukan amandemen UUD.

    Untuk itu, lanjut dia, MPR mendengarkan pemikiran-pemikiran yang berkembang di masyarakat terhadap perlu tidaknya dilakukan amendemen UUD.

    “Banyak akademisi, tokoh-tokoh, dan kalangan lain yang menyuarakan perubahan UUD. Pemikiran-pemikiran itu kita harus dengarkan,” ucapnya.

    Termasuk, sambung dia, lewat Seminar Konstitusi hari ini sebagai upaya untuk terus mendengar dan mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat.

    Muzani menerangkan bahwa acara seminar ini merupakan rangkaian peringatan Hari Konstitusi yang diperingati setiap tanggal 18 Agustus ketika para pendiri bangsa menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia yang baru saja diproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

    “Keberanian para pendiri bangsa menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi yang sampai sekarang dipakai adalah keberanian yang luar biasa karena itu sebagai generasi penerus setelah 80 tahun kita merdeka, kita juga harus mempunyai keberanian untuk merefleksi dan merenung tentang konstitusi kita,” tuturnya.

    Lebih lanjut, Muzani juga menyebut tiga lembaga negara yakni MPR, DPR, dan Mahkamah Konstitusi (MK) harus melakukan komunikasi untuk merefleksikan dan mengaktualisasikan UUD NRI Tahun 1945 agar sejalan dengan perkembangan zaman.

    Dia menuturkan MPR adalah lembaga yang memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD NRI Tahun 1945, sedangkan DPR adalah lembaga yang memiliki kewenangan membuat UU sebagai penterjemahan dari UUD.

    Lalu, MK adalah lembaga yang diberi kewenangan menafsir semua produk UU apakah memiliki kesesuaian atau tidak dengan UUD.

    “Ketiga lembaga negara ini memiliki kewenangan yang sangat jelas dalam UUD NRI Tahun 1945 karena itu hubungan dan komunikasi ketiga lembaga negara ini harus terus dipikirkan untuk merefleksikan dan mengaktualisasi UUD sepanjang zaman,” kata dia.

    Dalam seminar konstitusi tersebut, turut hadir pula sejumlah Wakil Ketua DPR RI yakni Bambang Wuryanto, Rusdi Kirana, dan Hidayat Nur Wahid.

    Adapun pembicara dalam seminar tersebut ialah pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, Wakil Ketua MK Saldi Isra, dan mantan Panitia Adhoc (PAH I) MPR RI Jacob Tobing (mantan PAH I ).

    Sumber : Antara

  • Ibas harap PPHN pastikan pembangunan tak tergantung konstelasi politik

    Ibas harap PPHN pastikan pembangunan tak tergantung konstelasi politik

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Edhie Baskoro Yudhoyono berharap Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dapat menjadi penjaga arah bangsa dalam memastikan kebijakan pembangunan tidak tergantung konstelasi politik.

    “Dalam konteks inilah PPHN diharapkan menjadi penjaga arah, memastikan kebijakan pembangunan tidak tergantung konstelasi politik, namun berakar pada konsensus dasar kebangsaan sekaligus, PPHN menjadi bentuk kedaulatan rakyat yang lebih substantif. Rakyat tidak hanya memilih pemimpin, tapi juga merumuskan arah bangsa dalam bingkai konstitusi,” kata Ibas, sapaan akrabnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.

    Hal itu disampaikan Ibas dalam acara bertajuk “Urgensi PPHN sebagai Pedoman dan Arah Pembangunan Nasional” yang diselenggarakan Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat MPR RI di Ruang Delegasi MPR RI, Nusantara V, Gedung MPR RI, Jakarta, Selasa (19/8).

    “Tanpa arah, bangsa bisa maju tapi tidak menuju apa-apa. Momentum ini sangat penting dalam upaya membangun pemahaman bersama mengenai arah pembangunan bangsa ke depan, melalui penguatan dasar konstitusional yang terlembaga dan berkelanjutan,” katanya.

    Dia menambahkan, “Melalui MPR RI, melalui PPHN, merumuskan arah itu dan itu harus berlaku sepanjang masa, dengan penyesuaian berdasarkan zaman.”

    Ibas juga mengatakan PPHN adalah prinsip-prinsip direktif kebangsaan yang menjadi jembatan antara nilai Pancasila dan UUD 1945 dengan norma hukum positif dan kebijakan publik.

    “Ia bukan sekadar dokumen perencanaan, tapi platform ideologis konstitusional, dan strategis untuk menjamin keberlanjutan pembangunan berdasarkan tujuan berbangsa,” ujarnya.

    Dia mengatakan dua isu utama yang akan menjadi fokus pembahasan, yakni bentuk hukum PPHN dan substansi isi pokok-pokok pikiran pembangunan nasional yang menjadi arah jangka panjang bangsa.

    “Apa pun bentuknya kelak, yang terpenting adalah PPHN hadir sebagai kompas pembangunan nasional yang menjamin keberlanjutan lintas pemerintahan dan rezim politik,” ucapnya.

    Ibas lantas merinci lima fungsi utama PPHN secara umum, yaitu menjadi pedoman kolektif nasional dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa; menjamin keberlanjutan visi dan misi pembangunan yang tidak bergantung pada momen elektoral.

    Kemudian, meningkatkan integrasi pusat dan daerah, memperkuat sistem presidensial yang stabil dan efektif, serta meningkatkan semangat persatuan dalam bingkai NKRI.

    Adapun landasan dihadirkannya PPHN itu meliputi landasan filosofis, PPHN sebagai kompas berdasarkan Pancasila; landasan teoritis, tidak mengganggu sistem presidensial melainkan menguatkan; landasan yuridis, melalui perubahan terbatas UUD Pasal 3; landasan sosiologis dan politik, masyarakat butuh pedoman yang tidak mudah terguncang oleh momen politik.

    Dia pun menegaskan bahwa MPR telah melakukan kajian komprehensif mengenai PPHN, di mana draf PPHN telah rampung dan akan dibahas oleh seluruh Fraksi dan Kelompok DPD di MPR.

    “Kita bukan sekedar membangun jalan, gedung, dan infrastruktur, dan menyusun jejak kebijakan yang abadi lebih lama dari umur politik lima tahunan. Tapi kita membangun arah, membangun rasa kebangsaan, yang mencerdaskan, menginspirasi dan menyatukan di era digital,” jelasnya.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • PPHN: Merancang ulang kompas pembangunan bangsa

    PPHN: Merancang ulang kompas pembangunan bangsa

    Kehadiran PPHN bukan sekadar pilihan, tetapi sebuah keharusan demi kelangsungan visi kebangsaan yang utuh dan kuat

    Jakarta (ANTARA) – Dalam dinamika sistem ketatanegaraan, seringkali terjadi diskontinuitas dalam perencanaan pembangunan nasional.

    Fenomena ini tercermin dari perubahan orientasi program dan prioritas kebijakan yang tidak koheren seiring bergantinya kepemimpinan eksekutif.

    Konsekuensi dari inkoherensi ini adalah suboptimalnya alokasi sumber daya dan ketidakpastian bagi para pemangku kepentingan, yang pada akhirnya menghambat pencapaian tujuan pembangunan.

    Ketiadaan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai dokumen perencanaan pembangunan yang mengikat, sejak amandemen UUD 1945, telah berimplikasi pada hilangnya kerangka strategis nasional.

    Dokumen yang kini berlaku, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), merupakan penjabaran visi-misi presiden terpilih dan memiliki horizon waktu yang terbatas, yaitu lima tahun.

    Meskipun terdapat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), kekuatan hukumnya tidak setingkat TAP MPR seperti GBHN, sehingga keberlanjutan visi pembangunan lintas-periode kepemimpinan menjadi sebuah tantangan struktural.

    Kesenjangan ini menciptakan semacam “kekosongan strategis,” di mana setiap pemerintahan baru merasa memiliki keleluasaan penuh untuk merumuskan ulang peta jalan bangsa dari awal.

    Meskipun Pembukaan UUD 1945 memuat arah fundamental bangsa, rumusan yang bersifat filosofis tersebut memerlukan penjabaran operasional yang spesifik untuk menghadapi kompleksitas tantangan kontemporer, seperti transisi energi dan transformasi digital.

    Kesenjangan antara visi normatif dan implementasi praktis ini menjadi justifikasi utama di balik wacana pengembalian Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

    Urgensi ini semakin diperkuat oleh adanya pergeseran paradigma global yang menuntut respons terkoordinasi dan jangka panjang.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.