Produk: UUD 1945

  • MK Nyatakan Gugatan Rangkap Jabatan Wamen Tidak Dapat Diterima
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 Agustus 2025

    MK Nyatakan Gugatan Rangkap Jabatan Wamen Tidak Dapat Diterima Nasional 28 Agustus 2025

    MK Nyatakan Gugatan Rangkap Jabatan Wamen Tidak Dapat Diterima
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan gugatan perkara 118/PUU-XXIII/2025 terkait Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara Nomor 19 Tahun 2003 dan Undang-Undang Kementerian Negara 39 Tahun 2008 terkait rangkap jabatan wakil menteri tidak dapat diterima.
    “Menyatakan tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno 1 MK, Jakarta Pusat, Kamis (28/8/2025).
    Dalam pertimbangannya, Suhartoyo mengatakan, tidak digunakannya kritik gagasan para pemohon terkait rangkap jabatan oleh pemerintah, tak lantas membuat pemohon merugi secara spesifik dan aktual sebagaimana gugatan yang disampaikan.
    “Karena substansi yang disampaikan dalam tulisannya tidak digunakan oleh pemerintah dalam kebijakan rangkap jabatan wamen, bukan berarti hak konstitusional para pemohon serta merta mengalami kerugian spesifik, aktual, ataupun setidak-tidaknya potensial,” ucap Suhartoyo.
    Karena menurut Mahkamah, karya tulis tersebut tetap diakui, dijamin, dan dilindungi serta diperlakukan sama di hadapan hukum para pemohon dengan pihak lain yang juga memberikan kritik terhadap kebijakan rangkap jabatan wakil menteri.
    Selain itu, alasan kerugian konstitusional yang menyebut adanya efisiensi anggaran di bidang pendidikan dinilai tidak bisa dikualifikasikan sebagai kerugian yang bersifat aktual.
    “Bahkan bukan juga sebagai kerugian yang bersifat potensial. Karena kerugian yang bersifat potensial haruslah dimaknai sebagai kerugian yang berdasarkan penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi atau akan terjadi, bukan hanya sebagai bentuk hak kekhawatiran semata,” ucap Suhartoyo.
    “Terlebih dalam menguraikan kerugian konstitusional, para pemohon tidak dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat atau kausal perban antara anggapan potensi kerugian konstitusional para pemohon dengan berlakunya norma pasal yang dimohonkan pengujiannya,” tandasnya.
    Sebagai informasi, para pemohon perkara ini adalah Ilham Fariduz Zaman (Pemohon I) dan A. Fahrur Rozi (Pemohon II) yang dikenal sebagai aktivis hukum.
    Pemohon menilai Pasal 23 UU Kementerian Negara bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
    Mereka beralasan bahwa meskipun Mahkamah dalam Putusan 80/PUU-XVII/2019 menyatakan menteri dan wakil menteri merupakan satu entitas, namun kenyataan di lapangan menunjukkan tidak adanya implementasi larangan rangkap jabatan terhadap Wakil Menteri secara eksplisit.
    Para Pemohon menekankan perlunya penafsiran hukum yang memperjelas bahwa larangan rangkap jabatan juga berlaku bagi Wakil Menteri.
    Para Pemohon menilai, ketidakhadiran norma eksplisit tersebut memberikan legitimasi terhadap praktik yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan dan merugikan keuangan negara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kementerian ESDM petakan penyebab kelangkaan BBM di SPBU swasta

    Kementerian ESDM petakan penyebab kelangkaan BBM di SPBU swasta

    kalau ada kelangkaan, ya kita harus petakan dulu, ini apa yang menyebabkan kelangkaan tadi

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal memetakan penyebab kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta.

    Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung ditemui usai Peresmian Fase Feed Proyek LNG Abadi di Jakarta, Kamis, menyampaikan SPBU swasta di tanah air sudah mendapatkan alokasi tambahan kuota impor sebanyak 10 persen, dengan demikian pihaknya mengasumsikan kuota tersebut mencukupi permintaan.

    “Berarti ini asumsi kita penambahan ini kan mencukupi,” ujarnya.

    “Jadi, kalau ada kelangkaan, ya kita harus petakan dulu, ini apa yang menyebabkan kelangkaan tadi,” katanya lagi.

    Sementara itu, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Djoko Siswanto turut menegaskan bahwa kuota impor dari SPBU swasta sudah ditambah 10 persen.

    Menurut dia, apabila masih terjadi kekurangan, bisa membeli dari SPBU milik Pertamina terdekat.

    “Yang nonPertamina sudah ditambah 10 persen, apabila masih kekurangan maka bisa belinya ke Pertamina yang terdekat, SPBU terdekat. Yang nonPertamina sudah ditambah 10 persen ya,” ucapnya.

    Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan ingin memperkuat peran Pertamina sebagai badan usaha milik negara bidang migas, di tengah kelangkaan bahan bakar minyak di sejumlah SPBU swasta, yakni Shell dan Vivo.

    Pernyataan Bahlil itu menanggapi kelangkaan BBM terutama di sejumlah SPBU milik dua perusahaan migas swasta tersebut dalam sepekan terakhir.

    “Saya ingin mengatakan bahwa hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Jadi, Pertamina kita yang akan perkuat. Kita perkuat,” kata Bahlil saat memberikan keterangan di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (27/8).

    Bahlil yang baru saja mengadakan pertemuan dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta, itu sebelumnya mengatakan bahwa pihaknya membahas soal Pasal 33 dalam UUD 1945 tentang pemanfaatan sumber daya alam untuk kemakmuran masyarakat.

    Hal itu pun berkaitan dengan peran Pertamina sebagai BUMN yang ditugaskan untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.

    Di sisi lain, Bahlil juga tidak menjelaskan penyebab kelangkaan BBM di SPBU milik Shell dan Vivo.

    Namun, perusahaan migas milik swasta telah mendapatkan tambahan kuota impor hingga 10 persen pada tahun ini.

    “Saya ingin mengatakan bahwa semua perusahaan-perusahaan swasta itu telah mendapatkan kuota impor yang jumlahnya sama dengan 2024 ditambah dengan 10 persen,” kata Bahlil.

    Oleh karena itu, Bahlil ingin memperkuat Pertamina di tengah kelangkaan BBM tersebut.

    Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Respons BBM langka di SPBU swasta, Bahlil perkuat peran Pertamina

    Respons BBM langka di SPBU swasta, Bahlil perkuat peran Pertamina

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menyatakan ingin memperkuat peran Pertamina sebagai badan usaha milik negara bidang migas, di tengah kelangkaan bahan bakar minyak di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta, yakni Shell dan Vivo.

    Pernyataan Bahlil itu menanggapi kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), terutama di sejumlah SPBU milik dua perusahaan migas swasta tersebut dalam sepekan terakhir.

    “Saya ingin mengatakan bahwa hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Jadi, Pertamina kita yang akan perkuat. Kita perkuat,” kata Bahlil saat memberikan keterangan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu.

    Bahlil yang baru saja mengadakan pertemuan dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, itu sebelumnya mengatakan bahwa pihaknya membahas soal Pasal 33 dalam UUD 1945 tentang pemanfaatan sumber daya alam untuk kemakmuran masyarakat.

    Hal itu pun berkaitan dengan peran Pertamina sebagai BUMN yang ditugaskan untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.

    Di sisi lain, Bahlil juga tidak menjelaskan penyebab kelangkaan BBM di SPBU milik Shell dan Vivo. Namun, perusahaan migas milik swasta telah mendapatkan tambahan kuota impor hingga 10 persen pada tahun ini.

    “Saya ingin mengatakan bahwa semua perusahaan-perusahaan swasta itu telah mendapatkan kuota impor yang jumlahnya sama dengan 2024 ditambah dengan 10 persen,” kata Bahlil.

    Oleh karena itu, Bahlil ingin memperkuat Pertamina di tengah kelangkaan BBM tersebut.

    Pewarta: Mentari Dwi Gayati
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Isu Reshuffle Mencuat Usai Noel jadi Tersangka, Bahlil: Itu Hak Prerogatif Presiden

    Isu Reshuffle Mencuat Usai Noel jadi Tersangka, Bahlil: Itu Hak Prerogatif Presiden

    Bisnis.com, JAKARTA —  Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa partainya tidak akan ikut campur dalam urusan reshuffle kabinet yang sepenuhnya merupakan hak prerogatif Presiden Prabowo Subianto.

    Termasuk dalam mengisi kekosongan bangku kabinet setelah Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer atau Noel menjadi tersangka kasus korupsi sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). 

    “Menyangkut reshuffle itu hak prerogatif presiden,” katanya usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto usai bersama jajaran pengurus inti Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (27/8/2025).

    Menurutnya, partai dengan logo pohon beringin itu dinilai sudah dewasa dalam berpolitik sehingga terkait dengan mekanisme akan mendukung penuh keputusan dari Kepala negara.

    “Golkar menyerahkan sepenuhnya ke presiden. Golkar adalah partai yang sudah pengalaman selalu berpikir bahwa konstitusi, mekanisme, dan kewenangan diserahkan sepenuhnya. Untuk Reshuffle mengangkat memberhentikan itu merupakan wewenang presiden,” ujar Bahlil.

    Di sisi lain, menanggapi isu adanya peluang tawaran kursi di Kementerian Haji maupun posisi Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) yang saat ini kosong, Bahlil memastikan hingga kini belum ada pembicaraan resmi antara Presiden dan Golkar.

    “Sampai dengan hari ini belum ada pembicaraan itu,” tegas Bahlil.

    Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Bahlil Lahadalia angkat bicara terkait arah dukungan partai politiknya ke depan.

    Bahlil menegaskan sikap Golkar sudah final sejak Musyawarah Nasional (Munas) partai. Dalam forum tertinggi itu, Golkar telah menetapkan dukungan penuh kepada Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

    “Munas itu forum keputusan tertinggi, telah memutuskan mendukung Bapak Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Mas Gibran. Selama semuanya berjalan baik, tidak ada yang bisa menghalangi kebaikan. Golkar lahir untuk mewujudkan cita-cita proklamasi dan menjalankan Pancasila 1945,” ujarnya.

    Di sisi lain, Bahlil mengaku bahwa diskusi dengan Presiden berjalan konstruktif dengan lebih berfokus, terutama terkait implementasi Pasal 33 UUD 1945 mengenai pengelolaan sumber daya alam, program penyediaan makanan bergizi, penguatan Koperasi Merah Putih, hingga gagasan sekolah rakyat.

    “Kami berdiskusi sangat produktif, bukan hanya soal kondisi saat ini, tetapi juga mengenai bagaimana koalisi ke depan bisa lebih baik dan produktif. Semua dalam rangka mewujudkan program-program Bapak Presiden dalam asta cita,” pungkas Bahlil.

  • DPR di Ujung Teriakan Rakyat
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Agustus 2025

    DPR di Ujung Teriakan Rakyat Nasional 27 Agustus 2025

    DPR di Ujung Teriakan Rakyat
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    ADA
    gema yang lahir dari jalanan, dari ruang digital yang riuh, dari suara rakyat yang tak lagi sabar menunggu janji: “Bubarkan DPR.”
    Teriakan itu, seperti gaung dalam gua yang lembap, berulang dan berulang. Ia tak datang dari satu titik, tetapi dari rasa frustrasi yang meluas: gaji fantastis, tunjangan rumah, perjalanan dinas, gestur yang tampak meremehkan, hingga joget di ruang sidang yang mestinya sakral.
    Namun, apakah teriakan itu sungguh ditujukan untuk menutup pintu DPR, atau hanya jeritan kolektif yang ingin didengar? Di sanalah paradoksnya: rakyat bersuara, tetapi konstitusi menjawab dengan dingin—tidak bisa.
    Pasal 7C UUD 1945 tegas: Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR. Sebuah norma yang lahir dari luka sejarah, dari trauma ketika Soekarno dengan satu penetapan menyingkirkan parlemen hasil Pemilu 1955, menggantinya dengan DPR Gotong Royong.
    Sebuah luka ketika Abdurrahman Wahid mencoba mengulanginya, hanya untuk berakhir dengan kejatuhan dirinya.
    Teriakan itu, dengan demikian, bukanlah instruksi. Ia adalah tanda. Sebuah alarm bahwa legitimasi sedang retak.
    Kita pernah hidup dalam sejarah ketika lembaga yang bernama DPR bisa dihentikan dengan selembar kertas.
    Pada 5 Maret 1960, Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 3/1960. DPR dibubarkan. Alasan formalnya sederhana: penolakan RAPBN. Alasan politisnya lebih dalam: DPR dianggap tak revolusioner, tak sejalan dengan visi Demokrasi Terpimpin.
    Sejak itu, kita hidup dengan DPR Gotong Royong, lembaga tanpa akar elektoral, sekadar cermin kehendak presiden. Rakyat kehilangan rumah bagi aspirasinya.
    Empat dekade kemudian, 23 Juli 2001, sejarah hampir berulang. Abdurrahman Wahid, dengan Maklumat Presiden, membekukan DPR dan MPR.
    Namun kali ini, konstitusi dan politik tak berpihak. Militer menolak, rakyat terpecah, Mahkamah Agung menegaskan langkah itu tak sah. Gus Dur jatuh.
    Sejarah itu mengajarkan: pembubaran DPR bukan jalan. Ia hanya melahirkan krisis yang lebih dalam.
    Meski begitu, sulit menyangkal: ada jurang yang menganga antara DPR dan rakyat. Lembaga yang disebut “wakil rakyat” itu sering kali tak berwajah rakyat. Ia berwajah partai, fraksi, kepentingan dagang, bahkan transaksi.
    Narasi “bubarkan DPR” lahir dari nurani yang terluka. Dari rakyat yang melihat parlemen lebih sibuk dengan tunjangan ketimbang pengawasan.
    Dari buruh yang menunggu perlindungan, tetapi yang tiba adalah revisi undang-undang yang menguntungkan pemodal. Dari petani yang menjerit karena lahan diserobot, tetapi suara mereka hilang di ruang rapat.
    Nurani itulah yang memaksa publik bersuara. Meski mereka tahu, secara hukum, DPR tak bisa dibubarkan.
    Hukum berdiri seperti pagar. Ia dingin, rasional, sering kali terasa kaku. Pasal 7C UUD 1945 adalah pagar itu. Tidak ada pintu di sana. Tidak ada ruang tafsir untuk keadaan darurat sekalipun.
    Sistem presidensial memang dibangun agar tak ada pihak yang bisa membubarkan pihak lain. DPR hanya bisa berakhir dengan pemilu. Presiden hanya bisa jatuh dengan pemakzulan.
    Asimetri yang disengaja: eksekutif tak bisa mematikan legislatif, legislatif hanya bisa menjatuhkan eksekutif dengan mekanisme yang panjang.
    Seruan “bubarkan DPR” karenanya hanya gema politik. Ia tak akan menemukan jalannya dalam undang-undang, kecuali melalui amandemen UUD.
    Dan itu pun, sebuah jalan yang hampir mustahil: DPR dan DPD harus menyetujui, MPR harus mengesahkan. Artinya, mereka yang dituntut bubar justru memegang kunci.
    Di sinilah politik bekerja. Seruan “bubarkan DPR” bisa jadi lebih berguna sebagai simbol ketidakpuasan ketimbang agenda nyata.
    Ia jadi bahan bakar bagi oposisi, jadi komoditas di media sosial, jadi amunisi bagi kelompok yang ingin mengganggu status quo.
    Politik selalu pandai menunggangi suara rakyat. Teriakan yang lahir dari nurani bisa dibelokkan jadi alat tawar. Bisa dijadikan ancaman, bisa jadi alat legitimasi.
    Namun, politik juga bisa memaknai ulang suara itu. Jika DPR bijak, maka seruan itu seharusnya dilihat sebagai alarm, bukan ancaman. Alarm yang menandakan jarak yang kian jauh antara rakyat dan wakilnya.
    Rakyatlah yang pada akhirnya akan memutuskan. Tidak dengan dekrit, tidak dengan penetapan presiden, tidak dengan maklumat. Tetapi dengan selembar kertas bernama surat suara.
    Narasi “bubarkan DPR” mungkin tak akan pernah mewujud dalam hukum. Namun, ia bisa terwujud dalam pilihan rakyat di pemilu. Dengan cara itu, rakyat bisa “membubarkan” wajah lama DPR, menggantinya dengan wajah baru.
    Namun, pertanyaannya: apakah rakyat percaya pada mekanisme itu? Atau apakah demokrasi kita terlalu tersandera oleh partai politik, sehingga pilihan rakyat sekadar memilih nama-nama yang telah disiapkan oligarki?
    Di situlah letak tragedinya. Rakyat ingin perubahan, tetapi saluran formalnya dibatasi. Teriakan pun menggema, mencari jalan lain.
    “Bubarkan DPR” mungkin bukan instruksi yang realistis. Ia adalah metafora, cara rakyat mengekspresikan kehilangan kepercayaan. Sebuah tanda bahwa lembaga yang mestinya menyalurkan aspirasi justru terasa asing, bahkan menindas.
    Konstitusi sudah menutup pintu pembubaran. Sejarah sudah memperingatkan risikonya. Hukum sudah menegaskan ketidakmungkinannya, tetapi nurani rakyat tetap bersuara.
    Mungkin, yang perlu dibubarkan bukanlah DPR sebagai lembaga. Melainkan cara DPR bekerja. Cara ia mewakili. Cara ia hidup dari uang rakyat.
    Dan mungkin, pada akhirnya, yang benar-benar ingin dibubarkan rakyat adalah jurang yang memisahkan mereka dari wakil yang mengaku mewakili.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mengevaluasi Beban Anggaran Tunjangan DPR
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 Agustus 2025

    Mengevaluasi Beban Anggaran Tunjangan DPR Nasional 26 Agustus 2025

    Mengevaluasi Beban Anggaran Tunjangan DPR
    Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
    UNJUK
    rasa yang digelar pada 25 Agustus 2025, di depan Gedung DPR-MPR RI Jakarta, bukan sekadar momen protes biasa.
    Aksi massa yang menolak pemberian tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan kepada anggota DPR mencerminkan krisis kepercayaan terhadap lembaga legislatif.
    Bukannya membuka ruang dialog, aparat justru bertindak represif dengan membubarkan massa menggunakan
    water cannon
    , gas air mata, dan pentungan, padahal aksi belum melewati batas waktu yang diatur undang-undang.
    Kejadian ini menegaskan kenyataan pahit bahwa “rumah rakyat” kini semakin tertutup, secara harfiah dan simbolik, bagi suara rakyat.
    Penolakan atas tunjangan tersebut berakar pada ketimpangan ekonomi dan sosial yang semakin mencolok.
    Berdasarkan data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), total penghasilan anggota DPR bisa mencapai Rp 230 juta per bulan, sebelum penambahan tunjangan perumahan (
    Kompas.id
    , 25/08/2025).
    Jumlah ini setara 42 kali upah minimum di Jakarta, dan lebih dari 100 kali lipat UMR terendah di Indonesia, yakni Banjarnegara.
    Di tengah tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat luas, penghasilan sebesar itu dianggap tidak adil, bahkan provokatif.
    Yang juga menjadi sorotan adalah fisik dan tata ruang kompleks DPR-MPR RI yang kini dibentengi pagar tinggi dan barikade kokoh. Pagar yang menjulang itu secara nyata memisahkan wakil rakyat dari rakyatnya.
    Tidak hanya simbol keterpisahan, tetapi menjadi bukti nyata bahwa DPR kini lebih sibuk melindungi kenyamanannya ketimbang menyerap aspirasi konstituennya.
    Massa pun hanya bisa menyuarakan keluhannya di jalanan, menyebabkan kemacetan, frustrasi sosial, dan konfrontasi dengan aparat.
    Fenomena ini harus dilihat dalam konteks demokrasi modern. Dalam bukunya
    On Democracy
    , Robert A. Dahl (1998) mengatakan bahwa demokrasi menuntut terbukanya ruang partisipasi dan komunikasi antara rakyat dan wakilnya.
    Jika ruang itu ditutup (secara fisik maupun politik), maka negara kehilangan ciri utamanya sebagai negara demokratis.
    Senada dengan Dahl, Peter Mair (2013) dalam
    Ruling the Void: The Hollowing of Western Democracy
    menyebutkan bahwa semakin jauhnya elite politik dari rakyat menciptakan krisis legitimasi.
    Ketika suara rakyat tidak lagi dianggap penting, maka sistem perwakilan kehilangan dasar moral dan politiknya. Situasi semacam ini membuka jalan pada apatisme, radikalisme, dan gerakan tandingan yang justru mengancam stabilitas negara.
    Di Indonesia, kekhawatiran semacam itu sudah mulai terasa. Massa aksi di depan DPR pada 25 Agustus, tidak hanya menuntut pembatalan tunjangan, tetapi juga meneriakkan yel-yel pembubaran DPR.
    Ini bukan sekadar bentuk kekecewaan, melainkan gejala ketidakpercayaan sistemik terhadap parlemen. Apalagi, seperti diakui salah satu peserta aksi kepada
    Kompas.id
    , para pengunjuk rasa berasal dari berbagai lapisan masyarakat mulai dari mahasiswa, pelajar, pekerja informal, hingga pedagang kaki lima.
    Ini menandakan bahwa protes tersebut bukan digerakkan oleh elite oposisi, tetapi merupakan ekspresi organik dari rakyat biasa (
    Kompas.id
    , 25/08/2025).
    Sayangnya, alih-alih mendengar suara tersebut, negara merespons dengan kekuatan represif. Tindakan membubarkan massa sebelum waktunya, tanpa eskalasi kekerasan yang memadai, mencederai prinsip hak asasi warga negara yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
    Bahkan, Menteri Koordinator Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengakui bahwa menyuarakan aspirasi, termasuk usulan pembubaran DPR, sah saja dilakukan dalam demokrasi, selama dilakukan secara tertib dan damai (
    Kompas.id
    , 25/08/2025).
    Perlu dicatat bahwa tidak ada institusi demokratis yang sakral atau kebal dari kritik, termasuk DPR. Ketika lembaga legislatif justru menjadi beban anggaran dan gagal menunjukkan kepekaan terhadap kesulitan ekonomi rakyat, maka seruan pembubaran bukan sekadar agitasi, tapi peringatan keras.
    Demokrasi menuntut adanya kontrak sosial yang adil. Jika wakil rakyat hanya fokus pada kenyamanan pribadi, maka legitimasi moralnya sebagai “representasi rakyat” patut dipertanyakan.
    Argumen pembelaan yang kerap disampaikan anggota DPR bahwa pendapatan tinggi dibutuhkan untuk operasional di daerah pemilihan, masih belum ditunjang oleh transparansi data.
    Aria Bima, anggota DPR dari PDIP, misalnya, menyebut dana dibutuhkan untuk ambulans, mobil tangki air, dan sanggar tari (
    Kompas.id
    , 25/08/2025).
    Namun sejauh ini, belum ada laporan resmi terbuka yang bisa diaudit publik mengenai alokasi dana tersebut. Tanpa akuntabilitas, argumen semacam itu hanya memperdalam kecurigaan masyarakat.
    Demokrasi sejatinya dibangun atas dasar kepercayaan dan partisipasi. Jika wakil rakyat gagal mendengarkan suara konstituennya, dan negara terus meminggirkan hak menyatakan pendapat dengan cara represif, maka krisis demokrasi akan menjadi keniscayaan.
    Demokrasi yang sehat bukan hanya tentang pemilu setiap lima tahun, tetapi juga jaminan bahwa setiap warga negara bisa didengar, tanpa harus berhadapan dengan gas air mata dan pentungan aparat.
    DPR dan pemerintah perlu segera merespons sinyal darurat ini. Pertama, dengan mengevaluasi kembali seluruh bentuk tunjangan yang tidak rasional dan tidak selaras dengan kondisi ekonomi nasional.
    Kedua, membuka kembali akses fisik dan simbolik ke lembaga parlemen agar rakyat merasa memiliki tempat menyampaikan aspirasi.
    Ketiga, menginstruksikan aparat keamanan untuk mengedepankan pendekatan persuasif dan menjamin hak konstitusional rakyat.
    Jika tidak, maka kita sedang menyaksikan proses “penghampaan” demokrasi, sebuah sistem yang hanya tersisa bentuknya, tetapi kosong dari semangat partisipasi dan keadilan sosial.
    Maka, pagar tinggi di DPR bukan sekadar beton dan besi. Ia adalah metafora ketertutupan, jarak, dan kegagalan sistem yang mestinya mewakili dan melayani rakyat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Adilnomic Presiden Berantas Serakahnomic di 5 Sektor Darurat

    Adilnomic Presiden Berantas Serakahnomic di 5 Sektor Darurat

    Selain itu, BPK pada tahun 2022 menyoroti lemahnya penertiban IUP yang telah dicabut, sehingga masih banyak perusahaan melakukan aktivitas ilegal dan tidak membayar jaminan pascatambang.

    Solusi yang perlu dilakukan:

    Cabut semua izin tambang yang terindikasi KKN atau merugikan negara, sesuai dengan semangat UU Nomor 2 Tahun 2025 tentang pertambangan minerba. Tinjau ulang seluruh peraturan untuk memastikan royalti dan pajak yang dibayarkan perusahaan benar-benar maksimal bagi kas negara sesuai PP Nomor 53 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau PNPB di Bidang Usaha Pertambangan.

    Nasionalisasi Aset Strategis, tinjau kemungkinan untuk mengambil alih kembali perusahaan-perusahaan tambang yang terbukti melanggar hukum, sesuai Pasal 33 UUD 1945.

    Transparansi Perizinan, buat sistem perizinan tambang yang terintegrasi dan bisa diakses publik sesuai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

    Berikan hukuman terberat dan sita aset bagi pejabat dan pengusaha yang menjual kekayaan alam negara untuk kepentingan pribadi, berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang terkait dengan perusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan.

    Pertanian dan Perkebunan

    Di sektor ini, Serakahnomic bersembunyi di balik kebijakan impor pangan yang tidak transparan dan praktik monopoli lahan. BPS mencatat impor beras tahun 2023 mencapai 3,06 juta ton, naik drastis hingga 613,61% dibandingkan tahun 2022 yang sekitar 429.210 ton, menjadikan impor beras pada 2023 sebagai yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Lonjakan impor ini, di tengah klaim swasembada, memunculkan kecurigaan adanya permainan mafia yang menciptakan kelangkaan buatan.

    Praktik ini merugikan petani dan rakyat secara langsung, sebagaimana tercermin dari Nilai Tukar Petani (NTP) BPS, pada Juli 2024 tercatat hanya 119,61. Angka ini menegaskan bahwa petani masih menghadapi tekanan akibat kenaikan biaya produksi.

    LHP BPK Semester I Tahun 2024 mengonfirmasi ketidakberesan dalam penyaluran subsidi. Pada 10 BUMN BPK menemukan bahwa dalam pengelolaan subsidi terdapat ketidaksesuaian dengan peraturan-perundang-undangan sebesar Rp461,63 miliar. Koreksi tersebut diantaranya juga berasal dari subsidi pupuk sebesar Rp338,52 miliar.

    Di sektor perkebunan, Serakahnomic melakukan praktik ekonomi serakah yang merusak sektor perkebunan. Fenomena ini menyebabkan ketidakadilan terhadap masyarakat, terutama petani kecil, perusakan lingkungan, dan kerugian negara.

    Data BPK pada 2019, audit menemukan 2,7 juta hektare kebun sawit ilegal di kawasan hutan. Kemudian BPS pada 2023 menunjukan 72,19 persen petani di Indonesia merupakan petani skala kecil dengan rata-rata pendapatan bersih sebesar Rp 5,23 juta dalam setahun.

  • Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 Agustus 2025

    Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti Nasional 26 Agustus 2025

    Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti
    Analis Hukum dan Politik dari Gajah Mada Analitika

    Constitution is a flexible and pragmatic charter, not a fixed and immutable artifact
    ” – Farah Peterson (2020).
    PETERSON
    tepat, perubahan konstitusi memang suatu keniscayaan sebab ia bukan artefak yang tetap.
    Sehubungan itu, publik kembali dikejutkan oleh operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat Immanuel “Noel” Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan.
    Tak lama setelah ditetapkan sebagai tersangka, ia menyampaikan permintaan maaf sekaligus harapan agar Presiden Prabowo Subianto memberinya amnesti.
    Seturutnya, dalam Seminar Konstitusi bertema Dialektika Konstitusi yang diselenggarakan MPR, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul selaku salah satu narasumber turut menyinggung ihwal abolisi dan amnesti sebagai ‘terobosan’ yang menyiratkan adanya peran “Korea” di baliknya.
    Ada relasi implisit yang terhubung antara harapan Amnesti Noel, “Korea”, dan amandemen konstitusi.
    Sebetulnya, harapan Noel bukan tanpa alasan. Publik tentu mengingat, beberapa waktu sebelumnya, Presiden Prabowo telah memberikan pengampunan berupa abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Dua figur politik yang bukan loyalis pemerintahan saat ini.
    Ucapan Noel jelas sarat makna. Baginya, jika pihak yang berada di luar lingkaran politik presiden saja bisa mendapat pengampunan, maka sebagai loyalis tentu tidak mustahil ia berharap mendapat perlakuan serupa.
    Namun, harapan itu justru memunculkan problem tidak sederhana: apakah kewenangan konstitusional presiden memberi abolisi dan amnesti memang sepenuhnya dapat digunakan atas dasar pertimbangan politik, nir-indikator hukum yang jelas?
    Hal demikian menjadi relevan di tengah wacana keinginan MPR untuk melakukan amandemen konstitusi seperti terefleksi dalam kegiatan Seminar Konstitusi yang diselenggarakan oleh MPR di Gedung Nusantara V belum lama ini (21/8/2025).
    Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Rumusannya sederhana, bahkan minim kriteria substantif.
    Di sinilah ruang tafsir menjadi terbuka. Padahal, dalam teori konstitusi, setiap teks konstitusi adalah janji yang harus ditafsirkan dalam bingkai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Alexander Bickel, 1986).
    Jimly Asshiddiqie (2005) menekankan, konstitusi tidak boleh dipahami semata sebagai teks normatif, melainkan sebagai
    living constitution
    yang senantiasa ditafsirkan sesuai semangat zaman.
    Maka, pemberian pengampunan oleh presiden semestinya ditafsirkan bukan hanya sebagai hak prerogatif politik, melainkan sebagai kewenangan konstitusional yang terikat pada prinsip keadilan publik.
    Dari perspektif teori penafsiran konstitusi, memang ada ruang elastis untuk memberikan makna baru atas pasal-pasal UUD 1945.
    Tidak heran bila Alexander Bickel dalam uraiannya yang lain menyebut: konstitusi selalu lebih besar daripada teksnya, sebab nilainya hidup dalam tafsir.
    Dalam episentrum itu, maka butuh tafsir yang sehat guna melahirkan praktik ketatanegaraan yang adil. Namun sebaliknya, tafsir yang politis berpotensi menggerus legitimasi demokrasi konstitusional.
    Di titik inilah pernyataan Bambang Pacul dalam forum Seminar Konstitusi menjadi relevan. Ia menyatakan bahwa kebijakan pengampunan Prabowo terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tak lepas dari peran “Korea” di balik hak prerogatif presiden itu.
    Istilah “korea” merupakan metafora yang menggambarkan mereka yang selalu melompat lebih maju dibanding orang lain, berusaha keras menaikkan derajat sosial melalui kerja keras, bukan jalan pintas.
    Dalam tafsir simbolik ini, seorang “Korea” sebetulnya menyiratkan kita pada konsep negarawan: sosok yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Boleh jadi, ia justru menjadi salah satu ciri dari kenegarawanan itu sendiri.
    Dalam kaitan itu, kasus korupsi yang menjerat Noel sesungguhnya menunjukkan kebalikan dari semangat kenegarawanan dalam konstitusi. Sebagai pejabat negara, dengan segala fasilitas dan kepercayaan publik, korupsi sama sekali tidak bisa dibenarkan.
    Lompatan status sosial, sebagaimana menjadi ciri “Korea” yang acapkali digaungkan Bambang Pacul, yang mestinya dicapai melalui kerja keras dan integritas, malah ditempuh dengan jalan tikus bernama korupsi. Makna “korea” dalam kasus Noel pun mengalami degradasi.
    Jika konsep “Korea” hendak dijadikan pijakan, maka perubahan konstitusi yang kini didiskusikan semestinya mengarah pada perumusan syarat negarawan bagi jabatan-jabatan publik.
    Ini menjadi momen mengonstruksi makna “korea” sejati: seorang negarawan yang menjauhi korupsi.
    Selama ini, hanya hakim Mahkamah Konstitusi yang secara eksplisit dipersyaratkan sebagai negarawan (Pasal 24C ayat 5). Jabatan menteri dan wakil menteri pun luput dari syarat kenegarawanan.
    Di sisi lain, amat mungkin aspek kenegarawanan dijadikan sebagai salah satu indikator konstitusional bagi presiden dalam memberikan pengampunan melalui abolisi dan amnesti.
    Dengan begitu, jabatan publik akan diisi oleh orang-orang yang menghayati integritas, bukan sekadar mencari celah untuk memperkaya diri. Pun demikian, amnesti yang diberikan dapat benar-benar mengarah hanya kepada mereka yang memang pantas untuk mendapatkannya.
    Kasus pengampunan yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong telah menunjukkan pro dan kontra.
    Di satu sisi, ia dipuji sebagai langkah berani presiden untuk menutup polemik hukum yang berbau politik. Di sisi lain, publik khawatir amnesti dan abolisi bisa menjadi instrumen politisasi hukum.
    Pada titik inilah gagasan amandemen konstitusi relevan dilakukan: merumuskan kriteria obyektif agar pengampunan tidak semata-mata bergantung pada selera politik.
    Manakala mereka “para Korea” mengalami kriminalisasi berbau politik kuasa, maka jalan pengampunan melalui amnesti atau abolisi dengan indikator konstitusional yang jelas terbuka lebar.
    Amnesti dalam makna “Korea”—memang bisa saja dimaknai bahwa pengampunan itu sebagai terobosan politik. Namun, dalam optik kenegarawanan, “Korea” boleh dimaknai dalam konteks bahwa seorang negarawan adalah mereka yang menjauhi segala tindakan koruptif.
    Kerja keras, berfikir “out of the box”, dan konsistensi untuk melakukan lompatan bukan berarti harus melanggar konstitusi, termasuk korupsi.
    Seorang “Korea sejati” akan memaknainya sebagai instrumen keadilan restoratif yang mengembalikan marwah hukum.
    Jika syarat negarawan ini diperluas dalam konstitusi, maka pemberian pengampunan pun akan lebih legitimate dan terjaga dari manipulasi politik.
    Kasus Noel seharusnya menjadi pelajaran kolektif. Sebagai wakil menteri, ia sudah menapaki tangga sosial tertinggi yang mestinya tidak lagi memerlukan korupsi. Namun, jalan pintas tetap dipilih dan kini ia justru berharap presiden mau menurunkan “tali pengampunan.”
    Di sinilah publik melihat kontras tajam antara mereka yang “Korea sejati” dengan yang bukan. Tak ayal, ini momentum untuk memaknai kembali apa sebetulnya “korea” dalam optik ketatanegaraan dan kenegarawanan.
    Momentum Seminar Konstitusi oleh MPR baru-baru ini yang membicarakan amandemen UUD 1945 tidak boleh berhenti pada wacana.
    Ia mesti menjadi kesempatan berharga untuk menyempurnakan aturan tentang abolisi dan amnesti, memperluas syarat kenegarawanan, dan memperkuat integritas jabatan publik.
    Dengan begitu, konstitusi benar-benar hadir sebagai benteng yang melindungi rakyat dari politisasi hukum. Sekaligus, mencegah lahirnya pejabat “setengah Korea” yang mudah tergelincir dalam korupsi.
    Karena itu, pertanyaan paling menggugah hari ini bukanlah apakah Noel akan mendapat amnesti, melainkan: apakah bangsa ini berani memastikan hanya “Korea” sejati—negarawan yang berintegritas—yang layak duduk di kursi kekuasaan?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anas Urbaningrum Respons Desakan Bubarkan DPR: Sangat Kuat

    Anas Urbaningrum Respons Desakan Bubarkan DPR: Sangat Kuat

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara Anas Urbaningrum menegaskan posisi DPR RI sangat kuat karena dijamin konstitusi. Hal ini untuk menanggapi adanya dorongan di media sosial membubarkan DPR.

    Anas membuka tulisannya di media sosial dengan sebuah dialog.

    Ada dialog begini :
    A : Bubarkan DPR!
    B : Itu paling tolol sedunia.

    “Apakah DPR bisa dibubarkan? Bahkan Presiden pun tidak berwenang membubarkan DPR. Posisi DPR dijamin oleh Konstitusi, sangat kuat,” kata Anas di akun X pribadinya, dikutip pada Senin (25/8/2025).

    Tetapi keadaan khusus bisa “membubarkan” DPR. Peristiwa reformasi 1998 memaksa DPR hasil pemilu 1997, yakni DPR periode 1998-2003 harus bubar di tengah jalan.

    Masa tugasnya dipotong oleh sejarah politik baru, yakni penyelenggaraan pemilu 1999. Masa berkantornya di Senayan tidak sampai 2 tahun dan digantikan periode baru 1999-2004.

    Jauh sebelum itu, Presiden Soekarno pernah membubarkan Konstituante, Dewan Pembentuk UUD.

    Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah tindakan politik Soekarno di luar norma Konstitusi yang diambil dengan alasan untuk menyelamatkan Republik.

    Konstituante yang gagal (belum berhasil) menyelesaikan mandatnya, dianggap ruwet dan bertele-tele, justru dinilai bisa membawa Indonesia ke jurang krisis politik dan Konstitusi. Presiden Soekarno ambil langkah politik “luar biasa” untuk menegaskan kembali kepada UUD 1945.

    “Kedua hal tsb adalah sekadar contoh ringkas dalam sejarah politik kita,” tuturnya.

    Lantas bagaimana cara terbaik agar DPR tidak dibubarkan?

  • Zulhas nilai Prabowo satu-satunya Presiden yang terapkan Pasal 33 UUD

    Zulhas nilai Prabowo satu-satunya Presiden yang terapkan Pasal 33 UUD

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan menilai Presiden Prabowo Subianto merupakan satu-satunya Presiden RI yang berani menerapkan prinsip Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengedepankan ekonomi gotong royong dan pemerataan.

    Pria yang akrab disapa Zulhas itu mengatakan bahwa hal itu merupakan prinsip yang selama ini diperjuangkan oleh PAN dan Presiden Prabowo merupakan sosok yang ditunggu-tunggu.

    “Presiden Pak Prabowo Subianto, satu-satunya Presiden yang berani menerapkan Pasal 33, pemberdayaan, pemerataan, gotong royong, ekonomi Pancasila,” kata Zulhas saat berpidato pada PAN Awards, rangkaian HUT Ke-27 PAN, di Senayan Park, Jakarta, Minggu.

    Dia mengatakan semangat ekonomi Pancasila yang dijalankan Presiden Prabowo harus terus didukung agar mampu menghadirkan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Pasal 33 UUD 1945 merupakan landasan perekonomian Indonesia yang menekankan prinsip demokrasi ekonomi dengan asas kekeluargaan dan gotong royong.

    Sebagai Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulhas juga mendorong agar Presiden menetapkan standar harga gabah dengan terbitnya keputusan presiden.

    Hal itu menjadi bukti pemerintah berpihak kepada rakyat karena selama ini pengusaha-pengusaha besar banyak yang ikut berbisnis di wilayah yang seharusnya didominasi oleh rakyat.

    Menurut dia, dana bantuan sosial penting, tetapi yang paling penting adalah pemberdayaan rakyat.

    “Saudara-saudara sekalian, itulah perjuangan kita, yang sudah kita tunggu 15 tahun lamanya. Kita kalah terus sama Pak Prabowo, betul nggak?” katanya.

    Di sisi lain, dia pun menyoroti persoalan distribusi pupuk di Indonesia yang dinilai terlalu rumit. Dia menyebut, banyak aturan yang justru membuat pupuk sulit sampai ke tangan petani tepat waktu.

    “Pupuk semua mau ikut cawe-cawe, 148 aturan mengatur soal pupuk, maklum demokrasi mahal katanya,” katanya.

    Zulhas menambahkan proses distribusi pupuk sangat berbelit hingga membutuhkan ratusan tanda tangan sebelum pupuk diterima petani.

    Dia pun mengaku telah melaporkan masalah tersebut kepada Presiden Prabowo Subianto.

    Menurut dia, Presiden Prabowo langsung merespons dengan langkah konkret untuk memangkas birokrasi.

    “Jadi, ada 500 tanda tangan baru pupuk sampai ke tangan petani, bayangin saudara-saudara, itu pupuk sampai ke petani kalau sudah panen,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.