Produk: UUD 1945

  • Anggota DPR RI Thoriq Majjidanor Sosialisasikan UUD 1945 di Gresik

    Anggota DPR RI Thoriq Majjidanor Sosialisasikan UUD 1945 di Gresik

    Gresik (beritajatim.com) – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) asal Kabupaten Gresik, Thoriq Majjidanor, mengajak masyarakat untuk lebih memahami Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 melalui kegiatan sosialisasi empat pilar MPR RI bersama komunitas warga dan relawan di Kecamatan Kebomas.

    Anggota Komisi XI DPR RI yang akrab disapa Jiddan ini menekankan bahwa UUD 1945 bukan sekadar dokumen hukum, melainkan fondasi utama demokrasi Indonesia yang mengatur hak dan kewajiban warga negara, serta menjamin prinsip keadilan sosial.

    “Pemahaman masyarakat terhadap konstitusi sangat penting dalam menjaga kualitas demokrasi. Para relawan, anggota organisasi masyarakat, dan pegiat komunitas adalah cerminan demokrasi yang hidup. Namun, seluruh pergerakan harus tetap berada di bawah payung konstitusi UUD 1945,” ujar Jiddan, Minggu (14/12/2025).

    Putra mantan Bupati Gresik Sambari Halim Radianto itu menjelaskan bahwa UUD 1945 menjamin hak berpendapat, berserikat, dan berkumpul selama tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Dengan memahami empat pilar kebangsaan, masyarakat diharapkan mampu menyampaikan aspirasi secara bijak dan bertanggung jawab.

    “Dengan pemahaman konstitusi yang baik, setiap komunitas dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan demokrasi tanpa melanggar aturan,” katanya.

    Menurutnya, peran organisasi masyarakat, komunitas hobi, dan relawan saat ini semakin strategis dalam membangun ruang publik yang sehat. Mereka dapat menjadi sarana edukasi, solidaritas, sekaligus pembentuk opini positif di tengah masyarakat.

    “Komunitas dan relawan adalah kekuatan sosial di akar rumput yang mampu memperkuat demokrasi. Jika dibekali pemahaman konstitusi, dinamika masyarakat akan berjalan lebih tertib, adil, dan saling menghormati,” paparnya.

    Kegiatan sosialisasi empat pilar tersebut mendapat respons positif dari peserta. Sejumlah warga memanfaatkan momentum itu untuk berdiskusi dan bertanya langsung mengenai penerapan nilai-nilai UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari.

    “Kegiatan ini sangat bermanfaat. Sebagai masyarakat awam, kami jadi lebih paham pentingnya partisipasi warga dalam membangun demokrasi dan mewujudkan keadilan sosial secara efektif dan terarah,” ujar Iwan, salah satu warga Kecamatan Kebomas. [dny/but]

  • Anggota DPR Nilai Peraturan Kapolri Perjelas Batas Polisi Aktif Menjabat di 17 Lembaga

    Anggota DPR Nilai Peraturan Kapolri Perjelas Batas Polisi Aktif Menjabat di 17 Lembaga

    Anggota DPR Nilai Peraturan Kapolri Perjelas Batas Polisi Aktif Menjabat di 17 Lembaga
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi III DPR Fraksi Nasdem Rudianto Lallo mengatakan, dengan adanya Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025, batasan kementerian/lembaga yang bisa dijabat oleh polisi aktif menjadi jelas.
    Sebab, dalam aturan baru tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membolehkan polisi aktif menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga.
    “Jika sebelum lahirnya Perkap (Peraturan Kapolri) ini, ketidakjelasan batasan dan cakupan kementerian dan/atau lembaga apa saja yang dapat diemban melahirkan
    confusing of norm
    atau
    vague norm
    , dengan Perkap baru ini menjadi jelas dan terang batasan kementerian atau lembaga mana yang relevan dengan tugas dan fungsi kepolisian sebagaimana amanah Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945,” ujar Rudianto kepada Kompas.com, Minggu (14/12/2025).
    “Sekaligus melahirkan
    kepastian hukum
    dan konstitusi bagi peran anggota kepolisian di luar institusi kepolisian,” sambungnya.
    Rudianto menyampaikan, secara konstitusionalisme,
    policy rules
    terbaru yang dikeluarkan oleh Kapolri memperhatikan prinsip dan kaidah konstitusi.
    Menurutnya, hal ini dapat dilihat dari spirit dan filosofi hukum dari Perkap tersebut, yang melahirkan sekaligus memberikan kepastian hukum terkait batasan dan cakupan kelembagaan apa saja yang dapat diemban oleh polisi di luar Polri.
    “Sebab, salah satu Ratio Decidendi atau argumentasi hukum MK membatalkan ketentuan frasa Pasal 28 Ayat (3) UU Polri, karena tidak adanya kepastian hukum dan kejelasan rumusan yang dimaksud. Dengan hadirnya Perkap ini sebagai bentuk penerjemahan spirit dan mandat substansi putusan MK tersebut agar hadir jaminan dan kepastian hukum,” imbuhnya.
    Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken
    Peraturan Polri
    Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Beleid ini mengatur bahwa polisi aktif dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga sipil di luar institusi Polri.
    “Pelaksanaan Tugas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Pelaksanaan Tugas Anggota Polri adalah penugasan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri yang dengan melepaskan jabatan di lingkungan Polri,” demikian bunyi Pasal 1 Ayat (1) peraturan tersebut.
    Kemudian, Pasal 2 mengatur bahwa anggota Polri dapat melaksanakan tugas di dalam maupun luar negeri.
    Selanjutnya, pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan, pelaksanaan tugas anggota Polri pada jabatan di dalam negeri dapat dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi dan organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
    Daftar kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh anggota Polri itu diatur dalam Pasal 3 Ayat (2), yakni Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Penggugat UU Polri: Maunya Rakyat Sederhana, Polisi Kerja Sesuai Undang-Undang Dasar…

    Penggugat UU Polri: Maunya Rakyat Sederhana, Polisi Kerja Sesuai Undang-Undang Dasar…

    Penggugat UU Polri: Maunya Rakyat Sederhana, Polisi Kerja Sesuai Undang-Undang Dasar…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Advokat Syamsul Jahidin yang pernah menggugat UU Polri ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan, keinginan masyarakat terhadap Polri sebenarnya sederhana.
    Hal ini disampaikan Syamsul menanggapi langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang baru meneken Peraturan
    Polri
    Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    “Rakyat itu sebenarnya sederhana, Anda (Polri) bertugas sesuai undang-undang dasar,” ujar Syamsul saat dihubungi, Jumat (12/12/2025).
    Merujuk pada Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, Polri merupakan alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.
    Dalam UUD 45, tidak disebutkan Polri punya tugas dan kewenangan untuk membuat aturan seperti
    Perpol 10/2025
    yang isinya menandingi putusan MK.
    Syamsul mengatakan, masyarakat berharap Polri dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai UUD 1945 agar tidak ada lagi elemen sipil yang dikriminalisasi.
    “Tidak ada wartawan yang dikriminalisasi. Tidak ada aktivis yang dikriminalisasi. Tidak ada orang yang dimarginalkan,” katanya.
    “Tidak ada pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri. Tidak ada jenderal-jenderal lagi yang diadili karena membacking-membackingi. Itu sebenarnya yang kami inginkan,” lanjut Syamsul.
    Menurut Syamsul, jika seseorang sudah memutuskan untuk menjadi polisi, ia seharusnya menjalankan tugas selayaknya seorang polisi, bukannya melaksanakan tugas lain, misalnya, dengan masuk ke ranah sipil.
    “Awal mulanya terciptanya parcok (partai cokelat) ini kan gara-gara ini, gara-gara mereka (polisi) menempati jabatan sipil,” imbuhnya.
    Syamsul menegaskan, polisi bukan seorang aparatur sipil negara (ASN) sehingga UU ASN tidak berlaku untuk mereka.
    Jabatan di kementerian dan lembaga seharusnya diisi oleh ASN sesuai dengan keahliannya.
    Diberitakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Beleid ini mengatur bahwa polisi aktif dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga sipil di luar institusi Polri.
    “Pelaksanaan Tugas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Pelaksanaan Tugas Anggota Polri adalah penugasan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri yang dengan melepaskan jabatan di lingkungan Polri,” demikian bunyi Pasal 1 Ayat (1) peraturan tersebut.
    Kemudian, Pasal 2 mengatur bahwa anggota Polri dapat melaksanakan tugas di dalam maupun luar negeri.
    Selanjutnya, pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan, pelaksanaan tugas anggota Polri pada jabatan di dalam negeri dapat dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi dan organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
    Daftar kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh anggota Polri itu diatur dalam Pasal 3 Ayat (2), yakni Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kapolri Terbitkan Perpol soal 17 K/L Bisa Dijabat Anggota, Ini Daftarnya

    Kapolri Terbitkan Perpol soal 17 K/L Bisa Dijabat Anggota, Ini Daftarnya

    Bisnis.com, JAKARTA — Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah meneken peraturan polri (Perpol) terkait penugasan anggota di luar struktur kepolisian.

    Berdasarkan Perpol No.10/2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri, kini anggota diperbolehkan menjabat di 17 kementerian atau lembaga (K/L).

    Dalam pasal 3 Perpol No.10/2025 memuat anggota Polri bisa mengisi jabatan di dalam maupun di luar negeri seperti organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.

    Pada Pasal (3) beleid itu memuat aturan Polri bisa bertugas pada jabatan manajerial dan non-manajerial. Anggota boleh menjabat di luar struktur apabila jabatan itu berkaitan dengan fungsi kepolisian yang dilakukan berdasarkan permintaan dari K/L atau organisasi internasional.

    “Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan jabatan yang ada pada instansi atau instansi lain yang memiliki keterkaitan dengan fungsi kepolisian berdasarkan permintaan dari kementerian/ lembaga/badan/komisi, Organisasi Internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia,” bunyi Pasal 3 ayat (4).

    Berikut ini 17 K/L yang bisa dijabat anggota Polri sebagaimana Perpol No.10/2025

    1. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan

    2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

    3. Kementerian Hukum

    4. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan 

    5. Kementerian Kehutanan

    6. Kementerian Kelautan dan Perikanan

    7. Kementerian Perhubungan

    8. Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

    9. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

    10. Lembaga Ketahanan Nasional

    11. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

    12. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

    13. Badan Narkotika Nasional (BNN)

    14. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

    15. Badan Intelijen Negara (BIN)

    16. Badan Siber Sandi Negara (BSSN)

    17. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

    Putusan MK

    Sebelumnya, MK menegaskan bahwa anggota Polri tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif. Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025.

    Adapun, pada putusan itu penggugat menguji soal norma Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 tentang Kepolisian (UU Polri).

    Pasal 28 memang memperbolehkan anggota boleh menjabat di luar struktur setelah tidak berdinas di kepolisian atau mengundurkan diri. Sementara, pada penjelasan Pasal 28 mengatur jabatan di luar kepolisian adalah tidak ada sangkut paut dengan polisi atau tidak ada penugasan Kapolri.

    Kemudian, dalam putusan MK nomor 114PUU-XXIII/2025 juga telah menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengatakan secara substansial Pasal 28 ayat (3) menjelaskan bahwa anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. 

    Ridwan menegaskan jika Pasal 28 ayat (3) dipahami secara cermat, frasa ‘mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian’ merupakan syarat mutlak bagi anggota Polri untuk menjabat di luar kepolisian.

    “Tidak ada keraguan, rumusan demikian adalah rumusan norma yang expressis verbis [jelas] yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain,” tutur Ridwan.

  • Pemberlakuan KUHP 2026: Urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat

    Pemberlakuan KUHP 2026: Urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat

    Pemberlakuan KUHP 2026: Urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    TAHUN
    2026 akan menandai persimpangan penting dalam sejarah hukum Indonesia. Untuk pertama kalinya, negara benar-benar beranjak dari bayang-bayang kolonial ketika KUHP lama digantikan oleh KUHP yang disusun anak bangsa.
    Namun, pada saat negara menyiapkan langkah besar itu, ada satu lubang besar yang belum ditutup: ketiadaan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat.
    Di tengah semangat menegakkan hukum yang lebih manusiawi, negara justru belum menghadirkan payung hukum bagi salah satu komponen bangsa yang paling tua dan paling rentan: masyarakat hukum adat.
    KUHP baru memberi ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan hukum adat. Namun, ruang itu kini sekadar ruang kosong.
    Hakim diminta menerapkan
    living law,
    sementara negara belum pernah memberikan kepastian tentang siapa
    masyarakat adat
    , apa hukum adatnya, di mana yurisdiksinya, dan lembaga adat mana yang berwenang menjalankan penyelesaian adat.
    Negara menginginkan hakim bekerja dengan peta, tetapi petanya belum pernah ditarik garisnya.
    Mendefinisikan masyarakat hukum adat bukan persoalan sederhana. Para akademisi berbicara mengenai persekutuan hukum yang memiliki wilayah, tatanan sendiri, dan tradisi yang berkelanjutan.
    Pemerintah daerah lebih sering memandangnya dari kaca mata administratif: siapa yang diberi surat keputusan, dialah masyarakat adat.
    Sementara banyak komunitas adat justru hidup di luar kerangka administratif itu, tetapi tetap menjalankan hukum adat yang diwariskan turun-temurun.
    Di sinilah RUU Masyarakat Hukum Adat memiliki peran krusial. Ia harus memberikan definisi yang bukan hanya antropologis, tetapi yuridis dan operasional.
    Tanpa definisi ini, penerapan
    living law
    dalam KUHP baru akan berbasis pada interpretasi yang liar. Hakim akan menafsirkan secara berbeda, aparat akan menafsirkan secara berbeda, dan pada akhirnya masyarakat adat sendiri terjebak dalam ketidakpastian.
    Negara tidak boleh membiarkan identitas adat bergantung pada selembar keputusan kepala daerah; pengakuan harus berdasar pada unsur-unsur yang sah secara hukum sekaligus hidup dalam kenyataan sosial.
    Tidak ada masyarakat adat tanpa wilayah adat. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah adat di Indonesia belum pernah diakui secara resmi.
    Banyak pemerintah daerah enggan menetapkan wilayah adat karena takut berhadapan dengan kepentingan ekonomi, izin konsesi, dan proyek-proyek strategis.
    Akibatnya, masyarakat adat hidup dalam ruang fisik yang diwariskan leluhur mereka, tetapi tidak memiliki kepastian hukum yang melindungi ruang itu.
    Padahal KUHP 2026 membutuhkan kepastian wilayah dalam menentukan apakah peristiwa pidana berada dalam yurisdiksi adat atau tidak.
    Tanpa kejelasan wilayah, penyelesaian adat dapat dianggap tidak sah, padahal hukum adat adalah bagian dari keutuhan konstitusional bangsa.
    Lebih buruk lagi, masyarakat adat yang mempertahankan tanah ulayat dapat dipandang sebagai pelanggar hukum, bukan sebagai pemilik hak asal-usul.
    RUU Masyarakat Hukum Adat harus memastikan adanya pemetaan partisipatif dan registrasi wilayah adat secara nasional, menjadikan wilayah adat bukan sekadar klaim kultural tetapi hak yang dijamin negara.
    Salah satu kekosongan paling serius dalam RUU yang beredar sekarang adalah tidak hadirnya FPIC—
    Free, Prior, and Informed Consent
    .
    Padahal FPIC adalah standar internasional yang menyatakan bahwa masyarakat adat harus diberi kesempatan memberikan persetujuan sebelum proyek pembangunan dimulai, dengan informasi lengkap dan tanpa tekanan.
    FPIC bukan sekadar formalitas; ia adalah wujud penghormatan atas martabat dan kedaulatan komunitas adat.
    Ketiadaan FPIC membuat masyarakat adat rentan menjadi korban pembangunan. Konflik agraria, penggusuran, dan kriminalisasi yang menimpa tokoh-tokoh adat berakar pada tidak diakuinya hak untuk mengatakan “tidak”.
    Dalam konteks KUHP 2026, ketiadaan FPIC menghadirkan risiko besar: masyarakat adat yang mempertahankan wilayahnya dapat dengan mudah terjerat pidana karena negara gagal menjamin hak mereka sejak awal.
    RUU Masyarakat Hukum Adat harus menyertakan FPIC sebagai jantung perlindungan hak asal-usul.
    Hukum adat tidak dapat berjalan tanpa lembaga adat. Namun, hingga kini negara belum memiliki daftar lembaga adat yang diakui secara hukum.
    Tidak ada standar mengenai struktur kelembagaan, mekanisme pengambilan keputusan, maupun legitimasi pemimpin adat.
    Padahal, KUHP 2026 memberi ruang bagi lembaga adat untuk menyelesaikan perkara tertentu, dan keputusan adat dapat menjadi pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana.
    Tanpa pengaturan kelembagaan yang jelas, penyelesaian adat akan sulit diakui. Putusan adat berpotensi dianggap tidak sah karena tidak ada kepastian mengenai siapa yang berwenang mengeluarkannya.
    Aparat penegak hukum juga akan berada dalam posisi yang sulit ketika harus menilai apakah penyelesaian adat layak dijadikan dasar pertimbangan hukum negara.
    Karena itu, RUU Masyarakat Hukum Adat harus membangun fondasi kelembagaan adat yang kokoh, bukan hanya sebagai representasi tradisi, tetapi sebagai institusi yang diakui negara.
    Regulasi mengenai masyarakat adat saat ini tersebar di berbagai undang-undang sektoral: kehutanan, lingkungan hidup, pesisir, minerba, desa, dan penataan ruang. Tidak satu pun dari undang-undang itu memberikan pengakuan yang utuh.
    Akibatnya, aparat penegak hukum harus bekerja dengan potongan-potongan aturan yang tidak pernah berbicara satu sama lain.
    RUU Masyarakat Hukum Adat harus hadir sebagai lex generalis yang mengharmonisasi seluruh aturan sektoral. KUHP 2026 akan sulit diterapkan tanpa harmonisasi ini.
    Aparat akan kebingungan menentukan yurisdiksi adat, hakim akan gamang saat mempertimbangkan hukum adat, dan masyarakat adat tetap tidak memiliki kepastian hukum.
    Hanya dengan harmonisasi yang jelas, KUHP 2026 dapat menjadi sistem pidana nasional yang menghormati pluralisme hukum bangsa.
    Konstitusi telah mengamanatkan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
    Namun sejak amandemen UUD 1945 dua puluh tahun lalu, negara belum pernah benar-benar menindaklanjuti mandat itu secara memadai.
    Pengakuan adat masih bersifat parsial, sektoral, dan sering kali bergantung pada kemauan politik kepala daerah. Padahal hak adat adalah hak konstitusional sekaligus bagian dari hak asasi manusia.
    Dengan hadirnya KUHP baru, negara tidak bisa lagi menunda penyusunan RUU Masyarakat Hukum Adat. Tanpa regulasi ini, penerapan
    living law
    hanya akan menimbulkan ketidakpastian.
    Pengakuan adat bukan sekadar pengakuan kultural; ia adalah langkah negara memulihkan martabat komunitas yang telah menjaga tanah, hutan, sungai, dan tradisi jauh sebelum republik ini berdiri.
    RUU Masyarakat Hukum Adat bukan sekadar kebutuhan administratif, melainkan prasyarat moral dan konstitusional bagi pemberlakuan KUHP 2026.
    Tanpa undang-undang ini, hukum adat tidak akan pernah bisa terintegrasi secara adil ke dalam sistem hukum pidana nasional.
    Masyarakat adat tetap akan berada dalam posisi paling rentan: tidak diakui wilayahnya, tidak dihormati hak asal-usulnya, dan tidak dilibatkan dalam pembangunan yang menyentuh ruang hidup mereka.
    Negara tidak boleh membiarkan
    living law
    menjadi slogan kosong. Jika bangsa ini sungguh-sungguh ingin memasuki era hukum nasional yang berkeadilan, maka pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat harus menjadi prioritas. Karena keadilan tidak boleh ditunda, dan masyarakat adat tidak boleh lagi menunggu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejar Target, Dirjen Bimo Mulai Sisir Pajak dari Wajib Pajak Tajir

    Kejar Target, Dirjen Bimo Mulai Sisir Pajak dari Wajib Pajak Tajir

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memanggil sejumlah wajib pajak (WP) kaya terkait dengan kepatuhan perpajakan, Kamis (11/12/2025). 

    Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto menyebut pemanggilan WP kaya, atau high wealth individual (HWI), itu dalam rangka konsultasi berkaitan dengan data-data yang dinilai olehnya belum terkomunikasikan dengan baik.

    Dia menyinggung bahwa beberapa WP kaya belum mengetahui bahwa otoritas pajak bisa memantau kepatuhan mereka berdasarkan data dari instansi lain, yakni data kepemilikan manfaat atau beneficial ownership. 

    “Sekarang itu data luar biasa untuk benchmarking kepatuhan dari wajib pajak, terkadang wajib pajak mungkin merasa kami enggak punya akses terhadap data tersebut, sehingga di laporan SPT-nya itu tidak dimasukkan,” ungkapnya sebagaimana dikutip dari YouTube Pusdiklat Pajak, Kamis (11/12/2025). 

    Bimo menyampaikan bahwa harusnya kebijakan fiskal, yang salah satunya mencakup pajak, harusnya bisa menjadi penyeimbang guna menekan ketimpangan sosial dan penghasilan di Indonesia. Lulusan Taruna Nusantara itu menyebut harusnya hal itu menjadi kompas moral bagi masyarakat maupun penyelenggara negara. 

    Pada kesempatan yang sama, Bimo turut mengakui bahwa sektor mineral dan batu bara (minerba) serta sawit merupakan sektor yang sampai saat ini masih sulit dipajaki. 

    Menurut Bimo, kesulitan otoritas pajak untuk memungut setoran dari kedua sektor industri ekstraktif itu sudah dialami olehnya sejak awal berkarier di Ditjen Pajak pada 2002 lalu. 

    “Sejak 2002 saya bekerja di pajak itu selalu sektor strategis yang dikejar-kejar pajaknya dan enggak rampung-rampung sampai hari ini tuh sektor minerba dan sawit ” ujarnya di forum tersebut. 

    Dirjen Pajak yang pernah bekerja di Kemenko Maritim dan Investasi serta Kemenko Perekonomian itu mengakui, industri ekstraktif telah memanfaatkan kekayaan alam Indonesia. Akan tetapi, pemanfaatan sumber daya alam Indonesia itu justru menjauh dari prinsip pasal 33 Undang-Undang Dasar atau UUD 1945. 

    Pada pasal tersebut, harusnya kekayaan negara dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Betapa sebenarnya value added belum bisa kami secure. ESDM, DJP, DJSEF, pemerhati, akademisi dan konsultan, ini PR kita bersama,” terangnya. 

  • Konstitusi Ekologis dan Kedaulatan Lingkungan

    Konstitusi Ekologis dan Kedaulatan Lingkungan

    Konstitusi Ekologis dan Kedaulatan Lingkungan
    Aktivis Muda Muhammadiyah
    KRISIS
    lingkungan yang terjadi hari-hari ini, telah mencapai tahap mengancam eksistensi planet bumi dan penghuninya. Secara terang dan jelas, kerusakan sistem yang menopang kehidupan manusia mengalami kerusakan dan kehancuran total.
    Seperti ledakan besar (
    the great distruption
    ), lingkungan hidup dan alam Indonesia mengalami kerusakan yang kian parah. Di mana-mana kita saksikan, pembabatan hutan (baik untuk kepentingan bisnis maupun untuk memperluas area pertanian).
    Sebagai contoh, di Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, ada aktivitas penebangan pohon di pegunungan yang menyebabkan daerah itu mengalami bencana banjir tiap tahun. Pembalakan terjadi secara masif dan sistematis.
    Ditambah lagi dengan perluasan area pertambangan yang ada di wilayah tersebut, tanpa pengawasan dan kajian dampak lingkungan yang serius dari Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi NTB dan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
    Akibat aktivitas tambang yang dilakukan PT. STM di wilayah itu, menyebabkan banjir mulai menerjang rumah dan pemukiman warga. Padahal, sebelumnya daerah di sekitar area tambang itu belum pernah mengalami banjir.
    Namun, yang lebih mengherankan, Pemerintah setempat tidak pernah melarang atau membatasi area pembabatan gunung itu dan justru memperluas area pertambangan meliputi wilayah Bima dan Dompu secara diam-diam.
    Dan hari-hari ini, Pemerintah Provinsi NTB sedang gencar-gencarnya memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Koperasi tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan.
    Praktisnya, gunung-gunung di tiga kabupaten/kota di NTB itu mengalami operasi eksploitasi total, dan pembabatan secara sistemik oleh warga. Pada akhirnya daerah Bima dan Dompu kehilangan pohon sebagai sumber kehidupan.
    Kerusakan akibat pembabatan hutan dan gunung menyebabkan bencana seperti banjir, erosi dan sedimentasi sungai dan danau, tanah longsor, krisis air (kualitas dan kuantitas) yang mengakibatkan bencana, kelaparan, dan penyakit.
    Hal itu juga yang terjadi di wilayah Sumatera (meliputi: Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh) yang terkepung banjir dan tanah longsor, menyebabkan kematian, kerugian dan krisis sosial dan ekonomi.
    Semua bermula dari “ketamakan manusia”, yang mengeksploitasi hutan demi raup keuntungan sesaat tanpa memperhatikan lingkungan dan masa depan.
    Ketamakan yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan itu telah diperingatkan dalam Al-Quran Surah Ar-Rum: 41: “telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia”.
    Akibat kerusakan itu, Allah SWT memberikan satu peringatan—agar mereka merasakan sebagian dari perbuatan mereka supaya mereka kembali ke jalan yang benar.
    Peringatan itu dapat berbentuk bencana seperti banjir, tanah longsor, krisis air dan sebagainya. Bahkan pada tahap tertentu mengancam masa depan umat manusia.
    Kini, akibat kebijakan izin eksploitasi dalam bidang pertambangan, izin perluasan kebun sawit, pembalakan hutan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan uang, hutan-hutan semakin menyempit, keberadaan satwa dilindungi kian punah, pohon-pohon sebagai sumber mata air dan kehidupan kian langka.
    Kondisi ini menuntut kita untuk menjadikan alam bukan hanya “diciptakan untuk manusia”. Alam tidak hanya dipandang sebagai nilai instrumental yang hanya dijadikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain.
    Alam harus dipandang sebagai nilai intrinsik di mana nilai suatu benda diperuntukan untuk tujuan benda itu sendiri, terlepas dari apakah benda tersebut juga berguna sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain.
    Dengan demikian, kepemilikan nilai intrinsik pada suatu benda memunculkan “prima facie” kewajiban moral langsung bagi pelaku moral untuk melindunginya atau setidaknya mencegah kerusakannya.
    Konstitusi kita, UUD 1945 menempatkan alam bukan sekadar benda, tetapi memberikan hak-hak asasi atas bumi, air dan segala isinya.
    Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, dalam Pasal 25A UUD 1945 memberikan menggambarkan bahwa negara kesatuan republik Indonesia adalah “negara kepulauan yang berciri nusantara” dengan “wilayah dan batas-batas” dan “hak-haknya” ditetapkan dengan undang-undang.
    “Negara kepulauan” dapat diartikan seluruh gugusan pulau-pulau, perairan, dan ruang di atasnya adalah satu kesatuan wilayah yang tak terpisahkan.
    Sementara “yang bercirikan nusantara” merujuk pada kawasan kepulauan yang menjadi satu kesatuan wilayah, politik, sosial, budaya, dan ekonomi, menciptakan persatuan di tengah keragaman.
    Sedangkan kata “hak-haknya” dapat dimaknai sebagai hak yang dimiliki oleh segala makhluk yang berada dalam negara kepulauan dan nusantara itu, termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan dan pepohonan yang hidup di atas wilayah Negara Republik Indonesia.
    Rakyat dan lingkungan sama-sama berdaulat. UUD 1945 mengakui kekuasaan dan hak-hak asasi serta kedaulatan Alam yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun (
    inalienable rights
    ).
    Inilah yang dimaksudkan dengan prinsip Kedaulatan Lingkungan yang juga terkandung dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    Dengan demikian, segala yang hidup, rakyat, hewan, baik itu satwa liar, maupun binatang peliharaan atau ternak, yang ada di darat maupun di laut (segala makhluk) dan pohon-pohon serta tumbuh-tumbuhan yang hidup maupun benda mati di dalamnya memiliki hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi.
    Dalam definisi UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ‘lingkungan hidup’ didefinisikan sebagai berikut: “
    Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain
    ” (Pasal 1).
    Frasa ‘kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain’ merupakan konsep universal, tetapi mencakup pemenuhan kebutuhan dasar setiap manusia dan kemampuannya untuk berkembang dalam ekosistem yang seimbang.
    Di mana kebutuhan manusia untuk sejahtera secara fisik dan mental sangat bergantung pada kesejahteraan ekologis, yaitu semua kehidupan dapat tumbuh dan hidup secara berkelanjutan dan etis.
    Lingkungan hidup sebagai bagian dari integral kehidupan manusia memiliki kedaulatan. Udara tidak boleh dicemari, air sebagai sumber kehidupan harus tetap mengalir dan bersih, bumi harus tetap tumbuh dalam kesuburan, semua itu memiliki kedaulatan tersendiri.
    Kalau kedaulatan Bumi, Air dan Udara dirampas, maka manusia sendiri yang akan menghadapi kehancuran.
    Kedaulatan lingkungan setara dengan kedaulatan rakyat. Dalam negara demokrasi, kedaulatan rakyat menjadi sumber kekuasaan dalam negara dan siapapun penguasa yang tidak mengindahkan kedaulatan rakyat akan runtuh.
    Sedangkan kedaulatan lingkungan menjadi sumber kehidupan umat manusia dan siapa yang tidak mengindahkan kedaulatan lingkungan akan merasakan bencana dan kesengsaraan.
    Dalam konstitusi kita, disebutkan bahwa “bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan pergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Lihat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945).
    Bagaimana cara negara menguasainya? Negara mempergunakan bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat.
    Rakyat pemilik kedaulatan, maka posisi rakyat harus diutamakan, mengesampingkan kepentingan penguasa, perorangan/individu atau korporasi.
    Penguasaan negara terhadap bumi, air dan kekayaan sebagaimana yang dimaksudkan di atas, bukan tanpa asas dan prinsip.
    Asas pengelolaannya adalah menggunakan asas kekeluargaan (lihat Pasal 33 ayat (1). Sementara prinsip pengelolaannya, negara harus mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan (Lihat Pasal 33 ayat (5) UUD 1945).
    Dalam menyelenggarakan demokrasi ekonomi, khususnya dalam memanfaatkan sumber daya alam yang berpotensi mencemari lingkungan, pemerintah harus menjadikan pasal 33 ayat (5) UUD 1945 sebagai fundamen utama.
    Prinsip-prinsip itu berkaitan dengan etika lingkungan dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
    Negara dapat memberikan izin untuk kepentingan kemajuan dan perkembangan ekonomi, seperti memberikan izin pertambangan, izin perkebunan, izin penggunaan kawasan hutan.
    Negara juga wajib mempertimbangkan prinsip keadilan, berwawasan lingkungan dan keseimbangan, serta berkelanjutan.
    Tidak semua gunung yang memiliki sumber daya alam dapat dieksploitasi. Tidak semua hutan diperluas untuk ditanami sawit. Tidak semua hutan dapat digunakan untuk kepentingan bisnis.
    Karena semua bentuk deforestasi, baik untuk kepentingan perluasan kawasan pertanian dan perkebunan (kelapa sawit) akan berdampak bagi kehidupan manusia dan ekosistem alam.
    Konstitusi kita melindungi Tanah Air dan tumpah darah Indonesia. Perlindungan konstitusi terhadap tanah air adalah mencakup perlindungan dari kesewenang-wenangan manusia terhadap lingkungan dan alam, bukan hanya melindungi dari penjajahan dalam bentuk imperialisme dan kolonialisme.
    Perlindungan negara terhadap tumpah darah Indonesia, terhadap warga negara adalah memberikan kesempatan untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan (lihat Pasal 28H ayat (1)).
    Konstitusi melindungi segenap bangsa Indonesia, tidak hanya melindungi manusianya, tetapi juga melindungi budaya, adat istiadat, dan wilayah geografisnya dari eksploitasi dan pencemaran.
    Setiap bangsa di Indonesia memiliki ajaran moral dan etika bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem, alam harus dijaga sebagai anugerah dan tuntunan untuk keberlanjutan hidup bersama.
    Karena konstitusi memberikan perlindungan, maka tugas konstitusional pemerintah dari pusat sampai daerah adalah menjalankan perintah konstitusi itu.
    Perintah konstitusi harus diaktualisasikan dalam bentuk operasional, yaitu mengevaluasi penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan bisnis korporasi, dan mencabut izin korporasi yang melakukan eksploitasi dan pembabatan hutan yang merugikan negara dan rakyat.
    Negara tidak boleh kalah dari para pembalak hutan, tidak boleh kalah dari perusahaan tambang dan tidak boleh kalah dari warga negara yang merusak lingkungan.
    Keselamatan warga negara dan keberlanjutan ekosistem sangat menentukan keberlanjutan masa depan bangsa dan negara di masa depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Retno Marsudi Raih Penghargaan BIG 40

    Retno Marsudi Raih Penghargaan BIG 40

    Bisnis.com, JAKARTA – Bisnis Indonesia Group (BIG) menganugerahkan penghargaan BIG 40 kepada Retno Lestari Priansari Marsudi, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia periode 2014–2024 atas kontribusinya dalam memperkuat posisi diplomasi Indonesia di panggung global. 

    Penghargaan kategori International Diplomacy and Global Statesmanship Icon ini diberikan sebagai bentuk apresiasi atas kiprah dan pengabdian Retno Marsudi sebagai diplomat perempuan pertama yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, yang menorehkan sejarah melalui kepemimpinan diplomasi Indonesia yang humanis, berintegritas, dan berprinsip kuat dengan memegang prinsip Bebas Aktif sesuai amanat UUD 1945.

    Selama dua periode kepemimpinannya, Retno berhasil membawa Indonesia menjadi salah satu aktor kunci dalam isu-isu internasional, terutama terkait diplomasi kemanusiaan, perdamaian dunia, perlindungan warga negara, serta penguatan multilateralisme.

    Di tengah dinamika geopolitik global yang semakin kompleks, beliau tampil sebagai salah satu tokoh penjaga marwah Indonesia dan memperluas pengaruh diplomasi Indonesia di berbagai forum internasional.

    Retno Marsudi pun dikenal sebagai diplomat yang menorehkan sejumlah pencapaian penting sejak memulai kariernya di Kementerian Luar Negeri. Lahir pada 27 November 1962, Retno menempuh pendidikan dalam bidang hubungan internasional dan diplomasi, kemudian mengemban berbagai jabatan strategis. 

    Posisi penting yang pernah diembannya antara lain Duta Besar Indonesia untuk Belanda (2012–2014), Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri, hingga dipercaya menjadi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (2014–2024) dan menjadi perempuan pertama yang menduduki posisi tersebut. Kariernya ditandai dengan rekam jejak kuat dalam isu perlindungan WNI, diplomasi untuk Palestina, serta upaya mediasi konflik internasional.

    Retno dikenal sebagai penggerak diplomasi kemanusiaan yang konsisten. Dia memimpin berbagai inisiatif bantuan kemanusiaan untuk Palestina, Afghanistan, Myanmar, dan wilayah-wilayah krisis lain, menjadikan Indonesia salah satu suara moral dunia dalam isu kemanusiaan.

    Di bawah kepemimpinannya, Indonesia aktif dalam berbagai misi perdamaian PBB, mendorong penyelesaian konflik melalui dialog, serta memperkuat kerja sama kawasan melalui ASEAN dan organisasi internasional lainnya.

    Salah satu warisan terbesarnya adalah transformasi perlindungan WNI di luar negeri. Melalui sistem terpadu dan respons cepat, Indonesia dikenal sebagai negara yang memprioritaskan keselamatan warganya di luar negeri.

    Retno berperan besar dalam membuka akses pasar dan memperkuat hubungan dagang Indonesia dengan berbagai negara. Beliau mendorong diplomasi ekonomi sebagai salah satu pilar kebijakan luar negeri modern.

    Retno kerap menjadi juru bicara Indonesia pada forum G20, PBB, dan platform internasional lainnya. Dengan gaya diplomasi yang tegas namun syarat empati, beliau menempatkan Indonesia pada posisi strategis dalam berbagai isu global.

  • Menjaga Republik di Era Digital
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 Desember 2025

    Menjaga Republik di Era Digital Nasional 7 Desember 2025

    Menjaga Republik di Era Digital
    Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
    KONFERENSI
    Nasional ke-4 Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara (APHTN-HAN) yang digelar pada 5–8 Desember 2025 di Labuan Bajo, menjadi penanda bahwa tata kelola negara menghadapi babak baru di tengah perubahan sosial dan teknologi.
    Tiga isu krusial yang menjadi fokus pembahasan, yakni konstitusionalisme
    digital
    , penataan
    pemilu
    , dan pengelolaan
    sovereign wealth fund
    (SWF), merujuk pada persoalan yang makin kompleks bahwa negara dituntut menjamin kualitas demokrasi, melindungi hak warga, serta mengelola kekayaan publik dengan transparan.
    Di era ketika persoalan negara saling berkelindan, penyelesaian sektoral tidak lagi memadai. Transformasi komunikasi politik di ruang digital, semakin mahalnya biaya demokrasi, dan pengelolaan investasi negara yang menyerupai operasi korporasi global menuntut desain hukum dan administrasi publik yang jauh lebih kokoh.
    Teknologi digital dalam dua dekade terakhir telah mengubah cara kekuasaan bekerja. Algoritma dan platform teknologi dapat membentuk perilaku politik warga, mengendalikan arus informasi publik, bahkan menentukan siapa yang lebih terlihat dalam persaingan elektoral.
    Fenomena
    micro-targeting
    , penyalahgunaan data pribadi, hingga produksi informasi artifisial, mengubah lanskap demokrasi tanpa selalu diimbangi perangkat hukum yang memadai.
    Dalam konteks ini, perlindungan konstitusi tidak lagi dapat dipahami semata sebagai upaya membatasi kekuasaan negara.
    Perkembangan demokrasi digital menunjukkan bahwa kekuasaan juga dapat lahir dari sektor non-negara, khususnya melalui platform teknologi dan pengendalian data.
    Karena itu, pembacaan konstitusi modern perlu mencakup perlindungan warga dari dominasi kekuatan yang bersumber dari pasar digital. Data, dengan demikian, menjadi bagian dari hak warga yang memiliki implikasi konstitusional.
    Hal ini sejalan dengan kecenderungan dalam kajian hukum publik global yang menempatkan pengelolaan data sebagai bagian dari prinsip
    rule of law.
    Perlindungan data dan keterbukaan administrasi dilihat sebagai unsur penting keadilan sosial, karena data juga menentukan distribusi kekuasaan dalam masyarakat.
    Dengan demikian, pengaturan data tidak dapat diperlakukan sebagai isu teknis, melainkan bagian dari tata kelola negara yang menyangkut perlindungan hak, keadilan, dan transparansi.
    Pemilu merupakan instrumen dasar demokrasi, tetapi dalam praktiknya semakin dibayangi biaya politik yang tinggi.
    Kampanye membutuhkan dana besar, kontestasi menjadi ajang investasi, dan organisasi politik kerap terperangkap dalam logika pasar. Konsekuensinya, kepentingan publik berpotensi menjadi subordinat kepentingan pemodal.
    Selain itu, sistem penegakan hukum pemilu di Indonesia masih bekerja secara terserak. Pengawasan, penegakan etika, penanganan pidana pemilu, dan penyelesaian perselisihan hasil pemilu tersebar pada berbagai institusi tanpa desain ekosistem yang terpadu.
    Akibatnya, prinsip keadilan elektoral tidak selalu sejalan dengan prinsip keadilan substantif.
    Demokrasi yang sehat memerlukan penataan kelembagaan hukum pemilu secara menyeluruh. Salah satunya melalui pembatasan rasional biaya politik, transparansi dana kampanye, serta integrasi penegakan hukum pemilu dalam satu kerangka koordinatif.
    Reformasi bukan sekadar perubahan aturan, tetapi rekayasa kelembagaan agar demokrasi tidak dikendalikan oleh modal.
    Pemilu yang mahal pada akhirnya akan membebani kandidat dan dapat membentuk pola kekuasaan yang berbasis transaksi, sehingga jabatan publik berisiko menjadi ruang kompensasi politik.
    Jika demokrasi tunduk pada logika pasar, implikasinya tidak berhenti pada proses elektoral, melainkan memengaruhi arah kebijakan publik yang seharusnya memprioritaskan kepentingan rakyat.
    Pola ketergantungan pada modal politik itu dapat pula terlihat dalam kebijakan pengelolaan kekayaan negara.
    Indonesia Investment Authority (INA) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI), misalnya, menunjukkan langkah baru Indonesia dalam mengelola investasi melalui skema
    sovereign wealth fund.
    Mekanisme ini membuka peluang pembiayaan pembangunan tanpa ketergantungan utang, tapi keberhasilannya bergantung pada integritas tata kelola.
    Tanpa pengawasan publik yang memadai, skema investasi berpotensi tunduk pada kepentingan kapital besar, seperti halnya proses pemilu bisa tunduk pada modal politik.
    Dengan demikian, baik pemilu maupun pengelolaan SWF membutuhkan prinsip yang sama, yakni: transparansi, akuntabilitas, dan mekanisme kontrol publik agar kekuasaan politik maupun ekonomi, tidak lepas dari amanat konstitusi.
    Beberapa model SWF global menunjukkan adanya ruang kekebalan hukum untuk menarik investor.
    Namun, celah tersebut dapat menjadi pintu tertutupnya informasi publik, melemahkan pengawasan, dan membuka potensi arbitrase yang merugikan negara.
    Di Indonesia, prinsip Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa kekayaan alam harus dikelola sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, bukan hanya bagi efisiensi investasi.
    Karena itu,
    constitutional economics
    menjadi pendekatan penting dalam tata kelola investasi negara. Pengelolaan dana publik tidak boleh dipisahkan dari prinsip akuntabilitas konstitusional.
    Transparansi, pengawasan parlemen, keterbukaan informasi, dan mekanisme kontrol publik harus menjadi syarat mutlak, bukan sekadar pelengkap prosedural.
    APHTN-HAN memiliki tanggung jawab keilmuan untuk memastikan tata kelola negara berjalan berbasis konstitusi dan keadilan publik.
    Peran akademisi harus menjadi penyeimbang kebijakan melalui produksi pengetahuan, kritik ilmiah, dan rekomendasi yang memihak kepentingan warga.
    Di tengah tantangan digital, biaya demokrasi yang tinggi, dan pengelolaan kekayaan negara, komunitas ilmiah berperan menegaskan bahwa hukum merupakan perangkat untuk menjamin keadilan.
    Negara yang kuat adalah negara yang memiliki aturan dan dijalankan dengan keterbukaan dan tanggung jawab publik.
    Dan, tantangan konstitusional hari ini berbeda dengan situasi ketika dasar negara dirumuskan. Perlindungan data, demokrasi elektoral, dan pengelolaan kekayaan publik menuntut pendekatan baru yang adaptif, transparan, dan berbasis kolaborasi kelembagaan.
    Kini kekuatan negara sangat ditentukan oleh legitimasi tata kelola, bukan sekadar regulasi.
    Konferensi APHTN-HAN menjadi momentum penting bagi pengembangan teori dan praksis ketatanegaraan Indonesia.
    Pada akhirnya, kualitas demokrasi dan tata kelola negara tidak diukur dari keberadaan aturan, melainkan dari apakah aturan tersebut benar-benar bekerja untuk warga negara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menang Kasasi MA, Warga Surabaya Bongkar Pagar Tetangga yang Tutup Akses Jalan

    Menang Kasasi MA, Warga Surabaya Bongkar Pagar Tetangga yang Tutup Akses Jalan

    Surabaya (beritajatim.com) – Ursula Mira Soetikno, warga kawasan Jalan Mojo Kidul I Surabaya, akhirnya melakukan pembongkaran paksa terhadap pagar beton milik tetangganya yang menutup akses masuk ke rumahnya.

    Tindakan tegas ini dilakukan Ursula setelah memenangkan gugatan hukum hingga tingkat Kasasi di Mahkamah Agung (MA) dan mengantongi izin pengadilan untuk melakukan eksekusi mandiri terhadap objek sengketa tersebut.

    Dalam proses pembongkaran itu, Ursula didampingi oleh tim kuasa hukumnya, Judha Sasmita, SH., MH dan Agoeng Boedhiantara, SH.

    Langkah ini diambil karena amar putusan Hakim Agung secara spesifik mempersilakan Ursula membongkar sendiri pagar tersebut jika pihak tergugat, yakni Ida Farida Limanto, tidak bersedia membongkarnya secara sukarela.

    Proses eksekusi di lapangan sempat diwarnai ketegangan dan penolakan dari pihak Ida Farida Limanto beserta anaknya, Pieter Limanto.

    Di sela-sela pembongkaran, Ida Farida bersikeras bahwa lahan yang digunakan sebagai akses jalan tersebut masih sah tercatat sebagai miliknya. Ia bahkan menunjukkan bukti sertifikat tanah yang diklaim mencakup area jalan depan rumahnya.

    “Walaupun diatas tanah saya ini ada tanda silang, tanah ini tetap milik saya karena dilindungi dengan adanya Sertifikat yang kami punyai,” dalih Ida Farida Limanto.

    Ia menilai eksekusi tersebut melanggar hak asasinya sebagai warga negara. “Eksekusi ini jelas-jelas telah melanggar UUD 1945 yang mengatur tentang hak konstitusional kami,” tambahnya, sembari menyebut tindakan itu menabrak rasa keadilan.

    Senada dengan ibunya, Pieter Limanto, putra dari Handoko Limanto dan Ida Farida, turut memprotes pembongkaran tiga pagar yang dilakukan oleh Ursula. Menurutnya, tindakan tersebut cacat prosedur.

    “Harus jelas dulu obyek yang hendak dieksekusi apa? Lalu, kalau kegiatan ini adalah eksekusi, harus disebutkan juga obyek yang hendak dieksekusi apa,” jelas Pieter Limanto.

    Pieter juga mempertanyakan status tanah tempat objek sengketa berdiri. Ia menyoroti tidak adanya proses pencocokan batas tanah atau konstatering sebelum eksekusi dilakukan.

    “Dalam kegiatan eksekusi ini tidak ada konstatering-nya. Berita acara tentang konstatering juga tidak ada,” kritiknya.

    Mengutip UUD 1945 pasal 28 (h) ayat (4), Pieter menegaskan bahwa hak milik pribadi tidak boleh diambil secara sewenang-wenang.

    “Negara seharusnya melindungi dirinya dan keluarganya sebagai pemilik yang sah atas tanah bukan orang yang tidak memiliki hak namun dilindungi,” ujarnya.

    Menanggapi protes tersebut, Judha Sasmita selaku kuasa hukum Ursula menegaskan bahwa tindakan kliennya memiliki landasan hukum yang kuat dan telah inkracht (berkekuatan hukum tetap).

    Ia meminta pihak tergugat untuk membaca kembali isi putusan pengadilan dan penetapan eksekusi secara teliti.

    “Kalau bapak dan ibu tidak terima dengan kegiatan pembongkaran tiga pagar ini, silahkan lapor polisi,” tegas Judha di lokasi.

    Judha menjelaskan rincian dasar hukum eksekusi tersebut, yakni Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor: 1609/K/Pdt/2023 tanggal 18 Juli 2023, Jo Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur Nomor: 593/PDT/2021/PT SBY tanggal 30 September 2021, Jo Putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya nomor: 774/Pdt.G/2020/PN.Sby tanggal 17 Juni 2021.

    “Berdasarkan putusan tersebut, kami sebagai kuasa hukum Ursula Mira Soetikno diberi hak pengadilan untuk melakukan pembongkaran secara mandiri,” ungkap Judha Sasmita.

    Dalam amar putusan Kasasi, Majelis Hakim Agung memerintahkan tergugat untuk membongkar tiga buah bangunan pagar. Jika perintah tersebut diabaikan, maka penggugat diberi wewenang untuk bertindak.

    “Amar Putusan Hakim Agung Nomor : 1609/K/Pdt/2023 tanggal 18 Juli 2023 ini juga menyebutkan, kami sebagai penggugat diberi hak untuk membongkar sendiri ketiga pagar sebagaimana dalam gugatan apabila pihak tergugat setelah ditegur (aanmaning) selama delapan hari tidak dibongkar sendiri secara sukarela,” papar Judha.

    Kasus ini bermula dari gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan Ursula Mira Soetikno ke PN Surabaya dengan nomor perkara 774/Pdt.G/2020/PN Sby.

    Pihak tergugat adalah Handoko, dengan Turut Tergugat I Siti Chalimah, SH, Turut Tergugat II Pemerintah Kota Surabaya, dan Turut Tergugat III Kepala Kantor Pertanahan Surabaya II.

    Kuasa hukum Ursula lainnya, Agoeng Boedhiantara, SH, menambahkan bahwa seluruh tahapan prosedur hukum telah dilalui dengan benar sebelum pembongkaran dilakukan.

    “Termasuk Annmaning atau teguran dari pengadilan kepada Handoko Limanto supaya segera membongkar sendiri tiga pagar itu. Namun, hal tersebut tidak juga dilakukan Handoko Limanto,” ujar Agoeng.

    Oleh karena ketidakpatuhan tersebut, pengadilan akhirnya memberikan mandat penuh kepada penggugat untuk melakukan eksekusi.

    “Pengadilan melalui amar putusannya menyebutkan, memerintahkan kepada penggugat yaitu Ursula Mira Soetikno untuk membongkar sendiri tiga pagar ini secara mandiri,” pungkas Agoeng. [uci/beq]