Produk: UUD 1945

  • 2
                    
                        Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”, Aturan Lama yang Hilang di Era Reformasi
                        Nasional

    2 Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”, Aturan Lama yang Hilang di Era Reformasi Nasional

    Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”, Aturan Lama yang Hilang di Era Reformasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com —
    Indonesia pernah mempunyai sebuah aturan yang kontroversial mengenai syarat untuk menjadi seorang presiden, yakni harus merupakan orang Indonesia asli.
    Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Presiden ialah orang Indonesia asli”.
    Namun, aturan ini berubah di era Reformasi ketika Majelis Permusawaratan Rakyat (MPR) menggulirkan amendemen.
    Aturan tersebut pun resmi dihapus dan diubah lewat amendemen kedua UUD 1945 yang diketok pada tahun 2000.
    Setelah diamandemen, Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
    Perubahan narasi dalam amendemen kedua UUD 1945 dinilai sudah relevan dengan masa kini.
    Menurut dosen hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini, kata “asli” dalam versi awal sebelum amendemen saat itu disusun berdasarkan refleksi konteks sejarah di awal kemerdekaan.
    Saat itu, bangsa Indonesia baru merdeka sehingga masih ada kekhawatiran tentang kemungkinan campur tangan pihak asing atau bekas penjajah.
    “Jadi istilah orang Indonesia asli dimaksudkan sebagai bentuk proteksi terhadap kedaulatan politik bangsa yang masih sangat rentan dan belum stabil,” kata Titi saat dihubungi, Senin (9/10/2025).
    Seiring berjalannya waktu, frasa itu dihapus lewat amendemen UUD 1945 karena dianggap sudah tidak relevan.
    Menurut Titi, amendemen UUD 1945 itu menegaskan, semua warga negara Indonesia (WNI) memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan, tanpa ada diskriminasi atas dasar keturunan, ras, atau asal-usul.
    Oleh karenanya, syarat dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD NRI 1945 versi amendemen yang menyebut “warga negara Indonesia sejak kelahiran dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain” dianggap sudah memadai dan relevan dengan masa ini.
    “(Versi lama) tidak relevan dengan perkembangan zaman dan prinsip-prinsip hak kewarganegaraan yang lebih egaliter,” kata Titi.
    Jika istilah orang Indonesia asli tetap dipertahankan, hal ini dinilai akan membuka ruang diskriminasi terhadap warga negara yang sah namun memiliki latar belakang keturunan tertentu seperti WNI keturunan Tionghoa, Arab, atau lainnya.
    Hal itu dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi konstitusional dan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi setelah reformasi.
    “Perubahan tersebut penting dan krusial karena memperkuat prinsip civic nationalism, bahwa keindonesiaan ditentukan oleh ikatan kewarganegaraan, bukan asal-usul darah atau etnis,” terangnya.
    Bagi Titi, penghapusan kata “asli” tersebut justru mempertegas bahwa syarat menjadi presiden di Indonesia tidak boleh didasarkan pada ras atau etnis, melainkan pada status kewarganegaraan dan loyalitas kepada negara.
    “Dalam konteks masa kini, menghidupkan kembali narasi “presiden harus WNI asli” tidak hanya ahistoris, tetapi juga berpotensi menghidupkan politik identitas yang sempit dan diskriminatif,” ujar dia.
    Senada dengan Titi, pakar hukum tata negara dari Themis Indonesia Feri Amsari juga menilai penghilangan kata “asli” dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 sudah ideal.
    Jika kata “orang Indonesia asli” masih ada dalam beleid tersebut, tentu dapat menimbulkan beragam masalah.
    Sebab, perlu dijelaskan lebih lanjut definisi dan kriteria dari “orang Indonesia asli” yang dimaksud.
    Lebih jauh, kata “asli” juga berpotensi jadi masalah ketika membahas konteks Indonesia di masa depan yang mana banyak WNI melakukan kawin campuran antar negara.
    Lewat penghapusan kata “asli” dalam amendemen UUD 1945, diharapkan putra-putri Indonesia yang berasal dari pernikahan campuran tidak tertolak menjadi seorang presiden di masa depan.
    “Sepanjang mereka adalah warga negara Indonesia sejak lahir dan tidak pernah meminta status kewarganegaraan lain, sebenarnya itu sudah memperkuat nilai-nilai ke-Indonesiaan dari seorang calon presiden,” kata Feri.
    Meski sudah lama diubah, narasi soal “orang Indonesia asli” sebagai syarat calon presiden dan wakil presiden juga sempat menjadi kontroversi.
    Pada 2016, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ingin kembali memasukkan kata “orang Indonesia asli” dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 yang sudah diamandemen.
    PPP saat itu ingin butir pasal tersebut menjadi: “Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia asli sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.”
    Usulan tersebut menjadi salah satu poin rekomendasi resmi dalam Musyawarah Kerja Nasional I PPP pada masa itu, tetapi disambut oleh pro dan kontra.
    Wakil presiden ketika itu, Jusuf Kalla, menilai belum tentu seluruh partai akan menyetujui usulan PPP terkait syarat calon presiden dan wakil presiden harus Indonesia asli.
     
    “Namanya dalam demokrasi tentu boleh mengusulkan sesuai keyakinannya. Itu bukan mengamandemen sebenarnya, (tapi) kembali ke asal bunyi UUD 1945 yang asli itu begitu,” kata Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, 7 Oktober 2016.
    “Tetapi ini kan tentu tidak satu partai ini tidak, belum tentu yang lainnya juga setuju. Kita bicara dalam konteks demokrasi saja,” lanjut JK.
    Sejumlah politisi juga ada yang menilai bahwa usulan tersebut cenderung diskriminatif, bahkan perlu dikaji mendalam oleh semua fraksi yang ada di DPR RI.
    Misalnya, politikus PDI-P Hendrawan Supratikno menganggap semangat UUD 1945 harus melindungi, jangan sampai justru mendiskriminasi.
     
    “Kalau ada usulan amendemen UUD 1945 yang mengharuskan Presiden dan Wakil Presiden harus orang Indonesia asli yang maknanya pribumi itu malah tidak sesuai spirit UUD yang justru melindungi bukan mendiskriminasi. Itu tidak relevan namanya,” ujar Hendrawan pada Oktober 2016.
    Merespons isu yang sama, politikus Partai Kebangkitan Bangsa Daniel Johan menyatakan Indonesia telah memiliki Undang-Undang Kewarganegaraan yang telah mengatur pengertian orang Indonesia asli.
    Dalam aturan soal kewarganegaraan, tak disebutkan bila orang Indonesia asli berarti pribumi.
     
    “Kalau Presiden dan Wakil Presiden Indonesia harus pribumi, itu kemunduran. Kita sudah selesai dengan hal semacam itu di era reformasi, ini kok malah balik lagi ke masa lalu,” kata Daniel saat dihubungi, 4 Oktober 2016.
    Menurut Daniel, akan sulit untuk mengartikan orang Indonesia asli karena nenek moyang orang Indonesia sendiri tidak berasal dari dataran Indonesia, melainkan dari Indocina.
    “Kalau definisinya seperti itu berarti enggak ada yang orang Indonesia yang asli dong karena nenek moyangnya saja bukan dari dataran Indonesia, tapi dari Indocina,” ucapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Fadli Zon Sampaikan Orasi Sarasehan Budaya Forum Alumni HMI Wati Nasional

    Fadli Zon Sampaikan Orasi Sarasehan Budaya Forum Alumni HMI Wati Nasional

    Jakarta

    Menteri Kebudayaan RI (Menbud) Fadli Zon menyampaikan orasi kebudayaan dalam acara sarasehan budaya Forum Alumni HMI Wati (FORHATI) Nasional.

    Berlangsung di Tavia Heritage Hotel, Jakarta, forum ini merupakan rangkaian untuk memperingati bulan Bahasa dan Sastra yang jatuh pada bulan Oktober ini.

    Mengawali sambutannya, Fadli memberikan apresiasi setinggi-tingginya bagi FORHATI yang telah menyelenggarakan sarasehan budaya dengan tema bahasa dan sastra. Menurut Menbud, kedua unsur budaya tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda.

    “Saya mengucapkan apresiasi kepada FORHATI yang mengadakan acara untuk merayakan bulan bahasa dengan kegiatan ini. Mudah-mudahan, generasi muda di sini akan terus berkarya dan berkiprah, karena memang literasi ini menjadi semakin penting di era globalisasi ini,” ujar Fadli, dalam keterangan tertulis, Senin (6/10/2025).

    Dalam orasinya, Fadli menyampaikan kegiatan sarasehan budaya ini sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) UUD 1945, di mana sudah kemjadi kewajiban bagi negara untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia. Kemenbud yang lahir menjadi institusi baru menjadi bentuk komitmen negara untuk memajukan kebudayaan Indonesia.

    “Posisi Kementerian Kebudayaan sangat strategis untuk memajukan budaya nasional Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di tengah peradaban dunia,” terang Fadli.

    “Ini juga pertama kali dalam sejarah di Indonesia, Kementerian Kebudayaan berdiri menjadi kementerian sendiri,” sambungnya.

    Lebih lanjut, Fadli menekankan pemanfaatan industri kreatif dan budaya (creative and cultural industry) sebagai salah satu motor penggerak ekonomi nasional. Sebab, industri kreatif dan budaya berkaitan dengan banyak sektor, seperti UMKM, pariwisata, dan lainnya.

    “Ke depan ini, kita akan semakin familiar dengan istilah ‘creative and cultural industry’. Industri ini sudah menjadi nomenklatur baru yang semakin penting, karena dari budaya ini bisa menjadi suntikkan bagi ekonomi,” imbuh Fadli.

    Menutup orasi, Fadli mengajak seluruh hadirin untuk selalu mengapresiasi budaya Indonesia. Ia berharap pelestarian budaya nasional bisa terus berjalan tanpa berhenti hingga lintas generasi.

    “Hadirin sekalian, kita harus mengapresiasi budaya kita yang luar biasa dan semakin berkembang ini. Karena jika bukan kita yang mengapresiasi dan melestarikannya, tidak ada lagi yang bisa meneruskan budaya pada generasi selanjutnya nanti,” kata Fadli.

    “Salah satu isi Sumpah Pemuda adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Artinya, persatuan adalah modal utama untuk sebuah kemajuan, dan bahasa persatuan menjadi perekat bangsa,” terang Syafi’i.

    FORHATI merupakan organisasi yang menghimpun para alumni perempuan dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan merupakan bagian dari keluarga besar Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). FORHATI bertujuan menjadi wadah strategis bagi perempuan muslim Indonesia yang berpendidikan untuk terus berkontribusi dalam pembangunan nasional, khususnya dalam pemberdayaan ekonomi dan perubahan sosial.

    Sebagai informasi, acara ini turut dihadiri Wamenag RI Muhammad Syafi’i; Kepala Badan Pengawas Obat Makanan RI (BPOM) Taruna Ikrar; Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) Nannie Hadi Tjahjanto; sastrawan Taufiq Ismail beserta Ati Taufiq Ismail; penulis esai dan penerjemah Ida Nasution; pengusaha kuliner Nur Asia Uno; Anggota KPU Betty Idrus; Koordinator Presidium FORHATI Jamilah Abdul Gani; serta jajaran pengurus FORHATI.

    Pada kesempatan ini, Fadli turut didampingi oleh Inspektur Jenderal Kemenbud Fryda Lucyana; dan Staf Khusus Menteri Bidang Diplomasi Budaya dan Hubungan Internasional Kemenbud Annisa Rengganis.

    (ega/ega)

  • Wakil Ketua DPRD Pasangkayu Gagap Baca Teks UUD 1945, Politisi Nasdem Hariman Lupa Bawa Kacamata

    Wakil Ketua DPRD Pasangkayu Gagap Baca Teks UUD 1945, Politisi Nasdem Hariman Lupa Bawa Kacamata

    FAJAR.CO.ID,MAKASSAR — Momen unik sekaligus aneh terjadi di wilayah Sulawesi Barat, Pasangkayu.
    Tepatnya pada peringatan hari kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2025.

    Saat itu Wakil Ketua II DPRD Pasangkayu, Sulawesi Barat (Sulbar), Hariman Ibrahim gagap dan terbata-bata saat membacakan teks Pembukaan UUD 1945 pada upacara itu.

    Momen Hariman membacakan teks Pembukaan UUD 1945 itu direkam hingga viral di media sosial.

    Dalam video yang beredar, tampak Hariman mengenakan setelan jas lengkap. Hariman berdiri sambil memegang naskah Pembukaan UUD 1945.

    Di video tersebut, terlihat Hariman kesulitan melafalkan teks yang dibacanya.

    Terlihat jelas ia terbata-bata dalam pembacaan Pembukaan UUD 1945 itu, terdengar juga beberapa kata yang dilewatkannya saat pembacaan.

    Rekan Hariman di fraksi NasDem DPRD Pasangkayu, Robin Chandra Hidayat, menegaskan tidak ada unsur kesengajaan dalam kejadian itu. Momen itu terjadi lantaran Hariman disebut lupa membawa kacamata minusnya.

    “Lupa bawa kacamata beliau,” ujar Robin kepada wartawan dikutip Minggu (5/10/2025).

    “Beliau memang diminta untuk bertugas (membacakan UUD 1945) menggantikan Ketua DPRD yang tidak sempat hadir,” ujarnya.

    Ada harapan yang disampaikan agar kejadian itu tidak dilebih-lebihkan agar tidak terjadi kesalahpahaman ke depannya.

    “Terbukti beliau sangat dicintai oleh masyarakatnya sehingga berhasil meraih suara terbanyak di internal anggota Fraksi NasDem DPRD Pasangkayu. Itulah modal politik utama beliau,” ujarnya.

    (Erfyansyah/fajar)

  • Mengubah paradigma pariwisata Indonesia menuju instrumen peradaban

    Mengubah paradigma pariwisata Indonesia menuju instrumen peradaban

    Keberhasilan pariwisata ke depan akan diukur bukan hanya dari devisa yang masuk, tetapi dari kemampuan kita mengelola kelestarian alam dan budaya, menghasilkan SDM berkualitas, dan mengedepankan partisipasi aktif masyarakat

    Jakarta (ANTARA) – Indonesia dengan segala kekayaan alam dan budayanya, telah lama memimpikan sektor pariwisata yang tak sekadar meraup devisa, tetapi juga mampu berdiri tegak sebagai pilar peradaban bangsa.

    Kini, mimpi tersebut semakin dekat menjadi kenyataan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menjadi undang-undang (UU).

    Pengesahan, yang disebut oleh Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana sebagai fondasi penting, itu menandai sebuah era baru yang lebih berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan. UU tersebut bukan hanya soal memperbarui regulasi teknis, melainkan pergeseran paradigma fundamental.

    Ketua Komisi VII DPR Saleh Partaonan Daulay menegaskan, pariwisata kini ditempatkan sebagai instrumen peradaban, pembangunan manusia, kebudayaan, dan penguatan identitas bangsa.

    Namun, di balik harapan besar yang dibawa UU baru, pariwisata Indonesia masih berhadapan dengan sejumlah tantangan kronis yang harus dijawab tuntas oleh substansinya.

    Masalah pariwisata kita mencakup degradasi lingkungan, tergerusnya budaya lokal, keterbatasan amenitas dan aksesibilitas, rendahnya kualitas layanan, hingga minimnya manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat lokal.

    Legislator bahkan menyoroti fakta bahwa devisa pariwisata Indonesia masih terkonsentrasi di Bali (44% pada 2024), mencerminkan pembangunan yang belum merata di destinasi super prioritas seperti Danau Toba, Labuan Bajo, dan Borobudur.

    Jika pariwisata adalah “mesin pertumbuhan ekonomi”, maka mesin tersebut harus didistribusikan secara adil, tidak hanya menguntungkan satu pulau.

    Oleh karena itu, RUU yang telah disahkan merupakan respons kolektif yang ambisius, lahir dari kesadaran bahwa model pariwisata lama yang berorientasi pada kuantitas kunjungan dan eksploitasi sumber daya sudah usang.

    Ketua Panja RUU Kepariwisataan, Chusnunia Chalim, menilai pengesahan menandai era baru paradigma pariwisata yang berkelanjutan, sekaligus menunjukkan respons bersama antara DPR dan pemerintah atas dinamika dan kebutuhan masyarakat agar pembangunan dilaksanakan secara lebih inklusif. Paradigma baru bertekad membangun pariwisata berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan tujuan ganda: meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat sekaligus memperkuat identitas negara melalui nilai-nilai Pancasila, budaya, dan kemaritiman.

    Keberhasilan pariwisata ke depan akan diukur bukan hanya dari devisa yang masuk, tetapi dari kemampuan kita mengelola kelestarian alam dan budaya, menghasilkan SDM berkualitas, dan mengedepankan partisipasi aktif masyarakat .

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Koalisi Sipil: RUU KKS Ancam HAM karena Libatkan TNI sebagai Penyidik
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        4 Oktober 2025

    Koalisi Sipil: RUU KKS Ancam HAM karena Libatkan TNI sebagai Penyidik Nasional 4 Oktober 2025

    Koalisi Sipil: RUU KKS Ancam HAM karena Libatkan TNI sebagai Penyidik
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Koalisi Masyarakat Sipil menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) mengancam Hak Asasi Manusia (HAM) lantaran melibatkan TNI sebagai penyidik pidana siber, sebagaimana diatur di Pasal 56 ayat (1) huruf d.
    Adapun koalisi itu terdiri dari Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial, dan De Jure.
    “Pelibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber justru akan semakin mengancam hak asasi manusia dan negara hukum,” kata Koalisi Masyarakat Sipil dalam siaran pers, Sabtu (4/10/2025).
    Koalisi berpandangan, keterlibatan TNI dalam rumusan ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
    TNI tidak memiliki tugas dan fungsi sebagai penegak hukum.
    Mereka menilai, perumusan pasal ini kian menunjukkan semakin besarnya intervensi militer dalam kehidupan sipil, yang semakin menciderai prinsip civilian supremacy dalam sistem hukum negara demokratis, di mana proses penegakan hukum pidana merupakan ranah kekuasaan sipil, bukan militer.
    “Keterlibatan militer dalam proses penyidikan perkara pidana—termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber—tidak hanya bertentangan dengan konstitusi dan UU TNI, tetapi juga mengancam kebebasan sipil dan demokrasi,” ucap Koalisi.
    Tak hanya itu, perumusan pasal pun menjadi indikasi semakin menguatnya upaya militerisasi ruang siber.
    Menurut mereka, langkah-langkah sistematis tersebut terlihat semenjak revisi UU TNI, dengan penambahan tugas operasi militer selain perang yang berkaitan dengan penanganan ancaman pertahanan siber.
    Penambahan tugas ini dinilai menjadi problematis dengan kondisi ketidakjelasan mengenai gradasi ancaman.
    Ketidakjelasan ini akan memberikan ruang bagi militer untuk terlibat dalam semua tingkatan penanganan ancaman keamanan siber, tidak terbatas pada aspek yang berkaitan dengan ancaman perang siber (
    cyber conflict)
    .
    “Selain itu, pertahanan siber (
    cyber defense
    ) yang menjadi tugas dari TNI, fokus dan lingkupnya semestinya lebih menekankan pada tindakan defensif yang diambil untuk menghancurkan, meniadakan, atau mengurangi keefektifan ancaman siber terhadap pasukan dan aset (
    active cyber defense
    ), atau sebaliknya dengan tindakan yang diambil untuk meminimalkan keefektifan ancaman siber terhadap pasukan dan aset (
    passive cyber defense
    ),” jelasnya.
    Koalisi juga menilai, keterlibatan TNI meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan (
    abuse of power
    ).
    Terlebih, keterlibatan ini belum disertai dengan mekanisme akuntabilitas yang memadai.
    Sebab, hingga kini, UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer belum diperbarui.
    UU ini memungkinkan anggota TNI diadili melalui Peradilan Militer saat melakukan pelanggaran.
    “Akibatnya, setiap pelanggaran pidana, baik pidana militer maupun pidana umum, termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber, yang dilakukan oleh anggota TNI, penuntutannya harus melalui peradilan militer,” tandasnya.
    Sebagai informasi, pemerintah melalui Kementerian Hukum telah menyelesaikan proses penyusunan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS).
    RUU itu akan diajukan ke DPR sebagai prioritas legislasi 2026.
    Namun, sejumlah pasal dalam RUU dikritisi karena masih menunjukkan sejumlah permasalahan yang mengancam demokrasi dan negara hukum.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Simak Cara Terbaru Gabung TNI Setelah Perubahan Batas Usia dan Tinggi

    Simak Cara Terbaru Gabung TNI Setelah Perubahan Batas Usia dan Tinggi

    Bisnis.com, JAKARTA – Perubahan syarat batas tinggi dan usia bagi calon pendaftar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) membawa angin segar. TNI AD mengubah syarat minimal tinggi badan dari sebelumnya 163 sentimeter menjadi 158 sentimeter serta mengubah batas usia rekrutmen dari maksimal 22 tahun menjadi 24 tahun.

    Wakil Panglima TNI, Jenderal Tandyo Budi Revita menyebutkan alasan perubahan syarat tinggi dan usia.

    “Sekarang kami lagi butuh banyak pasukan ya, banyak prajurit. Usia kami tambahin,” kata Tandyo kepada wartawan di kantor Kementerian Pertahanan (Kemhan) Rabu (1/10/2025).

    Sementara terkait syarat tinggi badan, Kepala Dinas Penerangan AD, Brigadir Jenderal TNI Wahyu Yudhayana mengungkapkan banyak calon prajurit yang sebenarnya memenuhi seluruh kualifikasi, tetapi gagal hanya karena selisih beberapa sentimeter.

    Dengan penyesuaian ini, TNI AD berharap bisa menjaring lebih banyak calon prajurit yang berkualitas, berpotensi, dan punya motivasi kuat untuk mengabdi.

    Jadi, bagaimana cara mendaftar menjadi bintara dan tamtama TNI?

    Langkah pertama adalah mengetahui persyaratan untuk mendaftar.

    Dilansir dari website resmi pendaftaran TNI, persyaratan umum mendaftar TNI sebagai berikut:

    Persyaratan umum pendaftaran TNI Tamtama atau Bintara

    1. Warga Negara Indonesia (WNI).
    2. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menganut salah satu dari enam agama resmi di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu) atau penghayat kepercayaan.
    3. Setia kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
    4. Tidak memiliki catatan kriminalitas, dibuktikan dengan surat resmi dari kepolisian (SKCK).
    5. Berijazah minimal SMA/SMK/MA sederajat (termasuk Paket C sesuai ketentuan).
    6. Belum pernah menikah dan bersedia tidak menikah selama masa pendidikan dasar militer (Dikma) hingga minimal 2 tahun setelah lulus Dikma.
    7. Tinggi badan minimal 163 cm (khusus TNI AD minimal 158 cm) dengan berat badan proporsional.
    8. Usia minimal 17 tahun 10 bulan, dan maksimal 22 tahun (khusus TNI AD maksimal usia 24 tahun).
    9. Sehat jasmani dan rohani, tidak bertato/bekas tato, tidak bertindik, kecuali karena adat (dengan surat keterangan dari ketua adat/suku), tidak buta warna, tidak berkacamata/softlens.
    10. Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah NKRI.
    11. Bukan anggota/mantan TNI, Polri, atau PNS.
    12. Memiliki kartu BPJS atau KIS (Kartu Indonesia Sehat) aktif.

    Persyaratan Khusus

    TNI Angkatan Darat

    1. Usia: 17 tahun 10 bulan hingga 24 tahun pada saat pendaftaran
    2. Lulusan SMA/MA/SMK dengan nilai akademik minimal sesuai tahun kelulusan:
    Lulusan 2017–2019: rata-rata UN minimal 37.
    Lulusan 2020: rata-rata rapor (Bhs. Indonesia, Inggris, Matematika) minimal 65.
    Lulusan 2021–2022: rata-rata rapor (3 mapel) minimal 68.
    Lulusan 2023–2025: rata-rata rapor (3 mapel) minimal 70.
    3. Bersedia menjalani Ikatan Dinas Pertama (IDP) minimal 10 tahun.
    4. Bersedia membayar kembali biaya pendidikan 10 kali lipat apabila apabila dengan kemauan sendiri menolak atau mengundurkan diri dari kegiatan penerimaan dan pendidikan pertama sampai dengan pengangkatan menjadi prajurit TNI;
    5. Harus mengikuti seleksi resmi yang meliputi administrasi, kesehatan, jasmani, psikologi, dan litpers (penelitian personel).
    6. Surat persetujuan orang tua/wali diperlukan, tanpa intervensi terhadap panitia penerimaan.
    7. Ijazah luar negeri atau dari lembaga pendidikan di luar naungan Kemendikdasmen/Kemendikti wajib dilegalisasi kementrian tersebut dan transkripnya disetarakan dengan regulasi Indonesia.
    8. Persyaratan tambahan: tidak kehilangan hak menjadi prajurit karena putusan pengadilan, serta bersedia mematuhi aturan bebas KKN (dengan surat pernyataan tidak melakukan penyuapan).
    9. Prestasi: boleh melampirkan sertifikat/piagam minimal tingkat nasional (juara 1–3) untuk nilai tambah dalam pelaksanaan RIK/Uji Sidang Pemilihan.

    TNI Angkatan Laut

    1. Usia: 17 tahun 9 bulan hingga 22 tahun pada saat pendidikan pertama.
    2. Ikatan Dinas Pertama (IDP) maksimal 10 tahun sejak dilantik sebagai prajurit.
    3. Domisili minimal 12 bulan sesuai KTP di wilayah panitia daerah pendaftaran.
    4. Prestasi: sertifikat/piagam dapat dilampirkan untuk nilai tambah.
    5. Seleksi berjenjang:
    Tingkat daerah di lokasi pendaftaran.
    Tingkat pusat di Lapetal Malang dengan biaya ditanggung negara.
    Peserta yang tidak lulus pusat akan dipulangkan dengan biaya negara.
    Pendaftaran hanya diperbolehkan di satu tempat.

    TNI Angkatan Udara

    1. Usia: 17 tahun 9 bulan hingga 22 tahun pada saat pendidikan pertama.
    2. Dokumen administrasi wajib: Ijazah, Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, dan KTP.
    3. Khusus bagi yang sudah bekerja:
    Melampirkan surat persetujuan dari instansi tempat bekerja.
    Melampirkan surat pernyataan bersedia diberhentikan dari status karyawan jika diterima sebagai prajurit TNI AU.

    Pendaftaran menjadi prajurit tamtama-bintara TNI dapat melalui website berikut:
    TNI AD: https://ad.rekrutmen-tni.mil.id/bintara-ad
    TNI AL: https://al.rekrutmen-tni.mil.id/
    TNI AU: https://diajurit.tni-au.mil.id/

    Menjadi prajurit TNI AD, AL, atau AU memerlukan persiapan fisik, mental, serta kelengkapan administrasi yang matang. Persyaratan umum berlaku untuk semua angkatan, sedangkan persyaratan khusus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing angkatan.

    Dengan memahami persyaratan ini, calon pendaftar dapat mempersiapkan diri lebih baik sebelum mengikuti seleksi resmi penerimaan prajurit TNI.

    (Stefanus Bintang)

  • Perjalanan Komunitas Nama Bambang yang Kini Resmi Berbadan Hukum
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        2 Oktober 2025

    Perjalanan Komunitas Nama Bambang yang Kini Resmi Berbadan Hukum Megapolitan 2 Oktober 2025

    Perjalanan Komunitas Nama Bambang yang Kini Resmi Berbadan Hukum
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Persaudaraan Bambang Sedunia (PBS) resmi menjadi organisasi berbadan hukum pada Rabu (1/10/2025).
    Momen ini menandai perjalanan panjang komunitas yang berdiri sejak sembilan tahun silam, berawal dari pertemuan santai sejumlah orang yang kebetulan bernama “Bambang”.
    PBS lahir pada 13 Mei 2016, Ketua Harian PBS Bambang Pahlawanto, menjelaskan, awalnya komunitas ini hanya berupa grup WhatsApp untuk mengumpulkan orang-orang bernama Bambang.
    “Pertama kita makan-makan, ketemu orang namanya Bambang. Dari situ kepikiran bikin grup. Namanya dulu Bambang Sedunia, lalu berkembang jadi Persaudaraan Bambang Sedunia,” kata Bambang Pahlawanto, kepada Kompas.com, Kamis (2/10/2025).
    Ia mengungkapkan, lebih dari sekadar sarana silaturahmi, PBS lahir sebagai wadah untuk menghadapi stigma yang kerap melekat pada nama Bambang.
    “Dulu nama Bambang itu sering diledek-ledekin. Tapi setelah ada PBS, sekarang kita bangga. Nama Bambang justru jadi perekat kebersamaan,” ujar dia.
    Seiring bertambahnya anggota, PBS mulai menapaki ranah sosial. Mereka turut bergerak membantu anggota yang tertimpa musibah.
    Seperti menggalang dana untuk anggota yang terkena musibah. PBS juga disebut pernah melakukan kegiatan sosial dengan mengirim bantuan air ke daerah kekeringan seperti Gunung Kidul.
    Bambang Pahlawanto menegaskan, setiap orang yang memiliki nama Bambang dapat bergabung, baik nama depan, tengah, maupun akhir.
    Semua anggota dipersilakan berpartisipasi tanpa memandang latar belakang, profesi, atau status sosial.
    Menurut dia, tujuan PBS adalah untuk mempererat persaudaraan antar-Bambang sekaligus menghadirkan manfaat bagi anggotanya dan masyarakat luas.
    “Hanya kebersamaan aja, juga jadi Bambang itu bisa untuk semua lah, berguna untuk semua gitu.” Kata dia
    Sementara, Sekretaris Jenderal PBS, R. Bambang Priatmono, menjelaskan, PBS berambisi membentuk jaringan yang lebih luas.
    Aspirasi itu tercermin dari rencana melibatkan tokoh nasional bernama Bambang, mulai dari Bambang Soesatyo, Bambang Brodjonegoro, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, upaya ini belum sepenuhnya terealisasi.
    “Sekarang memang tokoh nasional belum ada yang berhasil. Tadinya mau nunggu mereka, saya sudah hubungi orang-orang dekat Pak SBY. Tapi akhirnya kesepakatan, sudah lah. Kita jalan dulu, nanti kalau sudah jadi badan hukum, kepercayaan publik meningkat,” ujar Bambang Priatmono.
    Ia menjelaskan, landasan filosofi PBS tidak lepas dari Pancasila dan UUD 1945, menurut dia, nama Bambang dimaknai sebagai “satria”.
    Dari pemaknaan itu lahir enam nilai dasar PBS yang dirangkum dalam akronim SATRIA: santun, akuntabel, transparan, responsibel, inisiatif, dan afirmatif.
    “Itu pedoman etik PBS. Kesadaran rasionalnya menjaga budaya dan NKRI, tapi emosinya sederhana saja: ingin kumpul sesama Bambang,” kata Bambang Priatmono.
    Ke depannya PBS sudah memiliki rencana jelas, dimulai dari paguyuban, badan hukum, koperasi, perseroan terbatas (PT), hingga organisasi yang mampu mensejahterakan anggota sekaligus lingkungan sekitar.
    “Milestone kita ada lima. Pertama paguyuban, lalu badan hukum, kemudian koperasi, lalu PT. Tahap terakhir, PBS bukan hanya sejahtera untuk anggota, tapi juga mensejahterakan lingkungan,” ujar dia.
    Meski begitu, hingga saat ini kegiatan rutin belum sepenuhnya berjalan.
    Kegiatan yang dilakukan sejauh ini hanya menghadiri undangan dari media atau komunitas lain yang namanya juga dijadikan identitas, seperti Asep atau Agus.
    “So far ini tidak ada kegiatan. Kalau sebut rutin kan periodik. So far ini nggak ada. Tapi yang kita lakukan itu ya, misalnya kita menghadiri undangan dari TV, komunitas Bambang, komunitas Asep, komunitas Agus, seperti itu,” kata dia.
    Selain itu, bagi orang bernama Bambang yang ingin bergabung, ia menekankan partisipasi bukan hanya soal nama, tetapi juga soal kontribusi bagi komunitas dan masyarakat luas.
    “Kalau ngomong manfaat, itu juga menjadi pemikiran otak diri kami secara rasional. Kalau nggak ada manfaat, kita yang jadi anggota. Jadi kita akan balikkan kepada sosialitas publik yang bernama Bambang, kalau ingin merasa bermanfaat menjadi bagian daripada persaudaraan ini, sebetulnya merasa senang bangga punya komunitas,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anggota DPR: Perusahaan sawit wajib jalankan aturan dalam kegiatannya

    Anggota DPR: Perusahaan sawit wajib jalankan aturan dalam kegiatannya

    pemerintah saat ini sedang berupaya menghidupkan perekonomian rakyat dan membangkitkan kesejahteraan masyarakat desa, namun cita-cita tersebut sulit tercapai apabila perusahaan tidak patuh pada regulasi

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Soedeson Tandra menegaskan perusahaan sawit wajib menjalankan aturan dalam kegiatannya dan jangan sampai merampas hak rakyat.

    Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Jakarta, Rabu (1/10), ia menyebutkan kewajiban perusahaan, termasuk perusahaan sawit, sudah diatur jelas dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya mengenai setiap perusahaan perkebunan yang wajib menyerahkan 20 persen lahan plasma untuk masyarakat.

    “Kalau sampai perusahaan menanam di luar batas Hak Guna Usaha (HGU) itu bukan hanya melanggar aturan, tetapi sama saja merampok uang rakyat dan uang negara,” ucap Soedeson, seperti dikutip dari keterangan di Jakarta, Kamis.

    Adapun RDPU Komisi III DPR dilakukan bersama masyarakat Desa Teluk Bayur, Desa Pelanjau Jaya, dan Desa Suka Karya, kembali menyoroti praktik perusahaan sawit yang diduga merugikan masyarakat adat di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

    Menanggapi berbagai pokok masalah yang disampaikan oleh DPP Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN) RDPU, ia mengatakan pemerintah saat ini sedang berupaya menghidupkan perekonomian rakyat dan membangkitkan kesejahteraan masyarakat desa, namun cita-cita tersebut sulit tercapai apabila perusahaan tidak patuh pada regulasi.

    Dia menekankan perusahaan asing yang beroperasi di Tanah Air seharusnya tunduk pada hukum dan aturan pemerintah.

    “Kalau mereka tidak patuh, itu sama saja menghina bangsa ini. Kita tidak boleh biarkan rakyat terus diperlakukan tidak adil,” ujarnya.

    Maka dari itu, Soedeson mendukung langkah Panja Mafia Tanah Komisi III DPR untuk segera memanggil direksi PT Prakarsa Tani Sejati (PTS), PT Budidaya Agro Lestari (BAL), dan PT Sandika Nata Palma (SNP), bersama Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kalimantan Barat dan Kepala Kantor BPN Kabupaten Ketapang.

    Menurutnya, perjuangan masyarakat tiga desa yang bersatu melawan kesewenang-wenangan perusahaan merupakan bagian dari upaya menegakkan keadilan agraria di Indonesia.

    Bersama masyarakat Desa Suka Karya, Teluk Bayur, Pelanjau Jaya, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat dalam agenda RDPU, hadir pula perwakilan mahasiswa Universitas Pamulang (Unpam), Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Pembangunan Nasional (UPN), dan Universitas Atmajaya.

    Perwakilan dari Unpam, Irwansyah menjelaskan langkah tersebut merupakan bentuk komitmen mahasiswa dalam mengadvokasi masyarakat yang terganggu berbagai hak konstitusinya.

    Dia mengungkapkan masyarakat pada ketiga desa tersebut sudah puluhan tahun hidup dengan kekhawatiran karena lahan adat mereka dengan luas ribuan hektare sampai hari ini dieksploitasi oleh perusahaan yang melanggar batas-batas pada HGU yang diterbitkan.

    Dalam kesempatan yang sama, perwakilan UPN, Joxin menyatakan pendampingan tersebut bentuk solidaritas mahasiswa sebagai implementasi Tridharma Perguruan Tinggi untuk turun langsung kepada masyarakat.

    Bagi pihaknya, perjuangan masyarakat selaras dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam menegaskan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

    “Hal ini tentunya merupakan landasan utama yang menggariskan arah pembangunan nasional demi menjamin keselamatan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,” ucap Joxin.

    Ia pun menegaskan kembali bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan milik seluruh rakyat Indonesia, dikuasai negara, dan wajib dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir oligarki maupun korporasi asing.

    Oleh karenanya, kata dia, Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi suatu kepastian dalam pelaksanaan yang konkret sebagai semangat keadilan sosial sesuai amanat pembukaan UUD 1945, yaitu bahwa tujuan bernegara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Puan minta BP BUMN berperan sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat

    Puan minta BP BUMN berperan sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat

    Jakarta (ANTARA) – Ketua DPR RI Puan Maharani meminta agar Badan Pengaturan Badan Usaha Milik Negara (BP BUMN) yang terbentuk usai revisi UU BUMN disahkan, untuk berperan sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat.

    Dia menekankan bahwa semangat dari perubahan ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto, yakni agar BUMN menjalankan perannya secara maksimal untuk kepentingan rakyat, sebagaimana amanat konstitusi.

    “Seperti semangat yang disampaikan oleh Bapak Presiden bahwa BUMN sebagai badan usaha milik negara, memang harus berfungsi dan berperan harusnya juga sebesar-besarnya sesuai dengan pasal 33 (UUD 1945) adalah untuk seluruh rakyat Indonesia,” kata Puan usai rapat paripurna di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.

    Menurut dia, penataan kelembagaan merupakan hal yang penting agar tidak terjadi tumpang tindih antara fungsi regulator dan operator karena hal ini krusial agar BUMN dapat bekerja lebih efektif.

    “Yang mana sekarang sudah ditarik ke Danantara. Jadi jangan sampai kemudian ada tumpang tindih antara regulator dan operator,” katanya.

    Dia pun berharap dengan adanya payung hukum yang baru, maka langkah-langkah implementasi teknis BUMN bisa segera dilakukan. Selain itu, dia meminta agar BUMN memberi dampak nyata bagi masyarakat luas.

    “Setelah ini ada perubahan UU-nya tentunya sudah ada payung hukumnya untuk bisa diimplementasikan atau ditindaklanjuti di lapangan,” kata dia.

    Sebelumnya, Rapat Paripurna Ke-6 DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025-2026 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengganti Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN).

    “Apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?” kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang dijawab setuju oleh para Anggota DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Anomali Gugatan Hasto soal UU Tipikor: DPR Setuju Revisi tapi Pilih Jalur MK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Oktober 2025

    Anomali Gugatan Hasto soal UU Tipikor: DPR Setuju Revisi tapi Pilih Jalur MK Nasional 2 Oktober 2025

    Anomali Gugatan Hasto soal UU Tipikor: DPR Setuju Revisi tapi Pilih Jalur MK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sidang uji materi Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atau pasal perintangan penyidikan bergulir dengan agenda mendengar keterangan Presiden atau Pemerintah, dan DPR.
    Sidang ketiga perkara 136/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto itu digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
    Keterangan pertama yang didengarkan adalah dari DPR yang saat itu diwakili oleh Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta.
    Wayan Sudirta hadir secara daring, membacakan alasan DPR bernada dukungan atas gugatan Hasto yang meminta agar ancaman hukuman penjara pelaku perintangan penyidikan kasus korupsi lebih ringan daripada yang diatur saat ini.
    Dalam Pasal 21 UU Tipikor dijelaskan, ancaman hukuman maksimal pelaku
    obstruction of justice
    kasus korupsi adalah 12 tahun.
    Hal ini dinilai kontradiktif dengan ancaman hukuman pidana pokok yang bisa lebih ringan, seperti kasus suap misalnya.
    Sudirta menilai, akan terjadi disparitas antara ancaman hukuman perintangan penyidikan dengan pidana pokok.
    Kader PDI-P ini kemudian merujuk beberapa negara lain, di mana ancaman pidana perintangan penyidikan harus lebih kecil dari pidana pokoknya.
    “Dengan merujuk Jerman, Belanda, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat, ancaman hukuman
    obstruction of justice
    secara spesifik merujuk pada dan kurang dari bahkan hingga seperempat ancaman pidana tindak pidana awal atau pokok,” kata dia.
     
    Alasan lain, politikus PDI-P ini mengatakan Pasal 21 ini harus dimaknai bukan merupakan bagian tindak pidana korupsi.
    Karena itu, dia khawatir pasal tersebut justru digunakan untuk mengancam pihak lain yang bukan merupakan pelaku tindak pidana korupsi.
    “Pasal ini akan digunakan untuk mengancam pihak lain yang tidak merupakan bagian dari pelaku tindak pidana korupsi,” ucap Sudirta.
    Setelah memperkuat argumennya, Sudirta tiba pada permohonan agar Mahkamah Konstitusi menuruti keinginan Hasto agar ancaman maksimal pidana perintangan kasus korupsi dikurangi jadi tiga tahun.
    “Menyatakan bahwa Pasal 21 UU RI nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan sengaja secara melawan hukum mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung, penyidikan penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi,” kata Sudirta.
    “Dan atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak semestinya dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta, dan paling banyak Rp 600 juta,” sambung dia.
    Tak seperti DPR, pemerintah sebagai pembentuk undang-undang mempertahankan argumennya atas pembuatan Pasal 21 UU Tipikor tersebut.
    Mereka tetap bertahan dan meminta agar permohonan Hasto ditolak, bukan hanya dari sisi permohonan, tetapi juga kedudukan hukumnya.
    Sikap pemerintah ini disampaikan Kuasa Presiden yang diwakili Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak.
    “Menyatakan bahwa pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau
    legal standing
    ,” kata Leonard.
    “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima,” tutur Leonard.
    Selain meminta MK menolak permohonan Hasto, Leonard juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 21 yang digugat Hasto telah sesuai dengan konstitusi.
    “Menyatakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan pasal 1 ayat 3, pasal 24 ayat 1, pasal 28D ayat 1, dan pasal 28E UUD 1945,” kata dia.
     
    Mendengar sikap dua lembaga pembentuk undang-undang yang berbeda yakni antara pemerintah dan DPR, Hakim Konstitusi Saldi Isra angkat bicara.
    Dia menyebut, tak biasanya DPR yang dikenal galak mempertahankan produk legislasi mereka tiba-tiba menyetujui revisi undang-undang lewat jalur gugatan di MK.
    Karena pembentuk undang-undang seyogianya memiliki kewenangan merevisi kapan pun undang-undang yang dianggap tidak sesuai.
    Tapi kali ini berbeda, DPR menyetujui permintaan Hasto agar Pasal 21 UU Tipikor direvisi normanya untuk mengurangi ancaman pidana pelaku kejahatan perintangan penyidikan kasus korupsi.
    “Ini memang agak jarang-jarang suasananya terjadi ada pemberi keterangan (dari DPR-RI) yang setuju dengan permohonan pemohon,” kata Saldi Isra.
    Dia juga langsung menyindir kuasa hukum Hasto yang hadir dalam sidang tersebut, jika cerdas maka tak perlu ada lagi sidang lanjutan uji materi Pasal 21 UU Tipikor tersebut.
    Karena, DPR sudah menyatakan dukungan untuk mengubah Pasal 21 UU Tipikor sesuai keinginan Hasto.
    Pihak Hasto seharusnya langsung tancap gas ke Senayan, membawa proposal revisi UU Tipikor.
    “Sebetulnya kalau kuasa hukum pemohon cerdas, sudah saatnya ini datang ke DPR, biar DPR saja yang mengubahnya, tidak perlu melalui Mahkamah Konstitusi, biar komprehensif sekalian,” ucap Saldi.
    Di akhir kata, Saldi meminta agar DPR segera mengirimkan pernyataan tertulis agar menjadi pertimbangan hakim dalam uji materi UU Tipikor tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.