Produk: UU Pemilu

  • DPR Soal Peluang Bentuk Pansus Pasca Putusan MK soal Pemilu Terpisah

    DPR Soal Peluang Bentuk Pansus Pasca Putusan MK soal Pemilu Terpisah

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Perwakilan Daerah (DPR) masih mendengarkan masukan terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal keserentakan pemilu.

    Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan bahwa sampai sejauh ini belum ada rencana membentuk panita khusus (pansus) untuk merevisi UU Pemilu.

    “Belum diambil keputusan [pembentukan pansus] karena kemarin baru mendengarkan masukan dari pemerintah,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).

    Puan melanjutkan, pada Senin kemarin ada rapat pertemuan antara pimpinan DPR, Mendagri, Mensesneg, hingga Perludem untuk berdiskusi mengenai hasil keputusan MK. Dalam pertemuan ini, katanya, DPR baru mendengarkan masukan saja.

    “Dan kemudian nantinya dari DPR sesuai dengan mekanismenya tentu saja akan mengambil langkah-langkah atau mencermati hal tersebut untuk mencari langkah yang terbaik, tentu saja untuk partai politik,” katanya.

    Meski demikian, eks Menko PMK ini tak memungkiri adanya efek putusan MK terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

    “Tentu saja itu akan ada efeknya ke undang-undang pemilu, tapi undang-undang pemilunya juga belum kita bahas, karenanya DPR dan pemerintah akan mencermati keputusan dari MK tersebut,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengubah skema waktu pelaksanaan Pemilu menjadi dua tahap: Pertama, Pemilu Serentak Nasional yaitu Presiden, DPR, dan DPD tetap dilaksanakan pada tahun 2029.  

    Kedua, Pemilu Daerah Pilkada dan Pemilihan Anggota DPRD digeser dua tahun kemudian pada tahun 2031, dan disatukan pelaksanaannya.

  • Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU

    Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU

    Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua
    Komisi II
    DPR Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan, putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang memisahkan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 akan memicu banyak revisi undang-undang.
    Ia mengatakan, yang sudah pasti akan terkena revisi adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota (Pilkada).
    Selain dua undang-undang itu, Dede mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua juga akan berubah.
    “Ada berapa Undang-Undang yang akhirnya akan terpaksa diubah? Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 23. Karena dalam UU Nomor 23 itu menentukan soal Pemerintahan Daerah, di dalamnya ada DPRD. Berarti kan harus direvisi juga, harus diulang,” kata Dede Yusuf di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
    Adapun UU Otsus Papua diubah karena di dalamnya mengatur pemilihan anggota DPRD yang dilaksanakan lima tahun sekali.
    Sedangkan dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK mengusulkan agar pemilihan DPRD dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada paling singkat dua tahun setelah pelantikan presiden/wakil presiden.
    “Itu undang-undang, loh, enggak mungkin kita hanya menambah dua tahun tanpa merevisi UU,” ucap Dede.
    Komisi II bersama alat kelengkapan dewan (AKD) lain disebutnya akan melakukan kajian terlebih dahulu ihwal putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu.
    “Kalau dari Komisi II, kita harus memberikan kajian terlebih dahulu dari sudut pandang Komisi II. Nah, dari berbagai kajian-kajian itu nanti kita sampaikan kepada pimpinan DPR dalam rapat konsultasi berikutnya,” ujar politikus Partai Demokrat itu.
    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia menilai, putusan MK terkait pemisahan pelaksanaan
    pemilu nasional dan daerah
    berpotensi mendorong revisi
    UU Pemilu
    dengan mekanisme
    omnibus law
    .
    Pasalnya, putusan itu membuat DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang harus mengubah total aturan pelaksanaan kepemiluan di Indonesia.
    “Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk merubah merevisi UU ini secara omnibus law,” kata Doli dalam diskusi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2025).
    Doli menuturkan, putusan MK yang terbaru makin menambah deretan panjang putusan-putusan sebelumnya terkait topik keserentakan Pemilu.
    Setidaknya kata Doli, ada sejumlah UU yang perlu diubah karena putusan tersebut. Termasuk UU Pemilu,
    UU Pilkada
    , hingga UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
    Lebih lanjut, Doli sendiri mengaku setuju dengan putusan MK terbaru. Menurutnya, Pemilu serentak menimbulkan sejumlah konsekuensi, di antaranya adalah kerumitan dalam penyelenggaraan, terutama bagi penyelenggara.
    Tahun lalu misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengurus ketentuan Pemilihan Presiden (Pilpres) hingga Pemilihan Legislatif (Pileg). Belum selesai sepenuhnya, penyelenggara harus kembali mengurusi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
    “Mereka terpilih 2022 ya kemarin. Jadi dalam waktu dua tahun, harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan tiga jenis Pemilu, nasional dan daerah. Tentu itu mengalami kerumitan,” tandas Doli.
    Diketahui, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (
    MK
    ) kembali disorot
    DPR
    setelah memutuskan untuk memisah pemilihan umum (
    pemilu
    ) nasional dan daerah mulai 2029.
    Dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan pemilihan anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan
    Pilkada
    .
    Putusan ini disorot DPR karena MK terkesan melampaui kewenangannya sebagai penjaga konstitusi atau
    guardian of constitution
    .
    Pasalnya, pemisahan pemilu nasional dan daerah akan berdampak terhadap sejumlah undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
    Pemilu
    , Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
    Namun sebelum putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK sudah beberapa kali melakukan koreksi terhadap undang-undang yang dibentuk dan disahkan oleh DPR.
    Banyak dari produk politik DPR yang berkaitan dengan sistem kepemiluan di Indonesia “direvisi” oleh MK. Apa saja koreksi MK terhadap produk politik buatan DPR terkait kepemiluan? Berikut daftarnya
    Pada Senin (16/10/2023), MK mengabulkan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam
    UU Pemilu
    .
    Pemohon gugatan adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.
    Dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
    Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
    Atas putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
    “Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman saat itu.
    Diketahui, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi gerbang masuk Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftar sebagai cawapres dari Prabowo subianto pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
    MK kemudian mengabulkan sebagian gugatan ambang batas parlemen atau
    parliamentary threshold
    (PT) sebesar 4 persen yang dimuat Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
    Perkara yang terdaftar dengan Nomor 116/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Ketua Pengurus Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
    Dalam putusannya, MK menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu atau ambang batas parlemen 4 persen tetap konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk pemilihan anggota DPR pada 2024.
    Selanjutnya,, MK menyatakan aturan itu konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilihan DPR pada 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan berpedoman pada beberapa syarat yang sudah ditentukan.
    Dengan kata lain, MK menyebut ambang batas 4 persen harus diubah sebelum Pemilu serentak tahun 2029.
    “Dalam pokok permohonan; satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2023).
    Setelah itu, mengatur ulang besaran ambang batas pencalonan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).
    MK lewat putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyatakan inkonstitusional Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 yang mengatur hanya partai politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bisa mencalonkan kepala daerah.
    Dengan adanya putusan itu, partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu yang memiliki suara sah bisa mengajukan calon kepala daerah tanpa harus mendapatkan kursi di DPRD.
    Kemudian, ambang batas pencalonan kepala daerah oleh parpol atau gabungan parpol tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara hasil pemilihan anggota DPRD atau 20 persen kursi di DPRD.
    Setelah mengubah parliamentary threshold sebesar 4 persen, MK juga menghapus ambang batas pencalonan presiden atau
    presidential threshold
    sebesar 20 persen.
    Penghapusan presidential threshold ini diputuskan dalam sidang perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis (2/1/2025).
    Diketahui, UU Pemilu mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh parpol atau gabungan parpol adalah paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional.
    MK menilai,
    presidential threshold
    sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 UU Pemilu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, serta hak politik dan kedaulatan rakyat.
    “Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
    Dalam batas penalaran yang wajar, MK memandang
    presidential threshold
    dalam Pasal 222 UU Pemilu menutup dan menghilangkan hak konstitusional parpol untuk mengusulkan capres-cawapres.
    Terutama, partai politik yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya.
    MK berpandangan, penerapan angka ambang batas minimal persentase tersebut terbukti tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
    Di sisi lain, penetapan besaran atau persentasenya dinilai tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
    Terbaru, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menilai reaksi partai politik yang resisten dengan putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal disebabkan oleh kenyamanan yang terganggu.
    Menurut Bivitri, pengurus partai politik sudah terlanjur nyaman dengan sistem pemilu yang berlaku selama ini sehingga putusan MK tersebut membuat mereka protes.
    “Tentu saja Nasdem mungkin, maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK,” ucap Bivitri di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
    Bivitri juga menepis anggapan yang dikemukakan Partai Nasdem bahwa putusan MK tersebut inkonstitusional.
    Menurut dia, apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sebagai penjaga konstitusi negara.
    Ia mengatakan, bukti bahwa putusan MK masih dalam koridor tugas mereka adalah adanya permintaan rekayasa konstitusional kepada pembentuk undang-undang.
    MK disebut masih menyerahkan kewenangan pemerintah dan DPR untuk membentuk aturan yang sesuai dengan penafsiran konstitusi.
    “Karena lihat saja, mereka (MK) minta tolong pembentuk undang-undang kan. Bikin dong rekayasa konstitusionalnya. Karena mereka memang tidak ada intensi untuk bikin undang-undang, mereka benar-benar hanya menafsirkan pasal yang diminta,” kata Bivitri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Eri Cahyadi Respons Positif Putusan MK yang Pisah Pemilu Nasional dan Daerah
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        30 Juni 2025

    Eri Cahyadi Respons Positif Putusan MK yang Pisah Pemilu Nasional dan Daerah Surabaya 30 Juni 2025

    Eri Cahyadi Respons Positif Putusan MK yang Pisah Pemilu Nasional dan Daerah
    Tim Redaksi
    SURABAYA, KOMPAS.com
    – Wali Kota
    Surabaya
    ,
    Eri Cahyadi
    merespons putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (
    MK
    ) perihal pemisahan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah pada tahun 2029.
    Eri mendukung keputusan MK terkait
    pemisahan pemilu
    tersebut.
    Dia memperkirakan, skema itu bisa berjalan lebih baik dibandingkan dilaksanakan secara serempak.
    “Kalau itu sudah diputuskan, tapi memang lebih baik kalau dipastikan ada perbedaan, tidak berbarengan, itu memang jauh lebih baik,” kata Eri di DPRD
    Surabaya
    , Senin (30/6/2025).
    Selain itu, menurut Eri, hal itu mempermudah masyarakat dalam memberikan hak suaranya.
    Para pemilih memiliki waktu untuk berpikir menentukan pilihannya.
    “Sehingga apa? Sehingga tidak berbarengan dan tidak menimbulkan gesekan yang seperti kemarin,” katanya. 
    “Orang itu bosan, mari (habis) presiden, pileg (pemilihan legislatif),
    maringono
    (setelahnya) pilkada (pemilihan kepala daerah) sama DPRD Kota, daerah, mungkin dipisah lebih bagus,” ucap Eri. 
    Meski demikian, kata Eri, MK pasti sudah memiliki pertimbangan sendiri sebelum mengeluarkan keputusan tersebut, terutama dengan memikirkan manfaat untuk masyarakat secara luas.
    “Tapi itu saya yakin banyak pertimbangan, dan saya yakin keputusan itu pasti akan mempertimbangkan lebih baik manfaatnya daripada mudaratnya, makanya diambil keputusan itu,” ujarnya.
    Diberitakan sebelumnya, putusan MK yang memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah mulai 2029 dinilai sebagai momentum penting untuk memperbaiki tata kelola pemilu.
    Putusan ini dinilai bisa meringankan beban penyelenggara pemilu dan berpotensi meningkatkan kualitas partisipasi rakyat dalam pesta demokrasi.
    Lebih jauh, putusan MK tersebut juga dianggap membuka jalan dilaksanakannya revisi besar-besaran terhadap undang-undang kepemiluan melalui pendekatan
    omnibus law.
    Dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan daerah tidak lagi dilakukan secara serentak.
    Pemilu nasional akan difokuskan pada pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD.
    Sementara itu, pemilu daerah yang mencakup pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, dilakukan pada waktu yang berbeda.
    Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan bahwa Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Selain itu, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Bukan Perkara Mudah

    Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Bukan Perkara Mudah

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Wacana perpanjangan masa jabatan anggota DPRD sebagai konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan waktu pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai tahun 2031 dengan jeda 2 hingga 2,5 tahun.

    Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Aria Bima menilai putusan MK atas uji materi yang diajukan sejumlah pihak, termasuk Perludem, akan membawa implikasi ketatanegaraan yang tidak sederhana.

    Oleh karena itu, perlu dicermati secara mendalam agar tidak menimbulkan persoalan baru dalam sistem demokrasi dan tatanan penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

    “Perpanjangan masa jabatan DPRD, misalnya, bukan perkara mudah. Kita perlu duduk bersama antara DPR, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyepakati langkah-langkah strategis guna mengantisipasi konsekuensi dari putusan MK tersebut,” ujar Aria Bima di Jakarta, Senin (30/6/2025).

    Ia menilai bahwa kondisi tersebut membuka urgensi untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang baru secara lebih menyeluruh.

    Menurutnya, pembahasan RUU tersebut idealnya tidak cukup hanya melalui panitia kerja (panja), tetapi bisa dipertimbangkan melalui panitia khusus (pansus) lintas komisi mengingat kompleksitas persoalan yang akan timbul ke depan.

    “Apakah nantinya kita akan menambahkan pasal peralihan atau menyisipkan norma baru dalam UU Pemilu, itu harus dipikirkan secara integral, tidak bisa sepotong-sepotong. Ini soal desain besar penyelenggaraan pemilu yang akan memengaruhi ekosistem demokrasi nasional,” tegas legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah V tersebut.

  • Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU

    Apa Langkah yang Diambil DPR Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah?

    Apa Langkah yang Diambil DPR Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Dewan Perwakilan Rakyat (
    DPR
    ) RI maupun pemerintah masih terus mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah mulai 2029.
    Sejumlah langkah pun mulai dikaji oleh pihak legislatif, mulai dari usul pembentukan panitia khusus (pansus) hingga revisi undang-undang terkait pemilu secara menyeluruh dengan metode
    omnibus law
    .
    Lalu, apa langkah yang akan diambil DPR?
    Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa pimpinan DPR belum dapat memberikan sikap resmi karena kajian terhadap substansi putusan masih berlangsung.
    “Kita akan mengkaji dahulu putusan itu,” ujar Dasco saat dihubungi
    Kompas.com
    , Jumat (27/6/2025).
    Menurut Dasco, pimpinan DPR baru akan memberikan tanggapan perinci terkait kepastian langkah yang akan diambil setelah kajian dilakukan secara komprehensif.
    “Saya belum bisa jawab karena kita kan belum mengkaji. Kalau sudah kajiannya komprehensif, ya mungkin semua pertanyaan kita bisa jawab. Ini keputusannya baru kemarin, jadi ya kita belum bisa jawab,” kata Dasco.
    Dari pihak pemerintah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga menyatakan tengah mempelajari implikasi
    putusan MK
    Nomor 135/PUU-XXII/2024 terhadap sejumlah aspek teknis dan regulasi.
    “Kami di Kemendagri terlebih dahulu mendalami substansi putusan MK ini secara menyeluruh,” ujar Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar, Sabtu (28/6/2025).
    Dia menjelaskan, Kemendagri akan menelaah dampak putusan tersebut terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk skema pembiayaan dan penyesuaian jadwal penyelenggaraan.
    “Komunikasi intensif akan dilakukan baik di internal pemerintah maupun dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang,” ujar Bahtiar.
    Wacana revisi UU Pemilu pun kembali menguak seiring dengan putusan MK yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
    Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI-P Aria Bima mengusulkan agar pembahasan revisi UU Pemilu dilakukan melalui panitia khusus (pansus) lintas komisi di parlemen.
    Sebab, pembahasan melalui panitia kerja (panja) di satu komisi atau alat kelengkapan dewan (AKD) saja tidak cukup mengingat kompleksitas dampak putusan MK ke depan.
    “Pembahasan RUU tersebut idealnya tidak cukup hanya melalui panitia kerja (panja), tetapi bisa dipertimbangkan melalui panitia khusus (pansus) lintas komisi mengingat kompleksitas persoalan yang akan timbul ke depan,” ujar Aria Bima dalam siaran pers, Minggu (29/6/2025).
    Bima mengingatkan, salah satu konsekuensi penting dari pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah adalah potensi kekosongan jabatan kepala daerah maupun anggota DPRD.
    Hal ini disebabkan oleh pemilu di tingkat daerah yang baru bisa digelar paling cepat dua tahun atau lebih setelah pemilu nasional.
    “Perpanjangan masa jabatan DPRD, misalnya, bukan perkara mudah. Kita perlu duduk bersama antara DPR, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyepakati langkah-langkah strategis guna mengantisipasi konsekuensi dari putusan MK tersebut,” kata Aria.
    Oleh karena itu, revisi UU Pemilu untuk meningkatkan putusan MK terbaru harus dilakukan secara menyeluruh agar tidak menimbulkan persoalan lanjutan.
    “Apakah nantinya kita akan menambahkan pasal peralihan atau menyisipkan norma baru dalam UU Pemilu, itu harus dipikirkan secara integral, tidak bisa sepotong-sepotong. Ini soal desain besar penyelenggaraan pemilu yang akan memengaruhi ekosistem demokrasi nasional,” kata dia.
    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia menilai bahwa putusan MK ini berpotensi mendorong dilakukannya revisi UU Pemilu dengan skema omnibus law.
    Menurut dia, cakupan revisi sangat luas dan menyentuh sejumlah undang-undang sekaligus. “Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk mengubah merevisi UU ini secara omnibus law,” ujar Doli dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).
    Doli menjelaskan, putusan MK tersebut menambah panjang daftar putusan terkait desain keserentakan pemilu.
    Karena itu, penyusunan ulang sistem pemilu perlu menyentuh lebih dari satu regulasi.
    Politikus Golkar itu berpandangan, setidaknya ada empat undang-undang yang perlu direvisi, yakni UU Pemilu, UU Pilkada, UU MD3, dan UU Pemerintahan Daerah.
    “Setidaknya paling enggak nanti akan berkosekuensi dengan tentu pasti UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Yang kedua, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Yang ketiga, UU tentang MD3. Yang keempat UU tentang Pemerintahan Daerah,” kata Doli.
    Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.
    Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden.
    Sedangkan, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Selanjutnya, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
     
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Di samping itu, Saldi menjelaskan bahwa MK tidak bisa menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah.
    Namun, MK mengusulkan pilkada dan pileg DPRD dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.
    “Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” ujar Saldi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    10 MK ala Chef: Bongkar Pasang Pemilu Nasional

    MK ala Chef: Bongkar Pasang Pemilu
    Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
    DEMOKRASI
    Indonesia seperti masakan tanpa juru masak atau “chef”. Untuk pertama kali negeri kita menggelar pemilu nasional dan pemilu lokal (pemilihan kepala daerah) secara serentak pada 2024.
    Serentak di sini tidak menunjuk pada hari yang sama, melainkan tahun yang sama–berjarak 9,5 bulanan.
    Ini adalah kelanjutan dari sifat serentak di Pemilu 2019 saat pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (Pileg) dilaksanakan berbarengan atau di hari yang sama dengan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres). Sebut saja “Pemilu 5 Kotak”.
    Pemilu serentak tahun 2019 itu menerjemahkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XI/2013.
    Sebelumnya, mulai dari 2004 hingga 2014, seluruh pemilu dilakukan terpisah dengan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota mendahului pemilihan presiden dan wakil presiden.
    Sekarang, dua pilar dalam “Pemilu 5 Kotak” itu dicopot oleh MK lewat putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
    Mulai 2029 mendatang, pemilihan anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota akan masuk satu rumpun dengan pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota).
    Untuk gampangnya ini disebut pemilu lokal atau daerah. Putusan MK ini dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025.
    Yang lebih drastis dan dramatis, MK memutuskan pemilu nasional dan pemilu lokal atau daerah tidak lagi digelar pada yang sama seperti 2024, tapi terpisah.
    MK menetapkan waktu pemungutan suara pemilu lokal paling singkat dua tahun atau paling lama 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR atau DPD atau pelantikan presiden dan wakil presiden.
    Mulai 2029, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, anggota DPD serta presiden dan wakil presiden. Pendek kata susut menjadi “Pemilu 3 Kotak”.
    Kali ini MK menggantikan peran
    chef
    bagi demokrasi Indonesia, setidaknya dalam “masakan” yang bernama pemilihan umum dan bagaimana pemilu nasional dan pemilu lokal harus dilaksanakan.
    Keputusan MK tak pelak mengganti model penyelenggaraan pemilu di level nasional dan lokal, dari serentak dalam tahun yang sama menjadi terpisah dengan jarak waktu paling singkat dua tahun.
    Putusan MK dapat dibilang maju, revolusioner dan agak keluar dari fungsi MK sebagai “negative legislator”.
    I Dewa Gede Palguna saat masih menjadi Hakim Konstitusi (2008) menyatakan, meskipun MK dapat membatalkan undang-undang, tapi MK tidak dapat membuat putusan untuk melakukan perubahan terhadap UU. Itulah “negative legislator” yang melekat pada MK.
    Menurut MK, putusan itu untuk menjaga kualitas pemilu, meningkatkan efisiensi penyelenggaraan, serta memberi ruang yang lebih baik bagi pemilih untuk menggunakan hak pemilih secara cermat dan tidak terburu-buru.
    Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, partisipasi pemilih di
    Pilkada
    2024 sebesar 68,2 persen. Itu lebih rendah dibandingkan Pemilu 2024 di mana partisipasi pemilih mencapai 81,78 persen.
    Apakah ini menjelaskan jarak waktu antara gelaran pemilu nasional dengan Pilkada (pemilu lokal) yang cuma 9,5 bulan bikin rakyat jenuh?
    Bisa iya, bisa tidak. Dulu, sebelum ada rekayasa sistemik untuk menyelenggarakan Pilkada secara serentak, Pilkada bisa digelar setiap tiga hari sekali.
    Pilkada dimaksud berlangsung di tiga daerah berbeda, bisa tingkat provinsi, kabupaten atau kota. Hal ini bikin jenuh dan bosan rakyat di lapis bawah. Seolah-olah tiada hari tanpa Pilkada.
    Saban tahun ada saja daerah yang menghelat Pilkada. Begitu jika kita menengok sejak Pilkada langsung pertama kali diadaptasi di Pilkada tahun 2005.
    Pemilu serentak rangkap dua, yakni pemilu nasional dan pemilu lokal di tahun yang sama sesungguhnya adalah ikhtiar untuk memotong “persaingan politik” yang berlangsung maraton dan menyebabkan rakyat bosan dan jenuh dengan politik.
    Pilkada serentak pada 27 November 2024 itu, juga dilatarbelakangi keperluan sinkronisasi antara pusat dan daerah.
    Di masa Presiden Joko Widodo, mencuat isu sinergitas dan koordinasi sehingga mendorong ide pemilu serentak di tahun yang sama untuk mengisi pemimpin di pusat dan daerah.
    Pemilu nasional dan pemilu lokal serentak di tahun yang sama baru dipraktikkan di tahun 2024. Rasanya terlampau tergesa-gesa jika harus dirombak, diubah dan dibangun ulang.
    Ibarat kata “masakan” DPR, lewat UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 10/2016 tentang Pilkada, baru saja disajikan kepada rakyat Indonesia, kok cepat-cepat dicap agar disingkirkan dari daftar menu.
    Sembilan hari sebelum MK menerbitkan putusan yang mengubah keserentakan pemilu, Ketua Komisi Hukum DPR Habiburokhman mengeluh soal MK.
    “Di DPR ini kadang-kadang kami capek bikin Undang-undang, dengan gampangnya dipatahkan oleh Mahkamah Konstitusi,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi),
    Tempo.co
    , 18 Juni 2025.
    Keluhan ini dapat dibaca bermacam-macam. MK dianggap menjadi institusi yang “mentorpedo” produk legislasi DPR atau ia sedang frustrasi dengan putusan-putusan MK?
    Selama MK konsisten dengan fungsi dan peran yang diamanatkan konstitusi, publik pasti akan berada di belakangnya.
    Namun, sebagai institusi, MK pernah tergelincir tatkala memutuskan alias mengubah syarat usia minimal untuk calon presiden dan wakil presiden, tahun 2023 lalu.
    Putusan itu memberi karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka, putra sulung presiden saat itu Joko Widodo, untuk berlaga di pemilu 2024.
    Jadi, putusan nomor 135 ini pun harus ditakar untung dan ruginya, manfaat dan mudharatnya bagi gelaran pemilihan umum serta demokrasi Indonesia.
    Konsekuensi pertama, jika pemilu lokal digelar dua tahun atau 2,5 tahun setelah pelantikan anggota DPR, DPD atau presiden dan wakil presiden, berarti seluruh provinsi, kabupaten dan kota akan mengalami kekosongan pemimpin dari 2029-2031.
    Dan itu kolosal, meliputi 545 daerah, yakni 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Saat masa jabatan kepala daerah usai, maka pemerintah pusat harus mengisi atau menempatkan orang sebagai penjabat gubernur/bupati/wali kota.
    Selama ini penjabat kepala daerah adalah orang pilihan presiden atau menteri dalam negeri atau kementerian dalam negeri. Keberadaan mereka ditunjuk, ditugaskan, dan bukan dipilih sebagaimana seorang kepala daerah.
    Sudah pasti legitimasi penjabat kepala daerah itu rendah, tapi mengambil keputusan penting, bahkan strategis di daerah mereka bertugas. Ini dilema penjabat yang terbaca di masa Jokowi.
    Konsekuensi kedua, bagaimana dengan kursi anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan DPRD kota selama masa transisi menuju pemilu lokal serentak 2031 (jeda dua tahun atau 2,5 tahun dari pelantikan anggota DPR, DPD serta presiden dan wakil presiden)? Siapa yang akan dan bagaimana mengisinya?
    Total kursi DPRD kabupaten/kota saja menembus 17.510. Belum lagi anggota DPRD tingkat provinsi. Haruskah anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota periode 2024-2029 diperpanjang masa jabatannya hingga pemilu lokal atau Pilkada serentak 2031?
    Apakah model transisi begini sehat untuk menjalankan fungsi
    checks and balances
    ? Tidakkah ini mengurangi kesempatan politikus lain di tingkat lokal atau kader partai di provinsi/kabupaten/kota yang mengincar kursi legislator tadi?
    Konsekuensi terakhir, berkaitan dengan aspek pendanaan. Biaya Pilkada serentak 2024 sekitar Rp 41 triliun. Adapun anggaran pemilu nasional sebesar Rp 71,3 triliun. Total biaya pemilu nasional dan pemilu lokal di tahun 2024 menembus Rp 112,3 triliun.
    Dengan memasukkan pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota ke rumpun pemilu lokal, apakah biaya total pemilu yang digelar terpisah bakal tetap? Atau sebaliknya kian besar karena faktor inflasi?
    Kini, kerumitan, keruwetan, hingga dilema yang muncul menyusul keputusan MK ini perlu dikaji oleh pemerintah, DPR, KPU, organisasi sipil, peneliti hingga akademisi yang
    concern
    terhadap pemilu dan demokrasi di Tanah Air.
    Momentum merevisi atau mengubah UU Pemilu dan UU Pilkada seyogyanya menjadi “moment of the truth” untuk memasak (baca: melahirkan) penyelenggaraan pemilihan umum yang meningkatkan kualitas demokrasi di negeri kita.
    Bongkar pasang desain atau rancangan gelaran pemilu yang terlalu sering, bukan zamannya lagi. Itu bisa menerbitkan apatisme publik. Percaya dengan proses, jangan reaksioner.
    Dan agar produk legislasi DPR dan pemerintah, tidak kelewat sering diuji-materi (
    judicial review
    ) ke MK, maka dua cabang kekuasaan yang berperan sebagai “positive legislator” itu wajib mengubah pendekatan.
    Belakangan tuntutan “partisipasi yang bermakna” kian nyaring disuarakan masyarakat sipil, terutama setelah revisi Undang-Undang Tentara NasionaI Indonesia (UU TNI) dianggap kurang memperhatikannya.
    Kritik serupa dialamatkan ke DPR dan pemerintah menyangkut revisi UU BUMN serta revisi UU Mineral dan Batu Bara.
    MK lewat putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengartikan
    meaningful participation
    sebagai: hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (
    hukumonline.com
    , 13 Juli 2022).
    Saya kira panduan MK tadi teramat jelas. Jangan sampai DPR dan pemerintah jatuh di lubang yang sama gara-gara mengangkangi soal partisipasi publik yang bermakna.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dukung Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Ahmad Doli Beber Alasan Ini

    Dukung Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Ahmad Doli Beber Alasan Ini

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah, menjadi perbincangan menarik beberapa hari belakangan ini.

    Merespons hal itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung mendukung penuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.

    Menurutnya, pemilu akan lebih ideal jika pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) juga dipisah, seperti yang pernah diterapkan pada Pemilu 2004.

    “Saya dalam posisi secara pribadi mendukung putusan MK itu. Bahkan sebenarnya, kalau bicara tentang keserentakan, lebih ideal lagi juga kalau pilpres dan pilegnya dipisah. Kalau saya, seperti 2004,” kata Doli dalam diskusi Politics & Colleagues Breakfast di Sekretariat PCB, Jakarta Selatan, Sabtu (28/6).

    Doli menilai skema pemilu serentak justru memperkuat praktik politik pragmatis. Dia menyebut kampanye kepala daerah yang seharusnya fokus pada isu lokal seringkali tenggelam karena bersaing dengan isu nasional.

    “Kampanye yang dilakukan kepala daerah berkaitan dengan apa yang harus dilakukan dalam 5 tahun ke depan menjadi tidak ditanggapi serius oleh masyarakat. Bahayanya, dampaknya adalah memperkuat praktik pragmatisme pemilu,” jelasnya.

    Doli mengingatkan bahwa putusan MK tersebut membawa konsekuensi serius terhadap berbagai regulasi.

    Menurutnya, diperlukan revisi menyeluruh terhadap sejumlah undang-undang, termasuk UU Pemilu, UU Pilkada, hingga UU Partai Politik.

  • Setelah Ada Putusan MK, Komisi II Bicara Opsi Pemisahan Pemilu Eksekutif-Legislatif
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 Juni 2025

    Setelah Ada Putusan MK, Komisi II Bicara Opsi Pemisahan Pemilu Eksekutif-Legislatif Nasional 29 Juni 2025

    Setelah Ada Putusan MK, Komisi II Bicara Opsi Pemisahan Pemilu Eksekutif-Legislatif
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua Komisi II
    DPR RI

    Aria Bima
    mengungkapkan, pihaknya tengah mengkaji opsi pemisahan antara pemilu eksekutif dan legislatif sebagai bagian dari evaluasi pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.
    Menurut Bima, Komisi II sebetulnya sudah mulai menjaring berbagai masukan publik hingga melakukan kajian dan simulasi, sebelum MK memutuskan
    pemisahan pemilu
    nasional dan daerah.
    “Pemisahan secara horizontal misalnya, membagi antara pemilu eksekutif dan legislatif. Pemilu eksekutif bisa dilakukan serentak mencakup pemilihan Presiden-Wakil Presiden dan Pilkada Provinsi serta Kabupaten/Kota,” ujar Bima dikutip dari siaran pers, Minggu (29/6/2025).
    “Sedangkan pemilu legislatif meliputi pemilihan DPR, DPD, dan DPRD, dilakukan dalam waktu yang juga serentak tapi berbeda tahunnya,” sambungnya.
    Selain pemisahan secara horizontal, Bima mengatakan bahwa Komisi II juga mengkaji opsi pemisahan pemilu secara vertikal, yang mirip dengan perintah putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Adapun pemisahan vertikal yang dimaksud adalah pemilu nasional, yakni Presiden, DPR, DPD, digelar lebih dulu secara serentak.
    Setelah itu, barulah pemilu daerah yang mencakup Pilkada dan DPRD dilaksanakan secara serentak pada tahun berbeda.
    “Kami terus mengkaji mana skema yang paling tepat dan paling realistis. Karena pengalaman kemarin, tumpang tindih antara Pilkada dengan Pileg dan Pilpres menghasilkan ekses yang cukup besar, bahkan muncul istilah Pilkada rasa Pilpres. Dampak kemenangan di Pilpres pun turut memengaruhi koalisi politik dalam Pilkada,” ungkap Aria.
    Politikus PDI-P itu menambahkan, Komisi II bahkan sempat mempertimbangkan wacana mendahulukan Pilkada dan pemilihan DPRD sebelum pemilu nasional.
    “Semua opsi sedang kita kaji agar ke depan pemilu lebih efektif, efisien, dan tetap demokratis,” jelas Bima.
    Bima menegaskan kajian atas sejumlah skema pemilu tetap akan dilanjutkan Komisi II, di samping pembahasan mengenai tindak lanjut putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan daerah.
    “Komisi II DPR RI terus melakukan belanja informasi dari berbagai kalangan seperti cendekiawan, politisi, akademisi, hingga budayawan. Ini untuk mengevaluasi pelaksanaan Pemilu sebelumnya, baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada yang bahkan hingga kini belum seluruhnya selesai,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya,
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.
    Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden.
    Sedangkan, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan, Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Lanjutnya, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Di samping itu, Saldi menjelaskan, MK tidak bisa menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah.
    Namun, MK mengusulkan pilkada dan pileg DPRD dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.
    “Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” ujar Saldi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Putusan MK Pisahkan Pemilihan Nasional dan Daerah, Buka Jalan Omnibus Law UU Pemilu?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 Juni 2025

    Putusan MK Pisahkan Pemilihan Nasional dan Daerah, Buka Jalan Omnibus Law UU Pemilu? Nasional 29 Juni 2025

    Putusan MK Pisahkan Pemilihan Nasional dan Daerah, Buka Jalan Omnibus Law UU Pemilu?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah mulai 2029 dinilai sebagai momentum penting untuk memperbaiki tata kelola pemilu.
    Putusan ini dinilai bisa meringankan beban penyelenggara pemilu, dan berpotensi meningkatkan kualitas
    partisipasi rakyat
    dalam pesta demokrasi.
    Lebih jauh, putusan MK tersebut juga dianggap membuka jalan dilaksanakannya revisi besar-besaran terhadap undang-undang kepemiluan melalui pendekatan
    omnibus law
    .
    Dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan daerah tidak lagi dilakukan secara serentak.
    Pemilu nasional akan difokuskan pada pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD.
    Sementara itu, pemilu daerah yang mencakup pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, dilakukan pada waktu berbeda.
    Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan, Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (
    UU Pemilu
    ) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Selain itu, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Meski begitu, MK tidak menentukan secara pasti tenggat waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah. Namun, MK mengusulkan agar pemilu daerah digelar paling cepat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
    “Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” kata Saldi Isra. 
     
    Putusan MK tersebut disambut baik oleh penyelenggara pemilu dan kelompok masyarakat pegiat demokrasi.
    Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin mengatakan, pemisahan waktu pemilu akan mengurangi beban kerja teknis lembaganya.
    “Memang tahapan yang beririsan bahkan bersamaan secara teknis lumayan membuat KPU harus bekerja ekstra,” kata Afifuddin, Jumat (27/6/2025).
    Afif menambahkan, KPU akan mempelajari secara detail isi putusan tersebut dan menyesuaikan tahapan ke depan.
    Dari sisi masyarakat sipil, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (
    Perludem
    ) menilai putusan MK ini menjawab persoalan mendasar dalam keserentakan pemilu yang selama ini hanya formalitas.
    “Keserentakan pemilu itu mesti betul-betul menjaga kualitas kedaulatan rakyat, tidak hanya formalitas datang ke TPS, dapat surat suara, nyoblos, selesai,” ujar Program Manajer Perludem, Fadli Ramadhanil.
    Fadli menilai desain keserentakan sangat menentukan kualitas pilihan rakyat dalam bilik suara. Ia menyebut bahwa sejak awal, Perludem telah lama mengusulkan pemisahan tersebut.
    Dari sisi legislatif, putusan ini direspons positif oleh Komisi II
    DPR RI
    yang membidangi urusan pemerintahan dan kepemiluan.
    Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menilai putusan MK telah menegaskan bahwa struktur politik Indonesia terdiri dari dua entitas: nasional dan daerah.
    Oleh karena itu, penyesuaian regulasi diperlukan agar selaras dengan konstitusi.
    “Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sebagai pembentuk UU, kami siap menyelaraskan dengan putusan MK tersebut,” kata Zulfikar.
    Dia juga menilai pemisahan jadwal pemilu akan memperkuat kelembagaan penyelenggara pemilu, memudahkan pemilih menggunakan haknya, serta berpotensi melahirkan budaya politik baru yang lebih efektif di daerah.
    Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan, pelaksanaan pemilu serentak selama ini justru memperkuat praktik pragmatisme, termasuk politik uang, dan mengaburkan isu-isu lokal dalam hiruk-pikuk pemilu nasional.
    “(Isu-isu) menjadi tidak ditanggapi serius oleh masyarakat, jadi nggak penting. Nah, bahayanya, dampaknya adalah itu adalah bagian yang memperkuat praktik pragmatisme Pemilu,” kata Doli dalam diskusi di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2025).
    Doli juga menyinggung soal kejenuhan masyarakat terhadap pemilu yang terlalu berdekatan, serta waktu yang terlalu sempit bagi partai politik menyiapkan kader-kadernya.
     
    “Jadi masyarakat (beranggapan), ‘ah, ngapain lagi kita? Kita sudah datang kemarin waktu pemilihan presiden, sudah lah cukup itu aja, kita serahkan aja. Presiden kan bisa ngatur semuanya’, itu ada juga terjadi di masyarakat kita di bawah ini,” tutur Doli.
    “Termasuk partai politik, partai politik kemudian tidak punya waktu yang leluasa, lebih maksimal mengatakan siapa yang menjadi kader atau orang yang kuat dalam waktu yang sesingkat itu. Nah, Jadi saya dalam posisi secara pribadi, mendukung putusan Mahkamah Konstitusi itu,” jelas Doli.
    Kendati demikian, ada konsekuensi lebih jauh dengan adanya putusan tersebut, yakni perlunya penyusunan ulang seluruh arsitektur hukum kepemiluan.
    Doli berpandangan bahwa putusan tersebut seolah memerintahkan revisi UU Pemilu menggunakan omnibus law.
    Sebab, membuat DPR dan pemerintah selaku pembuat UU harus mengubah total aturan pelaksanaan kepemiluan.
    “Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk mengubah, merevisi UU ini secara omnibus law,” kata Doli dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).
    Doli merinci, ada sejumlah undang-undang yang perlu diubah.
    Mulai dari UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), hingga UU tentang Pemerintahan Daerah.
    Oleh karena itu, omnibus law dianggap bisa menjadi solusi cepat dan menyeluruh agar semua UU terkait dapat direvisi sekaligus secara sistematis, walaupun masih harus dikaji secara mendalam oleh DPR bersama pemerintah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.