Produk: UU Pemilu

  • Mendesak Reformasi Sistem Pemilihan Umum

    Mendesak Reformasi Sistem Pemilihan Umum

    Jakarta

    Tidak sedikit kawan-kawan saya yang berseloroh, “Demokrasi itu bukan tujuan, bukankah ia hanya jalan untuk mencapai kesejahteraan?”, lalu yang lain menyahut, “Ya betul, lihat Tiongkok, luar biasa bargaining position-nya di kancah global, dan tidak perlu repot-repot dengan demokrasi.”

    Obrolan itu bermula dari pembahasan hangat seputar pemilihan umum (pemilu), dengan konteks putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.

    Namun, saya masih meyakini demokrasi sebagai jalan kehidupan berbangsa dan bernegara, mengutip Abraham Lincoln “No man is good enough to govern another man without that other’s consent.”

    Langkah untuk menjamin “persetujuan” tersebut memiliki legitimasi yang kuat melalui proses pemilu yang demokratis. Saya memahami mungkin sebagian dari kita telah jenuh, bosan, atau mungkin marah, dengan “janji manis” demokrasi yang tak kunjung datang.

    Beragam efek samping pemilu yang tidak diharapkan telah menimbulkan permasalahan, seperti maraknya politik uang (money politic) yang ikut menyumbang terjadinya korupsi, biaya tinggi dalam pemilu (pusat maupun daerah), dan lamban atau lemahnya institusionalisasi demokrasi.

    Nah, reformasi terbuka lebar melalui masuknya RUU Pemilu dalam prioritas prolegnas 2025, akan tetapi sayang sampai sekarang kita belum tahu kapan pembahasannya akan dilangsungkan.

    Urgensi Reformasi Pemilu

    Reformasi sistem pemilu kian mendesak untuk segera dilakukan di Indonesia. Terlebih, setelah keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah. Riuh rendah terkait putusan ini, terus saling bersahutan hingga saat ini. Namun, sepatutnya publik tidak boleh hanyut dalam kondisi ini.

    Seharusnya yang kita lakukan adalah mendesak agar DPR dan pemerintah, segera melakukan pembahasan terhadap revisi UU Pemilihan Umum (RUU Pemilu).

    Mengapa desakan itu penting? Setidaknya terdapat 2 (dua) putusan MK sebelumnya yang berharga bagi perbaikan pelaksanaan Pemilu 2029 mendatang. Pertama, putusan tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Kedua, putusan soal ambang batas parlemen yang tidak lagi 4 persen. Sayangnya sampai dengan saat ini, belum jelas kapan RUU Pemilu akan dibahas.

    Siapa yang menjadi leading sector RUU Pemilu masih belum jelas, namun sepatutnya tidak perlu berebut siapa yang akan menjadi leading sector pembahasan RUU Pemilu. Apakah akan diserahkan kepada Komisi II, Badan Legislasi (Baleg) ataupun Panitia Khusus (Pansus)? Tidak jadi masalah, toh sama-sama DPR juga.

    Melemahnya Partai Politik

    Pemilihan anggota DPR baik pusat maupun daerah, semakin terpersonalisasi pada figur kandidat dari pada partai politik, terutama setelah diterapkannya proporsional daftar terbuka pada Pemilu 2009.

    Aspinall dan Berenschot (2020) menyebut fenomena tersebut menyebabkan terjadinya apa yang disebut sebagai free-wheeling clientelism (klientelisme gelindingan roda lepas), yang membuat partai politik terdegradasi perannya dalam proses pemilihan dibandingkan kandidat itu sendiri.

    Declaining partai politik terlihat dari semakin rendahnya party-id dari partai politik di Indonesia. Dari survei Politika Research & Consulting (PRC) sejak 2020 hingga 2024 menunjukkan bahwa orang yang merasa dekat dengan partai politik tertentu hanya berkisar 15,2 persen hingga 10,3 persen saja dari total pemilih. Hal ini menunjukkan bahwa perlu segera dilakukan perbaikan atas pelembagaan partai politik.

    Selain itu, melemahnya partai politik tercermin dari semakin berkurangnya jumlah pemilih yang mencoblos partai politik. Pemilih lebih cenderung mencoblos kandidat atau figur (caleg) dari pada partai politik. Apabila dibandingkan pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024, menunjukkan hampir semua partai politik mengalami penurunan jumlah pemilih yang mencoblos partai politik, kecuali hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengalami peningkatan.

    Ketika mekanisme yang digunakannya adalah electoral threshold jumlah suara terbuang (tidak terkonversi menjadi kursi DPR) harusnya lebih kecil apabila dibandingkan dengan penerapan parliamentary threshold, namun ternyata tidak selalu demikian. Suara terbuang menjadi sumber kritik bagi pemerhati demokrasi di Indonesia.

    Semakin besarnya suara terbuang mencerminkan terjadinya disproporsionalitas di dalam sistem Pemilu kita yang menganut proporsionalitas.

    Pemilu pasca reformasi (1999-2024), berdasarkan data KPU RI menunjukkan bahwa suara terbuang terbesar terjadi pada Pemilu 2009 yang mencapai 19.047.481 suara atau setara dengan 18,3 persen total suara sah. Di sisi lain, suara terbuang terendah pada Pemilu di Indonesia terjadi pada tahun 2014 dengan 2.964.975 suara atau setara dengan 2,4 persen (sudah menggunakan parliamentary threshold).

    Namun sejak itu, jumlah suara terbuang kian meningkat 13.595.842 suara atau 9,7 persen (2019) dan 17.304.303 suara atau 11,4 persen (2024). Salah satu bukti empiris yang mendukung mengapa suara terbuang pada Pemilu 2014 relatif lebih sedikit adalah, karena partai politik peserta Pemilu relatif sedikit (12 partai politik) jika dibandingkan dengan periode Pemilu pasca reformasi lainnya.

    Menanti Arah Baru?

    Ambang batas pencalonan Pilpres yang sudah digugurkan, menandakan lahirnya sebuah baru dalam Pilpres di Indonesia. Artinya semua partai politik berhak mencalonkan presiden dan wakil presidennya. Sudah seharusnya momentum ini bisa dijadikan oleh partai politik untuk menggerakkan pendalaman demokrasi (deepening democracy) dan menciptakan sistem yang lebih inklusif.

    Sikap anti-partai politik yang selama ini seperti mewabah harus dilawan dengan gerakan nyata, dengan merebut hati rakyat. Bagaimanapun juga partai politik adalah pilar penting dalam demokrasi.

    Secara konseptual oleh Norris (2004) perdebatan tentang reformasi elektoral secara umum adalah perdebatan memilih di antara adversarial democracy dan consensual democracy. Indonesia sendiri lebih cenderung pada consensual democracy. Visi utama consensual democracy adalah menekankan pada pengambilan keputusan secara konsensus, tawar-menawar atau kompromi di antara beragam partai politik di parlemen, mendukung sistem elektoral proporsional yang mengurangi hambatan bagi partai minoritas, memaksimalkan partisipasi pemilih, dan parlemen yang mencerminkan keragaman.

    Namun di sisi lain, consensual democracy memiliki kelemahan karena menghasilkan hasil elektoral yang tidak tegas atau koalisi pemerintahan yang cenderung lemah, tidak efektif, dan tidak stabil, memungkinkan terjadinya permasalahan fragmentasi multi-partai, dan cenderung mendorong pengambilan keputusan yang lambat dan terlalu berhati-hati.

    Karena adanya kelemahan atau kelebihan itu barangkali yang membuat adanya usulan jalan ketiga, seperti usul tentang sistem pemilu campuran dalam pemilihan anggota legislatif. Hemat penulis, Indonesia harus bisa belajar dengan caranya sendiri. Apakah jalan yang dipilih adalah memberikan peluang yang lebih besar terhadap partai-partai kecil atau partai baru, namun disisi lain menimbulkan “bahaya” fragmentasi partai.

    Ada pula jalan lainnya, seperti mengurangi jumlah partai di level nasional, untuk mendorong penyederhanaan partai politik (multi-partai sederhana).

    Apapun langkah yang akan diambil oleh para pengambil kebijakan, RUU Pemilu mendesak untuk dilakukan pembahasan serta mengedepankan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

    Sudah saatnya momentum RUU Pemilu menjadi ajang konsolidasi sistem politik Indonesia untuk jangka panjang. Tidak ada sistem pemilihan yang benar-benar sempurna, tapi yang bisa kita lakukan adalah menentukan sistem pemilihan secara sadar yang paling menunjang agar bangsa Indonesia bisa bertumbuh.

    Faris Widiyatmoko. Dosen FISIP UPNV Jakarta dan Direktur Eksekutif Politika Research & Consulting.

    (rdp/rdp)

  • Syarat Capres-Cawapres Mesti Kantongi Ijazah S1 Ditolak MK

    Syarat Capres-Cawapres Mesti Kantongi Ijazah S1 Ditolak MK

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya yang mengatur syarat pendidikan calon presiden dan calon wakil presiden.

    Pengujian terhadap Pasal 169 huruf r UU No. 7/2017 diajukan oleh Hanter Oriko Siregar dan Horison Sibarani.

    “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo saat membacakan putusan No. 87/PUU-XXIII/2025 dalam sidang pleno yang berlangsung Kamis (17/7/2025).

    Dalam pertimbangannya, MK menyatakan ketentuan dalam Pasal 169 huruf r merupakan bagian dari persyaratan kumulatif yang diatur dalam UU Pemilu dan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

    Dalam konstitusi, tidak diatur secara eksplisit batas minimum pendidikan bagi calon presiden dan wakil presiden.

    “Oleh karena itu, pengaturan lebih lanjut melalui undang-undang merupakan bentuk delegasi konstitusional yang sah,” kata Hakim MK Ridwan Manysur.

    Mahkamah menilai, permintaan pemohon untuk menaikkan syarat pendidikan justru dapat membatasi hak warga negara yang memenuhi syarat lain untuk maju dalam kontestasi pilpres.

    Sebab, jika disyaratkan minimal lulusan S-1, maka warga negara yang hanya memiliki ijazah SMA tidak lagi memiliki kesempatan konstitusional untuk mencalonkan diri, meskipun memiliki kapasitas dan dukungan rakyat.

    “Artinya, apabila syarat pendidikan paling rendah/minimum adalah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat, maka kandidat yang dapat mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden tidak hanya terbatas pada kandidat yang hanya tamat sekolah menengah atas/sederajat, melainkan juga kandidat yang telah menempuh atau menamatkan pendidikan tinggi (higher education),” ujar Ridwan.

    MK menyatakan pengaturan mengenai syarat pendidikan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.

    Kebijakan ini dinilai konstitusional sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip seperti rasionalitas, keadilan, nondiskriminasi, dan tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

    Mahkamah juga menyatakan bahwa jika suatu saat diperlukan, DPR bersama Presiden sebagai pembentuk undang-undang dapat meninjau ulang syarat pendidikan capres-cawapres sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan bangsa.

    Sebelumnya, dalam sidang perdana di MK pada Selasa (3/6/2025), Hanter Oriko Siregar menyatakan bahwa pendidikan setingkat SMA hanya memberikan pengetahuan umum dan tidak membekali peserta didik dengan pemahaman yang komprehensif tentang tata kelola negara.

    Materi mengenai fungsi legislatif, yudikatif, dan eksekutif, serta kemampuan analisis kritis terhadap isu-isu global, hanya diperoleh di jenjang pendidikan tinggi.

    “Presiden sebagai kepala negara adalah simbol marwah bangsa. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin yang memiliki wawasan luas, termasuk dalam membaca dinamika global dan memahami dampak perdagangan internasional terhadap Indonesia,” ujar pemohon dalam persidangan.

  • Komisi II: Putusan MK dorong susun RUU Pemilu sesuai RPJPN 2025-2045

    Komisi II: Putusan MK dorong susun RUU Pemilu sesuai RPJPN 2025-2045

    Biarlah semua perdebatan itu kita tumpahkan kita ramu di penyusunan itu, termasuk nanti di pembahasan. Itu sesuai mekanisme, dan itu elegan

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah, menjadi dorongan untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan berupa kodifikasi sesuai Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045, agar segera disusun.

    “Kita menyesuaikan dengan kebijakan yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 Nomor 59 Tahun 2024 yang menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Pemilu itu adalah kodifikasi,” kata Zulfikar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Jadi, katanya, DPR RI sendiri sedianya memang telah menggagas perubahan Undang-Undang Pemilu, perubahan Undang-Undang Pilkada, dan perubahan Undang-Undang Pemerintah Daerah dalam program legislasi nasional (prolegnas) yang disebut akan menjadi paket RUU Politik (kodifikasi), maka adanya putusan MK Nomor 135 itu menjadi momentum untuk segera menyusun UU Pemilu yang memang sudah diinisiasi untuk berubah.

    Dia lantas melanjutkan, “Biarlah semua perdebatan itu kita tumpahkan kita ramu di penyusunan itu, termasuk nanti di pembahasan. Itu sesuai mekanisme, dan itu elegan.”

    Dia pun mengaku tidak tahu menahu soal adanya pertemuan kembali fraksi-fraksi partai politik di parlemen dalam menyikapi putusan MK tersebut.

    Adapun, lanjut dia, pimpinan DPR RI bersama sejumlah menteri dan komisi terkait serta perwakilan masyarakat sipil melangsungkan rapat terakhir kali guna menyikapi putusan MK tersebut pada Senin (30/6).

    “Pertemuan pimpinan Komisi II, Komisi III, Baleg (Badan Legislasi), Menteri Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Hukum, sudah (itu) terakhir,” tutur dia.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima mengatakan bahwa penyusunan RUU Pemilu yang menyangkut banyak elemen politik ke depannya diwacanakan akan berupa kodifikasi.

    “Apalagi di dalam pembuatan Undang-Undang Pemilu ke depan, yang kami ingin Undang-Undang Pemilu itu nanti adalah kodifikasi karena menyangkut dari berbagai elemen politik kita yang harus satu sistem, satu hal yang holistik, enggak terpotong-potong,” kata Aria di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/7).

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Puan Sebut Keputusan MK Soal Pemisahan Pemilu Tidak Sesuai UUD

    Puan Sebut Keputusan MK Soal Pemisahan Pemilu Tidak Sesuai UUD

    JAKARTA – Ketua DPP PDIP Puan Maharani menyebut keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan Pemilu nasional dan lokal atau daerah tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar. 

    Hal itu dinyatakan Puan saat mengungkap hasil diskusi internal DPP PDIP. 

    “Kita semua mendiskusikan bahwa ya apa yang menjadi keputusan MK sudah tidak sesuai dengan undang-undang dasar,” ujar Puan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 15 Juli.

    Puan mengatakan, bahwa UU mengatur Pemilu harus digelar tiap lima tahun sekali. “Karena memang sesuai dengan undang-undang, pemilu adalah 5 tahun sekali,” katanya.

    Sebelumnya, Puan juga menyatakan bahwa fraksi-fraksi di DPR tengah mengkaji soal hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemisahan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah.

    “Semua partai, kami juga pimpinan terdiri dari partai-partai politik masih mengkaji, terkait putusan di internalnya masing-masing dan nantinya tentu saja putusan ini memberikan efek kepada semua partai,” kata Puan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat, 4 Juli. 

    Puan menegaskan DPR akan mengkaji hasil putusan MK sebelum memutuskan langkah apa yang akan diambil. Sebab putusan MK itu memiliki efek bagi UU Pemilu dan partai-partai politik, termasuk yang ada di DPR. 

    “Sebagai partai politik kami akan melakukan rapat koordinasi apakah itu secara formal atau informal bersama-sama, bicara bersama, menyatakan pendapat kami bersama-sama terkait putusan MK,” jelas Puan.

    Puan juga menyebut fraksinya yakni PDIP juga masih menunggu hasil kajian sebelum bersikap, termasuk apakah putusan MK ini melanggar UUD 1945 atau tidak. Sebab, kata Puan, dalam amanat UUD 1945 diatur bahwa pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.

    “Kita masih kaji hal tersebut, apakah kemudian ada hal yang dilanggar sesuai dengan Undang-Undang Dasar,” ungkapnya.

    Karena pemilu sesuai dengan Undang-Undang Dasar sudah lima tahun sekali,” imbuh Puan.

  • Puan Sebut Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Menyalahi UUD 1945

    Puan Sebut Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Menyalahi UUD 1945

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua DPR Puan Maharani menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal telah menyalahi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

    Dia menyebut semua partai politik yang ada di DPR memiliki sikap yang sama yaitu pemilu harus dilakukan selama lima tahun sekali sesuai dengan UUD yang ada.

    “Jadi apa yang sudah dilakukan oleh MK menurut undang-undang itu menyalahi Undang-Undang Dasar,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2025).

    Dengan begitu pula, lanjutnya, semua partai politik di DPR akan segera menyampaikan sikapnya terkait putusan MK tersebut, meski tidak dibeberkan kapan waktu pastinya.

    “Jadi nanti pada saatnya kami semua partai politik tentu saja sesuai dengan kewenangannya kami menyikapi hal tersebut sesuai dengan kewenangan kami,” tutupnya

    Lebih jauh, Puan mengaku bahwa soal revisi UU Pemilu saat ini pimpinan DPR masih berdiskusi untuk menentukan antara Komisi II DPR atau badan legislasi (baleg) yang akan membahasnya.

    “Kita akan tindaklanjuti sesuai dengan mekanismenya apakah nanti itu di Baleg, di Komisi II. Jadi antara Komisi II dan Baleg masih akan kami diskusikan di pimpinan,” tegasnya.

    Sementara itu di lain kesempatan, Politisi sekaligus legislator Nasdem, Rifqinizamy Karsayuda menilai Mahkamah Konstitusi (MK) menurunkan kualitasnya usai mengeluarkan putusan terkait dengan pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal.

    Dia mengatakan seharusnya tugas MK hanya sampai di titik menilai suatu norma undang-undang saja soal apakah itu konstitusional atau inkonstitusional, sehingga tidak sampai membentuk suatu norma tertentu. 

    “Mahkamah men-downgrade dirinya dari yang harusnya hanya menilai satu norma undang-undang terhadap undang-undang dasar apakah bersifat konstitusional atau inkonstitusional, menjadi mahkamah yang membentuk norma,” singgungnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (7/7/2025).

  • PDIP Dorong Kodifikasi dibanding Buat Omnibus Law UU Politik

    PDIP Dorong Kodifikasi dibanding Buat Omnibus Law UU Politik

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima berpendapat bahwa pendekatan kodifikasi lebih tepat dibandingkan dengan omnibus law dalam merevisi Undang-Undang Pemilu.

    Aria menuturkan bahwa lodifikasi cara pandang merevisi UU Pemilu dapat menjadi holistik atau menyeluruh. Ini juga karena setiap UU kepemiluan memiliki keterkaitannya masinga-masing.

    “Saling keterkaitannya ada gitu antara UU partai politiknya, UU pemilunya, UU mungkin sampai pada kedudukan lembaga-lembaga seperti DPR nya, UU KPU nya, Bawaslunya. Semua harus terintegrasi dalam suatu alur yang sama satu persepsi dan satu perspektif,” katanya dikutip, Selasa (15/7/2025).

    Adapun, satu persepsi sama yang dimaksud Aria adalah berkenaan tentang pemilu yang demokratis, baik penyelenggaraannya, pelaksana, pengawasnya partai politik, hingga pemilihnya.

    “Saya sepakat kalau UU nanti lebih kodifikasi, daripada omnibus law atau sendiri sendiri ya,” tuturnya.

    Meski demikian, Aria belum bisa memastikan bagaimana teknis pengelompokan dalam kodifikasi nantinya, karena masih butuh pendalaman lebih lanjut. Namun yang jelas, kodifikasi itu nanti harus mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

    “Kita harus evaluasi, termasuk kenapa terjadi PSU atau pemilu ulang. Itu jadi bahan kajian dalam merumuskan UU. Siapa bertugas apa, untuk kepentingan siapa, oleh siapa. Transparansi dan partisipasi publik, terutama dari kalangan intelektual kampus dan non-kampus, juga penting untuk dilibatkan dalam pembahasan ini,” urainya.

    Sebelumnya, DPR telah menyetujui kodifikasi dan kompilasi UU Paket Pemilu dan partai Politik menjadi bagian dari aturan rencana strategis (Renstra) DPR periode 2025-2029. 

    Hal tersebut disetujui dalam Sidang Paripurna ke-23 laporan dari Badan Legislasi (Baleg) di kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (8/7/2025). 

    “Laporan Baleg terhadap hasil pembahasan rancangan Peraturan DPR RI tentang Renstra DPR RI 2025-2029, apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi Peraturan DPR RI?” kata Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir di ruang paripurna. 

    Kemudian, pernyataan itu disetujui oleh 316 peserta rapat paripurna yang hadir. Dalam hal ini, Adies mengatakan bahwa kodifikasi dan kompilasi UU Paket Pemilu dan partai Politik bakal ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang ada.

  • Cak Imin sebut para ketum parpol belum komunikasi bahas putusan MK

    Cak Imin sebut para ketum parpol belum komunikasi bahas putusan MK

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Muhaimin Iskandar mengatakan para ketua umum partai politik di tanah air belum berkomunikasi membahas putusan Mahkamah Konstitusi soal pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah.

    “Belum. Belum, belum,” katanya menekankan saat memberikan keterangan kepada wartawan di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (14/7) malam.

    Ia mengatakan bahwa PKB menyerahkan kepada DPR RI untuk menindaklanjuti putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu tingkat nasional dan daerah.

    “Nanti kami serahkan kepada DPR RI untuk menyikapi keputusan MK itu dalam bentuk Undang-Undang Pemilu yang baru,” kata Cak Imin, sapaan akrabnya.

    Ia menegaskan bahwa revisi UU Pemilu harus dilakukan sebagai bagian dari kebutuhan dan perkembangan zaman.

    “Salah satu yang akan menjadi sorotan PKB adalah agar ada pasal-pasal yang mengurangi suburnya transaksi jual beli suara. Sanksinya diperberat, pengawasannya diperketat, mekanisme penyelenggaranya harus diperkuat,” ujarnya.

    Cak Imin melanjutkan, “Kalau perlu, partai-partai politik menjadi pengawas KPU (Komisi Pemilihan Umum), dan pengawas langsung.”

    Sebelumnya, MK memutuskan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional adalah pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden.

    Pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • PKB Akan Soroti Pencegahan Jual Beli Suara dalam Revisi UU Pemilu

    PKB Akan Soroti Pencegahan Jual Beli Suara dalam Revisi UU Pemilu

    Jakarta

    Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menyebut partainya akan menyoroti penguatan upaya-upaya pencegahan terhadap potensi terjadinya transaksi jual beli suara dalam revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Dia ingin praktik jual beli suara dihilangkan.

    “Salah satu yang akan menjadi sorotan PKB adalah agar ada pasal-pasal yang mengurangi suburnya transaksi jual-beli suara,” ungkap Cak Imin di Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (14/7/2025).

    Dia mengatakan PKB akan mengusulkan pemberatan sanksi hingga penguatan pengawasan. Dia juga mengusulkan agar partai politik menjadi pengawas.

    “Sanksinya diperberat, pengawasannya diperketat, mekanisme penyelenggaranya harus diperkuat. Kalau perlu, partai-partai politik menjadi pengawas KPU dan pengawas langsung,” katanya.

    Selain itu, Cak Imin juga menjelaskan terkait dengan putusan MK, PKB menyerahkan sepenuhnya kepada kader-kadernya yang berada di DPR.

    “Ya itu sama, termasuk jadi satu paket pembahasan nanti kita serahkan kepada DPR untuk menyikapi keputusan MK itu dalam bentuk Undang-Undang Pemilu yang baru,” jelas Cak Imin.

    “Ya tentu sepenuhnya akan kita bahas di DPR tapi bahwa kita ingin ada perubahan misalnya kalau gubernur itu perpanjangan pemerintah pusat, ya sudah gubernur dipilih DPRD. Kita akan bawa ke DPR,” imbuh dia.

    (jbr/jbr)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • KPU gandeng LSM perkuat pengawasan dan pendidikan seputar pemilu

    KPU gandeng LSM perkuat pengawasan dan pendidikan seputar pemilu

    “Alhamdulillah pada sore hari ini KPU baru saja menandatangani nota kesepahaman dengan teman-teman dari LSM yaitu dari JPPR, kemudian dari SPD, dari APD, dari PDB yang semuanya adalah LSM yang selama ini memang dengan atau tanpa MoU sudah melakukan k

    Jakarta (ANTARA) – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) pegiat pemilu dalam rangka memperkuat pendidikan pemilu terhadap masyarakat, serta penguatan pengawasan dan kontrol terhadap lembaga penyelenggara pemilu.

    Empat LSM tersebut yakni Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Perisai Demokrasi Bangsa (PDB), Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), dan Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD).

    “Alhamdulillah pada sore hari ini KPU baru saja menandatangani nota kesepahaman dengan teman-teman dari LSM yaitu dari JPPR, kemudian dari SPD, dari APD, dari PDB yang semuanya adalah LSM yang selama ini memang dengan atau tanpa MoU sudah melakukan kerja-kerja kepemilihan. Apakah sifatnya melakukan pendidikan pemilih maupun juga melakukan kontrol, kritik terhadap penyelenggara pemilih terlangsung KPU, Bawasu, dan semuanya,” kata Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin di kantor KPU RI, Jakarta, Senin.

    Afifuddin juga menyampaikan penandatanganan MoU tersebut juga dalam rangka mengawal tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 soal pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah/

    Ia mengatakan sudah ada ratusan lembaga yang menandatangani MoU dengan KPU terkait berbagai aspek seputar pemilu. Meski demikian KPU tetap terbuka dengan semua pihak yang ingin menjalin kerja sama dalam rangka meningkatkan kualitas pemilu di Tanah Air.

    “Pada intinya, teman-teman ini adalah mitra kami semua, dan kami memang sangat terbuka dengan siapapun untuk melakukan kerja-kerja bersama, yang pada pokoknya ingin meningkatkan kualitas pemilih kita,” ujarnya.

    Lebih lanjut Afifuddin mengatakan meski tahapan pemungutan suara pemilu telah usai, masih banyak tugas seputar pemilu yang harus dikerjakan antara lain soal pendidikan pemilu dan pembahasan soal UU Pemilu.

    “Meski pemilihannya sudah selesai tetapi kan pendidikan pemilih dan juga katakanlah tahapan-tahapan post-election, revisi undang-undang dan sebagainya kan butuh pengawalan dan lain-lain. pasti teman-teman juga akan fokus di isu tersebut,” tutur Afifuddin.

    Afifuddin berharap MoU dengan berbagai LSM tersebut akan melahirkan berbagai program untuk penguatan jajaran penyelenggara pemilu dan merumuskan bagaimana menganalisis partisipasi pemilu dan pilkada.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Mahfud MD Ingatkan Potensi Kekacauan jika UU Pemilu Tak Segera Direvisi Sesuai Putusan MK

    Mahfud MD Ingatkan Potensi Kekacauan jika UU Pemilu Tak Segera Direvisi Sesuai Putusan MK

    Mahfud MD Ingatkan Potensi Kekacauan jika UU Pemilu Tak Segera Direvisi Sesuai Putusan MK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
    Mahfud MD
    mengatakan, akan timbul kekacauan jika DPR dan pemerintah tidak segera merevisi undang-undang pemilu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya terkait pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu lokal.
    Kekacauan itu bisa terjadi karena tidak adanya kepastian hukum terkait jadwal pendaftaran hingga masa transisi pemilu nasional yang terpisah 2-2,5 tahun dari pemilu lokal.
    “Karena orang daftar pemilih gimana? Kan tidak tahu. Menurut MK, daftarnya nanti kalau DPRD. Sekarang undang-undangnya masih belum ada. Kan harus daftar sekarang atau besok. Itu sendiri sudah kacau,” kata Mahfud dalam acara talkshow Terus Terang di kanal YouTube-nya @Mahfud MD Official, dikutip Kompas.com, Jumat (11/7/2025).
    Mahfud mengatakan, banyak yang harus segera diubah oleh pembentuk undang-undang, khususnya terkait dengan pemilu.
    Sebab itu, dia berharap agar pemerintah dan DPR bisa segera menyiapkan undang-undang yang didasarkan pada
    putusan MK
    .
    “Tidak bisa dihindari. Itu harus dilakukan,” tuturnya.
    Sebelumnya, putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah itu tertuang dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Keputusan tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal harus dilakukan secara terpisah mulai tahun 2029.
    Putusan yang dibacakan MK pada Kamis (26/6/2025) tersebut menyatakan, keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
    MK juga menyatakan, pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.