Produk: UU Pemilu

  • Gelar retreat dan konsolidasi di Yogyakarta, aktivis 98 desak Prabowo reshuffle kabinet

    Gelar retreat dan konsolidasi di Yogyakarta, aktivis 98 desak Prabowo reshuffle kabinet

    Sumber foto: Izan Raharjo/elshinta.com.

    Gelar retreat dan konsolidasi di Yogyakarta, aktivis 98 desak Prabowo reshuffle kabinet
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 11 Agustus 2025 – 23:11 WIB

    Elshinta.com – Para aktivis 98 menggelar retreat dan konsolidasi di Yogyakarta menyikapi situasi Indonesia akhir-akhir ini. Para pembantu Presiden dinilai tidak mampu merespon cepat. Merekapun mendesak agar Prabowo segera melakukan reshuffle kabinet. 

    “Kami menegaskan, reshuffle kabinet bukan sekadar rotasi jabatan, tetapi langkah strategis untuk memastikan hanya pejabat dengan rekam jejak, integritas, dan keberpihakan pada rakyat yang menduduki posisi kunci pemerintahan,” ujar Presidium Aktivis 98 Indonesia, M. Surya dalam konferensi pers di Pendopo Lawas, Alun-Alun Utara Yogyakarta, Minggu (10/08/2025).
     
    Retreat dan konsolidasi Aktivis 98 Indonesia  tersebut digelar di Lor Sambi, Kaliurang, Yogyakarta pada 9–10 Agustus 2025. Konsolidasi ini dihadiri perwakilan dari Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, NTB, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan.

    Hasil dari retreat dan konsolidasi tersebut, menyatakan:

    1. Mendesak Presiden Prabowo segera melakukan reshuffle kabinet.

    2. Mengkaji ulang kebijakan insentif pajak yang membebani rakyat.

    3. Menegaskan bahwa Danantara bukan milik elit, melainkan milik rakyat. 

    4. Reformasi UU Politik yang Demokratis

    Sistem politik di Indonesia masih membatasi hak berpolitik setiap warga negara. Oleh sebab itu kami meminta kepada pemerintah untuk segera merevisi UU Partai Politik dan UU Pemilu. 

    1. Hak politik rakyat harus dilindungi oleh negara, termasuk hak dalam mendirikan partai politik, agar tidak di dominasi oleh partai-partai besar atau yang berkuasa.
    2. Pemilu Tahun 2029 Perlementary Threshold dan Presidential Threshold harus 0%
    3. Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah harus di pisah sesuai putusan MK 135
    4. Pilkada harus di pilih langsung oleh rakyat
    5. Atur Verifikasi Partai Politik harus diatur oleh MK, agar senafas dengan putusan MK 135.

    Dalam konsolidasi di Yogyakarta ini mereka juga menyoroti sejumlah kebijakan pemerintahan Prabowo diantaranya; 

    1. Kebijakan Insentif Pajak yang Membebani Rakyat. Kenaikan beban pajak dan implementasi insentif yang tidak tepat sasaran berpotensi menggerus daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Kebijakan insentif yang terlalu menguntungkan korporasi besar dapat: Mengurangi penerimaan negara dari sektor yang seharusnya berkontribusi lebih besar. Memperlebar kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin.

    “Kami mendesak pemerintah untuk melakukan reformulasi kebijakan perpajakan dengan prinsip keadilan fiskal: beban terbesar harus ditanggung oleh pihak yang memiliki kemampuan lebih, bukan oleh rakyat kebanyakan,” katanya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Izan Raharjo, Senin (11/8).

    2. Danantara untuk Kepentingan Publik, Bukan Elit. Pembentukan super holding BUMN bernama Danantara harus dipastikan berada di bawah kendali negara demi kepentingan publik. Modal dan aset Danantara berasal dari kekayaan negara yang dibangun dengan keringat rakyat.

    Potensi pengelolaan yang tidak transparan dapat memunculkan praktik oligarki ekonomi baru. Oleh karena itu, kami menuntut pemerintah membentuk mekanisme pengawasan independen yang melibatkan publik, akademisi, dan lembaga antikorupsi agar Danantara menjadi instrumen kedaulatan ekonomi, bukan sarana monopoli segelintir elit politik atau bisnis.  

    Sumber : Radio Elshinta

  • MPR Sebut Putusan MK soal Revisi UU Pemilu Tak Perlu Disikapi Berlebihan

    MPR Sebut Putusan MK soal Revisi UU Pemilu Tak Perlu Disikapi Berlebihan

    Jakarta

    Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa menyampaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah harus dihormati, namun tidak perlu disikapi secara berlebihan.

    Agun menilai konstitusi tetap menjadi hukum tertinggi yang harus menjadi rujukan utama dalam pembentukan undang-undang pemilu.

    “Putusan MK bukanlah hukum yang paling tinggi. Yang supreme itu konstitusi, bukan lembaganya. Jadi jangan menganggap MK itu super body. Tidak ada lembaga negara yang bersifat suprem dalam sistem ketatanegaraan kita,” kata Agun dalam keterangannya, Kamis (7/8/2025).

    Hal ini disampaikannya dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertajuk ‘Menata Ulang Demokrasi: Implikasi Putusan MK dalam Revisi UU Pemilu’ di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (6/8/2025).

    Adapun diskusi tersebut merupakan kerja sama Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR RI bersama Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), serta dihadiri puluhan jurnalis dari berbagai media nasional.

    Agun mengungkapkan DPR dan pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk menyusun dan merumuskan kembali undang-undang pemilu. Untuk itu, ka mendorong agar revisi UU Pemilu mengacu pada UUD 1945, termasuk memperhatikan banyaknya putusan MK terdahulu mengenai kepemiluan.

    Agun juga menyoroti pentingnya membedakan mekanisme pemilu nasional dan daerah berdasarkan amanat pasal-pasal dalam UUD, yakni Pasal 22E dan Pasal 18.

    Menurutnya, pemilihan kepala daerah memang seharusnya tidak disamakan dengan pemilu legislatif karena adanya nilai-nilai lokal (local wisdom) dan dinamika sosial yang berbeda-beda di setiap daerah.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim MS mengkritisi kecenderungan MK yang menurutnya telah menjalankan fungsi judicial activism, bukan sekadar judicial restraint.

    Ia mengatakan MK telah memasuki wilayah pembentuk norma, yang seharusnya menjadi ranah legislatif.

    “Putusan MK bersifat final dan mengikat, tapi tidak punya challenger. Ketika sembilan hakim MK memutus suatu perkara, siapa yang bisa membanding atau menyeimbanginya? Tidak ada,” ujar Abdul.

    Lebih lanjut, Abdul mengungkapkan keputusan MK untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah memiliki konsekuensi besar dan tidak bisa diputus secara sepihak. Apalagi tanpa diskusi yang cukup dengan pemangku kepentingan seperti KPU, Bawaslu, DPR, maupun masyarakat sipil.

    “Ini keputusan yang berdampak pada ratusan juta rakyat Indonesia. Apakah MK sudah berdialog dengan KPU atau Bawaslu sebelum memutus? Belum. Tapi konsekuensinya luar biasa. Bahkan bisa menabrak empat undang-undang yang sudah ada,” katanya.

    Abdul juga menilai keputusan MK terkait pemilu bisa menggeser masa jabatan DPRD dari lima tahun menjadi tujuh tahun jika tidak dikawal hati-hati karena adanya pergeseran jadwal pemilu nasional dan daerah.

    Untuk itu, ia mendorong agar diskursus mengenai MK sebagai lembaga super body segera dikaji ulang.

    “Sudah saatnya ada pembanding bagi MK. Kalau ada pelanggaran etik, hakim MK diadili oleh siapa? MK sendiri. Anggotanya dipilih sendiri. Ini tidak sehat bagi sistem demokrasi kita,” pungkasnya.

    (ega/ega)

  • Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Jakarta

    Sudah lewat satu bulan putusan MK Nomor 135/PUU-XII/2024 dibacakan, pemerintah dan DPR masih belum merespons putusan yang bersifat final dan mengikat tersebut ke dalam sebuah bentuk kebijakan konkret: revisi UU Pemilu dan Pilkada.

    Dalam putusan tersebut, MK memutus pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal: Pemilu nasional untuk memilih presiden dan DPR/DPD, dan pemilu lokal untuk memilih gubernur, walikota/bupati dan DPRD yang diperpanjang paling cepat 2 tahun dan paling lambat 2,5 tahun setelah pemilu nasional selesai dilaksanakan.

    Alasannya sederhana, MK berkaca pada dua peristiwa pemilu serentak sebelumnya (2019 dan 2024); karena pemilih kebingungan ketika disodorkan banyaknya surat suara dan calon; dekatnya jarak waktu antara pemilu dan pilkada yang membuat pemilih jenuh; beratnya beban penyelenggara yang berakibat pada kelelahan hingga kematian.

    Selain itu ada juga alasan sulitnya parpol dalam mempersiapkan kader untuk bertarung; dan yang paling penting karena permasalahan daerah kerapkali tidak mendapat perhatian serius akibat tertimpa isu nasional.

    Kontradiksi Norma dan Pilihan Paling Mungkin

    Apabila dicermati, dalam putusan ini MK tidak bertindak dalam fungsinya sebagai negative legislator (pembatal undang-undang), melainkan sebagai positive legislator (pembentuk undang-undang).

    Meskipun MK masuk ke dalam wilayah teknis penyelenggaraan pemilu yang seharusnya menjadi wewenang pembentuk undang-undang (open legal policy), tetap dapat dibenarkan dan putusannya tetap dianggap sah secara hukum (erga omnes).

    Karena, di tengah rusaknya kualitas demokrasi akibat kartelisasi politik yang kuat seperti sekarang ini, MK dapat melakukan penyelamatan demokrasi melalui judicial activism untuk menjembatani kehendak rakyat yang suaranya seringkali diabaikan di dalam ruang pembentukan kebijakan.

    Namun, akibat campur tangan MK dalam membuat norma baru tersebut, kontradiksi hukum tak dapat dielakkan, khususnya dalam mengatasi permasalahan pemilu lokal yang jadwal pelaksanaannya bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

    Dalam pemilu lokal, MK memutus dilaksanakan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun setelah pemilu nasional usai dilaksanakan. Konsekuensinya, akan ada kekosongan masa jabatan dalam waktu yang cukup lama (2-2,5 tahun) yang harus dipikirkan oleh pembentuk undang-undang untuk diisi oleh siapa dan bagaimana cara pengisiannya.

    Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah selama masa transisi, mungkin masih bisa dilakukan penunjukan penjabat (Pj) oleh presiden dan mendagri.

    Meskipun pilihan tersebut bertentangan dengan prinsip yang paling penting di dalam demokrasi, yakni legitimasi, kemungkinan yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah demikian. Tapi dengan catatan bahwa masyarakat sipil harus mendesak presiden dan DPR untuk mempersiapkan norma yang membatasi dan mengawasi para Pj tersebut agar tidak menjadi alat politik kekuasaan untuk cawe-cawe memenangkan calon tertentu.

    Sementara, untuk mengisi kekosongan masa jabatan DPRD, belum ada landasan norma yang bisa dijadikan tempat bersandar untuk memperpanjang masa jabatan mereka. Sehingga mau tidak mau harus dibuat aturan mainnya agar tidak terjadi kekosongan jabatan.

    Jika opsi yang dipilih adalah memperpanjang masa jabatan DPRD selama dua tahun, tentu saja kebijakan itu bertentangan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga DPRD harus berasal dari mandat rakyat yang dipilih secara sah melalui pemilu.

    Jika pun selama dua tahun itu ditunjuk pelaksana tugas, maka juga bertentangan dengan nilai demokrasi yang mengedepankan legitimasi ketimbang legalitas.

    Di antara kebuntuan itu, pilihan yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan dibuatnya pemilu sela untuk memilih anggota DPRD yang akan menjabat selama 2 hingga 2,5 tahun sampai dilaksanakannya pemilu lokal di tahun 2032.

    Yang Prosedural dan Yang Substansial

    Jika ditelaah lebih dalam, walaupun putusan tersebut dianggap oleh sebagian pengamat adalah putusan yang progresif, tapi nyatanya, hanya menyentuh persoalan prosedural. Bukan persoalan substansial dari berbagai persoalan pemilu yang sudah-sudah. Mahar politik, politik uang, pengerahan aparat dan birokrat untuk memenangkan calon tertentu, dan lain sebagainya.

    Berharap adanya jeda selama 2 sampai 2,5 tahun agar partai politik bisa bernafas dan mempersiapkan kader secara serius juga adalah sebuah alasan paling utopis yang pernah ada di negeri demokrasi yang mau berumur 80 tahun merdeka ini.

    Dalam Kronik Otoritarianisme Indonesia yang ditulis Zainal Arifin Mochtar dan Muhidin M. Dahlan, Herlambang P. Wiratraman mengatakan, demokrasi di Indonesia cenderung telah didominasi dan difasilitasi oleh sistem politik yang telah terkartelisasi.

    Fenomena ini oleh Richard S Katz dan Peter Mair disebut dengan istilah “partai kartel” yang kenunculannya ditandai dengan hubungan erat antara partai politik dan negara yang saling bekerja sama dalam berkolusi untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Salah satunya berkolusi dalam memenangkan pemilu.

    Tak bisa dipungkiri, demokrasi elektoral kita telah dilumuri politik uang. Biaya politik elektoral yang tinggi membuat partai politik memberi karpet merah kepada pemilik modal untuk ikut serta mengendalikan pemilu dan menjadi bagian di dalam negara. Akibatnya, pemilu hanya menjadi sarana bagi oligarki untuk mengontrol kebijakan negara.

    Untuk dapat berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya, partai politik tidak lagi memilih calon legislatif maupun eksekutif berdasarkan standar ideologis. Lebih condong kepada standar pragmatis. Sudah menjadi rahasia umum, mulai dari sejak fase pra pemilu (rekrutmen calon), yang dilihat paling pertama oleh partai politik bukanlah kualitas (kapabilitas), tetapi kuantitas (seberapa besar isi brangkas).

    Alhasil, mengutip laporan ICW (Indonesia Corruption Watch), yang diperoleh dari pemilu berbiaya tinggi tersebut adalah: Dari total 580 anggota DPR periode 2024- 2029, sekitar 354 orang (61%) terafiliasi dengan sektor bisnis. Dengan kata lain, sebagian besar anggota DPR yang memenangkan pemilu dan duduk di parlemen hari-hari ini adalah politisi pebisnis. Bukan ideolog, bukan pula aktivis, atau politisi yang berasal dari beragam latar belakang.

    Dengan besarnya postur politisi pebisnis yang duduk di DPR saat ini, jangan heran apabila mereka abai melaksanakan demokrasi deliberatif dalam pengambilan keputusan politik negara, terutama dalam proses pembentukan undang-undang kontroversial akhir-akhir ini (UU BUMN, UU Minerba, UU TNI).

    Data ini tidak hanya memperburuk kualitas parlemen dan pemerintahan kita, tapi juga akan memperpanjang nasib demokrasi elektoral yang berbiaya tinggi. Apalagi, di tahun 2024, menurut data yang dirilis Bank Dunia, angka kemiskinan masyarakat Indonesia mencapai 194,4 juta jiwa atau setara 68,2% dari total populasi sebanyak 285,1 juta penduduk.

    Kondisi ini tentu saja tidak bisa diselesaikan dengan sekali pukul perubahan jadwal pemilu, tapi juga harus diiringi dengan pembenahan di berbagai sektor: Partai politik, pembiayaan partai politik dan pemilu, hingga sistem pengawasan yang kuat. Jika tidak, kaki-kaki oligarki di dalam tubuh negara akan semakin kokoh, dan pemilu 2029 dan 2032 hanya akan memperluas potensi politik uang yang muaranya akan menghasilkan pemimpin serakah.

    Dengan begitu, mau sistem pemilu seperti apapun, baik serentak ataupun tidak, terpisah antara nasional dan lokal sekalipun, jika tidak diiringi dengan pembenahan lintas sektor, maka pemisahan jadwal pemilu hanya akan memperpanjang peluang oligarki untuk mengontrol kebijakan publik dengan seluruh perangkat yang mereka punya. Uang, media, aparat, dan segenap perangkat lainnya. Pada akhirnya, putusan MK tidak menyumbang apa-apa untuk peningkatan kualitas demokrasi kita.

    Zieyad Alfeiyad Ahfi atau Ziyad Ahfi. Mahasiswa pascasarjana hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang tengah mengambil studi Hukum Tata Negara.

    (rdp/rdp)

  • Pemisahan pemilu masih dibahas parlemen secara intens

    Pemisahan pemilu masih dibahas parlemen secara intens

    Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin. ANTARA/HO-DPR RI/am.

    Komisi II DPR: Pemisahan pemilu masih dibahas parlemen secara intens
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Sabtu, 02 Agustus 2025 – 12:11 WIB

    Elshinta.com – Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB Muhammad Khozin mengatakan kalangan anggota parlemen/DPR masih membahas dengan intens soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah, khususnya usulan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dipilih oleh DPRD.

    “Secara formal di parlemen, tentu belum dilakukan pembahasan karena forumnya nanti ada dalam pembahasan perubahan UU pilkada/UU Pemilu. Namun secara informal, diskusi mengenai pilihan alternatif model pilkada secara intens kita diskusikan baik di internal fraksi maupun antar fraksi di parlemen,” kata Khozin dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

    Adapun, kata Khozin, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengusulkan agar pemilihan gubernur dipilih oleh pemerintah pusat atau presiden, sementara kepala daerah bupati atau walikota dipilih melalui DPRD.

    Usulan tersebut, kata Khozin, merupakan bagian dari evaluasi pilkada langsung yang dilakukan oleh PKB

    Khozin menjelaskan, argumentasi gubernur ditunjuk oleh Presiden tidak terlepas dari konsep dekonsentrasi di mana pemerintah provinsi hakikatnya merupakan wakil pemerintah pusat.

    Poin ini juga ditegaskan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

    “Artinya, ide ini bukan lahir dari ruang hampa dan tidak didasarkan pada konsep otonomi daerah maupun dekonsentrasi. Ide ini juga sama sekali tidak ada korelasi dengan kewenangan MK,” ungkap Khozin.

    Menurut Khozin, hingga saat ini belum melihat ada fraksi di parlemen yang menolak atau mendukung usulan PKB.

    “Karena belum dibahas secara formal, tentu belum diketahui siapa yang menolak dan yang mendukung. Sebagai sebuah ide, ya tentu terbuka untuk didiskusikan oleh pelbagai pihak termasuk dari kalangan masyarakat luas,” sebut Khozin.

    Namun demikian, pihaknya tetap terbuka akan ide dan masukan dari fraksi lain tentang sistem pemilu. Dengan demikian, proses pemilu dapat dibahas dengan transparan dan demokratis demi kebaikan bersama.

    “Dalam negara demokrasi, dialektika atas sebuah gagasan menjadi hal yang penting terjadi. Di sinilah ruang partisipasi muncul,” tutup dia.

    Sumber : Antara

  • Komisi II DPR: Pemisahan pemilu masih dibahas parlemen secara intens

    Komisi II DPR: Pemisahan pemilu masih dibahas parlemen secara intens

    Artinya, ide ini bukan lahir dari ruang hampa dan tidak didasarkan pada konsep otonomi daerah maupun dekonsentrasi. Ide ini juga sama sekali tidak ada korelasi dengan kewenangan MK

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB Muhammad Khozin mengatakan kalangan anggota parlemen/DPR masih membahas dengan intens soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah, khususnya usulan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dipilih oleh DPRD.

    “Secara formal di parlemen, tentu belum dilakukan pembahasan karena forumnya nanti ada dalam pembahasan perubahan UU pilkada/UU Pemilu. Namun secara informal, diskusi mengenai pilihan alternatif model pilkada secara intens kita diskusikan baik di internal fraksi maupun antar fraksi di parlemen,” kata Khozin dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

    Adapun, kata Khozin, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengusulkan agar pemilihan gubernur dipilih oleh pemerintah pusat atau presiden, sementara kepala daerah bupati atau walikota dipilih melalui DPRD.

    Usulan tersebut, kata Khozin, merupakan bagian dari evaluasi pilkada langsung yang dilakukan oleh PKB

    Khozin menjelaskan, argumentasi gubernur ditunjuk oleh Presiden tidak terlepas dari konsep dekonsentrasi di mana pemerintah provinsi hakikatnya merupakan wakil pemerintah pusat.

    Poin ini juga ditegaskan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

    “Artinya, ide ini bukan lahir dari ruang hampa dan tidak didasarkan pada konsep otonomi daerah maupun dekonsentrasi. Ide ini juga sama sekali tidak ada korelasi dengan kewenangan MK,” ungkap Khozin.

    Menurut Khozin, hingga saat ini belum melihat ada fraksi di parlemen yang menolak atau mendukung usulan PKB.

    “Karena belum dibahas secara formal, tentu belum diketahui siapa yang menolak dan yang mendukung. Sebagai sebuah ide, ya tentu terbuka untuk didiskusikan oleh pelbagai pihak termasuk dari kalangan masyarakat luas,” sebut Khozin.

    Namun demikian, pihaknya tetap terbuka akan ide dan masukan dari fraksi lain tentang sistem pemilu. Dengan demikian, proses pemilu dapat dibahas dengan transparan dan demokratis demi kebaikan bersama.

    “Dalam negara demokrasi, dialektika atas sebuah gagasan menjadi hal yang penting terjadi. Di sinilah ruang partisipasi muncul,” tutup dia.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Instruksi Puan Hadapi Revisi UU Pemilu: Kalau Kompak, Tak Ada yang Pecah Barisan Kita – Page 3

    Instruksi Puan Hadapi Revisi UU Pemilu: Kalau Kompak, Tak Ada yang Pecah Barisan Kita – Page 3

    Selain itu, Puan menilai bahwa Bimtek ini menjadi bekal strategis bagi para anggota DPR dan DPRD dari PDIP dalam menavigasi dinamika politik ke depan.

    “Ibarat sedang berlayar, kita tidak dapat mengubah arah angin, tetapi kita bisa mengarahkan layar sehingga sampai ke tujuan,” tuturnya.

    Tak lupa, Puan juga berharap seluruh kader dapat menjalankan kerja-kerja politik yang terencana dan terukur untuk menjaga kepercayaan rakyat serta memperkuat ideologi perjuangan partai.

    Acara penutupan Bimtek PDIP turut dihadiri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, jajaran pengurus DPP, 3.218 anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia dari PDIP, anggota DPR RI Fraksi PDIP, serta kepala daerah dari partai berlambang banteng tersebut.

    Kegiatan ini menjadi bagian dari program konsolidasi PDIP menjelang dinamika politik nasional, termasuk pembahasan materi strategis seperti penyusunan RPJMD, evaluasi APBD 2025, dan strategi komunikasi politik di daerah.

  • Legislator PDIP harus siap hadapi dinamika revisi UU Pemilu

    Legislator PDIP harus siap hadapi dinamika revisi UU Pemilu

    Ketua DPP PDIP Puan Maharani saat Bimtek Anggota Legislatif Fraksi PDIP di Denpasar, Bali. ANTARA/HO-PDIP

    Puan: Legislator PDIP harus siap hadapi dinamika revisi UU Pemilu
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Kamis, 31 Juli 2025 – 11:13 WIB

    Elshinta.com – Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani mengingatkan seluruh legislator Fraksi PDIP untuk bersiap menghadapi berbagai dinamika politik, khususnya mengenai revisi Undang-Undang Pemilu yang akan sangat menentukan ruang gerak pada Pemilu 2029.

    Untuk itu, saat memberikan sambutan pada penutupan Bimbingan Teknis (Bimtek) Anggota Legislatif Fraksi PDIP di Denpasar, Bali, Puan mengatakan bahwa konsolidasi yang solid, organisasi yang solid, adalah kekuatan bagi partai berlambang kepala banteng itu dalam menggalang dukungan dari rakyat.

    “Apa pun Undang-Undang Pemilu yang akan dihasilkan, tidak ada pilihan yang mudah, semua pilihan tetap membutuhkan kesiapan partai kita,” kata Puan dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis.

    Dia mendorong para anggota legislatif untuk memberi kontribusi yang nyata dalam membangun soliditas partai dan mempersatukan kader-kader partai dalam semangat gotong royong untuk kerja-kerja politik di daerah pemilihannya masing-masing bagi rakyat.

    “Saya menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh peserta bimtek yang telah mengikuti kegiatan ini dengan penuh disiplin dan semangat,” kata Ketua DPR RI itu.

    Puan mengingatkan bahwa perjuangan PDIP adalah proses yang terus-menerus memperjuangkan kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial. Setiap generasi, kata Puan, memiliki medan juangnya sendiri yang harus dijawab oleh kerja-kerja politik. “Dalam berjuang, kita tidak akan takut pada jalan yang terjal, yang paling kita takutkan adalah hati yang mudah menyerah,” katanya.

    Bimbingan teknis yang beragenda konsolidasi partai itu dihadiri jajaran pengurus DPP PDIP, 3.218 anggota Fraksi PDIP di DPRD provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia, seluruh anggota Fraksi PDIP DPR RI, serta para kepala daerah dari PDIP.

    Sumber : Antara

  • Puan sebut legislator PDIP harus siap hadapi dinamika revisi UU Pemilu

    Puan sebut legislator PDIP harus siap hadapi dinamika revisi UU Pemilu

    Denpasar (ANTARA) – Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani mengingatkan seluruh legislator Fraksi PDIP untuk bersiap menghadapi berbagai dinamika politik, khususnya mengenai revisi Undang-Undang Pemilu yang akan sangat menentukan ruang gerak pada Pemilu 2029.

    Untuk itu, saat memberikan sambutan pada penutupan Bimbingan Teknis (Bimtek) Anggota Legislatif Fraksi PDIP di Denpasar, Bali, Puan mengatakan bahwa konsolidasi yang solid, organisasi yang solid, adalah kekuatan bagi partai berlambang kepala banteng itu dalam menggalang dukungan dari rakyat.

    “Apa pun Undang-Undang Pemilu yang akan dihasilkan, tidak ada pilihan yang mudah, semua pilihan tetap membutuhkan kesiapan partai kita,” kata Puan dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis.

    Dia mendorong para anggota legislatif untuk memberi kontribusi yang nyata dalam membangun soliditas partai dan mempersatukan kader-kader partai dalam semangat gotong royong untuk kerja-kerja politik di daerah pemilihannya masing-masing bagi rakyat.

    “Saya menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh peserta bimtek yang telah mengikuti kegiatan ini dengan penuh disiplin dan semangat,” kata Ketua DPR RI itu.

    Puan mengingatkan bahwa perjuangan PDIP adalah proses yang terus-menerus memperjuangkan kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.

    Setiap generasi, kata Puan, memiliki medan juangnya sendiri yang harus dijawab oleh kerja-kerja politik. “Dalam berjuang, kita tidak akan takut pada jalan yang terjal, yang paling kita takutkan adalah hati yang mudah menyerah,” katanya.

    Bimbingan teknis yang beragenda konsolidasi partai itu dihadiri jajaran pengurus DPP PDIP, 3.218 anggota Fraksi PDIP di DPRD provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia, seluruh anggota Fraksi PDIP DPR RI, serta para kepala daerah dari PDIP.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bima Arya: Indonesia Anut Sistem Presidensial, tetapi UU Kepresidenan Belum Ada, Ajaib
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Juli 2025

    Bima Arya: Indonesia Anut Sistem Presidensial, tetapi UU Kepresidenan Belum Ada, Ajaib Nasional 27 Juli 2025

    Bima Arya: Indonesia Anut Sistem Presidensial, tetapi UU Kepresidenan Belum Ada, Ajaib
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri)
    Bima Arya
    menyoroti belum adanya
    Undang-Undang Kepresidenan
    di Indonesia, meskipun sistem pemerintahan yang dianut adalah presidensial.
    Hal ini ia sebut sebagai satu hal yang belum tuntas dalam arsitektur ketatanegaraan.
    Menurutnya, ini juga menjadi momentum penyusunan revisi Undang-Undang Pemilu pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
    “Kita sejak reformasi ikhtiar untuk menguatkan multi partai sederhana. Sekali lagi, multi partai sederhana yang disandingkan dengan sistem presidensil. Ini pun belum tuntas,” kata Bima Arya dalam diskusi daring Ngoprek: Tindak Lanjut Putusan MK Terkait Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPRD, Minggu (27/7/2025).
    “Kenapa? Ya karena
    undang-undang kepresidenan
    pun belum ada. Agak ajaib menurut saya. Kita menganut sistem presidensil, tetapi tidak ada undang-undang kepresidenan,” tambahnya.
    Ia menekankan bahwa penyusunan
    revisi UU Pemilu
    jangan sampai hanya didorong oleh kepentingan partisan atau jangka pendek, melainkan harus menjadi momentum untuk menata ulang sistem politik secara komprehensif.
    “Yang perlu kita pastikan adalah jangan sampai proses revisi ini lebih kental terhadap kepentingan jangka pendek atau kepentingan partisan,” ujarnya.
    Bima menyebutkan, sejak era reformasi, Indonesia sudah menapaki jalan menuju penguatan sistem multi partai sederhana yang sejalan dengan sistem presidensial.
    Namun, secara regulasi, pembangunan sistem ini masih belum tuntas.
    “Undang-undang tentang DPR ada, MD3 ada, segala macam. Tapi presiden tidak ada. Ini kan harus jelas, batasannya apa, kewenangannya apa, dan racikannya,” tutur mantan Wali Kota Bogor itu.
    Menurutnya, revisi undang-undang harus diletakkan dalam kerangka yang lebih besar, yaitu membangun pelembagaan politik yang kuat, merespons kepentingan nasional jangka panjang, serta menjaga integrasi bangsa.
    Bima mengingatkan bahwa Indonesia saat ini tengah berada dalam posisi strategis menuju status negara maju dalam dua dekade mendatang.
    Untuk itu, reformasi sistem politik harus mendukung target-target besar nasional, mulai dari bonus demografi hingga transisi energi.
    “Kalau dulu di 1998-1999, semangat kita ya euforia membuka keran demokratisasi, gitu. Belum kita berbicara Indonesia maju, Indonesia emas. Jauh banget rasanya saat itu. Nah, sekarang ini dimensinya berbeda,” ungkap Bima.
    Ia juga menyinggung pentingnya menjaga kesinambungan antara kepentingan lokal dan nasional melalui sistem pemilu yang tepat.
    Menurutnya, momentum keserentakan yang sudah dicapai dalam siklus pemerintahan pusat dan daerah harus dijaga.
    Dalam paparannya, Bima juga menyoroti pentingnya penguatan pendanaan politik melalui skema bantuan keuangan partai yang berorientasi pada integritas, bukan sekadar menambah dana tanpa akuntabilitas.
    “Jadi party funding, pendanaan politik ini sangat penting sekali. Teman-teman KPK sudah bolak-balik diskusi dengan Kementerian Dalam Negeri, Bappenas yang memasukkan itu ke dalam rencana pemberantasan korupsinya, dan tentunya bagaimana menyandingkan antara dana politik, bantuan politik itu dengan sistem integritas partai politik,” kata politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
    Selain itu, Bima juga mendorong penggunaan teknologi dalam penyelenggaraan pemilu, terutama dalam tahap penghitungan dan pemungutan suara untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wamendagri: Revisi UU Pemilu Jangan untuk Kepentingan Jangka Pendek dan Partisan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Juli 2025

    Wamendagri: Revisi UU Pemilu Jangan untuk Kepentingan Jangka Pendek dan Partisan Nasional 27 Juli 2025

    Wamendagri: Revisi UU Pemilu Jangan untuk Kepentingan Jangka Pendek dan Partisan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri)
    Bima Arya
    menekankan pentingnya penyusunan revisi Undang-Undang Pemilu yang mengedepankan
    kepentingan nasional
    jangka panjang ketimbang kepentingan jangka pendek dan partisan.
    “Yang perlu kita pastikan adalah jangan sampai kemudian proses revisi undang-undang ini lebih kental terhadap kepentingan jangka pendek atau kepentingan partisan. Itu paling utamanya,” kata Bima dalam diskusi daring Ngoprek: Tindak Lanjut Putusan MK Terkait
    Penyelenggaraan Pemilu
    Anggota DPRD, Minggu (27/7/2025).
    Menurut Bima, pemerintah telah mulai membahas berbagai opsi tindak lanjut atas putusan MK, termasuk dampaknya terhadap sistem politik dan kelembagaan daerah.
    Ia menyebut, pembahasan ini dilakukan bersama parlemen maupun lintas kementerian.
    “Banyak yang bertanya apakah sudah direspons? Ya, tidak mungkin tidak. Pasti sudah kami bahas, sudah kami telusuri satu-satu dampaknya,” ujarnya.
    Bima menyampaikan tiga poin utama yang harus menjadi pegangan dalam menyikapi putusan MK dan rencana
    revisi UU Pemilu
    .
    Pertama, revisi harus memperkuat pelembagaan politik, terutama dalam konteks sistem presidensial dan otonomi daerah.
    Ia menyoroti belum adanya Undang-Undang tentang Kepresidenan, padahal sistem presidensial Indonesia seharusnya memiliki regulasi yang mengatur secara jelas kewenangan eksekutif.
    “Kita menganut sistem presidensial, tetapi tidak ada undang-undang kepresidenan. Ini harus jelas,” katanya.
    Kedua, Bima menekankan pentingnya menempatkan reformasi politik dalam kerangka kepentingan nasional dan arah menuju Indonesia sebagai negara maju dalam 20-25 tahun ke depan.
    Ia mengingatkan bahwa sistem politik yang tidak selaras dengan target pembangunan bisa menjadi penghambat.
    “Kalau dulu di 1998-1999, semangat kita ya euforia membuka keran demokratisasi, gitu. Belum kita berbicara Indonesia maju, Indonesia emas. Jauh banget rasanya saat itu. Nah, sekarang ini dimensinya berbeda,” imbuh politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
    Ketiga, Bima menyinggung pentingnya memperkuat fungsi partai politik dan pendanaan politik.
    Ia menyambut baik wacana penguatan bantuan dana politik, namun menekankan pentingnya transparansi dan integritas.
    “Jadi
    party funding
    , pendanaan politik ini sangat penting sekali. Teman-teman KPK sudah bolak-balik diskusi dengan Kementerian Dalam Negeri, Bappenas yang memasukkan itu ke dalam rencana pemberantasan korupsinya, dan tentunya bagaimana menyandingkan antara dana politik, bantuan politik itu dengan sistem integritas partai politik,” jelas eks Wali Kota Bogor ini.
    Selain itu, Bima juga mendorong pemanfaatan teknologi dalam proses pemilu, khususnya untuk tahapan penghitungan dan pemungutan suara.
    Ia juga menyinggung tantangan dalam pelaksanaan pemilu serentak, termasuk potensi ketimpangan antara kepentingan lokal dan nasional.
    Ia menegaskan bahwa keserentakan yang telah dicapai saat ini memberikan banyak manfaat dalam hal perencanaan anggaran dan keselarasan program pusat-daerah, dan karenanya perlu dijaga.
    “Jangan sampai semua itu diuyak-uyak, gitu ya, dipukul ratakan semua. Mari kita letakkan tadi, satu, dalam konteks kita membangun sistem partai politik seperti apa, kedua, kepentingan nasional kita, integrasi kita seperti apa,” ungkapnya.
    Terakhir, ia mengingatkan bahwa tidak ada sistem politik yang sempurna.
    Karena itu, revisi UU Pemilu harus dilakukan dengan kehati-hatian dan dilandasi visi kebangsaan jangka panjang.
    Sebagai informasi, Komisi II DPR rencananya akan memulai pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2026.
    Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, mengatakan, pengembangan terkait poin-poin yang akan direvisi dalam UU Pemilu sudah dilakukan dengan menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dan diskusi.
    “Kalau rancangan timeline yang ada di Komisi II, kalau tidak ada aral melintang, Insya Allah di tahun 2026 itu sudah mulai dilakukan (revisi UU Pemilu),” ujar Khozin, di Media Center Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Kamis (8/5/2025).
    Ia mencatat dua klaster dalam revisi UU Pemilu, yakni klaster teknis dan klaster politis.
    Klaster teknis adalah pembahasan terkait sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, hingga ambang batas parlemen atau
    parliamentary threshold.
    “(Klaster politis) Sudah banyak dikupas bagaimana sistem yang ideal di tengah kerangka teoretis dan fenomena empiris di lapangan,” ujar Khozin.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.