Produk: UU Pemilu

  • Revisi UU merujuk putusan MK soal `presidential threshold`

    Revisi UU merujuk putusan MK soal `presidential threshold`

    Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto dalam acara Bimbingan Teknis Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) di Hotel Mercure Jakarta Kota, Jakarta, Jumat (27/12/2024). (ANTARA/HO-Puspen Kementerian Dalam Negeri)

    Wamendagri: Revisi UU merujuk putusan MK soal `presidential threshold`
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 02 Januari 2025 – 21:13 WIB

    Elshinta.com – Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan bahwa revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada dalam undang-undang sapu jagat atau omnibus law politik akan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas persentase minimal pencalonan presiden atau presidential threshold.

    “Proses revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada pun pembahasannya harus merujuk kepada semangat putusan MK ini. Misalnya, termasuk dengan syarat threshold (ambang batas, red) pencalonan bagi kepala daerah, pemilihan langsung atau melalui DPRD,” kata Wamendagri saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Kamis (2/1).

    Selain itu, Bima memastikan bahwa Kementerian Dalam Negeri sebagai perwakilan pemerintah akan berkomunikasi dengan Komisi II DPR RI mengenai putusan MK tersebut.

    “Iya kan memang kami akan segera mulai pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada,” ujarnya.

    Sebelumnya, MK memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

    Dalam pertimbangan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan bahwa merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik.

    MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

    Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

    Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

    Perkara tersebut dimohonkan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

    Kemudian, terdapat dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh.

    Sumber : Antara

  • MK Hapus Presidential Threshold, PKB: Kado Tahun Baru yang Kontroversial

    MK Hapus Presidential Threshold, PKB: Kado Tahun Baru yang Kontroversial

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid atau yang biasa disapa Gus Jazil, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, merupakan kado Tahun Baru 2025 yang kontroversial.

    Menurut Gus Jazil, keputusan MK ini akan memicu berbagai polemik di kalangan masyarakat.

    “Ini kado tahun baru yang akan menuai berbagai pandangan, polemik, dan kontroversi,” ujar Gus Jazil kepada wartawan, Kamis (2/1/2025).

    Gus Jazil menganggap Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden seharusnya menjadi open legal policy, yang berarti penentuan angka presidential threshold merupakan kewenangan DPR dan pemerintah dalam menyusun norma melalui revisi UU Pemilu.

    “Hemat saya, pasal ini termasuk dalam open legal policy, yang mestinya DPR dan pemerintah yang akan menyusun kembali norma dalam revisi UU Pemilu,” tandas Gus Jazil.

    Lebih lanjut, Gus Jazil menambahkan pihaknya akan menyusun langkah-langkah untuk merespons putusan MK tersebut.

    “Kami akan menyusun langkah sekaligus menunggu perkembangan dinamika dari lembaga pembentuk UU pasca MK mengeluarkan putusan tersebut. Pastinya akan berkonsekuensi pada revisi UU Pemilu yang ada,” pungkas Gus Jazil.

    Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen kursi di DPR, yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MK juga menyatakan norma tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo saat pembacaan putusan MK atas perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia dkk, di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    MK juga memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

  • Partai Ummat: “Presidential threshold” dihapus sinyal baik demokrasi

    Partai Ummat: “Presidential threshold” dihapus sinyal baik demokrasi

    Jakarta (ANTARA) – Partai Ummat menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagai sinyal baik bagi demokrasi di tanah air sebab partisipasi politik rakyat akan meningkat.

    “Ini adalah sinyal baik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, seakan mengembalikan cahaya demokrasi pada era pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto ini,” kata Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

    Partai Ummat menilai putusan MK yang mengabulkan gugatan uji materi Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 itu merupakan pengejawantahan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya, serta pemulihan hak konstitusional rakyat dalam pemilu.

    “Rakyat diberikan alternatif yang bervariasi dengan hadirnya para putra terbaik bangsa untuk dapat ikut berkontestasi. Tidak lagi calon-calon yang sudah ditentukan oleh sebagian pihak yang selama ini sering disebut sebagai oligarki,” ujarnya.

    Untuk itu, Ridho mengatakan Partai Ummat menyambut baik atas dikabulkannya permohonan uji ambang batas pencalonan presiden, sebagaimana yang pernah diajukan pula oleh partainya ke MK.

    “Kami menyambut baik dan bergembira atas keputusan MK hari ini, yang sebenarnya pernah kami ajukan pada tahun 2022 dengan tuntutan yang sama, tetapi saat itu ditolak MK. Alhamdulillah tahun ini disetujui,” ucapnya.

    Dia pun menambahkan partainya mendorong DPR RI segera merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sesuai putusan MK tersebut.

    “Yang lebih penting sekarang adalah bagaimana putusan MK ini menjadi dasar bagi DPR RI agar segera melakukan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 atau UU Pemilu agar seluruh unsur bisa bersiap mengantisipasinya,” tuturnya.

    Partai Ummat berharap revisi yang dilakukan DPR RI terhadap UU Pemilu nantinya mendukung kehidupan demokrasi Indonesia yang semakin baik.

    “Seperti pemilu dengan menggunakan e-voting berbasis blockchain yang pernah kami ajukan kepada Komisi Pemilihan Umum, tetapi terbentur undang-undang,” katanya.

    Sebelumnya, MK memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

    MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Respons Putusan MK Hapus Presidential Threshold, Said Abdullah: PDI-P Tunduk dan Patuh

    Respons Putusan MK Hapus Presidential Threshold, Said Abdullah: PDI-P Tunduk dan Patuh

    Respons Putusan MK Hapus Presidential Threshold, Said Abdullah: PDI-P Tunduk dan Patuh
    Tim Redaksi
    KOMPAS.co
    m —  Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (
    PDI-P
    ) Jawa Timur
    Said Abdullah
    menegaskan bahwa PDI-P sepenuhnya tunduk dan patuh terhadap Putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024.
    “Sebagai bagian dari partai politik, kami sepenuhnya tunduk dan patuh terhadap putusan MK karena putusan ini bersifat final dan mengikat,” ucapnya yang juga menjabat sebagai Ketua Ketua Badan Anggaran (Banggar)
    DPR
    RI dalam siaran pers, Kamis (2/1/2025).
    Pernyataan tersebut disampaikan Said sebagai tanggapan atas Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang baru saja mengabulkan pengujian pasal 222 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
    Putusan tersebut membatalkan ketentuan Presidential Threshold, yang mewajibkan partai politik atau gabungan partai politik memenuhi syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden (wapres).
    Dalam pertimbangan putusan tersebut, Said menjelaskan bahwa MK juga meminta agar pembentuk UU, yaitu pemerintah dan DPR untuk mengatur agar jumlah pasangan calon presiden (
    capres
    ) dan wakil presiden (
    cawapres
    ) tidak terlalu banyak.
    Aturan itu dimaksudkan agar pemilu presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan langsung oleh rakyat tetap menjaga esensi dan kualitasnya.
    “Dalam pertimbangannya, MK meminta agar pembentuk UU melakukan rekayasa konstitusional, namun dengan beberapa catatan penting,” imbuh Said.
    Putusan MK itu, lanjut dia, menegaskan bahwa semua partai politik berhak untuk mengusulkan pasangan capres dan cawapres, dan pengusulan tersebut tidak boleh didasarkan pada persentase kursi DPR atau suara sah nasional.
    Namun, MK mengatur bahwa pengusulan pasangan capres dan cawapres dapat dilakukan melalui gabungan partai, dengan syarat tidak menimbulkan dominasi dari satu partai atau gabungan partai yang dapat membatasi jumlah pasangan capres dan cawapres yang diajukan.
    Selain itu, MK juga memerintahkan agar pembentuk UU melibatkan partisipasi dari berbagai pihak, termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR.
    “Menyikapi hal ini, kami akan menjadikan pertimbangan dari putusan MK sebagai pedoman dalam pembahasan
    revisi UU Pemilu
    yang nantinya akan dilakukan antara pemerintah dan DPR,” jelas Said.
    Pada kesempatan tersebut, Said menekankan bahwa semangat dari pembahasan Pasal 222 dalam UU Pemilu adalah untuk memperkuat dukungan politik di DPR terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terpilih.
    “Dengan dukungan yang kuat dari DPR, maka program kebijakan, anggaran, dan legislasi yang diajukan oleh presiden dan wakil presiden terpilih akan berjalan lancar,” ucapnya.
    Dengan terbitnya putusan tersebut, Said menegaskan bahwa pihaknya akan segera melaksanakan perekayasaan konstitusional yang diperintahkan oleh MK.
    Langkah
    pertama
    yang akan diambil adalah membangun kerja sama atau koalisi antarpartai politik dalam pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
    “Melalui pengaturan mekanisme kerja sama antarpartai, hak setiap partai untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden tetap terjaga,” ucap Said.
    Ia menilai bahwa dengan cara tersebut, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terpilih akan memperoleh dukungan politik yang kuat dari DPR.
    Said menyampaikan bahwa PDI-P akan mengikuti petunjuk MK dengan melakukan perekayasaan konstitusional yang mengatur syarat calon presiden dan wapres, tidak hanya berdasarkan aspek kuantitatif, tetapi juga aspek kualitatif.
    “Kami akan memastikan bahwa calon-calon tersebut memenuhi kriteria kepemimpinan yang baik, memiliki pengalaman di bidang publik, pemahaman mendalam tentang kenegaraan, serta rekam jejak integritas yang jelas,” imbuhnya.
    Hal tersebut, lanjut Said, dilakukan agar hak setiap partai dalam mengusulkan pasangan capres dan cawapres tidak hanya terbatas pada prosedur, tetapi juga pada standar kualitas yang tinggi.
    Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa pihaknya juga akan melibatkan perwakilan lembaga negara serta tokoh masyarakat untuk menguji aspek-aspek kualitatif tersebut, agar proses penetapan calon presiden dan wapres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat berjalan sesuai dengan mekanisme yang sah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pertimbangan Hakim MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden

    Pertimbangan Hakim MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pasal 222 Undang-undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) inkonstitusional. Pasal itu mengatur soal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). 

    Pada sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025), MK mengabulkan uji materi terhadap pasal tersebut sebagaimana yang dimohonkan oleh pemohon perkara No.62/PUU-XXII-2024. 

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025). 

    Dalam amar putusannya, MK juga menyatakan pasal tersebut tidak berkekuatan hukum mengikat. 

    Sementara itu, dalam pertimbangannya, para hakim konstitusi menilai bahwa pasal 222 UU Pemilu tidak sejakan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sesuai Undang-undang Dasar (UUD) 1945. 

    Tepatnya, pasal 222 dinilai tidak sesuai dengan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. 

    “Sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.

    Adapun, terdapat dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat atau dissenting opinion, yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.

    Pemohon dari perkara No.62/PUU-XXII/2024 adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna. Semuanya adalah mahasiswa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Komunitas Pemerhati Konstitusi.

    Sebagaimana diketahui, norma yang diujikan adalah Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

  • Golkar Terkejut MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, Padahal 27 Gugatan Sebelumnya Ditolak – Halaman all

    Golkar Terkejut MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, Padahal 27 Gugatan Sebelumnya Ditolak – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar, Muhammad Sarmuji mengaku pihaknya terkejut Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen.

    Padahal, kata Sarmuji, MK sudah menolak puluhan gugatan yang pernah didaftarkan sejumlah kelompok terkait presidential threshold.

    Dia mencatat sudah ada 27 gugatan yang pernah digugat ke MK.

    “Keputusan MK sangat mengejutkan mengingat putusan MK terhadap 27 sebelumnya selalu menolak,” ujar Sarmuji saat dikonfirmasi, Kamis (2/1/2025).

    Dijelaskan Sarmuji, dalil MK sebelumnya tetap sama mengenai penolakan perubahan ambang batas pengusungan presiden.

    Dia pun mengaku tidak paham alasan gugatan tersebut kini dikabulkan MK.

    “Dalam 27 kali putusannya cara pandang MK dan pembuat UU selalu sama yaitu maksud diterapkannya presidensial treshold itu untuk mendukung sistem presidensial bisa berjalan secara efektif,” ucapnya.

    Sebagai informasi, MK menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pemilu. 

    Putusan MK terkait penghapusan ambang batas ini merupakan permohonan dari perkara 62, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan sejumlah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    MK menyatakan syarat pengusulan pasangan calon atau paslon presiden dan wakil presiden dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

    Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selain itu, MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

    Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

    MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan Pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.

    Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

    Selain itu, setelah mempelajari arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.

    Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

    Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.

    Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong.

    Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan Pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.

    “Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

    Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi:

    Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.

    Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

    Dalam mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

    Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya

    Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

    “Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil,” kata Saldi.

  • Sekjen Golkar Kaget MK Tiba-tiba Hapus Presidential Threshold 20%

    Sekjen Golkar Kaget MK Tiba-tiba Hapus Presidential Threshold 20%

    Bisnis.com, JAKARTA — Sekjen Partai Golkar Sarmuji mengaku dirinya terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi terhadap pasal 222 UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). 

    Pasalnya, Sarmuji terkejut lantaran dia mengungkapkan bahwa sebelumnya MK selalu menolak dalam 27 kesempatan sebelumnya.

    “Keputusan MK sangat mengejutkan mengingat putusan MK terhadap 27 gugatan [soal UU yang sama] sebelumnya selalu menolak,” kata Sarmuji saat dikonfirmasi, di Jakarta, pada Kamis (2/1/2025).

    Lebih lanjut, dia turut mengungkit bawa MK dan pembuat Undang-Undang (UU) selalu memiliki cara pandang yang sama.

    “Dalam 27 kali putusannya cara pandang MK dan pembuat UU selalu sama, yaitu maksud diterapkannya presidensial treshold itu untuk mendukung sistem presidensial bisa berjalan secara efektif,” pungkasnya.

    Dalam amar putusan yang dibacakan pada perkara No.62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku 20% inkonstitusional. Artinya, pencalonan presiden oleh partai politik tidak harus memiliki suara 20% di DPR.  

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025).  

    MK juga menyatakan dalam putusannya bahwa pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 alias inkonstitusional. 

    Anwar Usman dan Daniel Yusmic Menolak 

    Ketua MK Suhartoyo mengatakan ada dua hakim yang berpendapat berbeda atau dissenting opinion terkait putusan tersebut. 

    “Terhadap putusan mahkamah a quo terdapat dua hakim yang berpendapat berbeda, yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh. Bahwa dissenting dimaksud dianggap diucapkan. Namun pada pokoknya, dua hakim tersebut berpendapat para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing sehingga mahkamah seharusnya tidak melanjutkan pemeriksaan pada pokok permohonan,” ujarnya, Kamis (2/1/2025). 

    Dalam amar putusan yang dibacakan pada perkara No.62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku 20% inkonstitusional. Artinya, pencalonan presiden oleh partai politik tidak harus memiliki suara 20% di DPR. 

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025). 

    MK juga menyatakan dalam putusannya bahwa pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 alias inkonstitusional. 

    “Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” lanjut Suhartoyo. 

    Pemohon dari perkara No.62/PUU-XXII/2024 adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna.

    Sebagaima diketahui, norma yang diujikan adalah Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

  • MK Hapus PT 20 Persen, Sekjen Golkar Sarmuji Mengaku Terkejut

    MK Hapus PT 20 Persen, Sekjen Golkar Sarmuji Mengaku Terkejut

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas atau presidentian threshold sebesar 20 persen, untuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden di pilpres sedikit mengejutkan.

    Rasa terkejut itu salah satunya dialami elite Partai Golkar. Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Golkar, Sarmuji. Dia mengaku terkejut dengan putusan MK tentang ambang batas pencalonan presiden tersebut dalam UU Pemilu.

    Ketua Fraksi Golkar di DPR RI itu meyebut, MK sudah banyak menyidangkan aturan soal ambang batas pencalonan dan selalu menolak.

    “Keputusan MK sangat mengejutkan, mengingat putusan MK terhadap 27 sebelumnya selalu menolak,” kata Sarmuji melalui layanan pesan, dilansir jpnn, Kamis (2/1).

    Dia mengatakan MK dalam putusan sebelumnya memiliki pandangan senada dengan DPR menyikapi ambang batas, yakni mendukung Presidential Threshold. “Dalam 27 kali putusannya, cara pandang MK dan pembuat UU selalu sama yaitu maksud diterapkannya presidensial treshold itu untuk mendukung sistem presidensial bisa berjalan secara efektif,” kata dia.

    Sebelumnya, MK menghapus aturan tentang syarat ambang batas partai dalam mengusung Presiden dan Wapres RI atau Presidential Threshold (PT) sebesar 20 persen.

    Hal demikian tertuang saat MK memutuskan sidang gugatan bernomor 62/PUU-XXII/2024 dengan Enika Maya Oktavia selalu pemohon, Kamis (1/2). “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo saat membacakan amar putusan dalam persidangan, Kamis.

  • MK Hapus Presidential Threshold, Hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic Tak Sepakat

    MK Hapus Presidential Threshold, Hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic Tak Sepakat

    Jakarta, Beritasatu.com – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan tersebut diambil dalam sidang perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis (2/1/2025) di Gedung MK, Jakarta.

    Ketua MK, Suhartoyo, menyatakan bahwa norma dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya, Pasal 222 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Suhartoyo saat membacakan amar putusan.

    Namun, dua hakim MK, yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion terhadap putusan tersebut. Mereka menilai para pemohon dalam perkara uji materi ini tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).

    “Pada pokoknya kedua hakim tersebut berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan perbedaan pendapat para hakim.

    Menurut kedua hakim tersebut, permohonan seharusnya tidak dapat diterima, sehingga Mahkamah tidak perlu melanjutkan pemeriksaan pada pokok permohonan.

    Permohonan uji materi ini diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Rizki Maulana Syafei, Enika Maya Oktavia, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

    Pasal 222 UU Pemilu sebelumnya mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya.

    Dengan putusan ini, norma tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, membuka peluang lebih luas bagi pencalonan presiden dan wakil presiden di Indonesia.

  • Aditya Perdana: Putusan MK Soal Threshold Akan Picu Kompetisi Ketat di Pilpres 2029

    Aditya Perdana: Putusan MK Soal Threshold Akan Picu Kompetisi Ketat di Pilpres 2029

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA– Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Aditya Perdana mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi soal penghapusan presidential threshold membuka lebar capres pada tahun 2029.

    “Kesempatan semua pihak, baik politisi ataupun di luar politisi untuk menjadi capres pada tahun 2029 terbuka selebar-lebarnya. Artinya, potensi capres pada tahun 2029 akan makin banyak karena tidak ada pembatasan apa pun,” kata Aditya Perdana di Depok, Kamis.

    Hakim MK hari ini membuka tahun baru 2025 dengan mengejutkan penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada pemilu berikutnya.

    ​​​​​​Bagi Presiden Prabowo ataupun Wapres Gibran, kata dia, putusan MK ini akan membuka peluang kompetisi yang makin ketat bagi petahana karena per hari ini akan muncul banyak penantang yang memulai kompetisi dengan mencoba merebut hati pemilih dengan berbagai cara, termasuk mantan capres dan mantan cawapres pada Pemilu 2024.

    Menurut dia, dinamika ini tentu juga akan berdampak pada koalisi pemerintahan yang dominan. Setiap politikus atau bahkan pimpinan partai yang berada di kabinet tentu memiliki orientasi untuk menjadi kandidat pada pilpres dengan keuntungan sumber daya yang mereka miliki saat ini.

    “Kompetisi pilpres tentunya akan memengaruhi dinamika kabinet, yakni di antara para menteri,” kata Aditya yang juga Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting.

    Dikatakan pula bahwa putusan MK ini harus diperkuat dalam pembahasan revisi UU Pemilu yang rencananya akan segera digelar agar memperkuat aspek legal dalam bentuk UU. (*)