Produk: UU Pemilu

  • MK Usul Rekayasa Konstitusi Cegah Capres Terlalu Banyak – Halaman all

    MK Usul Rekayasa Konstitusi Cegah Capres Terlalu Banyak – Halaman all

    Mahkamah Konstitusi menghapus aturan presidential threshold dalam pemilu. Namun MK menhgusulkan adanya rekayasa konstitusional untuk…

    Tayang: Jumat, 3 Januari 2025 13:20 WIB

    Deutsche Welle

    MK Usul Rekayasa Konstitusi Cegah Capres Terlalu Banyak 

    Mahkamah Konstitusi (MK) mengusulkan adanya rekayasa konstitusional (constitutional engineering) oleh DPR dan pemerintah saat merevisi UU Nomor 7 tahun 2017. Hal itu, dilakukan untuk mencegah potensi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak usai dihapusnya ambang batas syarat pengusulan calon presiden.

    Hal itu disampaikan Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan perkara 62/PUU-XXII/2024, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). Dalam amar putusannya, MK mengabulkan seluruhnya gugatan perkara tersebut.

    Saldi mengatakan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusional semua partai politik peserta pemilu. Namun, dalam revisi UU Pemilu nantinya, diharapkan dapat mengatur mekanisme pencegahan lonjakan jumlah pasangan calon berlebihan, sehingga pemilu tetap efektif.

    “Dalam revisi UU 7/2017, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat,” ujar Saldi.

    Saldi mengatakan pasal 6A ayat 4 UUD NRI 1945 telah mengatur antisipasi kemungkinan terjadi pilpres putaran kedua. Namun, MK menilai pasangan calon yang terlalu banyak belum tentu memiliki dampak positif.

    “Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia,” kata Saldi.

    MK lantas memberikan lima pedoman untuk DPR dan pemerintah saat melakukan rekayasa konstitusional dalam merevisi UU Pemilu. Berikut hal-hal yang harus diperhatikan oleh DPR dan pemerintah saat merevisi UU Pemilu:

    Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden; Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh parti politik atau, gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional; Dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih; Partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya; Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggara pemilu termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna. (rs)

    “);
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:’15’,img:’thumb2′}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }
    else{
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    $(“#test3”).val(“Done”);
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else if (getLast > 150) {
    if ($(“#ltldmr”).length == 0){
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    }
    }
    }
    });
    });

    function loadmore(){
    if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
    var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast ;
    if($(“#test3”).val() == ‘Done’){
    newlast=0;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest”, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;
    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else{
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:sectionid,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast+1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    }

    Berita Terkini

  • Peneliti BRIN: Koalisi Makin Cair usai MK Hapus Presidential Threshold

    Peneliti BRIN: Koalisi Makin Cair usai MK Hapus Presidential Threshold

    Bisnis.com, JAKARTA – Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati meyakini peta koalisi partai politik (parpol) bakal kian majemuk dengan penghapusan Presidential Threshold.

    Apalagi, kata Wasisto, saat ini demokrasi sarat dan kental dengan praktik kartel politik atau sistem kerja sama yang lebih banyak merangkul partai politik yang berlainan ideologi untuk menghindari konflik dalam pengambilan keputusan di parlemen, bukan untuk kepentingan masyarakat.

    Sehingga, sistem ini mewujudkan sebuah pemerintahan yang tidak sehat bagi masyarakat, terutama pada sistem negara demokrasi.

    “Kebijakan ini memang mendorong munculnya paslon yang lebih banyak daripada sekarang yang sejak dekade terakhir hanya diikuti 2—3 paslon saja. Tentu memberi variasi pilihan politik bagi pemilih untuk memilih kandidat yang tepat sesuai hati nuraninya,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (31/12/2024).

    Kendati demikian, Wasisto mengatakan lantaran variasi kandidat tak lagi dilandasi oleh keputusan golongan tertentu. Sehingga, berpotensi untuk menambah tingkat koalisi partai dalam mengusung kandidat, sebab setiap partai akan melihat popularitas kandidat yang akan diusung.

    “Untuk ke depan partai politik dan koalisi yang dibentuk nantinya tidak lagi menjadi penentu utama bagi kandidat yang akan maju, tetapi lebih pada popularitas kandidat yang itu berpontensi berdampak elektabilitas yang besar,” pungkas Wasisto.

    Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya membatalkan ketentuan Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau “presidential threshold” karena dipandang bertentangan dengan UUD 1945.

    Sekadar informasi, sebelum dibatalkan, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu mensyaratkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden harus didukung oleh sekurang-kurangnya 20 persen kursi parpol atau gabungan parpol di DPR RI, atau minimal 25 persen suara sah nasional parpol atau gabungan parpol berdasarkan hasil Pemilu lima tahun sebelumnya.

    Dengan pembatalan itu, maka setiap parpol peserta Pemilu mendatang, berhak mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa ambang batas lagi.

  • Putusan MK Hapus Presidential Threshold Dinilai PKB akan Menuai Polemik & Kontroversi – Halaman all

    Putusan MK Hapus Presidential Threshold Dinilai PKB akan Menuai Polemik & Kontroversi – Halaman all

    Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Umum PKB, Jazilul Fawaid, menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus presidential threshold (PT) minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. 

    “Kado tahun baru yang akan menuai berbagai pandangan, polemik, dan kontroversi,” kata Jazilul kepada wartawan, Jumat (3/1/2025).

    Jazilul menilai putusan itu merupakan open legal policy sehingga perlu ditindaklanjuti dalam revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. 

    Adapun PKB, dikatakan Jazilul, segera menyusun langkah terkait putusan tersebut.

    “Pastinya akan berkonsekuensi pada revisi UU Pemilu yang ada,” tandasnya.

    Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya diatur parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya.

    Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

    Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

    Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

    MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.

    Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

    Selain itu setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.

    Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

    Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.

    Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong. Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.

    “Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

    Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi:

    Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.

    Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

    Dalam mengusulan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

    Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya

    Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

    “Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil,” kata Saldi.

     

  • MK Hari Ini Putuskan UU Pemilu Soal Kampanye yang Dilakukan Presiden

    MK Hari Ini Putuskan UU Pemilu Soal Kampanye yang Dilakukan Presiden

    loading…

    MK bakal memutuskan perkara nomor 172/PUU-XXII/2024 yang diajukan mahasiswi asal Jawa Timur, Lintang Mendung Kembang Jagad, pada Jumat (3/1/2025) sore. Foto/Dok.SINDOnews

    JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) bakal memutuskan perkara nomor 172/PUU-XXII/2024 yang diajukan mahasiswi asal Jawa Timur, Lintang Mendung Kembang Jagad, pada Jumat (3/1/2025) sore. Pembacaan Putusan akan dilaksanakan di ruang sidang Gedung MK, Jakarta.

    Dalam permohonannya, pemohon menguji ketentuan pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

    Adapun, pasal 299 ayat (1) berbunyi kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan:

    a. Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;

    b. Menjalani cuti di luar tanggungan negara.

    Sementara pasal 299 ayat (1) menyatakan, presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye.

    Dalam petitumnya pemohon menyatakan bahwa materi muatan Pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang Pemilu Inkonstitusional, sepanjang tidak dimaknai sebagai wewenang presiden dan wakil presiden dalam kampanye Pilpres untuk dirinya sendiri atau periode kedua baginya.

    Sebelumnya, MK telah mengabulkan gugatan dengan nomor perkara 62/PUU-XXI/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia.

  • Beda Sikap Anwar Usman di Perkara Presidential Threshold vs Batas Usia Capres-Cawapres

    Beda Sikap Anwar Usman di Perkara Presidential Threshold vs Batas Usia Capres-Cawapres

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan aturan soal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20% inkonstitusional. Dari sembilan hakim konstitusi, dua hakim berbeda pendapat atau dissenting opinion. 

    Dua orang hakim konstitusi yang berbeda pendapat dengan tujuh orang lainnya adalah Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh. Keduanya menyoroti soal kedudukan hukum para pemohon. 

    Untuk diketahui, pemohon perkara No.62/PUU-XXII/2024 adalah empat orang anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Komunitas Pemerhati Konstitusi, yaitu Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna. 

    Sementara itu, pokok perkara yang dimohonkan uji materi oleh pemohon adalah pasal 222 Undang-undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

    Pasal itu mengatur bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

    Dalam amar putusan yang dibacakan pada perkara No.62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku 20% inkonstitusional. 

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025). 

    Berbeda dengan mayoritas hakim konstitusi, Anwar Usman dan Daniel Yusmic menilai para pemohon harus menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional yang dialami oleh berlakunya suatu UU agar dianggap memiliki kedudukan hukum (legal standing). Hal itu sebagaimana tertuang dalam pasal 51 ayat (1) UU MK. 

    Menurut kedua hakim konstitusi itu, mahkamah telah menegaskan pendiriannya bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi pasal tersebut adalah partai politik atau gabungannya, serta perseroangan warga negara dengan hak untuk dipilih atau didukung partai politik. 

    Adapun, untuk perkara No.62/PUU-XXII/2024, empat orang pemohon itu dinilai tidak memiliki kerugian konstitusional terkait dengan perkara yang diajukan. 

    “Bahwa pembatasan pihak yang dapat memohonkan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 bukan berarti bahwa norma a quo ‘kebal’ (immune) untuk diuji, melainkan karena tiadanya kerugian konstitusional pemohon perseorangan warga negara Indonesia in casu para Pemohon a quo dan/atau badan hukum selain pihak-pihak sebagaimana telah disebutkan pada angka 3 di atas oleh berlakunya norma a quo,” demikian bunyi dissenting opinion Anwar dan Daniel, yang dibacakan pada sidang pembacaan putusan MK, Kamis (2/1/2025). 

    Oleh sebab itu, kedua hakim berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan permohonannya tidak dapat diterima. 

    Perbesar

    Putusan MK Batas Usia Capres-Cawapres 

    Sebelumnya atau pada 2023 lalu, Anwar Usman dan para hakim MK dihadapkan dengan perkara uji materi serupa. Pemohon dari kalangan mahasiswa menggugat suatu pasal yang berada di UU Pemilu. 

    Saat itu, perkara No.90/PUU-XXI/2023 dikabulkan oleh MK terkait dengan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres). 

    Perkara itu diajukan oleh pemohon yang juga berstatus mahasiswa, yakni Almas Tsaqibbirru Re A. Dia mengajukan permohonan uji materi terhadap pasal 169 huruf (q) UU Pemilu yang berbunyi “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:….. q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”

    Dalam pertimbangannya, MK menilai pemohon telah menjelaskan perihal hak konstitusionalnya dalam mengajukan uji materi pasal 169 huruf (q) UU Pemilu. Beberapa kedudukan hukum yang diajukan Almas di antaranya adalah pemohon adalah WNI dan bercita-cita sebagai presiden dan wakil presiden. 

    Pasal 169 huruf (q) dinilai merugikan dan melanggar hak konstitusinal pemohon untuk dipilih dan memilih karena berusia di bawah 40 tahun.

    “Apabila permohonan a quo dikabulkan, kerugian konstitusional seperti yang dijelaskan tidak akan terjadi. Oleh karena itu, terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya inkonstitusionalitas norma yang didalilkan, menurut Mahkamah, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo,” demikian bunyi pertimbangan MK saat itu. 

    Adapun dalam amar putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon sebagian. Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”

    Perbesar

    Pada perkara tersebut, Anwar Usman, M. Guntur Hamzah dan Manahan P. Sitompul adalah hakim yang mengabulkan permohonan Almas.

    Sementara itu, dua hakim konstitusi memiliki alasan berbeda (concurring opinion), yaitu Enny Nurbanigsih dan Daniel Yusmic. 

    Kemudian, terdapat empat hakim memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion, yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo. 

    Sebagaimana diketahui, perkara yang diajukan Almas itu kuat ditengarai untuk meloloskan pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang saat itu belum berusia 40 tahun dan sudah menjadi Wali Kota Solo. Kini, Gibran telah dilantik menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden Prabowo Subianto. 

    Namun, sebagai konsekuensinya, Anwar dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Putusan itu dibacakan oleh Majelis Kehormatan MK atau MKMK yang dipimpin Jimly Ashiddiqie pada 7 November 2023. 

    Di antara prinsip yang dilanggar Usman, yakni tidak mengundurkan diri dari proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan perkara No.90/PUU-XXI/2023. Padahal, uji materi pasal itu kuat diduga berkaitan untuk kepentingan pencalonan Gibran, yang merupakan anak dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jelang pendaftaran Pilpres 2024.

    Sementara itu, diketahui status Anwar Usman, saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstutisi, adalah ipar dari Presiden Jokowi. 

  • Yusril: Pemerintah Hormati Putusan MK, Siap Revisi UU Pemilu dengan DPR – Page 3

    Yusril: Pemerintah Hormati Putusan MK, Siap Revisi UU Pemilu dengan DPR – Page 3

    Pemerintah sedang mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penghapusan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. 

    Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas mengatakan pembelajaran diperlukan lantaran MK belum menyatakan waktu pemberlakuan putusan tersebut.

    Kendati demikian, dirinya menegaskan bahwa pemerintah tetap berpandangan putusan MK bersifat final dan mengikat.

    Menurut dia, biasanya MK menentukan waktu berlaku putusan. Namun pada putusan mengenai presidential threshold tersebut, ia menuturkan MK belum menentukan.

    Menkum menegaskan pihaknya tidak mempersoalkan isi putusan tersebut, tetapi hanya melihat bahwa saat ini MK benar-benar menghapus presidential threshold, berbeda dengan putusan sebelumnya yang menurunkan ambang batas.

    “Tapi apa pun putusan MK karena sifatnya final dan mengikat, kami akan mengkaji, melakukan kajian kapan mulai berlakunya. Nah MK saya lihat belum memutuskan itu,” tuturnya yang dikutip dari Antara.

    Oleh karena itu, Supratman menyampaikan bahwa Kementerian Hukum (Kemenkum) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mengomunikasikan putusan MK itu dengan penyelenggara pemilihan umum (pemilu).

    Selain itu, sambung dia, pemerintah dan parlemen juga akan membahas putusan tersebut dalam perubahan Undang-Undang (UU) Pemilu.

    Pasalnya, kata dia, pada akhirnya apabila putusan tersebut terkait dengan pelaksanaan pemilu maka akan ada suatu perubahan terkait UU maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), sehingga semuanya akan diselaraskan.

  • Yusril: Pemerintah Hormati Putusan MK Batalkan Presidential Threshold

    Yusril: Pemerintah Hormati Putusan MK Batalkan Presidential Threshold

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra memastikan pemerintah menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan presidential threshold.

    Hal itu diungkapkan Yusril saat menjelaskan sikap pemerintah terhadap putusan MK yang membatalkan ketentuan ambang batas presiden di Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

    “Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding),” katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (3/1/2025).

    Yusril menegaskan, semua pihak, termasuk pemerintah terikat dengan Putusan MK tersebut tanpa dapat melakukan upaya hukum apapun.

    Pemerintah menyadari bahwa permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu telah dilakukan lebih dari 30 kali, dan baru pada pengujian terakhir ini dikabulkan.

    Lebih jauh, Yusril menyebut, pemerintah melihat ada perubahan sikap MK terhadap konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu itu dibanding putusan-putusan sebelumnya.

    “Namun apapun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis. MK berwenang menguji norma undang-undang dan berwenang pula menyatakannya bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucapnya.

    Yusril menambahkan, setelah adanya tiga Putusan MK Nomor 87, 121 dan 129/PUU-XXII/2024 yang membatalkan keberadaan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden itu, pemerintah secara internal tentu akan membahas implikasinya terhadap pengaturan pelaksanaan Pilpres tahun 2029.

    Menurutnya, jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan Presidential Threshold, maka Pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR.

    “Semua stakeholders termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat Pemilu dan masyarakat tentu akan dilbatkan dalam pembahasan itu nantinya,” pungkas Yusril.

    Sekadar informasi,  sebelum dibatalkan, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu mensyaratkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden harus didukung oleh sekurang-kurangnya 20 persen kursi parpol atau gabungan parpol di DPR RI, atau minimal 25 persen suara sah nasional parpol atau gabungan parpol berdasarkan hasil Pemilu lima tahun sebelumnya.

    Dengan pembatalan itu, maka setiap parpol peserta Pemilu mendatang, berhak mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa ambang batas lagi.

  • Hormati Putusan MK Hapus Presidential Threshold, Yusril: Final dan Mengikat

    Hormati Putusan MK Hapus Presidential Threshold, Yusril: Final dan Mengikat

    loading…

    Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menghormati putusan MK yang menghapus presidential threshold. Foto: SINDOnews/Nur Khabibi

    JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold . Adanya putusan tersebut setiap partai politik peserta Pemilu dapat mencalonkan presiden dan wakil presidennya masing-masing.

    “Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding),” ujar Yusril, Jumat (3/1/2025).

    Menurut dia, pemerintah secara internal akan membahas implikasinya terhadap pengaturan pelaksanaan Pilpres 2029.

    “Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR,” katanya.

    “Semua stakeholders termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat Pemilu, dan masyarakat tentu akan dilibatkan dalam pembahasan itu nantinya,” sambungnya.

    Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan nomor 62/PUU-XXI/2023 soal persyaratan ambang batas calon peserta Pilpres. Putusan dilaksanakan di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

    “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo.

    Norma yang diujikan oleh para pemohon yakni Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

    Namun, karena gugatan itu dikabulkan, MK menyatakan Pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945. “Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Suhartoyo.

    “Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” tambahnya.

    (jon)

  • Putusan MK Hapus Ambang Batas Presiden, LaNyalla: Momentum Perbaikan Demokrasi

    Putusan MK Hapus Ambang Batas Presiden, LaNyalla: Momentum Perbaikan Demokrasi

    Jakarta (beritajatim.com) – Sebagai salah satu pihak yang pernah mengajukan Judicial Review (JR) atas ambang batas dukungan pencalonan presiden dan wakil presiden (Presidential Threshold atau PT) dari 20 persen menjadi 0 persen, Ketua DPD RI ke-5, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, memberikan apresiasi atas perubahan pandangan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang akhirnya menghapuskan PT 20 persen tersebut.

    “Perubahan pandangan Hakim MK tentu harus diapresiasi, terutama setelah 33 kali menolak gugatan perkara yang sama, termasuk gugatan yang diajukan DPD RI, atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Terutama dalam putusan terbaru ini, majelis mendalilkan yang pada intinya demi menghindari kemunduran demokrasi, karena dominasi partai politik yang berkelompok, sehingga membatasi peluang warga negara untuk maju mencalonkan diri sebagai pemimpin nasional,” tukas LaNyalla, Jumat (3/1/2025).

    LaNyalla menyebutkan, penghapusan PT 20 persen harus menjadi momentum untuk menata ulang sistem demokrasi Indonesia yang sesuai dengan Pancasila. Sistem ini, menurutnya, mengedepankan demokrasi perwakilan dan musyawarah mufakat untuk menghindari biaya politik yang mahal serta jebakan popularitas dan elektabilitas yang bisa difabrikasi.

    “Sudah seharusnya bangsa ini kembali ke sistem Pancasila, untuk menghasilkan perwakilan yang diisi para hikmat, untuk kemudian memilih putra-putri terbaik bangsa untuk menjadi pemimpin nasional,” lanjutnya.

    LaNyalla menegaskan bahwa putusan MK ini harus diikuti dengan perubahan undang-undang, terutama tentang Pemilu dan sistem tata negara. Hal ini diharapkan menjadi pintu masuk untuk kembali ke Konstitusi asli, yaitu Demokrasi Pancasila, yang menurutnya belum pernah diterapkan secara tepat pada masa Orde Lama maupun Orde Baru.

    “Banyak calon presiden, tidak masalah, tetapi yang memilih adalah para hikmat yang berada di MPR sebagai lembaga tertinggi, yang tidak hanya dihuni anggota DPR dari representasi partai saja,” tandasnya.

    Dia juga menyoroti kelemahan pemilihan presiden langsung oleh rakyat, yang menurutnya hanya menghasilkan biaya tinggi dan melibatkan bandar pembiaya, serta bergantung pada popularitas dan elektabilitas yang bisa diframing.

    “Berbeda bila evaluasi UU dan sistem tata negara dilakukan menyeluruh, sehingga bangsa ini mampu menghasilkan para hikmat sebagai penjelmaan rakyat di MPR untuk memilih, maka tentu batu ujinya terhadap calon di MPR menjadi integritas, intelektualitas, dan moralitas,” jelas LaNyalla.

    LaNyalla berharap Presiden Prabowo Subianto, yang menurutnya memiliki semangat kembali ke Pancasila dan UUD 1945, mendorong semua elemen bangsa untuk menggunakan momentum ini dalam memperbaiki sistem pemilu dan sistem tata negara Indonesia.

    “Bagi saya, setelah MK sadar, kita semua harus sadar juga,” tandas penggagas Dewan Presidium Konstitusi UUD 1945 itu.

    Latar Belakang

    DPD RI dalam Sidang Paripurna ke-8 Masa Sidang III Tahun 2021-2022, Jumat, 18 Februari 2022, memutuskan untuk mengajukan JR ke MK terkait Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7/2017 yang mengatur PT 20 persen. Namun, MK dalam putusan Nomor 52/PUU-XX/2022 yang dibacakan pada Kamis, 7 Juli 2022, menolak gugatan DPD RI.

    Namun, Kamis, 2 Januari 2025, MK melalui putusan 62/PUU-XXII/2024 menyatakan menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau Presidential Threshold (PT). “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi petikan putusan tersebut. [beq]

  • Yusril: Pemerintah Hormati Putusan MK yang Batalkan Presidential Threshold

    Yusril: Pemerintah Hormati Putusan MK yang Batalkan Presidential Threshold

    Yusril: Pemerintah Hormati Putusan MK yang Batalkan Presidential Threshold
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menteri Koordinator Hukum, HAM Imigrasi dan Pemasyarakatan
    Yusril Ihza Mahendra
    menegaskan bahwa pemerintah menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan
    ambang batas pencalonan
    presiden dan wakil presiden, atau yang dikenal dengan istilah
    presidential threshold
    .
    Keputusan ini tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
    Pasal 222
    UU Pemilu
    sebelumnya mensyaratkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden harus didukung oleh sekurang-kurangnya 20 persen kursi partai politik (parpol) atau gabungan parpol di DPR RI, atau minimal 25 persen suara sah nasional parpol berdasarkan hasil Pemilu lima tahun sebelumnya.
    Dengan dibatalkannya ketentuan ini, setiap parpol peserta Pemilu mendatang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa adanya ambang batas.
    “Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45,
    putusan MK
    adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (
    final and binding
    ),” ujar Yusril dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (3/1/2025).
    Ia menegaskan bahwa semua pihak, termasuk pemerintah, terikat dengan putusan MK tersebut dan tidak dapat melakukan upaya hukum apa pun.
    Yusril juga mencatat bahwa permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu telah dilakukan lebih dari 30 kali, dan baru pada pengujian terakhir ini dikabulkan.
    Ia melihat adanya perubahan sikap MK terhadap konstitusionalitas norma tersebut dibandingkan dengan putusan-putusan sebelumnya.
    “Namun apapun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis. MK berwenang menguji norma undang-undang dan berwenang pula menyatakannya bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tambahnya.
    Setelah adanya tiga
    Putusan MK
    Nomor 87, 121, dan 129/PUU-XXII/2024 yang membatalkan keberadaan ambang batas pencalonan, Yusril menyatakan bahwa pemerintah akan membahas implikasi keputusan tersebut terhadap pengaturan pelaksanaan Pilpres 2029.
    “Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan
    presidential threshold
    , maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR,” tuturnya.
    Ia memastikan bahwa semua pemangku kepentingan, termasuk KPU, Bawaslu, akademisi, pegiat Pemilu, dan masyarakat akan dilibatkan dalam pembahasan tersebut.
    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, pada Kamis (2/1/2025).
    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo.
    “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” imbuhnya.
    Adapun pasal yang dinyatakan bertentangan tersebut berkaitan dengan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik.
    Pasal 22 UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi sebagai berikut:
    “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.”
    Gugatan Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 diajukan oleh empat pemohon, yaitu Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirl Fatna.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.