Produk: UU Pemilu

  • Presidential Threshold Dihapus, Gerindra: Putusan MK Itu Jadi Acuan Revisi UU Pemilu

    Presidential Threshold Dihapus, Gerindra: Putusan MK Itu Jadi Acuan Revisi UU Pemilu

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Fraksi Gerindra di DPR, G Budisatrio Djiwandono menegaskan partai Gerindra menghormati dan siap melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). Menurut Budisatrio, putusan MK tersebut menjadi acuan Fraksi Partai Gerindra dalam membahas revisi UU Pemilu mendatang.

    “Kami menghormati dan siap mematuhi keputusan MK. Segera setelah ini kami akan mempelajari lebih detail putusan tersebut sebelum kami jadikan acuan dalam pembahasan revisi UU Pemilu,” ujar Budisatrio kepada wartawan, Jumat (3/1/2025).

    Budisatrio menegaskan pada dasarnya Fraksi Partai Gerindra berpegang teguh pada prinsip-prinsip demokrasi. Karena itu, kata dia, pihaknya ingin memastikan agar Fraksi Gerindra menjunjung putusan MK sebagai bagian dari amanat demokrasi.

    “Kami sadar sepenuhnya bahwa keputusan MK bersifat mengikat, dan putusan ini adalah bagian dari pilar demokrasi yang harus kita jaga,” tandas Budisatrio.

    Lebih lanjut, Budisatrio mengatakan Fraksi Gerindra akan mengawal revisi UU Pemilu mengakomodir putusan MK termasuk putusan penghapusan presidential threshold.

    “Masih ada sejumlah tahapan yang harus dilewati sebelum putusan ini diresmikan sebagai produk revisi UU. Maka dari itu, Fraksi Gerindra akan terus mengawal prosesnya, agar penerapan putusan bisa berjalan efektif dan selaras dengan amanat dalam putusan MK,” pungkas Budisatrio.

    Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20% kursi di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

    “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo saat pembacaan putusan MK atas perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia dkk, di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    MK juga menyatakan norma Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

  • Perindo Minta DPR-KPU Tindak Lanjuti Putusan MK Terkait Penghapusan Presidential Threshold

    Perindo Minta DPR-KPU Tindak Lanjuti Putusan MK Terkait Penghapusan Presidential Threshold

    loading…

    Wakil Ketua Umum Partai Perindo Ferry Kurnia Rizkiyansyah berharap DPR dan Pemerintah melalui KPU menindaklanjuti putusan MK. Foto/SindoNews

    JAKARTA – Wakil Ketua Umum Partai Perindo Ferry Kurnia Rizkiyansyah berharap DPR dan Pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya, MK menghapuskan ketentuan Presidential Threshold (PT) melalui putusan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.

    “Mudah-mudahan ini nanti bisa ditindaklanjuti oleh DPR dan juga oleh KPU dalam turunan-turunan kebijakan selanjutnya,” tutur Ferry saat ditemui di Kantor DPP Partai Perindo, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2025).

    Menurut dia, revisi UU Pemilu sebuah keniscayaan dan keharusan. Apalagi, banyak hal yang harus diperbaiki di UU Pemilu.

    “Nah, dengan adanya banyak putusan MK termasuk terakhir adalah putusan MK terkait dengan presidensial threshold, adalah satu upaya untuk menjadikan revisi ini secara komprehensif dilakukan oleh DPR dan juga pemerintah,” kata Ferry.

    Dengan demikian, kata Ferry, penataan sistem pemilu bisa mulai diperbaiki baik keserentakan dan mekanisme presidential threshold, parliamentary threshold.

    “Bahkan terkait dengan aktivitas elektoral proses yang ada di dalamnya, sampai proses-proses elektoral justice yang memang menjadi penting. Itu saya pikir harus menjadi satu-kesatuan yang harus diupayakan secara komprehensif dalam konteks revisi UU Pemilu,” kata Ferry.

    “Sehingga kita sangat berharap penuh kepada DPR dan juga pemerintah untuk betul-betul mengawal proses revisi ini sehingga menjadi UU yang begitu sempurna. Jadi tidak hanya itu dimiliki oleh partai politik sebagai peserta pemilunya saja, tapi itu juga dimiliki oleh penyelenggara dan juga dimiliki oleh pemilih sebagai subjek dari demokrasi itu sendiri,” imbuhnya.

    (cip)

  • 5 Fakta MK Hapus Presidential Threshold 20%, Semua Parpol Bisa Usulkan Capres-Cawapres

    5 Fakta MK Hapus Presidential Threshold 20%, Semua Parpol Bisa Usulkan Capres-Cawapres

    Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) membuat terobosan besar dengan menghapus ketentuan ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan keputusan ini, semua partai politik peserta pemilu memiliki hak yang sama untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

    Keputusan bersejarah tersebut dibacakan Ketua MK Suhartoyo dalam sidang putusan perkara nomor 62/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 2 Januari 2025. MK menyatakan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo, Kamis 2 Januari 2025.

    Baca juga: Imbas Putusan MK, Kemnaker Gandeng Kadin Bentuk Satgas UU Ketenagakerjaan

    5 Fakta Penting Putusan MK
    1. Ketentuan Presidential Threshold Resmi Dihapus
    MK menyatakan bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 melanggar UUD 1945. Dengan demikian, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak lagi bergantung pada perolehan kursi di DPR atau suara sah nasional.

    2. Semua Parpol Peserta Pemilu Bisa Mengusulkan Capres-Cawapres
    Menurut Wakil Ketua MK Saldi Isra, partai politik peserta pemilu kini bebas mengusulkan pasangan calon tanpa dibatasi persentase tertentu. “Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional,” tegasnya.

    3. MK Kritik Polarisasi Politik Akibat Dua Pasangan Calon
    MK menilai bahwa ambang batas 20 persen cenderung membatasi jumlah calon dan memicu polarisasi politik di masyarakat. “Pengalaman Pilpres dengan dua pasangan calon membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi,” ujar Saldi.

    4. Potensi Calon Tunggal dan Kotak Kosong Dianggap Bermasalah
    MK juga mengingatkan bahwa jika ambang batas terus diterapkan, pemilu bisa terjebak pada calon tunggal. Fenomena serupa, kata Saldi, telah terjadi dalam berbagai pemilihan kepala daerah yang berujung pada pilihan kotak kosong.

    5. MK Sarankan Revisi UU Pemilu
    MK menyarankan DPR dan pemerintah untuk merevisi UU Pemilu agar pengusulan pasangan calon tidak lagi berbasis ambang batas. Partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon pun disarankan dikenai sanksi larangan ikut Pilpres berikutnya.
    Makna Putusan MK
    Keputusan ini memberikan peluang lebih besar bagi partai politik kecil untuk ikut serta dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Langkah ini juga diharapkan meningkatkan kompetisi politik yang lebih sehat dan memberikan lebih banyak alternatif bagi pemilih. MK menyebut ini sebagai langkah untuk memperkuat demokrasi dan hak konstitusional rakyat.

    Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) membuat terobosan besar dengan menghapus ketentuan ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan keputusan ini, semua partai politik peserta pemilu memiliki hak yang sama untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
     
    Keputusan bersejarah tersebut dibacakan Ketua MK Suhartoyo dalam sidang putusan perkara nomor 62/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 2 Januari 2025. MK menyatakan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
     
    “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo, Kamis 2 Januari 2025.
    Baca juga: Imbas Putusan MK, Kemnaker Gandeng Kadin Bentuk Satgas UU Ketenagakerjaan

    5 Fakta Penting Putusan MK

    1. Ketentuan Presidential Threshold Resmi Dihapus
    MK menyatakan bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 melanggar UUD 1945. Dengan demikian, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak lagi bergantung pada perolehan kursi di DPR atau suara sah nasional.
     
    2. Semua Parpol Peserta Pemilu Bisa Mengusulkan Capres-Cawapres
    Menurut Wakil Ketua MK Saldi Isra, partai politik peserta pemilu kini bebas mengusulkan pasangan calon tanpa dibatasi persentase tertentu. “Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional,” tegasnya.
     
    3. MK Kritik Polarisasi Politik Akibat Dua Pasangan Calon
    MK menilai bahwa ambang batas 20 persen cenderung membatasi jumlah calon dan memicu polarisasi politik di masyarakat. “Pengalaman Pilpres dengan dua pasangan calon membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi,” ujar Saldi.
     
    4. Potensi Calon Tunggal dan Kotak Kosong Dianggap Bermasalah
    MK juga mengingatkan bahwa jika ambang batas terus diterapkan, pemilu bisa terjebak pada calon tunggal. Fenomena serupa, kata Saldi, telah terjadi dalam berbagai pemilihan kepala daerah yang berujung pada pilihan kotak kosong.
     
    5. MK Sarankan Revisi UU Pemilu
    MK menyarankan DPR dan pemerintah untuk merevisi UU Pemilu agar pengusulan pasangan calon tidak lagi berbasis ambang batas. Partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon pun disarankan dikenai sanksi larangan ikut Pilpres berikutnya.

    Makna Putusan MK

    Keputusan ini memberikan peluang lebih besar bagi partai politik kecil untuk ikut serta dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Langkah ini juga diharapkan meningkatkan kompetisi politik yang lebih sehat dan memberikan lebih banyak alternatif bagi pemilih. MK menyebut ini sebagai langkah untuk memperkuat demokrasi dan hak konstitusional rakyat.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DHI)

  • MK Hapus Persyaratan Ambang Batas Pencalonan Presiden dalam UU Pemilu

    MK Hapus Persyaratan Ambang Batas Pencalonan Presiden dalam UU Pemilu

    Saat ini, ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden dihapus setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait ketentuan tersebut.

    Adapun gugatan ketentuan presidential threshold tersebut diajukan oleh empat mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dengan nomor perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.

    Aktivis Pemilu, Titi Anggraini yang hadir dalam sidang tersebut menyampaikan keempat pemohon yang masih berstatus mahasiswa itu hadir melalui konferensi video karena masih berada di Yogyakarta.

    “Yang dikabulkan adalah permohonan nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh sejumlah mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta,” ucapnya.

    Sebagai informasi, gugatan tersebut dilayangkan oleh empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta bernama Rizki Maulana Syafei, Tsalis Khoirul Fatna, Enika Maya Oktavia, dan Faisal Nasirul Haq.

  • Bisa Ada 30 Pasangan Capres-Cawapres dalam Pemilu 2029

    Bisa Ada 30 Pasangan Capres-Cawapres dalam Pemilu 2029

    Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut bahwa penghapusan ambang batas presidential threshold membuka peluang bagi semua partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Wakil Ketua MK Saldi Isra bahkan menegaskan, jika ada 30 partai politik peserta pemilu, maka tidak tertutup kemungkinan muncul 30 pasangan calon dalam Pilpres 2029 mendatang.

    “Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu,” ujar Saldi saat membacakan putusan perkara nomor 62/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 2 Januari 2025.

    Baca juga: Imbas Putusan MK, Kemnaker Gandeng Kadin Bentuk Satgas UU Ketenagakerjaan

    Peluang Lebih Besar untuk Parpol
    Keputusan MK ini menghapus ketentuan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mensyaratkan presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Dengan penghapusan tersebut, semua partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu kini memiliki kesempatan setara untuk mengusulkan pasangan calon tanpa batasan persentase tertentu.

    MK menilai, ambang batas tersebut selama ini cenderung menguntungkan partai besar dan membatasi hak partai politik kecil. Selain itu, pengaturan tersebut juga dinilai memicu polarisasi politik di masyarakat akibat hanya menghadirkan dua pasangan calon dalam pemilu.

    MK menyarankan agar DPR dan pemerintah merevisi UU Pemilu untuk menyesuaikan dengan putusan ini. Salah satu opsinya adalah memberikan sanksi kepada partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon, agar tetap ada tanggung jawab dalam proses pencalonan.

    Keputusan ini diharapkan dapat memperkuat demokrasi Indonesia dengan memberikan lebih banyak alternatif kepada pemilih dan membuka ruang kompetisi yang lebih luas dalam Pilpres mendatang.

    Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut bahwa penghapusan ambang batas presidential threshold membuka peluang bagi semua partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Wakil Ketua MK Saldi Isra bahkan menegaskan, jika ada 30 partai politik peserta pemilu, maka tidak tertutup kemungkinan muncul 30 pasangan calon dalam Pilpres 2029 mendatang.
     
    “Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu,” ujar Saldi saat membacakan putusan perkara nomor 62/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 2 Januari 2025.
     
    Baca juga: Imbas Putusan MK, Kemnaker Gandeng Kadin Bentuk Satgas UU Ketenagakerjaan

    Peluang Lebih Besar untuk Parpol

    Keputusan MK ini menghapus ketentuan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mensyaratkan presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Dengan penghapusan tersebut, semua partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu kini memiliki kesempatan setara untuk mengusulkan pasangan calon tanpa batasan persentase tertentu.
    MK menilai, ambang batas tersebut selama ini cenderung menguntungkan partai besar dan membatasi hak partai politik kecil. Selain itu, pengaturan tersebut juga dinilai memicu polarisasi politik di masyarakat akibat hanya menghadirkan dua pasangan calon dalam pemilu.
     
    MK menyarankan agar DPR dan pemerintah merevisi UU Pemilu untuk menyesuaikan dengan putusan ini. Salah satu opsinya adalah memberikan sanksi kepada partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon, agar tetap ada tanggung jawab dalam proses pencalonan.
     
    Keputusan ini diharapkan dapat memperkuat demokrasi Indonesia dengan memberikan lebih banyak alternatif kepada pemilih dan membuka ruang kompetisi yang lebih luas dalam Pilpres mendatang.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DHI)

  • Ambang Batas Presiden Dihapus MK, Jokowi: Kita Semua Harus Menghormati – Halaman all

    Ambang Batas Presiden Dihapus MK, Jokowi: Kita Semua Harus Menghormati – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) mengomentari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus aturan ambang batas atau presidential threshold (PT) untuk pemilihan presiden dan wakil presiden.

    Berkat keputusan ini, Jokowi berharap ke depan lebih banyak calon presiden yang muncul.

    “Ya harapannya seperti itu (lebih banyak calon),” jelasnya saat ditemui, dilansir Tribun Solo, Jumat (3/1/2025).

    Menurut Jokowi, semua pihak harus menghormati keputusan MK yang bersifat final dan mengikat ini.

    Eks Wali Kota Solo itu pun berharap putusan ini segera ditindaklanjuti oleh DPR RI.

    “Ya itu kan keputusan final dan mengikat. Kita semua harus menghormati yang diputuskan oleh MK.” 

    “Sehingga nantinya akan segera ditindaklanjuti oleh pembuat undang-undang yaitu DPR,” tuturnya.

    Diberitakan sebelumnya, MK memutuskan menghapus ambang batas dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden.

    Dalam aturan sebelumnya, hanya parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

    Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2024).

    MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

    Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selain itu, MK menilai, penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

    Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

    MK menyatakan, penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.

    Mahkamah juga menilai, pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

    Selain itu, setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.

    Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

    Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.

    Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong. 

    Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.

    “Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi, Saldi Isra.

    Berkenaan dengan itu, MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi:

    Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.

    Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

    Dalam mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

    Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya

    Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

    “Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil,” kata Saldi.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunSolo.com dengan judul: Ambang Batas Pencalonan Presiden Dihapus, Jokowi Harap Lebih Banyak Capres di Masa Mendatang.

    (Tribunnews.com/Deni)(TribunSolo.com/Ahmad Syarifudin)

  • MK Kabulkan Pencabutan Gugatan UU Pemilu Terkait Kampanye Presiden

    MK Kabulkan Pencabutan Gugatan UU Pemilu Terkait Kampanye Presiden

    loading…

    MK mengabulkan pencabutan gugatan UU Pemilu terkait kampanye Presiden. Foto/SindoNews/danandaya aria putra

    JAKARTAMahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali pengujian ketentuan pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Lintang Mendung Kembang Jagad. Pembacaan putusan dilaksanakan di ruang sidang Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2025).

    “Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon. Menyatakan Permohonan Nomor 172/PUU-XXII/2024 ditarik kembali,” kata Ketua MK Suhartoyo.

    “Menyatakan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo,” sambungnya.

    Setelah pembacaan putusan ini, Suhartoyo meminta panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali Permohonan Nomor 172/PUU-XXII/2024 dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

    Suhartoyo menjelaskan, pihaknya pada Jumat 27 Desember 2024, kepaniteraan Mahkamah telah menerima surat dari Pemohon melalui email perihal pencabutan perkara nomor 172/PUU-XXII/2024.

    “Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf e dan huruf di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 30 Desember 2024 telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 172/PUU-XXII/2024 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo,” sambungnya.

    Sekadar informasi, sebelum pemohon mengirimkan pencabutan perkara, Lintang mempersoalkan pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pada pasal 281 ayat (1) berbunyi kampanye pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan:

    a. Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;

    b. Menjalani cuti di luar tanggungan negara.

    Sementara pasal 299 ayat (1) menyatakan, Presiden dan wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye.

    Dalam petitumnya pemohon menyatakan materi muatan Pasal 281 ayat (1) dan Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang Pemilu Inkonstitusional, sepanjang tidak dimaknai sebagai wewenang Presiden dan Wakil Presiden dalam kampanye Pilpres untuk dirinya sendiri atau periode kedua baginya.

    (cip)

  • Cerita 4 Mahasiswa UIN Yogya Hadapi Hakim MK di Sidang Threshold

    Cerita 4 Mahasiswa UIN Yogya Hadapi Hakim MK di Sidang Threshold

    Yogyakarta, CNN Indonesia

    Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta mengaku merasa pesimis saat pertama kali menggugat Pasal 222 UU Pemilu soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK).

    Awalnya, para mahasiswa ini merasa tak yakin gugatan mereka akan dikabulkan hakim-hakim MK. 

    “Untuk optimis atau tidak, jawab jujur tidak optimis,” kata Enika Maya Oktavia, salah satu mahasiswa UIN Suka pemohon uji materi UU Pemilu, Jumat (3/1).

    Enika dan ketiga rekannya sempat merasa rendah diri melihat hasil permohonan gugatan yang mereka susun. Keempatnya merasakan pengalaman yang sangat berbeda ketika menyusun draft permohonan asli dan sewaktu melakoni praktek peradilan semu di kampus.

    “Ketika kami baca permohonan kami, kok jelek, ya. Kemudian kami masuk ke sidang pendahuluan, nah itu semua dikuliti oleh Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi,” katanya.

    “Lalu kami merasa, wah ini chance untuk ke persidangan pokok permohonan saja sepertinya sangat kecil,” sambung mahasiswi prodi Hukum Tata Negara UIN Suka semester 7 itu.

    Bahkan, ketika Enika dan ketiga rekannya berdiskusi dengan para anggota Komunitas Pemerhati Konstitusi –organisasi resmi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga– lebih banyak yang memprediksi permohonan tersebut akan ditolak.

    “Jadi, kami pribadi tidak ada chance karena ini akan mengubah peta perpolitikan di Indonesia itu sendiri,” ucapnya.

    “Tapi hamdallah, alhamdulillah kemudian lanjut,” imbuh Enika.

    Faisal Nasirul Haq, mahasiswa UIN Suka lain penggugat presidential threshold juga merasakan hal yang sama.

    Tapi, dia percaya langkahnya maju ke MK pasti akan menghadirkan sisi positif meskipun gugatannya kandas.

    “Mungkin bisa berguna bagi pemohon-pemohon berikutnya apabila kami gugur di perkara ini,” katanya.

    Yakin legal standing tak mental

    Meski diliputi rasa pesimis, Enika dan rekan-rekan teguh berpikiran bahwa legal standing atau kedudukan hukum mereka mengajukan permohonan ke MK tak akan dipermasalahkan.

    Enika bilang, sejak uji materi pertama hingga ke-32, MK tidak pernah mengabulkan permohonan pemohon untuk menghapus angka presidential threshold.

    Menurutnya, MK berpandangan, karena subjek hukum yang mempunyai hak konstitusional untuk mengusulkan peserta Pilpres adalah parpol, maka parpol pula yang memiliki legal standing untuk menguji konstitusionalitas ambang batas pencalonan.

    Dalam argumennya, Enika dan rekan-rekan menyatakan masyarakat atau pemilih seringkali dianggap bukan selaku subjek, melainkan objek dalam pelaksanaan demokrasi.

    Argumen itu merujuk pada fakta setiap legal standing dari para penggugat sebelumnya terkait pemilu, banyak yang digugurkan MK. Namun mereka berhasil melampaui argumen bahwa pemilih adalah objek. 

    “Kami menekankan bahwa pemilih itu bukan objek demokrasi, melainkan subjek demokrasi yang seharusnya pendapatnya didengarkan. 32 putusan sebelum perkara kami itu sudah membuktikan bahwa masyarakat enggan adanya presidential threshold,” jelas Enika.

    “Maka, seharusnya DPR selaku perwakilan kita di parlemen itu memahami betul keinginan masyarakat. Bukan kemudian mengabaikan aspirasi. 32 putusan itu bukan angka yang kecil. Sekali lagi untuk legal standingnya kami tekankan bahwa pemilih itu bukanlah objek demokrasi, melainkan subjek demokrasi. Sehingga, ketika kita melakukan judicial review di MK, legal standing kita seharusnya tidak dipertanyakan,” pungkasnya.

    Keputusan MK yang dibacakan dalam sidang putusan, Kamis (2/1), mengabulkan gugatan yang dilayangkan empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna.

    Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai proses kandidasi calon di pilpres selama ini terlalu didominasi partai politik tertentu dan akibatnya, membatasi hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif calon pemimpin mereka.

    Mahkamah juga menilai penerapan ambang batas pencalonan presiden justru membuat kecenderungan pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. Padahal, pengalaman sejak pemilihan langsung menunjukkan, dua pasangan calon membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.

    (kum/wis)

    [Gambas:Video CNN]

  • MPR apresiasi MK hapus “presidential treshold” guna kualitas demokrasi

    MPR apresiasi MK hapus “presidential treshold” guna kualitas demokrasi

    MK dengan putusan terakhir yang menghapus PT dengan argumentasi konstitusi, rasio dan etika serta moralitas itu dapat menegakkan semua aturan konstitusi. Hal ini dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan hasil pemilu bukan hanya pilpres saja

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengapresiasi dan mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) meski telat, guna meningkatkan kualitas demokrasi.

    Menurutnya, selain sesuai dengan aspirasi dan harapan masyarakat luas, hal itu juga sejalan dengan konstitusi yang membuka harapan akan hadirnya pilpres yang lebih demokratis dengan bisa majunya lebih banyak lagi capres dan cawapres yang berkualitas.

    “Sekalipun telat, tapi keputusan penting itu tetap diapresiasi, agar ke depan tidak terulang lagi pembelahan di tingkat Rakyat akibat dari hanya adanya kandidat capres/cawapres yang sangat terbatas akibat adanya PT 20 persen,” kata pria yang akrab disapa HNW dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

    Meski begitu, dia mengakui MK sendiri di dalam putusan ini juga seperti mengkhawatirkan adanya jumlah calon presiden yang terlalu banyak, sehingga memberikan amanat kepada DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) dengan melakukan revisi UU Pemilu.

    HNW menambahkan agar MK dengan putusan terakhir yang menghapus PT dengan argumentasi konstitusi, rasio dan etika serta moralitas itu dapat menegakkan semua aturan konstitusi.

    Hal ini dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan hasil pemilu bukan hanya pilpres saja. Untuk itu, ia juga berharap agar MK konsisten menegakkan atau memberlakukan ketentuan-ketentuan konstitusi dengan merevisi/meluruskan beberapa putusan MK lainnya.

    Dirinya mencontohkan salah satunya adalah terkait dengan masih diberlakukannya ambang batas pencalonan kepala daerah, di mana di dalam putusan terakhirnya soal pilkada, MK masih menetapkan adanya ambang batas pencalonan sekalipun sudah jauh di bawah 20 persen.

    HNW menyebutkan putusan MK mengenai pileg dan pilpres yang dilakukan secara serentak dan mulai diberlakukan pada Pileg dan Pilpres tahun 2019 juga perlu dipertimbangkan untuk dievaluasi dan dikoreksi oleh MK.

    Masalahnya, bila merujuk kepada Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) dan ketentuan lain dalam konstitusi, tidak ada ketentuan yang eksplisit menyebutkan bahwa pemilu (pileg dan pilpres) dilakukan secara serentak.

    Ia mengusulkan agar poin-poin itu juga sebaiknya menjadi bahan pembahasan di DPR sebagaimana amanat dari MK untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering).

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

  • Presidential Threshold Dihapus Perluas Alternatif Pilihan bagi Rakyat

    Presidential Threshold Dihapus Perluas Alternatif Pilihan bagi Rakyat

    JAKARTA – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai penghapusan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mewujudkan demokrasi yang lebih inklusif dan setara.

    Peneliti Perludem Haykal mengatakan, penghapusan presidential threshold merupakan tonggak baru dalam demokrasi Indonesia lantaran dengan putusan tersebut, setiap partai politik memiliki hak setara untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.

    “Langkah ini diharapkan tidak hanya memperkuat prinsip kesetaraan, tetapi juga membuka ruang kompetisi politik yang lebih adil dan inklusif, menghindarkan masyarakat dari polarisasi, serta memperluas alternatif pilihan bagi rakyat Indonesia,” ucap Haykal seperti dikonfirmasi di Jakarta, Kamis 2 Januari, disitat Antara

    Namun, kata dia, tantangan implementasi tetap harus diantisipasi dengan baik.

    Menurutnya, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan seluruh pemangku kepentingan harus memastikan bahwa perubahan aturan itu dapat diintegrasikan ke dalam sistem pemilu yang diakomodasi melalui revisi Undang-Indang (UU) Pemilu yang saat ini telah masuk ke Program Legislasi Nasional (prolegnas).

    Dengan revisi UU Pemilu yang telah masuk dalam Prolegnas 2025, ia berharap DPR dan Pemerintah menjadikan putusan MK tersebut sebagai dasar dalam merancang aturan pemilu yang baru.

    “Perludem percaya bahwa keputusan ini membuka jalan bagi terciptanya demokrasi yang lebih sehat, kompetitif, dan inklusif di Indonesia,” tuturnya.

    Untuk itu, sambung dia, Perludem mengajak seluruh masyarakat untuk mendukung implementasi putusan tersebut serta mendorong Pemerintah dan partai politik untuk berkomitmen menciptakan sistem politik yang menjunjung tinggi hak memilih dan dipilih sebagai wujud kedaulatan rakyat.

    Dengan demikian, dirinya menegaskan bahwa putusan tersebut bukan hanya sebuah akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang menuju demokrasi yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.

    MK melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 memutuskan bahwa norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Artinya putusan tersebut secara resmi menghapus ketentuan presidential threshold sebesar 20 persen suara sah nasional atau 25 persen kursi DPR untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

    Putusan itu menandai langkah bersejarah dalam perjalanan demokrasi Indonesia, memberikan peluang lebih besar bagi partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan pasangan presiden-wakil presiden tanpa batasan ambang suara yang selama ini dinilai problematik.

    Ketentuan presidential threshold telah diuji materi ke MK lebih dari 30 kali dalam kurun waktu satu dekade terakhir, namun selalu ditolak meski disertai perbedaan pandangan di antara hakim MK.

    Dalam berbagai putusan sebelumnya, mayoritas hakim cenderung mendukung keberlanjutan aturan ini sebagai open legal policy (kebijakan hukum terbuka) dari pembentuk UU.

    Tetapi hari ini, terjadi pergeseran posisi pandangan hakim yang mempertimbangkan situasi demokrasi terkini.

    MK kini menilai bahwa mempertahankan ambang batas pencalonan presiden tidak konstitusional karena bertentangan dengan hak politik warga negara.