Produk: UU Pemilu

  • Waspada Main-main Tafsir Putusan MK soal Capres Tanpa Threshold

    Waspada Main-main Tafsir Putusan MK soal Capres Tanpa Threshold

    Jakarta, CNN Indonesia

    Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menghapus ambang batas syarat pencalonan presiden atau presidential threshold dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

    Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah siap membahas revisi UU Pemilu sebagai tindak lanjut atas putusan itu.

    Yusril juga menyebut sesuai dengan ketentuan Pasal 24C UUD 1945, maka putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Dengan demikian, semua pihak termasuk pemerintah terikat dengan putusan MK tanpa dapat melakukan upaya hukum apa pun.

    “Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR,” ucap Yusril.

    “Semua stakeholders termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat pemilu dan masyarakat tentu akan dilibatkan dalam pembahasan itu nantinya,” sambungnya.

    Usai putusan itu, bola panas kini ada di tangan pembuat undang-undang yakni pemerintah dan DPR. Publik pun dirasa perlu melakukan pengawasan untuk memastikan agar putusan MK itu benar-benar dijalankan.

    Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengatakan pengawasan ini berkaitan dengan politik partisipasi.

    Hal tersebut, kata Castro sapaan akrabnya, juga telah diamanatkan dalam putusan MK perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 tersebut.

    Dalam putusan itu, MK juga mengusulkan rekayasa konstitusional atau constitutional engineering untuk mencegah potensi pasangan calon presiden dan wakil presiden terlalu banyak usai penghapusan aturan ambang batas.

    Castro menerangkan salah satu poin dalam rekayasa konstitusional itu adalah proses pembentukan undang-undang harus dilakukan secara partisipatif atau meaningful participation.

    “Jadi mereka-mereka yang selama ini bergiat dalam hal kepemiluan, gerakan masyarakat sipil, semuanya harus dibuka ruang partisipasi untuk mereka, karena ini harus dijalankan secara inklusif di mana melibatkan semua orang dalam proses partisipasi,” tutur Castro saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (6/1).

    “Tidak bisa lagi kemudian partisipasinya dibuat seolah-olah partisipasi yang tertutup gitu ya, hanya melibatkan orang-orang tertentu elit-elit politik saja. Tetapi semua harus dibuka,” imbuhnya.

    Castro menyebut dalam proses pembahasan undang-undang tersebut juga harus dilakukan secara transparan.

    Misalnya, jika sudah ada draf atau konsep yang dibuat oleh pembuat undang-undang, maka hal tersebut harus dibuka ke publik. Tujuannya, agar publik bisa mempelajari draf tersebut hingga menyampaikan kritik.

    Disampaikan Castro, yang paling penting adalah proses pengawasan harus dilakukan secara simultan. Artinya, pengawasan dilakukan secara internal di dalam parlemen, sekaligus pengawasan dari luar parlemen atau eksternal.

    Ini berkaca dari tindak lanjut putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah di Pilkada.

    Saat itu, DPR sempat mencoba mengabaikan putusan tersebut hingga berujung pada gerakan ‘Darurat Indonesia’ dan aksi demo pun pecah di berbagai daerah.

    “Itu kemudian yang kita anggap sebagai proses yang masih seimbang antara pengawasan di dalam parlemen sekaligus di luar parlemen,” tutur Castro.

    “Jadi aksi-aksi demonstrasi kekuatan politik di luar parlemen juga harus tetap kita mobilisasi agar ada semacam post tower yang kuat dari publik untuk menjaga bagaimana mandat di dalam putusan MK itu tetap dijalankan,” sambungnya.

    Senada, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (PUSaKO Unand)FeriAmsari juga menyampaikan perlu ada pengawasan publik untuk memastikan revisi UU Pemilu sesuai dengan keputusan MK.

    Apalagi, kata Feri, pengawasan itu juga sudah termaktub dalam putusan MK soal ambang batas syarat pencalonan presiden tersebut.

    “Ya karena di putusan 62 itu juga disebutkan bahwa harus ada partisipasi publik yang bermakna ya harus memenuhi tiga hak, tiga tahapan, hak untuk didengarkan, hak untuk menyampaikan pendapat, hak untuk dijelaskan. Itu harus disampaikan oleh pembentuk undang-undang,” ujarnya.

    Celah Permainan

    Di sisi lain, Castro mengamini masih ada celah yang bisa dijadikan alat untuk mengabaikan putusan MK soal ambang batas tersebut.

    Celah itu terkait rekayasa konstitusional yang diusulkan hakim. Dalam putusan itu, MK menyebut usulan rekayasa konstitusional itu dilakukan untuk mencegah munculnya pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak.

    Castro berpendapat hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh pembuat undang-undang untuk kembali membuat sebuah batasan.

    “Nah ini yang saya khawatirkan jangan sampai kemudian pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR Itu menafsirkan perintah putusan MK ini dalam bentuk pembatasan yang justru membatasi hak-hak konstitusional, terutama dari partai politik,” ucap Castro.

    “Itu celah yang bisa jadi kemudian ditafsirkan lain lain oleh atau ditafsirkan berbeda oleh pembentuk undang-undang,” lanjutnya.

    Berbeda dengan Castro, Feri menyebut celah untuk bermain atas putusan MK tersebut cenderung kecil. Sebab, menurutnya putusan MK sudah konkret menyatakan bahwa batas syarat pencalonan presiden dihapus.

    “Akan sangat kecil, kecuali pembentukan undang-undang ingin mengacaukan hasil pemilu 2029. Misalnya mereka mencoba membuat tafsir-tafsir tertentu yang berbeda dengan putusan MK, maka dengan sendirinya apa yang dijadikan undang-undang itu tidak sah,” kata Feri.

    Feri juga berpendapat jika pembuat undang-undang nekat ‘bermain’ dengan putusan MK tersebut justru akan menimbulkan dampak atau konsekuensi yang besar.

    “Orang akan mempertanyakan hasil pemilu. Kan problemnya adalah bukan hasil pemilu legislatif saja, ini hasil pemilu presiden, wah luar biasa betul itu dampaknya kalau mereka macam-macam,” ucap dia.

    “Kalau main-main begitu di Pilkada masih mungkin, masuk akal mereka mau secara politis mengganggu putusan MK. Tapi kalau mengganggu putusan MK terkait Pilpres, konsekuensinya jauh lebih besar dari Pilkada,” imbuhnya.

    (dis/gil)

    [Gambas:Video CNN]

  • Sekjen Gerindra Nilai MK Tak Konsisten di Putusan Threshold

    Sekjen Gerindra Nilai MK Tak Konsisten di Putusan Threshold

    Jakarta, CNN Indonesia

    Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani menyoroti konsistensi Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan membatalkan syarat ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold.

    Muzani beralasan selama ini gugatan serupa telah banyak diajukan ke MK tetapi tidak ada yang dikabulkan hingga putusan pada Kamis (1/2) lalu.

    “Tercatat lebih dari 30 kali gugatan terhadap persoalan yang sama dengan berbagai macam argumentasi dan alasan, tidak pernah mengabulkan atas gugatan itu oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Muzani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (6/1).

    “Mahkamah yang sama, Hakim yang sama, tidak pernah mengabulkan atas gugatan tersebut,” imbuhnya.

    Atas dasar itu, Muzani mengakui putusan MK soal ambang batas presidensial mengejutkan. Namun, Ia menyebut putusan ini juga menimbulkan harapan demokrasi.

    “Terus terang di sisi lain ini adalah sebuah kejutan di sisi lain ini adalah sebuah harapan terhadap demokrasi,” ujar dia.

    Presidential threshold yang diatur dalam UU Pemilu kini dinyatakan inkonstitusional oleh MK dalam putusan yang dibacakan dalam sidang pada Kamis (2/1) lalu.

    MK berpendapat Pasal 222 UU Pemilu tak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sebagaimana termaktub pada Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

    Sebelumnya, Ketua Fraksi Partai Gerindra Budisatrio Djiwandono malah menyatakan menghormati putusan MK yang membatalkan syarat ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold.

    Ia memastikan akan mengawal agar penerapan putusan itu dalam produk revisi UU berjalan sesuai dengan amanat putusan MK.

    “Fraksi Gerindra akan terus mengawal prosesnya agar penerapan putusan bisa berjalan efektif dan selaras dengan amanat dalam putusan MK,” kata Budisatrio dalam keterangannya, Jumat (3/1).

    Ia menyebut masih ada sejumlah tahapan yang harus dilewati sebelum putusan tersebut diresmikan sebagai produk revisi UU.

    Budisatrio menyatakan pada dasarnya Fraksi Partai Gerindra berpegang teguh pada prinsip-prinsip demokrasi.

    Budi menekankan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga dia memastikan Fraksi Gerindra akan menjunjungnya sebagai bagian dari amanat demokrasi.

    “Kami menghormati dan siap mematuhi keputusan MK. Segera setelah ini kami akan mempelajari lebih detail putusan tersebut sebelum kami jadikan acuan dalam pembahasan revisi UU Pemilu,” ujarnya.

    (mab/kid)

    [Gambas:Video CNN]

  • Presidential Threshold Dihapus, Pakar Minta Revisi UU Pemilu Segera Diselesaikan – Halaman all

    Presidential Threshold Dihapus, Pakar Minta Revisi UU Pemilu Segera Diselesaikan – Halaman all

    Putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold harus segera diikuti dengan revisi UU Pemilu.

    Tayang: Senin, 6 Januari 2025 08:54 WIB

    Tribunnews/Jeprima

    Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bersidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (31/10/2024). MK memutuskan Pilpres tanpa presidential threshold. 

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold harus segera diikuti dengan revisi Undang-Undang Pemilu. 

    Menurutnya revisi ini merupakan kewajiban konstitusional yang harus dipatuhi DPR dan pemerintah.

    “Ya tugas konstitusional mereka untuk mematuhi putusan MK ya. Revisi UU pemilu harus segera dan harus taat dengan apa yang sudah diatur konstitusi dan MK,” kata Feri kepada wartawan, Senin (6/1/2025). 

    Ia menekankan ihwal tidak boleh ada lagi interpretasi yang merusak mekanisme konstitusional yang telah ditetapkan oleh MK. 

    Ia juga optimis DPR dan pemerintah mampu menyelesaikan revisi UU Pemilu dalam waktu singkat.

    “Soal kesanggupan, tentu saja sanggup. Bahkan menurut saya, DPR dan pemerintah harus menyelesaikan UU Pemilu yang baru dalam satu tahun ini,” katanya.

    Feri mengusulkan agar revisi UU Pemilu ini diselesaikan sebelum akhir 2025 untuk menghindari negosiasi yang berlarut-larut menjelang tahun politik. 

    Ia juga menekankan pentingnya perbaikan aturan teknis seperti peraturan KPU dan Bawaslu agar tidak ada perubahan mendadak yang dapat merugikan berbagai pihak menjelang pemilu.

    “Sehingga akhir 2025 kita sudah punya UU Pemilu yang sudah disahkan, agar tidak terjadi lagi negosiasi menjelang tahun politik,” pungkasnya. 

    Seperti apa putusan MK soal presidential threshold?

    Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
    Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
    Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
    Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
    Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

    “);
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:’1′,img:’thumb2′}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }
    else{
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    $(“#test3”).val(“Done”);
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else if (getLast > 150) {
    if ($(“#ltldmr”).length == 0){
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    }
    }
    }
    });
    });

    function loadmore(){
    if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
    var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast ;
    if($(“#test3”).val() == ‘Done’){
    newlast=0;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest”, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;
    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else{
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:sectionid,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast+1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    }

    Berita Terkini

  • Beragam Respons Parpol usai MK Hapus Presidential Threshold 20%

    Beragam Respons Parpol usai MK Hapus Presidential Threshold 20%

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah partai politik menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold 20% setelah digugat lebih dari 30 kali. 

    Putusan itu membuka keran kompetisi politik yang lebih transparan di tengah karut marut demokrasi. Partai baik itu kecil atau besar, punya kursi sedikit atau banyak di parlemen, bisa mengajukan calonnya sendiri dalam kontestasi pemilihan presiden alias Pilpres. 

    Alasan itu pula yang memicu MK untuk menyatakan Pasal 222 UU No.7/2017 tentang Pemilu bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Selain dinilai memasung aspirasi demokrasi, juga berpotensi memicu konflik hingga polarisasi karena calon-calon yang diusung hanya itu-itu saja.

    Surat Suara Pilpres 2019Perbesar

    Pilpres 2014, 2019, dan 2024, misalnya, publik nyaris hanya disuguhkan oleh 3 calon yang notabene diusung oleh partai pendukung Joko Widodo alias Jokowi pada pemerintahan sebelumnya. Calon atau tokoh yang berpotensi maju dalam kontestasi Pilpres terpaksa gigit jari karena tidak memiliki kendaraan politik atau kalaupun punya kendaraan politik, kursi dan suaranya belum memenuhi syarat tembus threshold 20%.

    Adapun para politikus menanggapi beragam putusan MK. Sebagian dari mereka menghormati Putusan MK dan mendorong perbaikan sistem pemilihan umum melalui adopsi norma baru dalam UU Pemilu. Lantas apa rencana mereka setelah putusan itu terbit?

    Golkar Dapat Momentum 

    Partai Golkar mendapat momentum melalui putusan penghapusan ambang batas atau threshold 20%untuk pencalonan presiden dan wakil presiden. Mereka menganggap bahwa putusan itu menjadi jalan untuk penyempurnaan sistem Pemilihan Umum (Pemilu). Penyempurnaan dilakukan di antaranya dengan merevisi sejumlah undang-undang (UU). 

    Wakil Ketua Umum Golkar Ahmad Doli Kurnia Tanjung mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada perkara No.62/PUU-XXII/2024 tentang  presidential threshold bukanlah isu yang berdiri sendiri. Isu itu dinilai berkaitan juga dengan berbagai aspek seperti keberadaan parpol, penerapan jenis sistem pemilu dan lain-lain. 

    Doli menilai penghapusan ambang batas itu tidak akan mempunyai makna besar apabila tidak diikuti dengan penyempurnaan sistem Pemilu, bahkan sistem politik dan demokrasi di Indonesia. Hal itu ikut tertuang dari perintah MK kepada pembuat UU agar menindaklanjuti setiap putusan uji materi dengan revisi UU secara komprehensif.

    “Oleh karena itu, ‘bola’ sekarang ada di tangan Presiden dan para Ketua Umum Partai Politik agar mendorong Pemerintah dan DPR untuk bisa meng-konkret-kan agenda pembahasan revisi UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik untuk segera dimulai,” ujar Doli melalui keterangan tertulis, Minggu (5/1/2024). 

    Partai GolkarPerbesar

    Adapun Doli menyatakan seluruh pihak harus menghormati dan menerima putusan MK yang bersifat final dan mengikat (binding). Putusan itu harus dilaksanakan, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau. 

    Meski demikian, dia menilai putusan itu harus dimaknai dalam perspektif yang lebih luas. Menurutnya, putusan MK yang menghapus presidential threshold itu sejalan dengan momentum untuk perbaikan sistem politik dan demokrasi Indonesia. 

    Dia turut menyinggung pernyataan Presiden Prabowo Subianto di HUT ke-60 Partai Golkar, mengenai wacana Pilkada melalui DPRD. Di sisi lain, Doli menyampaikan bahwa permohonan uji materi terhadap pasal 222 UU Pemilu yang sudah dilakukan lebih dari 30 kali itu bukanlah jawaban untuk seluruh permasalahan mengenai Pemilu di Indonesia. 

    “Presidential threshold cuma salah satu isu dari sekian banyak isu yang menjadi bagian pembahasan penyempurnaan sistem Pemilu kita. Dan setiap isu bukanlah berdiri sendiri. Setiap isu saling terkait satu sama lain,” tuturnya.

    PDIP Dorong Adopsi Norma 

    Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Said Abdullah mengusulkan akomodasi rekayasa konstitusional seperti yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pasca dihapusnya ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20%.

    Said menuturkan bahwa PDIP mengusulkan supaya ada mekanisme yang mengatur mekanisme kerja sama atau koalisi partai untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Megawati Soekarnoputri dan Ganjar Pranowo Perbesar

    Menurutnya, dengan mengatur mekanisme kerja sama partai itu dan selama tanpa mengurangi hak setiap partai untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden, maka presiden dan wakil presiden terpilih tetap akan memiliki dukungan politik yang kuat di DPR

    “Semangat kami di DPR saat pembahasan pasal 222 dalam Undang-Undang Pemilu adalah untuk memperkuat dukungan politik yang kuat di DPR terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih,” katanya saat dikonfirmasi Bisnis, pada Kamis (2/1/2025).

    Dukungan DPR yang kuat menurut Said akan mempengaruhi kelancaran agenda kebijakan, anggaran, dan legislasi dari pasangan presiden dan wakil presiden terpilih itu sendiri.

    Tak hanya itu, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI ini juga menyebut perekayasaan konstitusional yang diperintahkan oleh MK dalam putusannya, juga bisa dilakukan dengan cara mengatur persyaratan calon presiden dan wakil presiden yang akan maju di ajang kontestasi Pemilu.

    Nantinya, ujar Said, pengujian syarat aspek-aspek tersebut yang bersifat kualitatif terhadap bakal calon dapat juga dilakukan oleh unsur dari perwakilan lembaga negara dan perwakilan tokoh masyarakat, sebagai bagian syarat sahnya penetapan calon presiden dan wakil presiden oleh KPU.

    Gerindra Sebut Penguatan Demokrasi

    Di sisi lain, Ketua Fraksi Gerindra DPR RI, Budisatrio Djiwandono, menyatakan pihaknya memandang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) minimal 20% merupakan langkah penting dalam penguatan demokrasi di Indonesia.

    Budisatrio mengemukakan Fraksi Gerindra akan menjadikan putusan MK sebagai acuan penting dalam pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di DPR.

    “Kami menghormati dan siap mematuhi keputusan MK. Segera setelah ini kami akan mempelajari lebih detail putusan tersebut sebelum kami jadikan acuan dalam pembahasan revisi UU Pemilu,” ucap Budisatrio dalam keterangan resmi, Sabtu (4/1/2025).

    Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto Perbesar

    Budi menegaskan, Fraksi Gerindra berpegang teguh pada prinsip-prinsip demokrasi sehingga partainya memastikan akan menjunjung putusan MK sebagai bagian dari amanat demokrasi.

    Dia menambahkan bahwa Fraksi Gerindra sepenuhnya sadar bahwasannya putusan MK bersifat mengikat dan bagian dari pilar demokrasi yang harus dijaga.

    “Masih ada sejumlah tahapan yang harus dilewati sebelum putusan ini diresmikan sebagai produk revisi UU. Maka dari itu, Fraksi Gerindra akan terus mengawal prosesnya, agar penerapan putusan bisa berjalan efektif dan selaras dengan amanat dalam putusan MK,” pungkas Budi.

  • MK Hapus Ambang Batas, Potensi Pilpres Dua Putaran Sangat Besar

    MK Hapus Ambang Batas, Potensi Pilpres Dua Putaran Sangat Besar

    Namun, kata Karyono, masalah tadi tidak selesai hanya dengan menghadirkan banyak capres pada setiap kontestasi.

    “Banyaknya calon presiden alternatif belum tentu menghasilkan pemilu dan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas,” ujar dia.

    Sebelumnya, MK menghapus aturan tentang syarat ambang batas partai dalam mengusung Presiden dan Wapres RI atau PT sebesar 20 persen. Hal demikian tertuang saat MK memutuskan sidang gugatan bernomor 62/PUU-XXII/2024 dengan Enika Maya Oktavia selalu pemohon, Kamis (1/2).

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo saat membacakan amar putusan dalam persidangan, Kamis.

    Diketahui, ketentuan PT 20 persen tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). MK, kata Suhartoyo, menyatakan norma Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    “Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Suhartoyo.

    MK dalam pertimbangannya juga menilai aturan PT bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, serta melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan.

    “Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” terang Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum perkara bernomor 62/PUU-XXII/2024. (fajar)

  • 3 Putusan Terkini MK Terkait Pemilu, Termasuk Hapus Ambang Batas Capres

    3 Putusan Terkini MK Terkait Pemilu, Termasuk Hapus Ambang Batas Capres

    Jakarta

    Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sejumlah permohonan yang terkait dengan proses Pemilu. Setidaknya, ada tiga putusan penting MK yang bakal mempengaruhi aturan Pemilu.

    Putusan-putusan krusial itu diketok MK dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). Berikut tiga putusan terkini MK terkait Pemilu:

    Hapus Ambang Batas Capres 20%

    MK mengabulkan permohonan empat mahasiswa bernama Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna. Permohonan mereka itu terdaftar sebagai perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.

    Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk:

    1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.

    2. Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

    Atau Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

    Adapun isi pasal 222 UU Pemilu yang digugat itu ialah:

    Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

    Para pemohon mengajukan gugatan karena menanggap presidential threshold yang didasarkan pada hasil Pemilu sebelumnya melanggar Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Mereka mengatakan penggunaan suara sah pemilu sebelumnya untuk mengajukan capres-cawapres tidak masuk akal.

    “Presidential threshold yang mendasarkan syarat keterpenuhannya pada suara pemilu sebelumnya telah melanggar asas periodik dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Sebab, Pemohon memahami suara hanya digunakan untuk satu kali pemilu. Sehingga presidential threshold dengan minimal kursi dan suara sah pemilu DPR tidaklah logis karena pemilu serentak antara presiden dan legislatif (DPR, DPD, dan DPD) jika didasarkan pada penghitungan hasil Pemilu DPR 5 (lima) tahun sebelumnya. Tentunya Mahkamah harus merenungkan dan mempertimbangkan secara mendalam bahwa perhitungan suara yang didasarkan pada pemilu sebelumnya tidak memberikan jaminan pada penghormatan atau pemenuhan hak rakyat untuk memilih (right to vote) atau mendapatkan sebanyak-banyak pilihan alternatif pasangan calon presiden,” demikian pandangan pemohon sebagaimana dikutip dari putusan tersebut.

    MK pun mengabulkan permohonan tersebut untuk seluruhnya. MK menyatakan pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat alias dihapus.

    “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar MK.

    Pertimbangan MK Hapus PT 20%

    Ilustrasi Sidang MK (Foto: Ari Saputra/detikcom)

    Dalam pertimbangannya, MK menyatakan penerapan ambang batas itu tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta Pemilu. Selain itu, MK menyebut penetapan ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dan rasionalitas yang kuat.

    “Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi keuntungan bagi partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR. Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest),” ujar MK.

    MK pun menganggap ambang batas itu dipertahankan sebagai upaya membuat Pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. Menurut MK, hal itu membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.

    “Andaipun hendak mengatur persyaratan, substansi pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat yang sudah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 secara expressis verbis menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Artinya, sepanjang partai politik sudah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung, partai politik dimaksud memiliki hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar MK.

    MK pun meminta agar pembuat undang-undang melakukan rekayasa konstitusional usai PT 20% dihapus. Berikut panduan MK dalam rekayasa konstitusional itu:

    1. Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden;

    2. Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional;

    3. Dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih;

    4. Partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya; dan

    5. Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

    Dua hakim MK menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan ini. Mereka ialah Anwar Usman dan Daniel Yusmic.

    Wajib Cuti bagi Kepala Daerah Saat Kampanye dan Masa Tenang

    Ilustrasi Pilkada (Foto: Freepik/freepik)

    Selain menghapus PT 20%, MK juga membacakan putusan terkait kewajiban cuti bagi kepala daerah petahana saat masa kampanye Pemilu. Putusan perkara 154/PUU-XXII/2024 yang diajukan Edi Iswadi itu diketok pada Kamis (2/1/2025).

    Dalam petitumnya, pemohon meminta MK mengubah isi pasal 70 ayat (3) UU Pilkada. Berikut isinya:

    Menyatakan Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan UUD 1945 secara beryarat (Conditionally Unconstitutional) dan tidak memiliki kekuataan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, mulai masa kampanye sampai pemungutan suara, harus memenuhi ketentuan:

    a. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan
    b. dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya

    Pemohon menganggap kepala daerah petahana yang maju lagi dalam Pilkada harus cuti untuk menjamin Pilkada berlangsung langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dia juga menganggap masa tenang merupakan momen penting jelang Pilkada sehingga harus bebas dari kepentingan Pilkada oleh kepala daerah petahana.

    MK pun mengabulkan gugatan pemohon. Berikut amar putusan MK:

    1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.

    2. Menyatakan Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “cuti di luar tanggungan negara dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah petahana baik pada masa kampanye, masa tenang maupun pada hari pemungutan suara”.

    3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

    4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

    Dalam pertimbangannya, MK menyatakan peluang penyalahgunaan kewenangan dan fasilitas oleh kepala daerah petahana yang maju lagi di Pilkada sangat terbuka lebar sehingga dapat melanggar prinsip Pilkada. MK mengatakan permohonan agar kepala daerah petahana yang maju lagi di Pilkada cuti sejak kampanye hingga hari pemilihan adalah permohonan yang masuk akal.

    “Menurut Mahkamah dalam upaya untuk menghadirkan pemilihan yang jujur dan adil, maka diperlukan penambahan atau perpanjangan waktu dalam menjalani cuti di luar tanggungan negara dan larangan menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah petahana tidak hanya hingga masa kampanye berakhir, namun juga pada waktu masa tenang dan pada hari pemungutan suara. Sebab, menurut Mahkamah, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah baik petahana maupun bukan petahana seharusnya memiliki hak, kesempatan, keadilan, dan kesetaraan yang sama dalam perlakuan selama masa kampanye, masa tenang, hingga hari pemungutan suara,” ujar MK.

    MK Perketat Aturan Penggunaan AI dalam Peserta Pemilu

    Ilustrasi AI (Foto: Shutterstock)

    Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengabulkan sebagian gugatan terkait uji materi UU Pemilu dengan nomor perkara 166/PUU-XXI/2023. MK meminta peserta pemilu tidak menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan secara berlebihan, sehingga tidak menampilkan citra diri sebenarnya.

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo.

    “Menyatakan frasa ‘citra diri’ yang berkaitan dengan foto/gambar dalam Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai foto/gambar tentang dirinya yang original dan terbaru serta tanpa direkayasa/dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan teknologi kecerdasan artifisial (artificial intelligence),” sambungnya.

    Dalam pertimbangannya, MK mengatakan peserta Pemilu telah mengekplorasi teknologi dan teknik representasi citra diri demi memikat para pemilih. Salah satu yang digunakan ialah kecerdasan buatan atau AI.

    MK mengatakan citra diri, dalam hal ini foto/gambar, yang dipoles berlebihan dengan AI dapat menghilangkan keaslian atau originalitas si calon yang hendak dipilih rakyat. Menurut MK, manipulasi berlebihan citra diri dengan AI malah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan asas Pemilu bebas, jujur dan adil.

    “Artinya, rekayasa/manipulasi yang berlebihan dapat menyebabkan ekuitas merek kandidat dengan menaikkan pengetahuan, rasa suka, kualitas dan loyalitas pemilih terhadap kandidat. Informasi yang tidak benar dapat merusak kemampuan pemilih untuk mengambil keputusan secara berkualitas, sehingga hasil citra diri yang direkayasa/dimanipulasi secara berlebihan tidak hanya merugikan pemilih secara individual namun juga merusak kualitas demokrasi,” ujar MK.

    Halaman 2 dari 4

    (haf/imk)

  • Golkar Sebut Penghapusan Presidential Threshold jadi Momentum Penyempurnaan Pemilu

    Golkar Sebut Penghapusan Presidential Threshold jadi Momentum Penyempurnaan Pemilu

    Bisnis.com, JAKARTA — Partai Golkar menilai penghapusan ambang batas atau threshold 20% untuk pencalonan presiden dan wakil presiden menjadi momentum untuk penyempurnaan sistem Pemilihan Umum (Pemilu). Penyempurnaan dilakukan di antaranya dengan merevisi sejumlah undang-undang (UU). 

    Wakil Ketua Umum Golkar Ahmad Doli Kurnia Tanjung mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada perkara No.62/PUU-XXII/2024 tentang presidential threshold bukanlah isu yang berdiri sendiri. Isu itu dinilai berkaitan juga dengan berbagai aspek seperti keberadaan parpol, penerapan jenis sistem pemilu dan lain-lain. 

    Doli menilai penghapusan ambang batas itu tidak akan mempunyai makna besar apabila tidak diikuti dengan penyempurnaan sistem Pemilu, bahkan sistem politik dan demokrasi di Indonesia. Hal itu ikut tertuang dari perintah MK kepada pembuat UU agar menindaklanjuti setiap putusan uji materi dengan revisi UU secara komprehensif. 

    “Oleh karena itu, ‘bola’ sekarang ada di tangan Presiden dan para Ketua Umum Partai Politik agar mendorong Pemerintah dan DPR untuk bisa meng-konkret-kan agenda pembahasan revisi UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik untuk segera dimulai,” ujar Doli melalui keterangan tertulis, Minggu (5/1/2024). 

    Adapun Doli menyatakan seluruh pihak harus menghormati dan menerima putusan MK yang bersifar final dan mengikat (binding). Putusan itu harus dilaksanakan, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau. 

    Meski demikian, dia menilai putusan itu harus dimaknai dalam perspektif yang lebih luas. Menurutnya, putusan MK yang menghapus presidential threshold itu sejalan dengan momentum untuk perbaikan sistem politik dan demokrasi Indonesia. 

    Dia turut menyinggung pernyataan Presiden Prabowo Subianto di HUT ke-60 Partai Golkar, mengenai wacana Pilkada melalui DPRD. 

    Di sisi lain, Doli menyampaikan bahwa permohonan uji materi terhadap pasal 222 UU Pemilu yang sudah dilakukan lebih dari 30 kali itu bukanlah jawaban untuk seluruh permasalahan mengenai Pemilu di Indonesia. 

    “Presidential threshold cuma salah satu isu dari sekian banyak isu yang menjadi bagian pembahasan penyempurnaan sistem Pemilu kita. Dan setiap isu bukanlah berdiri sendiri. Setiap isu saling terkait satu sama lain,” tuturnya. 

    Sebelumnya, MK mengabulkan uji materi terhadap pasal 222 Undang-undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.  

    Dalam amar putusan yang dibacakan pada perkara No.62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku 20% inkonstitusional. Artinya, pencalonan presiden oleh partai politik tidak harus memiliki suara 20% di DPR.  

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025). 

  • Ketua DPD Dorong Wacana Pengusulan Capres Jalur Independen

    Ketua DPD Dorong Wacana Pengusulan Capres Jalur Independen

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan B Najamudin, mendorong wacana dan kajian mengenai pengusulan calon presiden (capres) melalui jalur independen atau nonpartisan dalam sistem politik Indonesia. Hal ini dinilai penting untuk memperluas hak politik masyarakat dan meningkatkan kualitas demokrasi.

    Pernyataan ini disampaikan Sultan menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) pada Kamis (2/1/2025).

    “Kami sangat mengapresiasi langkah MK yang secara perlahan membuka ruang demokrasi lebih luas, memberikan hak politik yang lebih terbuka bagi warga negara,” kata Sultan Sabtu (4/1/2025), seperti dilansir Antara.

    Meski demikian, ia tetap menghormati konstitusi yang saat ini hanya mengatur pencalonan presiden melalui partai politik. Sultan menilai pentingnya memulai wacana calon presiden independen untuk menciptakan keadilan politik dan mencari pemimpin nasional yang berkualitas.

    “Saat ini, UUD hanya menugaskan partai politik sebagai institusi demokrasi yang berhak mengajukan calon presiden. Namun, wacana menghadirkan calon independen perlu dimulai,” ujarnya.

    Sultan juga mengkritisi minimnya kaderisasi di internal partai politik di Indonesia, yang dinilai belum serius dalam menyiapkan calon pemimpin bangsa. “Hanya sedikit partai politik yang memiliki atensi dalam proses kaderisasi,” ucapnya terkait wacana dan kajian capres jalur independen.

    Sultan menyebut beberapa negara demokrasi besar, seperti Amerika Serikat dan Rusia, memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mencalonkan diri sebagai presiden melalui jalur independen.

    “Prinsip keadilan dan persamaan hak politik warga negara tidak boleh dibatasi oleh aturan presidential threshold atau institusi politik tertentu saja,” tegasnya.

    Sebelumnya, MK menghapus Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yang mengatur ambang batas minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo.

    Langkah ini membuka peluang lebih luas bagi berbagai pihak untuk mencalonkan diri tanpa bergantung pada koalisi besar partai politik.

    Wacana pengusulan calon presiden jalur independen menjadi langkah strategis untuk memperluas partisipasi politik masyarakat dan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Dengan adanya putusan MK yang menghapus presidential threshold, diskusi mengenai jalur independen semakin relevan untuk diwujudkan.

  • Batasan Koalisi Jadi Sorotan Pemerintah Usai MK Hapus PT 20%

    Batasan Koalisi Jadi Sorotan Pemerintah Usai MK Hapus PT 20%

    Jakarta

    Pemerintah menyoroti batasan koalisi usai Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) minimal 20% kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Pemerintah menilai tidak mungkin membuat norma baru untuk membatasi jumlah capres.

    Untuk diketahui, putusan MK terkait ambang batas itu dibacakan pada Kamis (2/1) di di gedung MK, Jakarta Pusat dengan perkara nomor 62/PUU-XXI/2023 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1). MK mengabulkan permohonan yang pada intinya menghapus ambang batas pencalonan presiden.

    “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo.

    MK pun meminta pemerintah dan DPR RI melakukan rekayasa konstitusional dalam merevisi UU Pemilu. Tujuannya, agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membeludak.

    Menteri Koordinator (Menko) Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyampaikan pemerintah menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) minimal 20% kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Yusril menegaskan putusan MK bersifat final dan mengikat.

    “Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding),” kata Yusril melalui keterangan tertulis, Jumat (3/1/2025).

    Yusril menambahkan, setelah adanya tiga Putusan MK Nomor 87, 121 dan 129/PUU-XXII/2024 yang membatalkan keberadaan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden itu, pemerintah secara internal tentu akan membahas implikasinya terhadap pengaturan pelaksanaan Pilpres tahun 2029.

    “Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan Presidential Threshold, maka Pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR,” ujar Yusril.

    “Semua stakeholders termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat Pemilu dan masyarakat tentu akan dilibatkan dalam pembahasan itu nantinya,” pungkasnya.

    Aturan Batasan Jumlah Capres

    Yusril Ihza Mahendra (Foto: Devi/detikcom)

    Yusril lantas menyoroti batasan jumlah capres. Menurutnya, tidak mungkin membuat norma baru untuk membatasi jumlah capres.

    “Kalau membaca pertimbangan hukum dan diktum putusan, tidak mungkin membuat norma baru untuk membatasi jumlah capres, karena hal itu, baik langsung maupun tidak langsung, akan mengembalikan presidential threshold yang justru sudah dibatalkan oleh MK,” kata Yusril saat dihubungi, Jumat (3/1/2025).

    Dia mengatakan putusan MK membuat setiap parpol berhak mengusung calon presiden. Selain itu, Yusril menyebut MK juga tetap mempersilakan jika parpol mau berkoalisi mencalonkan presiden-wakil presiden.

    “MK tegas menyatakan setiap parpol peserta Pemilu berhak mencalonkan capres. Kalau mereka mau bergabung mencalonkan seseorang silakan bergabung,” ucapnya.

    Dia menggarisbawahi panduan MK agar gabungan parpol jangan sampai mendominasi pilpres. Menurutnya, hal itu yang harusnya dibatasi.

    “Panduan MK justru memberikan arahan agar jika parpol-parpol bergabung mencalonkan capres-cawapres agar jangan sampai mendominasi. Di sinilah pembatasan itu perlu sampai maksimum berapa persen dari total parpol peserta Pemilu bisa bergabung mencalonkan seseorang capres. Ini yang perlu dirumuskan secara hati-hati agar norma UU yang nanti dibuat tidak bertabrakan dengan putusan MK ini,” jelasnya.

    Dia mengatakan aturan yang ada harus mengantisipasi kemungkinan mayoritas partai berkoalisi. Dia mengatakan harus ada batasan agar suatu koalisi tak mendominasi Pilpres.

    “Jangan sampai parpol peserta pemilu bergabung tanpa batas, misal ada 20 parpol ikut pemilu, lantas 19 partai gabung ajukan satu paslon, sisa satu partai yang hanya bisa ajukan satu calon lagi, akhirnya hanya ada dua paslon saja. Ini yang harus dipikirkan bagaimana membatasi gabungan partai agar tidak mendominasi seperti dikatakan MK,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 2

    (eva/isa)

  • Gerindra Janji Revisi UU Selaras Putusan MK Presidential Threshold

    Gerindra Janji Revisi UU Selaras Putusan MK Presidential Threshold

    Jakarta, CNN Indonesia

    Ketua Fraksi Partai Gerindra Budisatrio Djiwandono menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan syarat ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold.

    Ia memastikan akan mengawal agar penerapan putusan itu dalam produk revisi UU berjalan sesuai dengan amanat putusan MK.

    “Fraksi Gerindra akan terus mengawal prosesnya agar penerapan putusan bisa berjalan efektif dan selaras dengan amanat dalam putusan MK,” kata Budisatrio dalam keterangannya, Jumat (3/1).

    Ia menyebut masih ada sejumlah tahapan yang harus dilewati sebelum putusan tersebut diresmikan sebagai produk revisi UU.

    Budisatrio menyatakan pada dasarnya Fraksi Partai Gerindra berpegang teguh pada prinsip-prinsip demokrasi.

    Budi menekankan bahwa putusan MK bersifat final and binding. Ia pun memastikan Fraksi Gerindra akan menjunjung putusan MK sebagai bagian dari amanat demokrasi.

    “Kami menghormati dan siap mematuhi keputusan MK. Segera setelah ini kami akan mempelajari lebih detail putusan tersebut sebelum kami jadikan acuan dalam pembahasan revisi UU Pemilu,” ujarnya.

    Presidential threshold yang diatur dalam UU Pemilu kini dinyatakan inkonstitusional oleh MK dalam putusan yang dibacakan dalam sidang pada Kamis (2/1) lalu.

    MK berpendapat Pasal 222 UU Pemilu tak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sebagaimana termaktub pada Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

    Menko bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan putusan MK itu final dan mengikat.

    Ia menyebut pemerintah menghormati dan terkiat atas putusan MK tersebut tanpa dapat melakukan upaya hukum apa pun.

    “Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding),” kata Yusril melalui keterangan tertulis, Jumat (3/1).

    Yusril yang juga pakar hukum tata negara itu melihat ada perubahan sikap MK atas norma Pasal 222 UU Pemilu dibanding putusan-putusan sebelumnya. Pasal ini memang salah satu pasal yang sering diajukan gugatan uji materi ke MK.

    “Namun, apa pun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis,” ucap Yusril.

    (thr/kid)

    [Gambas:Video CNN]