Produk: UU Pemilu

  • Ketua DPD RI Minta Penyelenggara Pemilu Perhatikan Data Pemilih Usai Putusan MK

    Ketua DPD RI Minta Penyelenggara Pemilu Perhatikan Data Pemilih Usai Putusan MK

    Jakarta

    Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan B Najamudin menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah. Sultan mengingatkan penyelenggara pemilu dan pemerintah agar mengantisipasi dinamika perubahan data pemilih.

    “Pembaharuan data pemilih akan sangat cepat dan menjadi tantangan tersendiri, sehingga membutuhkan upaya yang ekstra bagi penyelenggara. Karena jarak waktu 2 tahun (jadwal pelaksanaan pemilu nasional dan daerah) adalah waktu yang signifikan mempengaruhi jumlah penduduk dan daftar pemilih tetap,” ujar Sultan kepada wartawan, Sabtu (28/6/2025).

    Sultan berharap pemisahan jadwal penyelenggaraan pemilu ini dapat meningkatkan partisipasi politik warga. Selain itu juga diharapkan dapat memperkuat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.

    “Harapannya pemisahan pemilu nasional dan lokal semakin meningkatkan partisipasi politik masyarakat dan memperkuat hubungan antara pusat dan daerah. Namun pembuat UU perlu melihat secara hati-hati dan komprehensif dalam menerjemahkan keputusan MK ini ke dalam material UU pemilu,” tegasnya.

    Lebih lanjut, Sultan mengatakan penyederhanaan, inovasi Pemilu melalui rekayasa konstitusional perlu disesuaikan dengan struktur lembaga politik dan tuntutan kepentingan pembangunan nasional dan daerah. Perlu juga dilakukan penyesuaian dan sinkronisasi pada beberapa UU yang terkait dengan Pemilu seperti UU MD3.

    “Keputusan MK ini cukup baik dan penting, tidak hanya dalam mengurai persoalan beban kerja para penyelenggara pemilu, tapi juga merupakan momentum untuk menata kembali struktur kekuasaan legislatif kita dalam UU MD3. Karena DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah telah dimasukkan dalam kelompok Pemilu lokal,” terangnya.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah atau lokal. MK mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah.

    “Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai,” ujar Ketua MK Suhartoyo mengucapkan Amar Putusan, Kamis (26/6).

    (fca/fca)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • MK Putuskan Pemisahan Pemilihan Umum, Tidak Ada Pemilu Serentak Mulai 2029

    MK Putuskan Pemisahan Pemilihan Umum, Tidak Ada Pemilu Serentak Mulai 2029

    Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum serentak yang selama ini digelar mulai 2029.

    Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), MK memutuskan keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pemilu daerah atau lokal). memutuskan 

    Untuk itu, Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 (lima) kotak” tidak lagi berlaku. Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.

    Selain itu, MK juga mempertimbangkan hingga saat ini pembentuk undang-undang belum melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan tanggal 26 Februari 2020. 

    Kemudian, secara faktual pula, pembentuk undang-undang sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan pemilihan umum.

    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” tegas Wakil Ketua MK Saldi Isra dikutip dari laman resmi MK, Sabtu (28/6/2025).

    Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan waktu penyelenggaraan pemilihan umum presiden/wakil presiden serta anggota legislatif yang berdekatan dengan waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah menyebabkan minimnya waktu bagi rakyat/pemilih menilai kinerja pemerintahan hasil pemilihan umum presiden/wakil presiden dan anggota legislatif.

    Selain itu, dengan rentang waktu yang berdekatan dan ditambah dengan penggabungan pemilihan umum anggota DPRD dalam keserentakan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.

    Padahal, menurut MK, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu/masalah pembangunan di tingkat nasional yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden.

    Tak hanya itu, MK mempertimbangkan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berada dalam rentang waktu kurang dari 1 (satu) tahun dengan pemilihan kepala daerah, juga berimplikasi pada partai politik—terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum.

    Akibatnya, lanjut Hakim Konstitusi Arief Hidayat, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik.

    Selain itu, dengan jadwal yang berdekatan, partai politik tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perekrutan calon anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus dan bagi partai politik tertentu harus pula mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi dalam pemilihan umum presiden/wakil presiden.

    Dengan demikian, agenda yang berdekatan tersebut juga menyebabkan pelemahan pelembagaan partai politik yang pada titik tertentu partai politik menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan politik praktis.

    “Akibatnya, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional, sehingga pemilihan umum jauh dari proses yang ideal dan demokratis. Sejumlah bentangan empirik tersebut di atas menunjukkan partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral,” terang Arief.

  • Soal putusan MK Pemilu, Khozin menilai Pemilu Lokal dan Nasional Paradoks

    Soal putusan MK Pemilu, Khozin menilai Pemilu Lokal dan Nasional Paradoks

    laporan kontributor Efendi Murdiono

    Soal putusan MK Pemilu, Khozin menilai Pemilu Lokal dan Nasional Paradoks
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Jumat, 27 Juni 2025 – 19:10 WIB

    Elshinta.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2024 tentang pelaksanaan  pemilu nasional dan pemilu lokal dinilai paradoks. Dalam putusan sebelumnya, MK telah memberi enam opsi model keserantakan pemilu.  Putusan yang terbaru justru membatasi pada satu model keserentakan.

    Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Muhammad Khozin menilai putusan MK No 135/PUU-XXII/2024 menunjukkan sisi paradoksal putusan MK. Menurut dia, putusan yang terbaru membatasi model keserentakan yang sebelumnya MK telah memberikan 6 alternatif pilihan. “Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020, MK telah memberi enam opsi keserentakan pemilu. Tapi putusan MK yang baru justru membatasi, ini paradoks,” kata Khozin di Jakarta, Jumat (27/06/2025).

    Menurut anggota DPR dari dapil Jatim IV (Jember & Lumajang) ini, semestinya MK konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang (UU) dalam merumuskan model keserentakan dalam UU Pemilu. “Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk “lompat pagar” atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU,” tegas Khozin.

    Apalagi, kata Khozin, dalam pertimbangan hukum di angka 3.17 putusan MK No 55/PUU-XVII/2019  secara tegas menyebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan. “Putusan 55 cukup jelas, MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi sekarang justru MK menentukan model keserentakan,” sesal Khozin. 

    Pengasuh Pondok Pesantren Al-Khozini, Jember ini menyayangkan putusan MK yang bertolak belakang dengan putusan sebelumnya. Menurut dia, dampak putusan ini akan berdampak secara konstitusional terhadap kelembagaan pembentuk UU (DPR dan Presiden), konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu, hingga persoalan teknis pelaksanaan pemilu. 

    “Implikasi putusan MK ini cukup komplikatif. Sayangnya, MK hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Di sinilah makna penting dari hakim yang negarawan, karena dibutuhkan kedalaman pandangan dan proyeksi atas setiap putusan yang diputuskan,” tambah Khozin. 

    Menurut dia, DPR tentu akan menjadikan putusan terbaru MK menjadi bahan penting dalam perumusan perubahan UU Pemilu yang memang diagendakan segera dibahas di DPR. Dia menuturkan, DPR akan melakukan rekayasa konstitusional dalam desain kepemiluan di Indonesia. “Dalam putusan MK sebelumnya meminta badan pembentuk UU untuk melakukan rekayasa konstitusional melalui  perubahan UU pemilu ini,” tandas Khozin.

    Sumber : Elshinta.Com

  • Anggota DPR: Putusan MK pisahkan pemilu nasional dan lokal paradoks

    Anggota DPR: Putusan MK pisahkan pemilu nasional dan lokal paradoks

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan antara pemilu lokal dan pemilu nasional dengan jeda waktu 2,5 tahun, bersifat paradoks.

    Dia mengatakan bahwa sebelumnya MK telah memberi enam opsi model keserentakan pemilu, tetapi putusan yang terbaru justru membatasi pada satu model keserentakan. MK, kata dia, seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang (UU) dalam merumuskan model keserentakan dalam UU Pemilu.

    “UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk ‘lompat pagar’ atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU,” kata Khozin di Jakarta, Jumat.

    Apalagi dalam pertimbangan hukum di angka 3.17 Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019, menurut dia, secara tegas menyebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan.

    “Putusan 55 cukup jelas, MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi sekarang justru MK menentukan model keserentakan,” katanya.

    Dia pun menyayangkan putusan MK yang bertolak belakang dengan putusan sebelumnya. Menurut dia, dampak putusan ini akan berdampak secara konstitusional terhadap kelembagaan pembentuk UU (DPR dan Presiden), konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu, hingga persoalan teknis pelaksanaan pemilu.

    “Sayangnya, MK hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Di sinilah makna penting dari hakim yang negarawan, karena dibutuhkan kedalaman pandangan dan proyeksi atas setiap putusan yang diputuskan,” katanya.

    Namun demikian, dia memastikan bahwa DPR tentu akan menjadikan putusan terbaru MK menjadi bahan penting dalam perumusan perubahan UU Pemilu yang memang diagendakan segera dibahas di DPR. Dia menuturkan, DPR akan melakukan rekayasa konstitusional dalam desain kepemiluan di Indonesia.

    “Dalam putusan MK sebelumnya meminta badan pembentuk UU untuk melakukan rekayasa konstitusional melalui perubahan UU pemilu ini,” kata dia.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6).

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah, Komisi II DPR Siap Revisi UU Pemilu – Page 3

    MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah, Komisi II DPR Siap Revisi UU Pemilu – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizami Karsayuda, menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah mulai tahun 2029. Ia menyebut, keputusan tersebut akan menjadi landasan penting dalam penyusunan revisi Undang-Undang Pemilu ke depan.

    “Dan hal tersebut tentu akan menjadi bagian penting untuk kami menyusun revisi undang-undang pemilu yang akan datang,” ujar Rifqinizami kepada wartawan, Jumat (27/6/2025).

    Politikus Partai NasDem itu menegaskan bahwa Komisi II DPR RI akan menjadikan putusan MK ini sebagai perhatian utama dalam merancang regulasi pemilu yang baru.

    “Terutama, sekali lagi dalam politik hukum nasional yang menjadi kewenangan konstitusional Komisi II,” tegasnya.

    Rifqinizami menambahkan, Komisi II DPR RI ke depan akan mengevaluasi dan menyusun formula paling tepat untuk pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah yang terpisah.

    “Salah satu misalnya pertanyaan teknisnya adalah bagaimana bisa melaksanakan pemilu lokal setelah terlaksananya pemilu nasional tahun 2029 misalnya. Secara asumtif pemilunya baru bisa dilaksanakan pada tahun 2031,” jelasnya.

    Menurutnya, adanya jeda waktu antara 2029 hingga 2031 menuntut adanya norma transisi, terutama terkait masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah.

    “Jeda waktu 2029-2031 untuk DPRD, provinsi, kabupaten, kota termasuk untuk jabatan gubernur, bupati, wali kota itu kan harus ada norma transisi,” sambungnya.

    Ia menjelaskan, pengisian jabatan kepala daerah selama masa transisi bisa dilakukan dengan menunjuk penjabat sebagaimana praktik sebelumnya. Namun, untuk anggota DPRD, satu-satunya opsi yang realistis adalah memperpanjang masa jabatan mereka.

    “Hal-hal inilah yang nanti akan menjadi dinamika dalam perumusan rancangan Undang-Undang Pemilu yang tentu kami masih menunggu arahan dan keputusan pimpinan DPR untuk diberikan kepada Komisi II DPR,” pungkasnya.

  • Soal Putusan MK, Golkar: Momentum Desain Ulang Model Pemilu – Page 3

    Soal Putusan MK, Golkar: Momentum Desain Ulang Model Pemilu – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta -b Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan judicial review atas Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 dan Pasal 167 UU Nomor 7 Tahun 2017. Putusan tersebut tercantum dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dengan putusan tersebut, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 (lima) kotak” tidak lagi berlaku.

    Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menegaskan putusan ini momentum untuk mendesain ulang model pemilu dan pilkada sesuai struktur pemerintahan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.

    “Pertama, kami menghormati putusan MK tersebut. MK adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan apakah sebuah undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sebagai pembentuk UU, kami siap menyelaraskan dengan putusan MK tersebut,” ujar Zulfikar dalam keterangan, Jumat (27/6/2025).

    Politikus Golkar itu menegaskan, hal ini menjadi dorongan kuat bagi DPR dan pemerintah untuk segera menyusun Undang-Undang Pemilu yang baru.

    “Kedua, putusan MK ini secara substansi menegaskan struktur politik kita terdiri atas dua entitas, yaitu politik nasional dan politik daerah yang pengelolaanmya perlu penyesuaian,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Zulfikar menyebut putusan MK ini menegaskan posisi pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu, dan terbuka lebar peluang untuk memasukkan aturan pilkada terkodifikasi ke dalam UU Pemilu sesuai kebijakan dalam RPJPN 2025-2045.

    “Ketiga, putusan MK ini secara teknis akan memudahkan pemilih dalam menggunakan hak pilihnya dan mengefektifkan penyelenggara pemilu dalam melaksanakan setiap tahapan.”

    Menurutnya, hadirnya putusan MK ini mengokohkan kedudukan penyelenggara pemilu sebagai institusi yang tetap, sehingga menepis pikiran menjadikan penyelenggara pemilu lembaga ad hoc.

    “Terakhir, putusan MK ini memperkuat prinsip bahwa kita merupakan negara kesatuan yang didesentralisasikan. Harapannya, bisa memunculkan budaya politik baru yang memperkuat dan meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah,” pungkasnya.

  • Politik kemarin, revisi UU Pemilu dan penutupan retret kepala daerah

    Politik kemarin, revisi UU Pemilu dan penutupan retret kepala daerah

    Jakarta (ANTARA) – Berbagai peristiwa politik kemarin (26/6) menjadi sorotan, di antaranya pernyataan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang menegaskan revisi UU Pemilu tidak dibahas pada masa sidang terdekat yaitu pada 24 Juni—24 Juli, dan penutupan retret kepala daerah gelombang ke-2.

    Berikut lima berita pilihan ANTARA yang dapat kembali dibaca:

    1. Dasco ungkap revisi UU Pemilu tak akan dibahas di masa sidang ini

    Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan bahwa revisi Undang-Undang (UU) tentang Pemilihan Umum (Pemilu) tidak akan dibahas pada masa sidang kali ini, yang dimulai pada 24 Juni hingga 24 Juli 2025.

    Pasalnya, dia mengatakan bahwa fraksi-fraksi partai politik di DPR RI masih membicarakan revisi UU tersebut hanya sebatas informal. Menurut dia, pembicaraan itu pun belum bisa disampaikan ke publik.

    Selengkapnya baca di sini.

    2. Wamendagri minta kepala daerah bina dan tindak tegas ormas bermasalah

    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto meminta para kepala daerah untuk membina sekaligus menindak tegas organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bermasalah di wilayah masing-masing agar dapat berkontribusi positif bagi masyarakat.

    “Lakukan pembinaan, pendampingan, dan motivasi agar ormas yang nakal kembali ke jalan yang benar,” kata Bima setelah memimpin apel terakhir Retret Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di IPDN Jatinangor, Sumedang, Kamis.

    Selengkapnya baca di sini.

    3. Dasco: Komisi I DPR segera temui Presiden bahas konflik Iran-Israel

    Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa Komisi I DPR RI akan segera menemui Presiden Prabowo Subianto untuk membahas dinamika global terkait konflik yang terjadi antara Iran dan Israel.

    Menurut dia, komunikasi antara DPR dengan pemerintah diperlukan untuk mengetahui pandangan dan sikap pemerintah dalam menanggapi situasi di timur tengah tersebut. Di sisi lain, dia mengatakan DPR juga akan memberikan masukan terhadap pemerintah terkait hal itu.

    Selengkapnya baca di sini.

    4. Wamendagri resmi tutup retret kepala daerah gelombang kedua di IPDN

    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto secara resmi menutup retret kepala daerah gelombang kedua di kampus Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis.

    “Para kepala daerah yang kami hormati, selamat, anda sekarang ini sejajar dengan seluruh kepala daerah yang juga mengikuti proses retret,” kata Bima saat upacara penutupan retret kepala daerah di Sumedang.

    Selengkapnya baca di sini.

    5. Ketua Komisi III DPR ungkap RUU KUHAP “kick off” pada 7 Juli

    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP akan “kick off” pada 7 Juli 2025.

    Setelah itu, dia mengatakan bahwa Komisi III DPR RI akan menggelar rapat setiap hari secara maraton untuk membahas RUU tersebut hingga selesai. Dia memastikan seluruh rapat akan diadakan di ruang rapat Komisi III DPR RI, bukan di hotel.

    Selengkapnya baca di sini.

    Pewarta: Genta Tenri Mawangi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Terpisah, Ini Respons Kemendagri

    MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Terpisah, Ini Respons Kemendagri

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Utak-atik tentang sistem pemilu di Indonesia tampaknya belum juga menemui format terbaik. Selain melalui revisi melalui eksekutif dan legislatif, juga melalui guatan ke Mahkamah Konstitusi.

    Terbaru, Mahkamah Konstitusi (MK) dikabarkan memutuskan agar pelaksanaan pemilu nasional dan daerah pada 2029 mendatang dipisah.

    Merespons putusan tersebut, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) buka suara. Wamendagri, Bima Arya Sugiarto mengatakan institusinya akan mempelajari putusan tersebut lebih dahulu.

    Menurut Bima, pihaknya bakal menempatkannya sebagai bahan pertimbangan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu.

    “Kami pelajari dulu. Saya baru mendapatkan informasi. Kami pelajari lebih detail lagi keputusan MK tadi dan kami letakkan dalam konteks revisi UU Pemilu,” kata Bima saat ditemui di Kampus IPDN Jatinangor, Sumedang, Kamis (26/6).

    Wacana soal pemisahan pemilu nasional dan daerah diakui Bima bukan merupakan hal baru. Sejumlah kalangan seperti akademisi dan pemerhati, menurutnya, kerap menyuarakan isu tersebut.

    Kendati begitu, dia kembali menegaskan pihaknya masih akan mendalami detail putusan MK untuk pemisahan pemilu itu. Terlebih terkait implementasinya kelak.

    “Ya pasti. Keputusan MK kan menjadi pandangan yuridis yang harus diperhatikan, tetapi bagaimana eksekusi dan implementasinya kami harus pelajari detail dulu,” ungkapnya.

    MK telah memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

  • Sambut MK Soal Pemilu Nasional-Lokal, Perludem Dorong Revisi UU Pemilu
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 Juni 2025

    Sambut MK Soal Pemilu Nasional-Lokal, Perludem Dorong Revisi UU Pemilu Nasional 26 Juni 2025

    Sambut MK Soal Pemilu Nasional-Lokal, Perludem Dorong Revisi UU Pemilu
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau
    Perludem
    menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengabulkan gugatannya untuk sebagian, yakni memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal untuk 2029.
    “Perludem mengapresiasi serta menghormati putusan
    MK
    ini dan mendorong agar pembahasan UU Pemilu dn Pilkada segera dilakukan,” tulis pihak Perludem dalam siaran persnya, Kamis (26/6/2026).
    Putusan MK yang terbaru, yang mengakhiri
    pemilu serentak
    , adalah Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    “Segera revisi UU Pemilu dan Pilkada,” jelas pihak Perludem.
    Revisi nantinya harus memperhatikan putusan MK tersebut.
    Nantinya, Pemilu 2029 tidak akan sama serentak seperti Pemilu 2024 atau Pemilu 2019.
    Pemilu selanjutnya bakal terpisah dua, yakni pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal.
    Pemilu serentak
    nasional terdiri atas pilpres, pileg DPR, dan pileg DPD.
    Pemilu serentak lokal terdiri atas pileg DPRD provinsi dan kabupaten/kota, pilgub, dan pilbup.
    “Dengan jeda waktu minimal 2 tahun atau maksimal 2,5 tahun (antara nasional ke lokal),” ujar pihak Perludem.
    Maka, UU Pemilu dan UU Pilkada perlu direvisi dalam satu paket pembahasan menggunakan metode kodifikasi agar tidak tumpang tindih regulasi.
    “Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, namun hingga saat ini belum juga dimulai pembahasannya,” ujar Perludem.
    Maka, inilah momentum revisi dua UU itu demi perbaikan pemilu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 2
                    
                        MK Putuskan Pemilu Nasional-Daerah Dipisah, Pemilihan DPRD Bareng Pilkada
                        Nasional

    2 MK Putuskan Pemilu Nasional-Daerah Dipisah, Pemilihan DPRD Bareng Pilkada Nasional

    MK Putuskan Pemilu Nasional-Daerah Dipisah, Pemilihan DPRD Bareng Pilkada
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (MK) memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.
    Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden. Sedangkan, pemilihan anggota
    DPRD
    tingkat provinsi dan kabupaten kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (
    Pilkada
    ).
    Hal tersebut tertuang dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
    Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan, Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (
    UU Pemilu
    ) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Lanjutnya, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Di samping itu, Saldi menjelaskan, MK tidak bisa menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah.
    Namun, MK mengusulkan
    pilkada
    dan
    pileg DPRD
    dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.
    “Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” ujar Saldi.
    MK dalam pertimbangannya juga menjelaskan, persoalan daerah cenderung tenggelam jika
    pemilihan DPRD
    provinsi dan kabupaten/kota digabung dengan pemilihan nasional yang memilih presiden-wakil presiden dan DPR.
    Hal ini disebabkan oleh partai politik, kontestasn, hingga pemilih yang lebih fokus terhadap pemilihan presiden dan anggota DPR.
    “Masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu/masalah pembangunan di tingkat nasional yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden,” ujar Saldi.
    Sedangkan dari sisi pemilih, MK menilai waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah yang berdekatan berpotensi membuat masyarakat jenuh. dan tidak fokus.
    Hal ini disebabkan oleh pemilih yang harus mencoblos lima jenis kertas suara dalam satu waktu, mulai dari presiden-wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
    “Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” ujar Saldi.
    Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”.
    “Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, ‘Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden’,” tandas Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.
    Sebagai informasi, pemohon dalam perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 adalah Perludem yang mengujikan Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, dan Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.