Produk: UU Minerba

  • Praktisi Hukum: Ada Dugaan Kejanggalan IUP PT Timah di Belitung

    Praktisi Hukum: Ada Dugaan Kejanggalan IUP PT Timah di Belitung

    Belitung (beritajatim.com) – Permasalahan antara PT Timah Tbk. dan warga di Desa Bulutumbang, Kecamatan Badau, Kabupaten Tanjung Pandan, Belitung terkait lahan seluas 60 hektar belum menemui titik terang alias masih kusut.

    Warga pemilik lahan yang sah pemegang Surat Keterangan Tanah (SKT) yang turun temurun dari moyangnya merasa terpojok dengan plot dan terbitnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam konsesi PT Timah.

    Pasalnya di lahan tersebut diduga tidak ada timah dan warga pemilik lahan yang sah secara terang-terangan dilarang melakukan aktifitas seperti bercocok tanam atau menanam sawit. Larangan itu tertuang dalam papan nama yang sempat dipasang di lahan tersebut, seakan mengusir warga.

    Celakanya lagi, pemegang IUP belum sepenuhnya menyelesaikan hak atas tanah yang akan digunakan untuk kegiatan pertambangan. Penyelesaian ini diantaranya adalah memberikan ganti rugi kepada warga atau pemegang hak atas tanahnya. Baik ganti rugi tumbuhan hingga bangunan jika ada.

    Praktisi Hukum Siprianus Edi Hardum menilai, ada yang tidak beres dalam permasalahan ini. “Kalau itu tanah warga yang turun temurun, di mana sebelumnya pemerintah mengeluarkan IUP untuk pertambangan timah. Berdasarkan undang-undang Minerba, pertambangan mineral dan batubara yang di dalamnya juga timah, sebelum pemerintah mengeluarkan izin itu kan harus ada penyelidikan atau eksplorasi,” ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/10/2025).

    “Penyelidikan ini kan minta izin warga, memberikan ganti rugi, baru keluarkan IUP-nya,” sambung Edi Hardum.

    Jika dalam penyelidikan pada akhirnya tidak ditemukan timah, keluarnya IUP patut dipertanyakan. “Nah, saya memastikan bahwa IUP itu keluar tanpa melalui proses yang benar. IUP ini dikeluarkan begitu saja tanpa melalui proses eksplorasi apakah ada timah atau tidak,” tandasnya.

    Karena itu tidak benar, lanjut Edi Hardum, menurut UU Minerba nomor 2 tahun 2005, perubahan atas UU nomor 4 tahun 2009 tentang minerba, proses izinnya dipastikan salah.

    “Ini patut diduga hanya untuk izin pertambangan tapi sebenarnya dikuasai oleh orang tertentu, perusahaan tertentu. Kok keluar IUP tapi tidak ada timah di bawahnya. Tidak salah warga kalau mengambil alih (tanah), yaitu tanah hak milik masyarakat,” jelasnya.

    Menurut Edi Hardum, di dalam UU pokok agraria ada beberapa hak. Hak milik, dalam permasalahan ini adalah hak milik. Ada HGU (Hak Guna Usaha) hingga HPL (Hak Penggunaan Lahan).

    “Tanah warga ini kan hak milik, walaupun dia belum punya sertifikat, tapi sudah ada SKT. Itu sudah alas hak sebenarnya, menurut UU Pokok Agraria,” ujarnya.

    “Jadi, saya pikir masyarakat tidak salah kalau dia ambil dan pemerintah di sini harus melindungi masyarakat atas tanahnya,” kata Edi Hardum lagi.

    Di sini pemerintah harus membela masyarakat, bukan membela perusahaan yang patut diduga mengambil tanah warga dengan cara yang tidak benar.

    “Kalau misalnya PT Timah terus bersikeras mengambil itu, warga jaga di tempat. Kalau terjadi sesuatu misalnya lapor ke Polisi secara pidana yaitu dengan pasal 167, memasuki lahan orang atau pekarangan, ada ancaman pidananya,” ucapnya.

    “Ada juga pasal 257 KUHP. Yang lain adalah gugatan perdata, perbuatan melawan hukum, mengambil tanah warga tanpa hak. Masyarakat harus melawan, dia (warga) tidak salah kalau seperti ini,” pungkas Edi Hardum.

    Sementara itu, Direktur Utama PT Timah Tbk, Kolonel (purn) Restu Widyantoro (sekarang Brigjen TNI Kehormatan) ketika di konfirmasi wartawan sejak Kamis 2 Oktober 2025 melalui pesan whatsapp belum memberikan keterangannya. Beberapa kali dihubungi lewat sambungan telepon hingga berita diturunkan belum dijawab. [kun]

  • Muhammadiyah ajak akademisi riset dampak peraturan  

    Muhammadiyah ajak akademisi riset dampak peraturan  

    Pekalongan (ANTARA) – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengajak kalangan akademisi terutama dari lingkup Perguruan Tinggi Muhammadiyah untuk membuat riset berbasis analisa sosial terhadap berbagai peraturan yang berdampak ke berbagai sektor kehidupan.

    “Dari berbagai masalah yang kami kaji di Indonesia, muaranya satu, adalah masalah di bagian hulu, artinya perintah yang berada di sisi hulu (kehidupan),” kata Busyro Muqoddas saat Pelatihan Ideologi Kepemimpinan Regional Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah di Pekalongan, Jawa Tengah, Minggu.

    Sedangkan kasus-kasus yang terjadi di daerah, ujar dia, adalah bagian hilir atau dampak dari bagian hulu berupa peraturan yang mengikat. “Selama ini, peraturan yang dibuat lebih banyak berdasarkan asumsi, bahkan kepentingan pemilik modal, bukan berbasis problematika di masyarakat, ” kata Busyro Muqoddas.

    Ia mencontohkan UU Cipta Kerja, UU Minerba, yang dalam realisasinya, beberapa diantaranya menimbulkan polemik di masyarakat. “Saya sudah melihat tambang di Halmahera, lahannya sangat luas,” kata dia.

    Atau, lanjut dia, polemik seputar pengembangan kawasan Rempang di Provinsi Kepulauan Riau yang sempat memicu keriuhan baik secara fisik maupun nonfisik.

    Sementara Ketua PWM Jateng KH Tafsir menambahkan, untuk itu dibutuhkan kekuatan politik yang didukung kemampuan ekonomi yang kuat. “Supaya kekuatan politik ini tidak dikuasai oleh kekuatan ekonomi,” ujar Tafsir.

    Pelatihan Ideologi Kepemimpinan Regional LHKP PW Muhammadiyah Jateng mengangkat tema “Meneguhkan Ideologi Islam Berkemajuan dalam Membangun Kepemimpinan Publik yang Berintegritas dan Progresif” dengan jumlah peserta 150 orang.

    Ketua LHKP PW Muhammadiyah Jateng Jayusman Arief pelatihan dilakukan untuk membekali kader-kader Muhammadiyah dengan wawasan ideologis Islam Berkemajuan, keterampilan kepemimpinan serta kemampuan membaca dan merespons dinamika sosial-politik secara bijaksana dan berkeadaban.

    “Kegiatan ini juga menjadi media konsolidasi kader potensial Muhammadiyah dari berbagai daerah di Jawa Tengah, yang diproyeksikan menjadi aktor strategis dalam ruang-ruang publik, baik sebagai legislator, birokrat, pemimpin organisasi masyarakat, maupun penggerak komunitas,” ujar dia.

    Untuk mewujudkan hal itu, lanjut dia, diperlukan pelatihan yang tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga aplikatif dan kontekstual. “Tujuannya agar kader-kader tersebut siap mengemban amanah umat dengan integritas dan keberpihakan yang jelas kepada kepentingan rakyat,” kata Jayusman.

    Melalui pelatihan ini, diharapkan lahir barisan kader pemimpin Muhammadiyah yang kokoh secara ideologis, matang secara strategi, dan siap mengambil peran dalam membangun masyarakat utama. Dengan pendekatan yang kolaboratif dan progresif, LHKP PWM Jawa Tengah ingin meneguhkan kembali komitmen Muhammadiyah dalam membentuk kepemimpinan publik yang berkemajuan dan bermaslahat bagi umat dan bangsa.

    Sejumlah narasumber pelatihan diantaranya Dr Muh Haris (anggota DPR RI), Ketua PWM Jateng Drs Tafsir, Harun Abdul Khafizh (Anggota DPRD Prov Jawa Tengah– Dapil XIII Jawa Tengah), Edi Faisol (Praktisi Media Massa/ Pimpred TV Simpo). Bupati Pekalongan Fadia A Rafiq yang diwakili Asisten 1 Setda Kabupaten Pekalongan Ali Reza.

    Pewarta: Teguh Imam Wibowo
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MIND ID Bangun Industri Berkelanjutan lewat Hilirisasi Bauksit

    MIND ID Bangun Industri Berkelanjutan lewat Hilirisasi Bauksit

    JAKARTA – Holding Industri Pertambangan Indonesia MIND ID memperkuat peran strategis dalam membangun ekosistem industri berkelanjutan melalui hilirisasi mineral, khususnya bauksit yang diolah menjadi aluminium bernilai tambah tinggi.

    Upaya itu dijalankan melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) sebagai smelter aluminium terbesar di Indonesia yang kini menjadi bagian dari MIND ID.

    “Bauksit bernilai sekitar 40 dolar AS, setelah diolah menjadi alumina dan selanjutnya aluminium nilainya bisa mencapai hingga 2.800 dolar AS. Ini bukan hanya soal angka, tetapi juga kontribusi nyata pada Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan lapangan kerja, serta terbentuknya ekosistem industri berkelanjutan,” kata Grup Head Business and Development Inalum Al Zufri dilansir ANTARA, Rabu, 28 Agustus.

    Dia menambahkan, perusahaan patungan Inalum dan ANTAM, yakni PT Borneo Alumina Indonesia sebagai pengelola Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah menjadi bukti bagaimana rantai pasok mineral yang solid mampu menciptakan kepastian bahan baku bagi industrialisasi masa depan Indonesia.

    “Hilirisasi adalah fondasi pembangunan industri berkelanjutan. Tahun 2025, kami akan sepenuhnya menggunakan alumina domestik sejalan dengan implementasi UU Minerba,” ujarnya.

    Selain aspek ekonomi, Inalum juga mendukung agenda dekarbonisasi nasional. Perseroan telah memulai program substitusi penggunaan High-Speed Diesel (HSD) B30 menjadi Liquefied Natural Gas (LNG) di Baking Plant Inalum yang berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 3.700 tCO2e per tahun.

    Corporate Communication MIND ID Pratiwa Dyatmika menegaskan, hilirisasi merupakan agenda nasional yang dijalankan secara terintegrasi oleh seluruh anggota grup MIND ID.

    “Upaya ini bukan hanya meningkatkan nilai tambah sumber daya alam Indonesia, tetapi juga menunjukkan kehadiran negara dalam memperkuat perekonomian nasional. MediaMIND hadir sebagai wadah bagi jurnalis, mahasiswa, dan publik untuk mengulas kontribusi yang MIND ID ciptakan melalui karya jurnalistik yang membangun,” katanya dalam keterangannya di Jakarta pada Rabu.

  • MIND ID membangun industri berkelanjutan lewat hilirisasi bauksit

    MIND ID membangun industri berkelanjutan lewat hilirisasi bauksit

    Hilirisasi adalah fondasi pembangunan industri berkelanjutan.

    Jakarta (ANTARA) – Holding Industri Pertambangan Indonesia MIND ID memperkuat peran strategis dalam membangun ekosistem industri berkelanjutan melalui hilirisasi mineral, khususnya bauksit yang diolah menjadi aluminium bernilai tambah tinggi.

    Upaya itu dijalankan melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) sebagai smelter aluminium terbesar di Indonesia yang kini menjadi bagian dari MIND ID.

    “Bauksit bernilai sekitar 40 dolar AS, setelah diolah menjadi alumina dan selanjutnya aluminium nilainya bisa mencapai hingga 2.800 dolar AS. Ini bukan hanya soal angka, tetapi juga kontribusi nyata pada Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan lapangan kerja, serta terbentuknya ekosistem industri berkelanjutan,” kata Grup Head Business and Development INALUM Al Zufri dalam sosialisasi MediaMIND 2025, di Universitas Sumatera Utara, Medan, Selasa (27/8).

    Ia menambahkan, perusahaan patungan INALUM dan ANTAM, yakni PT Borneo Alumina Indonesia sebagai pengelola Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah menjadi bukti bagaimana rantai pasok mineral yang solid mampu menciptakan kepastian bahan baku bagi industrialisasi masa depan Indonesia.

    “Hilirisasi adalah fondasi pembangunan industri berkelanjutan. Tahun 2025, kami akan sepenuhnya menggunakan alumina domestik sejalan dengan implementasi UU Minerba,” ujarnya.

    Selain aspek ekonomi, INALUM juga mendukung agenda dekarbonisasi nasional. Perseroan telah memulai program substitusi penggunaan High-Speed Diesel (HSD) B30 menjadi Liquefied Natural Gas (LNG) di Baking Plant INALUM yang berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 3.700 tCO2e per tahun.

    Corporate Communication MIND ID Pratiwa Dyatmika menegaskan hilirisasi merupakan agenda nasional yang dijalankan secara terintegrasi oleh seluruh anggota grup MIND ID.

    “Upaya ini bukan hanya meningkatkan nilai tambah sumber daya alam Indonesia, tetapi juga menunjukkan kehadiran negara dalam memperkuat perekonomian nasional. MediaMIND hadir sebagai wadah bagi jurnalis, mahasiswa, dan publik untuk mengulas kontribusi yang MIND ID ciptakan melalui karya jurnalistik yang membangun,” katanya dalam keterangannya di Jakarta pada Rabu.

    Pewarta: Ida Nurcahyani
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bahlil tegaskan perubahan UU Minerba Blbukti pemerintah hadir untuk sejahterakan daerah

    Bahlil tegaskan perubahan UU Minerba Blbukti pemerintah hadir untuk sejahterakan daerah

    Sumber foto: Radio Elshinta/ ADP

    Bahlil tegaskan perubahan UU Minerba Blbukti pemerintah hadir untuk sejahterakan daerah
    Dalam Negeri   
    Editor: Valiant Izdiharudy Adas   
    Senin, 25 Agustus 2025 – 12:57 WIB

    Elshinta.com – Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan komitmennya untuk mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui optimalisasi sektor pertambangan. Hal ini ia sampaikan dalam Musyawarah Daerah (Musda) XI DPD Partai Golkar Sulawesi Tengah di Palu, Minggu (24/8/2025).

     

    Dalam pidatonya, Bahlil menilai Sulawesi Tengah memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar, termasuk sektor pertambangan yang menjadi penopang ekonomi daerah. Namun, ia menyoroti belum optimalnya kontribusi sektor tersebut terhadap PAD.

     

    “Pertumbuhan ekonomi nasional kuartal kedua 5,12 persen, inflasi terjaga di bawah tiga persen. Saya yakin pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah lebih tinggi. Tapi PAD belum maksimal akibat persoalan tambang ini, betul atau tidak?” kata Bahlil di hadapan kader Partai Golkar dan pejabat daerah.

     

    Bahlil mengungkapkan, salah satu langkah strategis pemerintah untuk mengoptimalkan manfaat sumber daya alam adalah melalui hilirisasi tambang. Ia menyebut hilirisasi merupakan program prioritas Presiden Prabowo Subianto yang diharapkan dapat memberikan nilai tambah serta pemerataan hasil pembangunan bagi masyarakat daerah.

     

    “Hilirisasi adalah program andalan Bapak Presiden. Kami di Kementerian ESDM bersama Partai Golkar dan koalisi sudah mengubah Undang-Undang Minerba untuk memastikan sumber daya alam benar-benar dikelola untuk kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

     

    Menurut Bahlil, perubahan regulasi ini juga bertujuan memberikan keadilan kepada masyarakat daerah. Ia menilai, selama ini izin usaha pertambangan (IUP) lebih banyak dikuasai oleh perusahaan besar yang berkantor di Jakarta, sementara masyarakat lokal kurang mendapat porsi.

     

    “Saya mantan pengusaha, saya tahu rasanya susah mengurus izin dulu. Barang nenek moyang kita, tapi pemegang IUP-nya orang Jakarta semua. Ini tidak adil. Kita ubah supaya anak daerah jadi tuan di negeri sendiri,” katanya.

     

    Dalam UU Minerba yang baru, lanjut Bahlil, pemerintah memberikan prioritas IUP kepada koperasi, UMKM, dan BUMD. Skema ini, kata dia, menjadi jalan bagi masyarakat daerah untuk berperan langsung dalam pengelolaan tambang.

     

    “Kita harus membangun konglo (konglomerat) konglo baru di daerah. Jangan konglonya Jakarta terus. Kita butuh sinergi, sinergitas yan besar. Jangan kota kecilkan, kita pertahankan, kita dorong. Tapi juga kita ingin untuk yang (pengusaha) yang baru muncul. Kalau tidak akan susah untuk mewujudkan pemerataan,” ucapnya. 

     

    Selain itu, Bahlil menegaskan akan menindaklanjuti persoalan perizinan yang menghambat peningkatan PAD Sulawesi Tengah. Ia mencontohkan, ada perbedaan regulasi perizinan antara Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian yang membuat potensi pendapatan daerah tidak maksimal.

     

    “Kalau semua potensi PAD bisa kita tarik, Sulteng bisa dapat tambahan Rp2 triliun. Kalau APBD sekarang sekitar Rp5,5 triliun, tambahan Rp2 triliun ini akan cukup memperkuat fiskal daerah,” kata Bahlil.

     

    Ia menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan tersebut dan membawa laporan langsung kepada Presiden Prabowo. “Saya janji ini jadi tugas utama saya. Saya sudah tahu celahnya. Kita akan pastikan pengelolaan sumber daya alam berjalan baik untuk kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

     

    Sebelumnya, Revisi keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara—UU Minerba—disahkan oleh DPR RI pada 18 Februari 2025 dalam Rapat Paripurna ke-13 Masa Persidangan II di Gedung DPR RI, pada era kepemimpinan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia.

     

    Revisi UU ini merupakan inisiatif DPR RI, disetujui secara bulat oleh delapan fraksi, dan dibawa bersama Pemerintah melalui Badan Legislasi (Baleg) sebagai RUU yang diajukan oleh DPR. UU Minerba terbaru memperkenalkan skema pemberian izin tambang (WIUP/IUP) dengan mekanisme prioritas, tidak melulu melalui tender. Prioritas diberikan kepada UMKM, Koperasi, BUMD, dan ormas keagamaan. 

     

    Sementara untuk perguruan tinggi, IUP diberikan melalui penugasan kepada BUMN/BUMD/swasta dalam konteks pendanaan riset dan beasiswa alias bukan mendapatkan tambang langsung. Kemudian BUMN/BUMD/swasta yang mendapatkan IUP digunakan untuk pendalaman hilirisasi dan industrialisasi tambang, serta memperkuat nilai tambah lokal. (ADP)

    Sumber : Radio Elshinta

  • Bahlil Ingin Konglomerat Baru Lahir di Daerah Lewat Kemudahan Izin Tambang: Jangan Jakarta Terus
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 Agustus 2025

    Bahlil Ingin Konglomerat Baru Lahir di Daerah Lewat Kemudahan Izin Tambang: Jangan Jakarta Terus Nasional 24 Agustus 2025

    Bahlil Ingin Konglomerat Baru Lahir di Daerah Lewat Kemudahan Izin Tambang: Jangan Jakarta Terus
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mendorong lahirnya konglomerat-konglomerat baru di daerah, dengan kemudahan izin usaha pertambangan (IUP) yang telah diatur dalam Revisi Undang-Undang tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu pun meminta para kader partai mendukung penuh implementasi UU Minerba terbaru yang telah disahkan DPR RI pada Februari 2025 kemarin.
    Sebab, aturan baru di dalam beleid tersebut telah memberi peluang lebih besar bagi masyarakat lokal untuk mengelola tambang di wilayahnya masing-masing.
    “Kita harus membangun konglo (konglomerat) konglo baru di daerah. Jangan konglonya Jakarta terus. Kita butuh sinergi yang besar. Jangan kita kecilkan, kita dorong. Tapi juga kita ingin untuk pengusaha baru muncul. Kalau tidak akan susah untuk mewujudkan pemerataan,” ujar Bahlil saat berpidato di Musda DPD Golkar Sulawesi Tengah, dikutip dari siaran pers, Minggu (24/8/2025).
    Bahlil mengungkapkan, selama ini izin tambang lebih banyak dikuasai perusahaan besar yang berkantor di Jakarta.
    Sementara masyarakat daerah belum mendapat porsi yang adil.
    Namun, lanjut Bahlil, UU Minerba yang berlaku saat ini telah membuka peluang lebih besar bagi masyarakat lokal untuk mengelola tambang.
    Sebab, pemerintah memberikan prioritas IUP kepada koperasi, UMKM, dan BUMD.
    “Saya mantan pengusaha, saya tahu rasanya susah mengurus izin dulu. Barang nenek moyang kita, tapi pemegang IUP-nya orang Jakarta semua. Ini tidak adil. Kita ubah supaya anak daerah jadi tuan di negeri sendiri,” kata Bahlil.
    Dalam pidatonya, Bahlil juga menegaskan program hilirisasi tambang yang menjadi prioritas Presiden Prabowo Subianto, ingin hasil pengelolaan sumber daya alam memberi nilai tambah lebih besar bagi masyarakat lokal.
    Dia pun meyakini bahwa hilirisasi akan memberi nilai tambah sekaligus memperkuat pendapatan asli daerah (PAD), tak terkecuali untuk Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).
    “Kalau semua potensi PAD bisa kita tarik, Sulteng bisa dapat tambahan Rp 2 triliun. Kalau APBD sekarang sekitar Rp 5,5 triliun, tambahan Rp 2 triliun ini akan cukup memperkuat fiskal daerah,” jelas Bahlil.
    “Saya janji ini jadi tugas utama saya. Kita akan pastikan pengelolaan sumber daya alam berjalan baik untuk kesejahteraan rakyat,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, DPR RI telah mengesahkan revisi keempat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) pada 18 Februari 2025.
    Dalam UU tersebut, berbagai entitas dalam pertambangan seperti badan usaha milik daerah (BUMD), usaha kecil dan menengah (UKM), koperasi, hingga badan usaha ormas keagamaan bisa mendapat konsesi secara prioritas.
    UU baru tersebut juga memungkinkan perguruan tinggi atau kampus mendapatkan nilai manfaat dari hasil pengelolaan tambang yang dilakukan BUMN, BUMD, maupun badan usaha swasta.
    Menurut Bahlil, kampus atau perguruan tinggi tidak langsung mendapatkan IUP dan mengelola tambang, melainkan hanya pendanaan untuk kebutuhan riset hingga beasiswa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bareskrim Tetapkan Direktur PT Karya Lisbeth jadi Tersangka Kasus Tambang Zirkon

    Bareskrim Tetapkan Direktur PT Karya Lisbeth jadi Tersangka Kasus Tambang Zirkon

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan satu tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pertambangan mineral bukan logam di Kalimantan Tengah (Kalteng).

    Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri, Brigjen Nunung Syaifuddin mengatakan satu tersangka itu adalah Direktur PT Karya Lisbeth, Marcel Sunyoto (MS).

    “Sudah ditetapkan sebagai tersangka (MS),” kata Nunung saat dikonfirmasi, dikutip Sabtu (16/8/2025).

    Nunung menyampaikan penetapan tersangka itu dilakukan setelah pihaknya melakukan gelar perkara pada pekan lalu. Adapun, MS menjadi tersangka sejak Rabu (6/8/2025).

    Sebagai tindak lanjut, Nunung mengatakan bahwa Marcel telah dipanggil untuk menjalani pemeriksaan dalam kapasitasnya sebagai tersangka hari ini.

    “Sudah hadir,” ujar Nunung.

    Adapun, jenderal polisi bintang satu ini mengatakan bahwa Marcel berpotensi bakal dilakukan penahanan oleh Bareskrim. Pasalnya, ancaman pidananya penjara lima tahun.

    “Dapat ditahan, bukan harus, tapi kalau nanti yang bersangkutan kooperatif ya ngapain ditahan,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, kasus ini berkaitan dengan persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) tahap operasi produksi dari Dinas ESDM Kalteng.

    Surat itu terbit setelah mendapatkan evaluasi rekonsiliasi dan monitoring kegiatan usaha pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu, dalam hal ini galian Zirkon.

    Dalam hal ini, Bareskrim Polri menduga bahwa aktivitas tambang ini dilakukan tanpa izin, sehingga melanggar Pasal 158 dan 161 UU Minerba.

  • Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Jakarta

    Sudah lewat satu bulan putusan MK Nomor 135/PUU-XII/2024 dibacakan, pemerintah dan DPR masih belum merespons putusan yang bersifat final dan mengikat tersebut ke dalam sebuah bentuk kebijakan konkret: revisi UU Pemilu dan Pilkada.

    Dalam putusan tersebut, MK memutus pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal: Pemilu nasional untuk memilih presiden dan DPR/DPD, dan pemilu lokal untuk memilih gubernur, walikota/bupati dan DPRD yang diperpanjang paling cepat 2 tahun dan paling lambat 2,5 tahun setelah pemilu nasional selesai dilaksanakan.

    Alasannya sederhana, MK berkaca pada dua peristiwa pemilu serentak sebelumnya (2019 dan 2024); karena pemilih kebingungan ketika disodorkan banyaknya surat suara dan calon; dekatnya jarak waktu antara pemilu dan pilkada yang membuat pemilih jenuh; beratnya beban penyelenggara yang berakibat pada kelelahan hingga kematian.

    Selain itu ada juga alasan sulitnya parpol dalam mempersiapkan kader untuk bertarung; dan yang paling penting karena permasalahan daerah kerapkali tidak mendapat perhatian serius akibat tertimpa isu nasional.

    Kontradiksi Norma dan Pilihan Paling Mungkin

    Apabila dicermati, dalam putusan ini MK tidak bertindak dalam fungsinya sebagai negative legislator (pembatal undang-undang), melainkan sebagai positive legislator (pembentuk undang-undang).

    Meskipun MK masuk ke dalam wilayah teknis penyelenggaraan pemilu yang seharusnya menjadi wewenang pembentuk undang-undang (open legal policy), tetap dapat dibenarkan dan putusannya tetap dianggap sah secara hukum (erga omnes).

    Karena, di tengah rusaknya kualitas demokrasi akibat kartelisasi politik yang kuat seperti sekarang ini, MK dapat melakukan penyelamatan demokrasi melalui judicial activism untuk menjembatani kehendak rakyat yang suaranya seringkali diabaikan di dalam ruang pembentukan kebijakan.

    Namun, akibat campur tangan MK dalam membuat norma baru tersebut, kontradiksi hukum tak dapat dielakkan, khususnya dalam mengatasi permasalahan pemilu lokal yang jadwal pelaksanaannya bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

    Dalam pemilu lokal, MK memutus dilaksanakan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun setelah pemilu nasional usai dilaksanakan. Konsekuensinya, akan ada kekosongan masa jabatan dalam waktu yang cukup lama (2-2,5 tahun) yang harus dipikirkan oleh pembentuk undang-undang untuk diisi oleh siapa dan bagaimana cara pengisiannya.

    Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah selama masa transisi, mungkin masih bisa dilakukan penunjukan penjabat (Pj) oleh presiden dan mendagri.

    Meskipun pilihan tersebut bertentangan dengan prinsip yang paling penting di dalam demokrasi, yakni legitimasi, kemungkinan yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah demikian. Tapi dengan catatan bahwa masyarakat sipil harus mendesak presiden dan DPR untuk mempersiapkan norma yang membatasi dan mengawasi para Pj tersebut agar tidak menjadi alat politik kekuasaan untuk cawe-cawe memenangkan calon tertentu.

    Sementara, untuk mengisi kekosongan masa jabatan DPRD, belum ada landasan norma yang bisa dijadikan tempat bersandar untuk memperpanjang masa jabatan mereka. Sehingga mau tidak mau harus dibuat aturan mainnya agar tidak terjadi kekosongan jabatan.

    Jika opsi yang dipilih adalah memperpanjang masa jabatan DPRD selama dua tahun, tentu saja kebijakan itu bertentangan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga DPRD harus berasal dari mandat rakyat yang dipilih secara sah melalui pemilu.

    Jika pun selama dua tahun itu ditunjuk pelaksana tugas, maka juga bertentangan dengan nilai demokrasi yang mengedepankan legitimasi ketimbang legalitas.

    Di antara kebuntuan itu, pilihan yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan dibuatnya pemilu sela untuk memilih anggota DPRD yang akan menjabat selama 2 hingga 2,5 tahun sampai dilaksanakannya pemilu lokal di tahun 2032.

    Yang Prosedural dan Yang Substansial

    Jika ditelaah lebih dalam, walaupun putusan tersebut dianggap oleh sebagian pengamat adalah putusan yang progresif, tapi nyatanya, hanya menyentuh persoalan prosedural. Bukan persoalan substansial dari berbagai persoalan pemilu yang sudah-sudah. Mahar politik, politik uang, pengerahan aparat dan birokrat untuk memenangkan calon tertentu, dan lain sebagainya.

    Berharap adanya jeda selama 2 sampai 2,5 tahun agar partai politik bisa bernafas dan mempersiapkan kader secara serius juga adalah sebuah alasan paling utopis yang pernah ada di negeri demokrasi yang mau berumur 80 tahun merdeka ini.

    Dalam Kronik Otoritarianisme Indonesia yang ditulis Zainal Arifin Mochtar dan Muhidin M. Dahlan, Herlambang P. Wiratraman mengatakan, demokrasi di Indonesia cenderung telah didominasi dan difasilitasi oleh sistem politik yang telah terkartelisasi.

    Fenomena ini oleh Richard S Katz dan Peter Mair disebut dengan istilah “partai kartel” yang kenunculannya ditandai dengan hubungan erat antara partai politik dan negara yang saling bekerja sama dalam berkolusi untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Salah satunya berkolusi dalam memenangkan pemilu.

    Tak bisa dipungkiri, demokrasi elektoral kita telah dilumuri politik uang. Biaya politik elektoral yang tinggi membuat partai politik memberi karpet merah kepada pemilik modal untuk ikut serta mengendalikan pemilu dan menjadi bagian di dalam negara. Akibatnya, pemilu hanya menjadi sarana bagi oligarki untuk mengontrol kebijakan negara.

    Untuk dapat berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya, partai politik tidak lagi memilih calon legislatif maupun eksekutif berdasarkan standar ideologis. Lebih condong kepada standar pragmatis. Sudah menjadi rahasia umum, mulai dari sejak fase pra pemilu (rekrutmen calon), yang dilihat paling pertama oleh partai politik bukanlah kualitas (kapabilitas), tetapi kuantitas (seberapa besar isi brangkas).

    Alhasil, mengutip laporan ICW (Indonesia Corruption Watch), yang diperoleh dari pemilu berbiaya tinggi tersebut adalah: Dari total 580 anggota DPR periode 2024- 2029, sekitar 354 orang (61%) terafiliasi dengan sektor bisnis. Dengan kata lain, sebagian besar anggota DPR yang memenangkan pemilu dan duduk di parlemen hari-hari ini adalah politisi pebisnis. Bukan ideolog, bukan pula aktivis, atau politisi yang berasal dari beragam latar belakang.

    Dengan besarnya postur politisi pebisnis yang duduk di DPR saat ini, jangan heran apabila mereka abai melaksanakan demokrasi deliberatif dalam pengambilan keputusan politik negara, terutama dalam proses pembentukan undang-undang kontroversial akhir-akhir ini (UU BUMN, UU Minerba, UU TNI).

    Data ini tidak hanya memperburuk kualitas parlemen dan pemerintahan kita, tapi juga akan memperpanjang nasib demokrasi elektoral yang berbiaya tinggi. Apalagi, di tahun 2024, menurut data yang dirilis Bank Dunia, angka kemiskinan masyarakat Indonesia mencapai 194,4 juta jiwa atau setara 68,2% dari total populasi sebanyak 285,1 juta penduduk.

    Kondisi ini tentu saja tidak bisa diselesaikan dengan sekali pukul perubahan jadwal pemilu, tapi juga harus diiringi dengan pembenahan di berbagai sektor: Partai politik, pembiayaan partai politik dan pemilu, hingga sistem pengawasan yang kuat. Jika tidak, kaki-kaki oligarki di dalam tubuh negara akan semakin kokoh, dan pemilu 2029 dan 2032 hanya akan memperluas potensi politik uang yang muaranya akan menghasilkan pemimpin serakah.

    Dengan begitu, mau sistem pemilu seperti apapun, baik serentak ataupun tidak, terpisah antara nasional dan lokal sekalipun, jika tidak diiringi dengan pembenahan lintas sektor, maka pemisahan jadwal pemilu hanya akan memperpanjang peluang oligarki untuk mengontrol kebijakan publik dengan seluruh perangkat yang mereka punya. Uang, media, aparat, dan segenap perangkat lainnya. Pada akhirnya, putusan MK tidak menyumbang apa-apa untuk peningkatan kualitas demokrasi kita.

    Zieyad Alfeiyad Ahfi atau Ziyad Ahfi. Mahasiswa pascasarjana hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang tengah mengambil studi Hukum Tata Negara.

    (rdp/rdp)

  • Bareskrim Usut Kasus Tambang Zirkon di Kalteng, Siap Gelar Perkara Pekan Ini

    Bareskrim Usut Kasus Tambang Zirkon di Kalteng, Siap Gelar Perkara Pekan Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) tengah menyelidiki kasus dugaan tindak pidana pertambangan mineral bukan logam, yakni Zirkon di Kalimantan Tengah (Kalteng).

    Dirtipidter Bareskrim Polri Brigjen Nunung Syaifuddin mengatakan pihaknya bakal melakukan gelar perkara kasus tersebut pada pekan ini.

    Gelar perkara itu dilakukan untuk menentukan apakah adanya tindak pidana serta menetapkan pihak yang bertanggung jawab atau tersangka dalam perkara ini.

    “Minggu ini gelar penetapan tersangka,” ujar Nunung kepada wartawan, Senin (4/8/2025).

    Nunung menambahkan dalam perkara ini pihak yang dilaporkan hanya satu orang, yakni Marcel Sunyoto selaku Direktur PT Karya Lisbet.

    “Terlapor sementara ada 1 orang atas nama Marcel Sunyoto dari PT Karya Lisbet,” tambahnya.

    Adapun, kasus ini diduga berkaitan dengan persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) tahap operasi produksi dari Dinas ESDM Kalteng. Surat itu terbit setelah mendapatkan evaluasi rekonsiliasi dan monitoring kegiatan usaha bahan galian Zirkon.

    Di samping itu, kasus ini memiliki persangkaan pasal 158 dan 161 UU Minerba. Pasal 158 mengatur sanksi pidana bagi pelaku pertambangan tanpa izin dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.

    Sementara itu, Pasal 161 UU Minerba mengatur soal pemanfaatan, pengolahan, hingga penjualan mineral dan batu bara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya yang tidak sesuai ketentuan terancam pidana maksimal 5 tahun dan denda Rp100 miliar. 

    “Persangkaan pasal 158 dan 161 UU Minerba,” pungkas Nunung.

  • Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

    Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

    Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) tak lama lagi akan memiliki kesempatan untuk mengelola izin tambang mineral dan batu bara (minerba) seiring hampir rampungnya aturan turunan Undang-undang No.2/2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

    Dalam waktu dekat pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri ESDM sebagai aturan turunan dan kebijakan teknis dari UU Minerba yang baru. Beleid tersebut akan mengatur mengenai mekanisme pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada UKM dan kriteria UKM yang dapat menerima penawaran WIUP.

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan bahwa pemberian izin tambang kepada UKM akan dilakukan secara hati-hati dan ketat. Pemerintah akan memastikan UMKM tersebut memiliki kemampuan yang mumpuni.

    “Namun, dilakukan dengan secara hati-hati tidak asal, hati-hati itu membutuhkan banyak kriteria salah satu antaranya adalah UMKM yang dianggap capable untuk mengelola tambang,” kata Bahlil saat ditemui usai kunjungan di kawasan BP Tangguh LNG, Papua Barat, Rabu (11/6/2025).

    Bahlil menekankan bahwa penawaran izin tambang ke UKM ini merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan derajat UKM.

    “Saya tidak mau UMKM ini diidentikkan dengan jual bakso, jual kerupuk, jual warung, saya ingin untuk UMKM ini, UMKM yang tangguh yang naik kelas mereka menjadi kongomerat daerah itu kira-kira,” tuturnya.

    Sebelumnya, Bahlil juga telah menginstruksikan Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman untuk segera mendata usaha kecil dan menengah yang berpotensi mendapat IUP.

    “Saya menawarkan kepada Pak Menteri UMKM, segera inventarisir, mana UMKM-UMKM yang paten. Sebentar lagi PP sudah harus selesai,” kata Bahlil.

    Nantinya, kata Bahlil, UKM-UKM yang telah terdaftar itu akan diprioritaskan untuk mengelola IUP. Selain itu, dia juga meminta agar penerima IUP merupakan UKM yang profesional dan tidak menarik kredit dalam menjalankan usahanya.

    Skema Kemitraan

    Sementara itu, pelaku usaha menyambut baik langkah pemerintah yang membuka peluang bagi UKM untuk dapat ikut mengelola tambang. Namun, niat baik dari pemerintah itu perlu dibarengi dengan pengawasan yang ketat agar tidak menimbulkan masalah baru. 

    Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai mayoritas UKM belum siap untuk mengelola tambang. Ada sejumlah tantangan yang dihadapi jika UKM mengelola pertambangan minerba. Salah satunya, dari sisi teknologi, permodalan, maupun tata kelola operasional.

    “Tidak semua UKM siap di sektor berisiko tinggi seperti pertambangan,” kata Kepala Bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Apindo Ronald Walla kepada Bisnis, Rabu (11/6/2025).

    Kemudian, dari sisi lingkungan dan keselamatan kerja, Ronald menyebut bahwa pertambangan memiliki risiko lingkungan dan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang tinggi. Selain itu, UKM harus mampu memenuhi standar perizinan, pelaporan, dan pengelolaan pascatambang yang dinilai cukup kompleks.

    Apindo pun melihat perlunya pendampingan dan skema kemitraan atau konsorsium antara UKM dengan perusahaan besar atau badan usaha milik negara (BUMN). Skema kemitraan ini untuk transfer pengetahuan, teknologi, dan manajemen risiko.

    Menurutnya, tanpa adanya pendampingan atau kemitraan yang kuat, hal ini dapat menjadi bumerang bagi UKM pemegang izin usaha pertambangan (IUP).

    “Tanpa pendampingan atau kemitraan yang kuat, ini bisa menjadi bumerang,” ujarnya.

    Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengingatkan kelak para UMKM penerima IUP harus bisa memenuhi segala persyaratan yang diberikan pemerintah. 

    “Semua pemegang izin pertambangan, baik itu IUP, IUJP, IPR tentu wajib memenuhi segala persyaratan yang diatur oleh pemerintah serta mentaati regulasi yang berlaku dari waktu ke waktu,” katanya.

    Kriteria yang Ketat

    Melihat kompleksitas pengelolaan tambang, pemerintah perlu menentukan kriteria yang ketat bagi UKM yang mendapat penawaran IUP. 

    Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar mengatakan, UKM yang memperoleh penawaran IUP harus memiliki kriteria minimal mampu mematuhi syarat perusahaan tambang. Hal ini khususnya terkait kemampuan pembiayaan dan manajemen.

    Apalagi, modal awal untuk usaha pertambangan skala UKM bisa mencapai puluhan miliar rupiah.

    “UKM harus memenuhi syarat minimal dalam pengusahaan pertambangan, baik aspek teknis, manajerial maupun aspek finansial dengan batas-batas tertentu yang standar,” kata Bisman kepada Bisnis, Rabu (11/6/2025).

    Bisman pun menuturkan, pemberian tambang kepada UKM memiliki dampak positif dan negatif. Adapun, dampak positif dari UKM diberikan izin tambang adalah usaha kecil bisa naik kelas. Selain itu, kebijakan itu juga bisa menjadi pemerataan kesejahteraan bagi para pelaku usaha.

    Namun, pemberian izin tambang kepada UKM juga dapat menyebabkan eksploitasi tambang makin luas. Hal ini berdampak negatif terhadap daya dukung lingkungan.

    “Selain itu, pemain tambang menjadi banyak, yang berpotensi over produksi,” imbuh Bisman.

    Oleh karena itu, pemerintah perlu dipertimbangkan tentang lokasi dan jenis komoditas pertambangan yang bisa dikerjakan oleh usaha dengan level UKM. Menurutnya, lokasi yang ideal adalah lahan dengan aspek teknologi relatif terbatas dan risiko bisa tidak besar.

    Di samping itu, pemerintah juga perlu lebih ketat dalam melakukan pengawasan. Hal ini khususnya agar pemberian IUP kepada UKM bisa tetap sasaran.

    “Pengawasan dan verifikasi kelembagaannya sebagai UKM dilakukan oleh menteri UKM sehingga perlu ada unit khusus, sedangkan pengawasan usaha pertambangan yang terkait dengan manajemen oleh menteri ESDM dan terkait dengan teknis dan lingkungan oleh Inspektur Tambang,” jelas Bisman.

    Senada, Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Ridho Kresna Wattimena menilai UKM yang mendapat IUP harus memiliki kecukupan modal hingga tenaga ahli di sektor pertambangan.

    “Sebenarnya, siapapun pemegang IUP harus sadar bahwa pertambangan memerlukan modal sangat besar dan pengembalian modalnya cukup bahkan bisa sangat lama,” kata Ridho.

    Selain itu, Rido menuturkan bahwa UMKM itu juga harus memiliki tenaga ahli, bukan hanya di bidang pertambangan, tetap juga tenaga ahli penunjang, seperti ahli geologi, eksplorasi, pengolahan dan pemurnian, pemasaran, lingkungan, hingga hukum.

    “Pemerintah harus yakin bahwa UKM itu punya modal dan tenaga ahli,” katanya.