Produk: UU Minerba

  • Pemberian Izin Tambang ke Ormas Keagamaan Disebut Berpotensi Langgar UU Minerba

    Pemberian Izin Tambang ke Ormas Keagamaan Disebut Berpotensi Langgar UU Minerba

    Liputan6.com, Jakarta – Anggota Komisi XII DPR RI, Yulian Gunhar, menyoroti potensi pelanggaran UU nomor 3 Tahun 2020 Tentang Minerba jika pemerintah memberikan izin pertambangan kepada badan usaha milik organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.

    Gunhar menilai bahwa ormas keagamaan tidak memiliki kompetensi di sektor tambang, sehingga penerapan Perpres ini dalam konteks izin tambang berisiko melanggar UU Minerba.

    “Ormas keagamaan umumnya berorientasi pada kegiatan sosial, bukan tambang. Jika pemerintah tetap menggunakan Perpres ini untuk pemberian izin tambang, kami akan mempertimbangkan langkah revisi UU Minerba bersama DPR untuk menghindari benturan aturan,” katanya, Jumat (15/11/2024).

    Menurutnya, ada beberapa ketentuan dalam UU Minerba yang berpotensi dilanggar jika Perpres 70/2023 dan Perpres 76/2024 yang digunakan sebagai dasar pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan, antara lain pasal 39 UU Minerba, yang hanya memperbolehkan IUP untuk badan usaha, koperasi, atau perorangan.

    “Pemberian IUP kepada ormas yang tidak termasuk kategori ini bisa dianggap melanggar UU,” katanya.

    Begitu juga Pasal 75 Ayat 3 dan 4, tambahnya, seharusnya memberikan prioritas IUPK kepada BUMN atau BUMD, sedangkan swasta hanya mendapatkan izin melalui lelang.

    “Jika badan usaha ormas keagamaan mendapat izin langsung atau tanpa lelang, maka hal ini melanggar ketentuan UU Minerba,” tegasnya.

    Selain itu, menurutnya dalam pasal 96 UU Minerba, telah diatur pengelolaan lingkungan dan keselamatan tambang, yang ketat diatur dalam UU Minerba. Kompetensi ormas dalam bidang ini menurutnya diragukan, sehingga berpotensi tidak memenuhi standar pengelolaan.

    “Apalagi penggunaan Perpres untuk memberikan izin kepada ormas keagamaan berisiko menciptakan persepsi publik negatif terhadap transparansi proses perizinan,” katanya.

     

  • Eksaminasi Perkara Mardani H. Maming, Pakar Hukum: SK Bupati Tidak Langgar UU Minerba

    Eksaminasi Perkara Mardani H. Maming, Pakar Hukum: SK Bupati Tidak Langgar UU Minerba

    Jakarta (beritajatim.com) Putusan pengadilan terhadap terpidana kasus suap izin pertambangan, Mardani H Maming mendapat sorotan dari sejumlah pakar hukum. Mereka menyebut SK Bupati tidak melanggar UU Minerba.

    Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga menegaskan jika SK Bupati itu belum tentu melanggar UU Minerba. Karena itu, pengadilan yang akan menguji putusan tersebut.

    “SK Bupati itu harus diuji di PTUN apakah melanggar UU atau tidak? Nanti, PTUN akan menjelaskan bagian mana yang melanggar dan bagian mana yang tidak, itu terkait kewenangannya atau materinya. Jadi, memang belum tentu melanggar UU Minerba,” ungkapnya, Minggu (6/10/2024).

    Pada awal tahun 2024 ini, Centre for Local and Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) telah mengadakan eksaminasi kasasi MA atas perkara yang menjerat mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan itu.

    Ada sepuluh eksaminator yang hadir dan memberikan catatan di antaranya Hanafi Amrani, Ridwan, Mudzakkir Eva Achjani Zulfa, Mahrus Ali, Karina Dwi Nugrahati Putri, Ratna Hartanto, Ridwan Khairandy, Arif Setiawan, dan Nurjihad.

    Anotasi dari para pakar tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah karya buku berjudul “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim Dalam Menangani Perkara Mardani H Maming’”.

    Saat acara bedah buku di Sleman, Yogyakarta pada Sabtu (5/10/2024), salah satu eksaminator sekaligus editor Mahrus Ali menilai perbuatan Mardani Maming yang mengeluarkan SK Bupati Nomor 296/2011 tentang Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) dari PT BKPL kepada PT PCN, tidak melanggar aturan.

    “Norma pasal 93 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba itu ditujukan kepada pemegang IUP, bukan pada jabatan Bupati. Sepanjang syarat dalam ketentuan tersebut terpenuhi, maka peralihan IUP diperbolehkan,” kata pengajar Hukum Pidana FH UII itu.

    Guru Besar Hukum Administrasi Negara FH UII, Ridwan mengatakan, permohonan peralihan IUP-OP itu tidak perlu melampirkan syarat administrasi, teknis, lingkungan, dan finansial. Pasalnya, persyaratan tersebut melekat pada izin yang telah dialihkan.

    Menurut eksaminator lainnya yang merupakan dosen Departemen Hukum Bisnis FH UGM, Karina Dwi Nugrahati Putri, jika dapat dibuktikan bahwa penerimaan uang oleh PT TSP dan PT PAR murni berasal dari keuntungan pengoperasian pelabuhan PT ATU berdasar perjanjian yang sah, maka asumsi bahwa penerimaan tersebut berkaitan dengan peralihan IUP-OP melalui SK Bupati menjadi tidak berdasar.

    “Judex Facftie telah mengesampingkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan mengenai adanya penerimaan uang oleh PT TSP dan PT PAR tidak ada kaitannya dengan peralihan IUP-OP dan bukan sebagai hadiah,” jelas Karina.

    Sebagaimana diketahui, dalam perkara ini, Mardani H Maming dijatuhi pidana 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan.

    Mardani juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp110,6 miliar. Dia dinyatakan bersalah melanggar pasal 12 huruf b jo pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor. [hen/aje]

  • AJI Kediri Kecam Upaya Pembangkangan Konstitusi

    AJI Kediri Kecam Upaya Pembangkangan Konstitusi

    Kediri (beritajatim.com) – AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Kediri menggelar protes terhadap upaya DPR RI yang merevisi dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pada Kamis (22/8/2024). AJI Kediri menilai DPR telah bertindak sewenang-wenang, lebih mementingkan percaturan politik daripada asas kepatutan hukum.

    Bertempat di halaman sekretariat AJI Kediri, aksi digelar dengan membentangkan poster bernada seruan mengawal demokrasi. Poster-poster itu bertuliskan “Lawan Pembegalan Demokrasi”, “Pembangkangan Konstitusi Membunuh Demokrasi”, serta “Kami Muak”.

    “Demokrasi kita kembali terancam. Kelompok penguasa berupaya merongrong konstitusi demi tujuan pragmatisme kekuasaan,” kata Agung Kridaning Jatmiko, Ketua AJI Kediri, dalam orasinya.

    Miko menyebut, upaya penganuliran dua keputusan lembaga konstitusi tertinggi tersebut dipertontonkan secara angkuh. Proses legislasi rancangan undang-undang (RUU) Pilkada itu dikerjakan kilat melalui Badan Legislasi (Baleg). Hal tersebut tentu tidak mematuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

    Bukan kali ini saja penguasa “mengakali” proses legislasi. Beberapa regulasi krusial lainnya dikebut dalam waktu singkat. Di antaranya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, UU Minerba, revisi UU KPK, dan UU Ibu Kota Negara (IKN). Semua aturan itu disahkan tanpa asas transparansi dan partisipasi masyarakat.

    “Banyak RUU yang lebih mendesak untuk kepentingan masyarakat seperti RUU Masyarakat adat, RUU Perampasan Aset, Perlindungan Data Pribadi, dan sebagainya,” ujar Miko.

    Dia menambahkan, di tengah situasi ini, peran pers dan jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi tidak boleh lagi melunak pada upaya-upaya kekuasaan yang hendak melumpuhkan demokrasi. Bila Putusan MK bisa mereka anulir dalam waktu sekejap, bukan tidak mungkin undang-undang yang menjamin kebebasan pers, berpendapat, dan berekspresi, pelan-pelan dilucuti.

    Upaya menganulir putusan MK merupakan alarm bahaya bagi demokrasi Indonesia. DPR, lembaga yang seharusnya melindungi konstitusi justru mengabaikan putusan MK yang mengikat. “Sudah saatnya rakyat ikut bersuara,” kata Rekian, Bidang Advokasi AJI Kediri.

    Masyarakat, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, harus menyadari bahwa sudah saatnya menjaga tegaknya demokrasi. Di tengah kondisi melemahnya demokrasi, ini bukan saatnya untuk diam. [nm/suf]