Produk: UU ITE

  • Sidang Delpedro dkk Dimulai 16 Desember di PN Jakpus
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        10 Desember 2025

    Sidang Delpedro dkk Dimulai 16 Desember di PN Jakpus Megapolitan 10 Desember 2025

    Sidang Delpedro dkk Dimulai 16 Desember di PN Jakpus
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Terdakwa perkara UU ITE dan UU Perlindungan Anak dalam kasus demonstrasi Agustus 2024, Delpedro Marhaen Rismansyah, akan menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Jakarta pada 16 Desember 2025.
    Juru Bicara PN Jakarta Pusat, Sunoto mengatakan, jadwal sidang yang sama juga berlaku untuk tiga terdakwa lain dengan kasus yang sama, yakni Muzaffar Salim, Syahdan Husein, dan Khariq Anhar.
    “Benar bila PN Jakpus telah meregister perkara UU ITE dan UU Perlindungan Anak dalam kasus Demonstrasi Agustus 2025 atas nama terdakwa
    Delpedro
    , Muzaffar, Syahdan dan Khariq,” ujar Sunoto dalam keterangan tertulisnya pada Rabu (10/12/2025).
    Keempat terdakwa terregister dalam satu berkas, yaitu Perkara Nomor 742/Pid.Sus/2025/PN.Jkt.Pst.
    Sementara itu, majelis yang akan menyidangkan yaitu ketua Harika Nova Yeri SH MH dengan anggota H Sunoto SH MKn dan Dr Rosana Kesuma Hidayah SH MSi.
    Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat telah melimpahkan berkas perkara terdakwa dugaan penghasutan untuk melakukan tindakan anarkis dengan menggunakan sarana elektronik pada demonstrasi Agustus 2025, Delpedro Marhaen Rismansyah ke PN Jakarta Pusat, Senin (8/12/2025).
    Pelimpahan juga dilakukan terhadap tiga terdakwa lain untuk kasus yang sama, yakni Muzaffar Salim, Syahdan Husein dan Khariq Anhar.
    Masing-masing terdakwa didakwakan melanggar pasal 28 ayat (2) Jo pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
    Atau pasal Pasal 28 ayat (3) Jo Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
    Atau pasal 160 KUHP Jo pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 76H Jo Pasal 15 Jo Pasal 87 UU RI No 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU RI No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR Sebut Serangan di Medsos untuk Mereka adalah Ulah Buzzer Terorganisir

    DPR Sebut Serangan di Medsos untuk Mereka adalah Ulah Buzzer Terorganisir

    GELORA.CO – Wakil Ketua Komisi I DPR Sukamta menyoroti maraknya aktivitas pendengung (buzzer) yang dinilai kini telah berevolusi dari aktivitas individual menjadi sebuah industri yang dijalankan secara terorganisir.

    “Kami melihat bahwa fenomena buzzer di Indonesia ini telah berevolusi dari yang dulunya aktivitas individual, terus menjadi industri yang terorganisir dan seringkali dioperasikan oleh biro-biro komunikasi atau suatu agensi,” kata Sukamta dalam rapat kerja bersama Kemkomdigi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (8/12/2025).

    Sukamta mengungkapkan bahwa serangan terhadap lembaga legislatif di media sosial kembali meningkat dalam beberapa waktu terakhir, ditandai dengan berbagai tagar dan seruan yang menyerang DPR.

    Menurutnya, serangan tersebut digerakkan oleh robot dan buzzer sehingga perlu ada upaya penegakan hukum secara kolaboratif antar lembaga dan menyeluruh hingga menjangkau pihak di balik aktivitas buzzer.

    Sukamta menilai, buzzer politik memiliki peran signifikan dalam menggiring opini di media sosial melalui penggunaan tagar di platform tertentu agar mencapai topik populer (trending topic) maupun lewat narasi serta konten foto dan video.

    “Perkembangan industri buzzer ini menurut saya berkontribusi pada apa yang disebut sebagai pembusukan komunikasi politik, di mana narasi kebencian, hoaks, disinformasi diproduksi secara masif dengan target dan tujuan tertentu,” jelasnya.

    Persoalan buzzer dinilai bukan sebatas masalah etika di ruang digital, melainkan juga menyangkut kepentingan elit politik tertentu atau kepentingan komersial.

    Menurut Sukamta, meskipun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disusun untuk mengatur lalu lintas informasi di ruang digital, dalam praktiknya aturan tersebut kerap bergantung pada mekanisme delik aduan.

    Ketergantungan ini disebut membuat penindakan terhadap buzzer yang beroperasi secara terorganisir dan massal menjadi tidak efektif. Dia pun mendorong agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang ITE, agar konten dari buzzer yang berpotensi memicu kerusuhan dapat ditindak tanpa harus melalui delik aduan.

    Dalam kondisi tertentu yang sudah mengarah pada situasi darurat, proses penegakan hukum tidak bisa terus menunggu proses birokrasi yang panjang, termasuk menunggu adanya laporan untuk dapat menurunkan konten yang bersifat provokatif.

    “Saya kira penting untuk kita pikirkan apakah di Undang-Undang ITE, khusus untuk hal yang terkait dengan aktivitas buzzing yang destruktif dan terorganisir, itu bisa dilakukan penindakan yang dikecualikan dari delik aduan,” ucapnya.

  • Viral Jawab Jokowi Bukan Lulusan UGM, Roy Suryo Khawatir Pembuat AI LISA Bakal Jadi Tersangka

    Viral Jawab Jokowi Bukan Lulusan UGM, Roy Suryo Khawatir Pembuat AI LISA Bakal Jadi Tersangka

    GELORA.CO – Praktisi telematika, Roy Suryo khawatir pembuat sistem Artificial Intelligence (AI) LISA di Universitas Gadjah Mada bisa menjadi tersangka selanjutnya di kasus ijazah Jokowi dan keabsahannya sebagai lulusan dari salah satu kampus tertua di Indonesia itu.

    LISA (Lean Intelligent Service Assistant) adalah sebuah perangkat artisial yang dikembangkan oleh UGM University Services, sebuah sistem layanan terpadu satu pintu berbasis daring (portal) dan luring (GIK UGM) untuk kebutuhan mahasiswa (akademik, kemahasiswaan, administrasi).

    Hal ini disampaikan Roy karena beredar video operasional LISA yang sempat ditanyakan tentang apakah Jokowi adalah alumni UGM. Hasilnya, LISA menjawab jika Joko Widodo yang pernah menjadi Presiden Republik Indonesia memang pernah kuliah di UGM di fakultas kehutanan, namun tidak lulus.

    “Apakah developer atau pembuat LISA sendiri sekarang sudah bisa dijadikan korban tersangka karena jawaban mesin AI LISA yang dibuatnya secara tegas menyatakan bahwa Jokowi tidak lulus UGM ?,” kata Roy dalam tulisannya yang diterima Holopis.com, Minggu (7/12/2025).

    Roy menyatakan bahwa data yang disampaikan LISA jelas merupakan hasil dari proyeksi database milik Universitas Gadjah Mada. Sebab seluruh informasi yang diolah oleh AI LISA diyakini bersumber dari Biro Transformasi Digital dan Direktorat Kemahasiswaan di UGM.

    “LISA secara teknis ini dikembangkan oleh unit internal UGM, dan hasil kerja sama dengan pihak ketiga yaitu Botika. Basis pengetahuan LISA dibangun dari data internal UGM tentang akademik, administrasi, informasi kampus, dan bila diperlukan, data eksternal dari internet,” jelasnya.

    Apalagi kata Roy, LISA tidak dirancang untuk kepentingan komersil, sehingga ia yakin sumber informasi yang dimiliki LISA murni berasal dari database yang dikelola oleh Universitas Gadjah Mada. Maka dari itu, Roy yang juga alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) Jurusan Ilmu Komunikasi dan Magister (S2) Ilmu Kesehatan Masyarakat di FK UGM tersebut menaruh keyakinan kuat bahwa informasi yang disampaikan LISA adalah valid, bahwa Joko Widodo yang pernah menjadi Presiden Republik Indonesia tersebut tidak pernah tercatat lulus dari kampus tersebut.

    Ia juga menyinggung soal kasus mesin LISA saat ini sedang tidak bisa digunakan karena sedang dilakukan perbaikan. Jika seandainya jawaban LISA berubah dari sebelumnya, dan menyatakan Jokowi memang lulusan UGM, namun faktanya tidak, jelas bola panasnya bisa menyasar ke pengembang platform AI tersebut, bahkan dapat berimplikasi ke hukum, yakni dugaan pelanggaran UU ITE.

    “Apakah memanipulasi data atau respon LISA agar jawaban berubah, atau menyebarkan ulang jawaban lama sebagai palsu atau dipalsukan?. Interpretasi itu melanggar UU ITE, khususnya Pasal 32 dan 35. Karena orang yang secara sengaja memodifikasi output atau hasil LISA (misalnya edit video, teks, metadata) sehingga menghasilkan informasi palsu atau berbeda dari aslinya, kemudian menyebarkannya sebagai ‘hasil resmi LISA’ jelas bisa termasuk manipulasi atau pemalsuan informasi elektronik sebagaimana dilarang di Pasal 32 dan-atau 35 UU ITE,” tutur Roy Suryo.

    Dengan demikian, berdasarkan informasi yang pernah disampaikan oleh mesin kecerdasan buatan milik UGM tersebut, serta hasil penelitian ilmiahnya tentang materi ijazah Joko Widodo bersama dengan dua koleganya, yakni Tifauziyah Tyassuma dan Rismon Hasiholan Sianipar, semakin memperkuat lagi bahwa Jokowi tidak pernah lulus UGM, dan ijazah S1 Fakultas Kehutanan adalah palsu.

    Kalau pun hasil kajian ilmiahnya salah, dan ternyata Jokowi benar-benar punya ijazah asli yang murni dikeluarkan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), maka Presiden Republik Indonesia ke 7 tersebut hanya tinggal menunjukkannya dengan bangga ijazah tersebut ke publik, sama halnya yang dilakukan sejumlah pejabat lainnya.

    “Kesimpulannya, kasus ijazah Jokowi yang secara teknis bisa dibuktikan 99,9% palsu ini memang makin kontroversisl dan memakan banyak korban. Semua terjadi karena ketidakjujuran dan ketidak negarawanan seseorang yang sebenarnya secara mudah tinggal menunjukkan saja buktinya, kalau memang ada yang asli, sebagaimana hakim MK Arsul Sani atau bahkan Barrack Obama dalam kasus ‘Birth Certificate’, tanpa repot membayar pengacara, relawan hingga preman,” pungkas Roy.

  • RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Didukung Masuk Prioritas Prolegnas 2026

    RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Didukung Masuk Prioritas Prolegnas 2026

    Surabaya (beritajatim.com) – Dorongan untuk segera menetapkan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) kembali menguat seiring meningkatnya eskalasi ancaman siber di Indonesia.

    Direktur Eksekutif Pusat Kajian Konstitusi, Perundang-undangan, dan HAM Universitas Negeri Surabaya, Hikam Hulwanullah, menegaskan bahwa keberadaan regulasi tersebut kini berada pada titik paling kritis.

    “RUU ini mengandung isu sangat sensitif, sehingga memang harus dirumuskan dengan ekstra hati-hati,” ujar Hikam saat menjadi narasumber dalam Dialog Literasi Keamanan Siber Jawa Timur 2025 bertema “Kesadaran Keamanan Digital: Urgensi Digital Resilience dalam Perspektif Civil Society” di Surabaya, Jumat (5/12/2025).

    Pembahasan Sejak 2014, Tersandera Perdebatan Publik

    Hikam menjelaskan bahwa RUU KKS bukanlah gagasan baru. RUU ini mulai masuk dalam perencanaan legislasi sejak 2014, namun pembahasannya berjalan lambat karena perdebatan panjang mengenai batas antara keamanan negara dan perlindungan privasi warga.

    Isu paling dominan yang mengemuka adalah kekhawatiran bahwa RUU tersebut berpotensi membuka ruang akses negara terhadap data digital masyarakat. “RUU KKS kerap dipertanyakan karena isu privasi, sehingga proses pembahasannya harus sangat cermat dan detail,” tegasnya.

    Namun dalam beberapa tahun terakhir, penyusunannya dinilai semakin matang, terutama dengan adanya pemisahan tegas antara ranah pertahanan siber dan keamanan siber—dua sektor yang sebelumnya sering tumpang tindih.

    Ancaman Siber Meningkat, Regulasi Masih Kosong

    Hikam menilai urgensi RUU KKS semakin kuat seiring meningkatnya serangan siber. “Kita tidak lagi berbicara potensi, tetapi realitas ancaman yang terus berlangsung setiap hari,” ujarnya.

    Data menunjukkan lonjakan signifikan serangan siber. Pada 2016 tercatat 135 juta serangan, dan pada tahun berikutnya meningkat menjadi lebih dari 205 juta. Indonesia bahkan pernah menjadi target terbesar kedua serangan Stuxnet. Serangan WannaCry juga sempat melumpuhkan RS Dharmais dan RS Harapan Kita. Kasus penyadapan intelijen Australia terhadap pejabat Indonesia menjadi bukti kelemahan sistem pertahanan informasi nasional.

    Kerugian ekonomi juga tidak kecil. Riset Daka Advisory mencatat potensi kerugian mencapai USD 43 miliar–582 miliar. Pada 2018 nilai ancaman ekonomi ditaksir mencapai USD 34,2 miliar atau Rp 483 triliun. Norton Symantec mencatat kerugian hingga USD 3,2 miliar pada 2017.

    Di sisi lain, Indonesia masih berada pada kondisi vacuum of norm karena minimnya regulasi komprehensif. Meski ada UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi, keduanya belum cukup untuk mengatur tata kelola keamanan siber secara nasional.

    RUU KKS Diproyeksikan Jadi Payung Hukum Keamanan Siber Nasional

    RUU KKS diharapkan menghadirkan kerangka hukum terpadu untuk menjaga integritas, ketersediaan, dan kerahasiaan informasi negara. Ruang lingkupnya mencakup:

    penguatan keamanan nasional berbasis siber,

    perlindungan Infrastruktur Informasi Vital (IIV),

    kewajiban audit keamanan,

    pelaporan insiden siber,

    pengaturan sanksi administratif dan pidana,

    pembentukan lembaga koordinatif keamanan siber.

    RUU ini juga mengadopsi standar global seperti NIST, ITU GCI, dan GDPR. Pendekatannya menekankan pencegahan melalui kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil.

    Meski demikian, Hikam mengingatkan pentingnya pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan. “Jika dalam implementasi terjadi pelanggaran atau kejanggalan, publik masih memiliki ruang untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kontrol demokratis,” tegasnya.

    Struktur RUU Dinilai Sudah Matang

    Hikam menyebutkan bahwa struktur RUU KKS telah memenuhi standar ideal, mulai dari ketentuan umum, pengaturan substansi, peralihan, hingga pidana. Ia menilai bahwa masuknya ketentuan sanksi menunjukkan bahwa naskah RUU ini berada pada tahap pembahasan lanjut.

    Ia juga mengajak agar pemerintah membuka ruang partisipasi publik lebih luas, mulai dari akademisi, pakar teknologi, masyarakat sipil, hingga industri. Tujuannya agar regulasi ini tidak hanya kuat secara substansi, tetapi juga proporsional terhadap hak warga negara.

    Diharapkan Masuk Prioritas Prolegnas 2026

    Hikam menegaskan bahwa kebutuhan pengesahan RUU KKS tidak bisa lagi ditunda. “Melihat eskalasi ancaman, potensi kerugian, dan kekosongan regulasi saat ini, RUU KKS termasuk regulasi yang paling penting dan mendesak untuk segera ditetapkan,” pungkasnya.

    Meski belum masuk Prolegnas 2025, ia berharap RUU KKS dapat menjadi agenda prioritas utama dalam Prolegnas 2026. (ted)

  • RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Didukung Masuk Prioritas Prolegnas 2026

    RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Didukung Masuk Prioritas Prolegnas 2026

    Surabaya (beritajatim.com) – Dorongan untuk segera menetapkan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) kembali menguat seiring meningkatnya eskalasi ancaman siber di Indonesia.

    Direktur Eksekutif Pusat Kajian Konstitusi, Perundang-undangan, dan HAM Universitas Negeri Surabaya, Hikam Hulwanullah, menegaskan bahwa keberadaan regulasi tersebut kini berada pada titik paling kritis.

    “RUU ini mengandung isu sangat sensitif, sehingga memang harus dirumuskan dengan ekstra hati-hati,” ujar Hikam saat menjadi narasumber dalam Dialog Literasi Keamanan Siber Jawa Timur 2025 bertema “Kesadaran Keamanan Digital: Urgensi Digital Resilience dalam Perspektif Civil Society” di Surabaya, Jumat (5/12/2025).

    Pembahasan Sejak 2014, Tersandera Perdebatan Publik

    Hikam menjelaskan bahwa RUU KKS bukanlah gagasan baru. RUU ini mulai masuk dalam perencanaan legislasi sejak 2014, namun pembahasannya berjalan lambat karena perdebatan panjang mengenai batas antara keamanan negara dan perlindungan privasi warga.

    Isu paling dominan yang mengemuka adalah kekhawatiran bahwa RUU tersebut berpotensi membuka ruang akses negara terhadap data digital masyarakat. “RUU KKS kerap dipertanyakan karena isu privasi, sehingga proses pembahasannya harus sangat cermat dan detail,” tegasnya.

    Namun dalam beberapa tahun terakhir, penyusunannya dinilai semakin matang, terutama dengan adanya pemisahan tegas antara ranah pertahanan siber dan keamanan siber—dua sektor yang sebelumnya sering tumpang tindih.

    Ancaman Siber Meningkat, Regulasi Masih Kosong

    Hikam menilai urgensi RUU KKS semakin kuat seiring meningkatnya serangan siber. “Kita tidak lagi berbicara potensi, tetapi realitas ancaman yang terus berlangsung setiap hari,” ujarnya.

    Data menunjukkan lonjakan signifikan serangan siber. Pada 2016 tercatat 135 juta serangan, dan pada tahun berikutnya meningkat menjadi lebih dari 205 juta. Indonesia bahkan pernah menjadi target terbesar kedua serangan Stuxnet. Serangan WannaCry juga sempat melumpuhkan RS Dharmais dan RS Harapan Kita. Kasus penyadapan intelijen Australia terhadap pejabat Indonesia menjadi bukti kelemahan sistem pertahanan informasi nasional.

    Kerugian ekonomi juga tidak kecil. Riset Daka Advisory mencatat potensi kerugian mencapai USD 43 miliar–582 miliar. Pada 2018 nilai ancaman ekonomi ditaksir mencapai USD 34,2 miliar atau Rp 483 triliun. Norton Symantec mencatat kerugian hingga USD 3,2 miliar pada 2017.

    Di sisi lain, Indonesia masih berada pada kondisi vacuum of norm karena minimnya regulasi komprehensif. Meski ada UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi, keduanya belum cukup untuk mengatur tata kelola keamanan siber secara nasional.

    RUU KKS Diproyeksikan Jadi Payung Hukum Keamanan Siber Nasional

    RUU KKS diharapkan menghadirkan kerangka hukum terpadu untuk menjaga integritas, ketersediaan, dan kerahasiaan informasi negara. Ruang lingkupnya mencakup:

    penguatan keamanan nasional berbasis siber,

    perlindungan Infrastruktur Informasi Vital (IIV),

    kewajiban audit keamanan,

    pelaporan insiden siber,

    pengaturan sanksi administratif dan pidana,

    pembentukan lembaga koordinatif keamanan siber.

    RUU ini juga mengadopsi standar global seperti NIST, ITU GCI, dan GDPR. Pendekatannya menekankan pencegahan melalui kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil.

    Meski demikian, Hikam mengingatkan pentingnya pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan. “Jika dalam implementasi terjadi pelanggaran atau kejanggalan, publik masih memiliki ruang untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kontrol demokratis,” tegasnya.

    Struktur RUU Dinilai Sudah Matang

    Hikam menyebutkan bahwa struktur RUU KKS telah memenuhi standar ideal, mulai dari ketentuan umum, pengaturan substansi, peralihan, hingga pidana. Ia menilai bahwa masuknya ketentuan sanksi menunjukkan bahwa naskah RUU ini berada pada tahap pembahasan lanjut.

    Ia juga mengajak agar pemerintah membuka ruang partisipasi publik lebih luas, mulai dari akademisi, pakar teknologi, masyarakat sipil, hingga industri. Tujuannya agar regulasi ini tidak hanya kuat secara substansi, tetapi juga proporsional terhadap hak warga negara.

    Diharapkan Masuk Prioritas Prolegnas 2026

    Hikam menegaskan bahwa kebutuhan pengesahan RUU KKS tidak bisa lagi ditunda. “Melihat eskalasi ancaman, potensi kerugian, dan kekosongan regulasi saat ini, RUU KKS termasuk regulasi yang paling penting dan mendesak untuk segera ditetapkan,” pungkasnya.

    Meski belum masuk Prolegnas 2025, ia berharap RUU KKS dapat menjadi agenda prioritas utama dalam Prolegnas 2026. (ted)

  • Polda Jabar Jemput Paksa Lisa Mariana di Kasus Video Asusila

    Polda Jabar Jemput Paksa Lisa Mariana di Kasus Video Asusila

    Bisnis.com, JAKARTA — Polda Jawa Barat telah melakukan penjemputan paksa terkait dengan selebgram Lisa Mariana di kasus video asusila.

    Kabid Humas Polda Jabar Kombes Hendra Rochmawan mengatakan upaya paksa ini dilakukan karena Lisa tidak mengindahkan panggilan penyidik sebanyak dua kali.

    “Pada hari ini kita telah melakukan upaya paksa penangkapan atas nama sodari LM,” ujar Hendra kepada wartawan, Kamis (4/12/2025).

    Dia menambahkan, Lisa telah menjadi tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana UU ITE terkait video asusila. Namun, Lisa dinilai tidak kooperatif dalam penyidikan perkara tersebut.

    Tujuan penjemputan paksa ini dilakukan agar Lisa bisa dimintai keterangan atas perkara yang menjeratnya 

    “Untuk saat ini, Lisa sudah ada di Polda, ya di Direktur Siber dan saat ini kita sedang melakukan proses untuk pemeriksaan yang bersangkutan,” imbuhnya.

    Adapun, Hendra menyatakan bahwa dirinya belum mengetahui Lisa perlu dilakukan penahanan atau tidak dalam perkara ini. Sebab, penahanan itu merupakan kewenangan penyidik.

    “Nanti untuk masalah penahanan akan kita berikan kepada penyidik ya, penilainya seperti apa,” pungkasnya.

  • Kuasa hukum harap polisi ungkap otak penyebar hoaks Jusuf Hamka

    Kuasa hukum harap polisi ungkap otak penyebar hoaks Jusuf Hamka

    Jakarta (ANTARA) – Tim kuasa hukum Mohammad Jusuf Hamka atau yang akrab disapa Babah Alun, yakni Mohamad Anwar & Associates berharap penyidik Polda Metro Jaya bekerja secara profesional dan transparan dalam mengungkap otak penyebar konten hoaks kliennya itu.

    “Di sinilah tugas polisi menggali potensi keterlibatan atau orang yang menyuruh melakukan. Kami minta untuk bisa dilakukan penyidikan secara serius dan juga bisa mengungkap modus terkait kejahatan ini,” kata Anggota tim kuasa hukum Jusuf Hamka, Mohamad Anwar dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Dia menjelaskan tersangka tidak bertindak sendirian dan menduga ada keterlibatan pihak lain sebagai pihak yang menyuruh tersangka untuk membuat dan menyebarkan konten hoaks Babah Alun beserta putrinya Fitria Yusuf yang seolah-olah berbaju tahanan kejaksaan dan dinarasikan terjerat kasus suap.

    “Pelaku ini kalau kita perhatikan, dia enggak ada kaitannya. Kenal juga enggak dengan Pak Haji (Jusuf Hamka), punya hubungan bisnis juga enggak, hubungan hukum juga enggak,” ujar Anwar.

    Anggota tim kuasa hukum Babah Alun lainnya, Sogi Baskara juga berharap penyidik Polda Metro Jaya secara profesional mengungkap kejahatan yang dilakukan para pelaku tersebut.

    “Babah Alun sangat dirugikan akibat konten hoaks yang dibuat dengan memanipulasi informasi elektronik atau deepfake ini, sebab dalam konten yang dibuat dan disebarkan, pelaku mengedit foto Babah Alun dan Fitria Yusuf seolah memakai baju tahanan kejaksaan karena dituduh melakukan suap, gratifikasi untuk konsesi tol Cawang-Pluit,” tutur Sogi.

    Dia mengungkapkan sejumlah inisial muncul dari tersangka pembuat dan penyebar konten hoaks. Inisial tersebut diduga merupakan pelaku utama dari konten hoaks Babah Alun dan sang putri Fitria Yusuf. Berdasarkan informasi, otak pelaku konten itu diduga berinisial APY, TO dan BHTO.

    Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah menangkap seorang TikToker yang membuat konten manipulasi informasi elektronik atau deepfake dengan menampilkan rekayasa visual seolah-olah Babah Alun bersama putrinya Fitria Yusuf sedang menggunakan pakaian tahanan dan dikaitkan dengan tuduhan korupsi, suap, dan gratifikasi.

    Faktanya, seluruh narasi tersebut tidak benar dan tidak pernah terjadi. Tim kuasa hukum menilai narasi tersebut merupakan bentuk manipulasi teknologi yang merugikan secara langsung kehormatan serta nama baik klien Babah Alun dan keluarga.

    Terduga pelaku ditangkap oleh penyidik Unit 2 Subdit 2 Direktorat Siber Polda Metro Jaya pada Kamis (27/11), setelah dilaporkan pada 18 Oktober 2025 dalam laporan polisi Nomor: STTLP/B/7474/X/2025/SPKT/Polda Metro Jaya.

    Dalam laporan tersebut, terlapor dikenakan Pasal 45A ayat (4) jo Pasal 27A UU ITE; Pasal 48 jo Pasal 32 UU ITE; Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 UU ITE; serta Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP mengenai pencemaran nama baik dan fitnah.

    Pewarta: Ilham Kausar
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Jual Surat Sakit Palsu Via Facebook, Dua Karyawan Swasta di Surabaya Didakwa di PN

    Jual Surat Sakit Palsu Via Facebook, Dua Karyawan Swasta di Surabaya Didakwa di PN

    Surabaya (beritajatim.com) – Dua warga Surabaya, Rendi Andika dan Rhesa Aditya Pratama, yang merupakan karyawan swasta, diadili di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya setelah didakwa membuat dan menjual surat keterangan dokter atau sakit palsu secara masif melalui media sosial, sebuah praktik kejahatan siber yang melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kedua terdakwa, yang masing-masing merupakan karyawan Shopee Rungkut dan admin marketing PT Seven Surabaya, menjalankan aksinya sejak awal tahun 2025.

    Dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ida Bagus Made Adi Suputra, perbuatan para terdakwa dimulai pada Januari 2025. Saat itu, Rendi mengunggah penawaran jasa pembuatan surat keterangan dokter melalui akun Facebook “Dika Gaming” di fitur marketplace.

    Jasa ilegal ini menarik perhatian saksi Okki Wijayanto yang kemudian memesan melalui WhatsApp dengan mengirimkan data diri, jenis sakit, dan jangka waktu istirahat yang diinginkan. Setelah transfer pembayaran sebesar Rp 60 ribu diterima, Rendi segera memberitahu Rhesa untuk membuat surat palsu tersebut.

    “Setelah menerima pesanan, Rendi memberitahu Rhesa untuk membuat surat tersebut. Rhesa melakukan editing dengan mencontoh logo, tanda tangan, dan stempel puskesmas yang dikirim Rendi menggunakan laptop Lenovo biru dan hp Redmi 10 2020 biru,” ujar Jaksa Bagus Made di ruang Garuda 1, PN Surabaya.

    Dari hasil editing yang dilakukan Rhesa, sambung Jaksa Kejari Tanjung Perak itu, kemudian dikirim Rendi dalam bentuk file gambar, Word, dan PDF, yang selanjutnya diteruskan ke Okki. “Kiriman itu berisi surat keterangan sakit palsu dari Puskesmas Sidoarjo dengan tanda tangan dr. Dania Mega Saputri tanggal 16 Januari 2025,” imbuh Made.

    Lebih lanjut, jaksa menguraikan bahwa perbuatan itu berulang kembali pada April 2025. Rendi kembali mengunggah penawaran yang sama di Facebook. Kali ini, dua saksi lainnya, Suhendro Prihantoro Nugroho dan Angelo Ericson Dethan, ikut tergiur atas postingan terdakwa Rendy.

    “Kedua saksi masing-masing memesan dengan membayar Rp 70 ribu. Keduanya juga menerima surat keterangan palsu, masing-masing dari Klinik dr. Roeslina Herawati dan Puskesmas Medaeng,” ungkap Made.

    Menurut Made, keduanya tidak hanya membuat surat dari puskesmas dan klinik, tetapi juga memalsukan surat keterangan dari National Hospital Surabaya dan RS Bhayangkara Polda Jatim, di mana seluruh dokumen palsu tersebut dikirim via WhatsApp.

    Dari bisnis ilegal ini, Rendi diketahui memperoleh keuntungan total Rp 3 juta. Sementara Rhesa, sebagai eksekutor editing digital, mendapatkan upah sebesar Rp 50 ribu per kali edit dokumen.

    Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat menggunakan Pasal 51 ayat (1) jo. Pasal 35 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 jo. UU Nomor 1 Tahun 2024, jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • Dugaan Pelanggaran UU ITE Ditemukan Nex Parabola di Wilayah Proyek BP Tangguh

    Dugaan Pelanggaran UU ITE Ditemukan Nex Parabola di Wilayah Proyek BP Tangguh

    Tindakan pemindahan konten siaran secara tanpa hak atau melawan hukum sangat merugikan iklim bisnis penyelenggaraan penyiaran berlangganan.

    Selain merugikan hak siar resmi, tindakan ini dapat mengancam keberlangsungan usaha penyiaran berlangganan dan mengganggu ekosistem industri penyiaran yang sehat.

    Contoh kasus yang pernah ditindak oleh Nex Parabola mengenai illegal access terjadi di Sukabumi, di mana penyelenggara penyiaran berlangganan lokal divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 2 tahun 8 bulan.

    Selain itu dalam kasus lain di provinsi Riau, pengadilan telah menjatuhkan vonis hukuman 4 tahun penjara untuk kasus serupa.

    Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa tindakan ilegal tersebut tidak bisa dibiarkan dan harus mendapatkan perhatian serius oleh aparat penegak hukum, demi menjaga keadilan dan keberlanjutan bisnis penyiaran yang berintegritas.

  • Lima Anggota DPRD Jember Laporkan Pengacara Perumahan ke Polisi

    Lima Anggota DPRD Jember Laporkan Pengacara Perumahan ke Polisi

    Jember (beritajatim.com) – Lima anggota DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, melaporkan Karuniawan Nurahmansyah, pengacara pengembang perumahan PT Rengganis Rayhan Wijaya, ke kepolisian resor setempat, Jumat (28/11/2025) petang.

    Lima anggota DPRD Jember itu adalah Ketua Komisi B Candra Ary Fianto, Ketua Komisi C Ardi Pujo Prabowo, Ketua Fraksi Partai Nasdem David Handoko Seto, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Ikbal Wilda Fardana, dan anggota Komisi B dari PPP Ahmad Ibnu Baqir.

    Mereka melaporkan pernyataan Karuniawan dalam sebuah video wawancara dengan wartawan berdurasi empat menit 43 detik yang beredar di media sosial WhatsApp, 14 November 2025.

    “Pengacara Rengganis menyampaikan bahwa kami tidak punya izin untuk sidak, tidak punya legalitas untuk sidak, dan yang paling parah, mengatakan kami seperti maling. Kalimat ini berarti penghinaan kepada kami sebagai anggota lembaga negara,” kata David, Sabtu (29/11/2025).

    Semua berawal saat Komisi B dan Komisi C DPRD Jember melakukan inspeksi dadakan terhadap saluran irigasi yang dikeluhkan masyarakat di Kelurahan Antirogo, Kecamatan Sumbersari, 14 November 2025.

    “Jadi kami sebenarnya tidak melakukan inspeksi ke perumahan. Yang Kami inspeksi adalah saluran air yang masih terdapat baku sawah di bawahnya berdasarkan pengaduan masyarakat,” kata David.

    Menurut David, para anggota DPRD Jember harus melewati perumahan PT Rengganis Rayhan Wijaya, karena tidak ada jalan lain untuk menuju lokasi inspeksi. “Pasca inspeksi itu ternyata ada pihak yang sensitif, katanya dari Reganis,” katanya.

    Pernyataan dalam Video
    Dalam video yang diterima Beritajatim.com, Karuniawan mengatakan, saluran irigasi yang dipersoalkan terletak di luar peta kawasan perumahan. “Bukan tanggung jawab kami lagi. Seharusnya petani datang ke dinas terkait yang berhubungan dengan aliran irigasi. Salah kalau mereka komplain kepada kami,” katanya.

    Apalagi, menurut Karuniawan, saluran irigasi itu sudah tersumbat selama enam tahun. “Selama enam tahun ke mana saja mereka? Toh tidak ada aduan apa-apa. Tanyakan ke dinas terkait. Bukan kami,” katanya.

    Lebih lanjut Karuniawan mempertanyakan dasar Komisi B dan Komisi C mendatangi PT Rengganis. “Kalau mereka berdasarkan aduan masyarakat atau petani, seharusnya mereka datang membawa surat tugas. Cuma Direktur mengatakan kepada kami tidak ada surat tugas. Ini jadi hal yang sewenang-wenang,” katanya.

    Menurut Karuniawan dalam video itu, seharusnya DPRD Jember punya tata krama dan regulasi. “Kalau mereka datang ke sini tanpa dasar hukum yang jelas, mohon maaf sedikit kasar ngomongnya, itu ibarat masuk ke pekarangan orang (tanpa permisi), namanya maling,” katanya.

    David mengatakan, pihaknya sudah mencoba mengklarifikasi kepada PT Rengganis dan Karuniawan dengan melayangkan surat undangan rapat dengar pendapat umum yang dilaksanakan di gedung DPRD Jember, 17 November 2025.

    “Mereka tidak berani datang, dan tidak mau melakukan klarifikasi. Ya sudah, karena tidak ada niatan baik, tidak ada iktikad baik, kami laporkan itu ke kepolisian,” kata David.

    Penjelasan Karuniawan
    Dalam kesempatan terpisah, Karuniawan menyebut laporan ke polisi itu memperlihatkan ketidakpahaman sejumlah anggota DPRD Jember terhadap aspek legalitas dan ketidakmampuan menjawab kritik substansial.

    “Ini upaya membungkam advokat melalui jalur pidana. Saya tegaskan kembali bahwa advokat tidak tunduk pada tekanan politik. Advokat tidak bisa dibungkam. Advokat berdiri pada hukum,” kata Karuniawan.

    Karuniawan menyebut laporan tersebut tidak memiliki legal standing dan cacat prosedural secara hukum. Dia menegaskan dirinya tidak dapat dituntut atas tugas profesi sebagai advokat.

    “Pernyataan saya kepada wartawan adalah pendapat hukum. Dalam pasal 16 Undang-Undang Advokar jelas, bahwasanya advokat dilindungi undang-undang dalam menjalankan profesi,” kata Karuniawan.

    Karuniawan menyebut dua putusan Mahkamah Konstitusi yang membatasi objek pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik pada perseorangan. “Dengan demikian pemerintah, lembaga, dan korporasi tidak dapat menggunakan UU ITE untuk melaporkan pencemaran nama baik. Kritik terhadap pejabat publik tidak dapat dipidana,” katanya.

    Apalagi, lanjut Karuniawan, tak ada kerugian personal terhadap para anggota DPRD Jember ini. “Kritik saya bersifat kelembagaan bukan personal. Di dalam video tersebut saya tidak menyebutkan nama individu maupun perseorangan. Sehingga mereka tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk melaporkan saya sebagai advokat,” katanya.

    Karuniawan menegaskan bahwa dirinya berbicara soal prosedur sidak. “Saya menduga tidak ada persetujuan dan sepengetahuan dari pimpinan DPR. Saya juga mendapat laporan dari Direktur bahwa mereka tidak menunjukkan surat tugas,” katanya.

    Karuniawan juga merasa tak pernah menuduh anggota DPRD Jember maling. “Jelas kok bahwasanya di dalam video itu, saya berbicara perumpamaan, berbicara terkait ibarat. Ibarat orang masuk ke pekarangan orang lain itu maling. Itu adalah metafora hukum, bukan tuduhan personal,” katanya.

    Karuniawan menampik tuduhan bahwa dirinya takut menghadiri undangan rapat dengar pendapat di gedung DPRD Jember. “Saya bersurat resmi di hari (rapat dengar pendapat) itu juga. Kami dengan hormat menolak menghadiri RDP tersebut karena tidak sesuai dengan koridor hukum yang berlaku,” katanya. [wir]