Produk: UU ITE

  • MK Putuskan Pasal Pencemaran Nama Baik di UU ITE Tak Berlaku untuk Lembaga Pemerintah

    MK Putuskan Pasal Pencemaran Nama Baik di UU ITE Tak Berlaku untuk Lembaga Pemerintah

    – Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah substansi dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Yang diubah adalah frasa “orang lain” karena dinilai multi-tafsir.

    Pengubahan tersebut dilakukan MK usai mengabulkan sebagian permohonan Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Putusan dibacakan Selasa (29/4).

    Berikut bunyi pasal sebelum diubah:

    Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.

    Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024

    Setiap Orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

    Berikut pemaknaan frasa “orang lain” yang diputus MK: 

    … tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan.”

    Dengan demikian, pencemaran nama baik hanya bisa dilaporkan oleh perorangan atau individu. Sehingga tidak berlaku jika diarahkan kepada institusi atau lembaga pemerintah. 

    Hakim MK, Arief Hidayat menyebut, pada dasarnya kritik dalam kaitan Pasal 27A UU 1/2024 tersebut merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. 

    Sehingga untuk menerapkan Pasal 27A UU 1/2024 harus mengacu pada ketentuan Pasal 310 ayat (1) KUHP, yang mengatur mengenai pencemaran terhadap seseorang atau individu. Dengan kata lain, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan kepada orang perseorangan.

    Arief mengatakan antara Pasal 27A UU 1/2024 dengan Pasal 45 ayat (5) UU 1/2024 yang terkait dengan pelanggaran terhadap ketentuan larangan dalam Pasal 27A UU 1/2024 merupakan tindak pidana aduan (delik aduan) yang hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana atau orang yang dicemarkan nama baiknya. 

    Dalam hal ini, kata Arief, kendati badan hukum menjadi korban pencemaran maka ia tidak dapat menjadi pihak pengadu atau pelapor yang dilakukan melalui media elektronik. Sebab hanya individu yang dicemarkan nama baiknya yang dapat melaporkan kepada aparat penegak hukum.

    Atas hal ini agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa “orang lain” pada Pasal 27A UU 1/2024, MK menegaskan bahwa yang dimaksud frasa “orang lain” adalah individu atau perseorangan. 

    Oleh karenanya, dikecualikan dari ketentuan Pasal 27A UU 1/2024 jika yang menjadi korban pencemaran nama baik bukan individu atau perseorangan, melainkan lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas yang spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan.

    “Dengan demikian, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka terhadap Pasal 27A UU 1/2024 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa “orang lain” tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan,” ucap Hakim Konstitusi Arief.

    Kemudian, ada frasa lain yang dipertegas oleh hakim MK terkait pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 itu. Yakni terkait dengan frasa “suatu hal”. Sebab, dalam petitumnya, pemohon menilai frasa ini menimbulkan ketidakjelasan. 

    Menurut MK, frasa “suatu hal” berkaitan dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum. Norma tersebut mengatur tentang larangan perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan “menuduhkan suatu hal” melalui sistem elektronik.

    Untuk mencegah perluasan tafsir, menjamin kepastian hukum yang adil, dan mencegah penyalahgunaan hukum pidana sebagai instrumen pembungkaman kebebasan berekspresi, menurut MK, frasa “orang lain” harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan”.

    “Sementara itu, frasa “suatu hal” dalam norma Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 harus pula dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang”,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

  • MK Putuskan Penyebaran Hoaks Hanya Bisa Dipidana Jika Timbulkan Kerusuhan Fisik

    MK Putuskan Penyebaran Hoaks Hanya Bisa Dipidana Jika Timbulkan Kerusuhan Fisik

    GELORA.CO – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa penyebaran berita bohong atau hoaks melalui media digital hanya dapat diproses hukum jika menyebabkan kerusuhan nyata di ruang fisik, bukan di dunia maya.

    Penegasan ini disampaikan dalam sidang pembacaan Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Selasa (29/4/2025), menanggapi uji materi atas Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU ITE.

    Hakim Konstitusi Arsul Sani menyebut, definisi “kerusuhan” dalam pasal tersebut harus dimaknai sebagai gangguan terhadap ketertiban umum di ruang fisik.

    Artinya, keributan yang hanya terjadi di ruang digital atau dunia maya tidak bisa dijerat dengan pasal ini.

    “Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 sudah membatasi bahwa yang dimaksud kerusuhan adalah yang terjadi secara nyata di masyarakat, bukan di ruang digital,” ujar Arsul dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta.

    Permohonan uji materi ini diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar, yang merasa norma tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan membatasi kebebasan berekspresi.

    Namun Mahkamah menyatakan bahwa pemaknaan norma oleh pemohon hanya dikabulkan sebagian, karena penafsiran Mahkamah berbeda.

    MK menjelaskan bahwa Pasal 28 ayat (3) UU ITE adalah delik materiil, yang berarti unsur kerusuhan sebagai akibat nyata harus benar-benar terjadi secara fisik, sehingga penerapannya harus memenuhi asas lex certa, lex scripta, dan lex stricta dalam hukum pidana.

    Putusan ini juga sejalan dengan Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang sebelumnya menegaskan perlunya kepastian hukum dalam penerapan pasal-pasal pidana di ruang digital.

    “Dengan makna tersebut, aparat penegak hukum tidak bisa memproses seseorang hanya karena menyebarkan informasi yang memicu perdebatan di media sosial, selama tidak menyebabkan kekacauan fisik di masyarakat,” lanjut Arsul.

    Dalam amar putusan yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo, Mahkamah menyatakan bahwa istilah “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, kecuali dimaknai bahwa kerusuhan hanya mencakup kondisi di ruang fisik.

    Dengan demikian, MK juga menyatakan bahwa pengujian terhadap pasal lain seperti Pasal 310 ayat (3) KUHP, Pasal 45 ayat (7), dan 45 ayat (7) huruf a UU 1/2024 tidak beralasan menurut hukum.***.

  • MK Tegaskan Hoaks di Dunia Maya Bisa Dipidana jika Picu Kerusuhan Fisik

    MK Tegaskan Hoaks di Dunia Maya Bisa Dipidana jika Picu Kerusuhan Fisik

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) membuat penafsiran penting terkait Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

    Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa tindakan penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang memuat pemberitahuan bohong atau hoaks baru dapat dipidana jika terbukti menimbulkan kerusuhan di ruang fisik, bukan sekadar kegaduhan di ruang digital atau siber.

    Keputusan ini disampaikan dalam sidang pembacaan amar Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa. Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait uji materiil Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE.

    Dilansir dari Antara, Selasa (29/4/2025) MK menyatakan bahwa kata “kerusuhan” dalam kedua pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai “kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber.

    Pasal 28 ayat (3) UU ITE mengatur larangan penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahui memuat pemberitahuan bohong dan menimbulkan kerusuhan di masyarakat. Sementara itu, Pasal 45A ayat (3) UU ITE mengatur sanksi pidana bagi pelanggar Pasal 28 ayat (3) berupa pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

    Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menilai bahwa norma Pasal 28 ayat (3) UU ITE menimbulkan ketidakpastian hukum jika tidak dikaitkan dengan penjelasannya.

    MK menyoroti bahwa Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU ITE secara eksplisit menyatakan bahwa “kerusuhan” yang dimaksud adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan di ruang digital atau siber.

    Dengan adanya pembatasan makna “kerusuhan” oleh MK, aparat penegak hukum kini hanya dapat memproses hukum penyebaran berita bohong yang secara nyata menimbulkan keributan atau kerusuhan fisik di lingkungan masyarakat.

    Keributan atau kegaduhan di ruang siber akibat penyebaran hoaks tidak lagi secara otomatis dapat dijerat dengan pasal ini kecuali dapat dibuktikan adanya keterkaitan langsung yang menyebabkan kerusuhan fisik.

    Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam pembacaan pertimbangan Mahkamah menjelaskan bahwa pembatasan ini bertujuan agar penerapan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024, yang merupakan delik materiel (menekankan pada akibat perbuatan), memenuhi prinsip lex scripta (hukum harus tertulis), lex certa (hukum harus jelas), dan lex stricta (hukum harus ditafsirkan secara sempit).

    Permohonan uji materiil ini diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar, seorang jaksa sekaligus aktivis penegakan hukum dan birokrat.

    Dia mengajukan permohonan karena khawatir berpotensi dilaporkan ke polisi akibat aktivitasnya dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dan praktik penyelenggaraan pemerintahan.

    Putusan MK ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan melindungi kebebasan berpendapat di ruang digital sepanjang tidak secara langsung memicu kerusuhan fisik di masyarakat.

  • Kabulkan Sebagian Gugatan UU ITE, MK: Frasa Tanpa Hak untuk Melindungi HAM – Page 3

    Kabulkan Sebagian Gugatan UU ITE, MK: Frasa Tanpa Hak untuk Melindungi HAM – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materiil Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

    Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan terdapat frasa “tanpa hak” dalam norma Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) UU 1/2024 yang harus diberikan penjelasan lebih tegas. 

    “Pada hakikatnya norma tersebut mengatur perbuatan yang bersifat melawan hukum. Demi memberi perlindungan hukum terhadap setiap orang, berupa kehormatan atau martabat seseorang, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Artinya, unsur “tanpa hak” dalam norma tersebut untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) utamanya melindungi profesi seperti pers, peneliti, dan aparat penegak hukum dalam menjalankan aktivitas profesinya,” ujar Enny dalam pertimbangan hukumnya dalam sidang Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/4/2025).

    Hakim Enny menambahkan, dimuatnya unsur “tanpa hak” sejalan dengan praktik instrumen regional dan internasional dalam mengkriminalisasi hate speech atau xenophobic content.

    Sehingga frasa “tanpa hak”, lanjut Hakim Enny, harus dibaca sebagai perbuatan mendistribusikan dan bukan tentang siapa (pihak) yang berhak dan tidak berhak untuk melakukan tindakan hasutan kebencian sebagaimana yang didalilkan Pemohon.

    “Dengan demikian, frasa “tanpa hak” masih dibutuhkan dalam rumusan norma tersebut untuk melindungi orang-orang yang memiliki kepentingan hukum yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) UU 1/2024. Sebab, unsur “tanpa hak” bukan merupakan instrumen yang membatasi kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945,” jelas Hakim Enny.

     

  • Mahkamah Konstitusi Putuskan Batasan Kerusuhan dalam UU ITE, Ini Implikasinya – Halaman all

    Mahkamah Konstitusi Putuskan Batasan Kerusuhan dalam UU ITE, Ini Implikasinya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membatasi makna “kerusuhan” dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), menegaskan bahwa kerusuhan yang dapat dipidana hanya yang mengganggu ketertiban umum di dunia fisik, bukan di dunia maya. 

    Putusan ini memberikan perlindungan lebih kuat terhadap kebebasan berekspresi, terutama di ruang digital, dan mencegah kriminalisasi atas kritik yang bertujuan untuk kepentingan umum.

    Dalam Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Selasa (29/4/2025), MK menegaskan bahwa kritik yang disampaikan untuk kepentingan publik tidak dapat dipidana hanya karena menimbulkan perdebatan di ruang digital.

    Putusan ini mengabulkan sebagian permohonan dari Jovi Andrea Bachtiar, seorang jaksa yang menggugat sejumlah ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

    Salah satu keputusan penting dalam putusan tersebut adalah pembatasan makna “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE.

    “Kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam ruang sidang di Gedung MK, Jakarta.

    Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan dalam UU ITE mengenai kerusuhan yang mengganggu ketertiban di dunia maya bertentangan dengan prinsip negara hukum yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

    Kerusuhan yang Dapat Dipidana Hanya di Dunia Fisik

    Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan bahwa hukum tidak boleh digunakan untuk membungkam kritik terhadap penyelenggara negara, terutama kritik yang bertujuan menjaga akuntabilitas dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

    “Kerusuhan yang dimaksud dalam hukum pidana hanya berlaku untuk kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan di ruang digital atau dunia maya,” kata Suharto.

    Perlindungan Kebebasan Berpendapat di Dunia Digital

    Mahkamah juga mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak yang dilindungi oleh negara.

    Sebagai bagian dari negara hukum, hak warga negara untuk mengkritik penyelenggara pemerintahan demi kepentingan umum harus dilindungi, terutama di platform digital yang kini menjadi ruang utama untuk menyampaikan pendapat.

    MK menegaskan bahwa pemidanaan terhadap kritik di dunia maya dapat merusak prinsip demokrasi dan menimbulkan efek jera di kalangan masyarakat.

    Apa Implikasi Putusan MK Ini?

    Putusan ini memiliki implikasi yang signifikan bagi pelaksanaan hukum di Indonesia, terutama dalam konteks kebebasan berpendapat dan penggunaan media sosial.

    MK memutuskan untuk mempertegas bahwa penyebaran opini atau kritik di dunia maya, yang tidak mengganggu ketertiban fisik, tidak dapat dipidana. Hal ini juga membuka peluang bagi masyarakat untuk lebih bebas menyuarakan pendapat tanpa takut terjerat masalah hukum yang tidak berdasar.

  • 8
                    
                        MK Putuskan Pasal Menyerang Kehormatan di UU ITE Tak Berlaku untuk Pemerintah hingga Korporasi
                        Nasional

    8 MK Putuskan Pasal Menyerang Kehormatan di UU ITE Tak Berlaku untuk Pemerintah hingga Korporasi Nasional

    MK Putuskan Pasal Menyerang Kehormatan di UU ITE Tak Berlaku untuk Pemerintah hingga Korporasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (MK) memutuskan, pasal menyerang kehormatan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (
    UU ITE
    ) tidak berlaku untuk lembaga pemerintah, kelompok masyarakat, hingga korporasi.
    Dalam sidang putusan perkara nomor 105/PUUXXII/2024, Ketua MK Suhartoyo menyebutkan, frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 hanya diberlakukan untuk individu dan perseorangan.
    “Menyatakan frasa ‘orang lain’ dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6905) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Suhartoyo, Selasa (29/4/2025).
    “Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘kecuali lembaga pemerintahan, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan,’” imbuh dia.
    Ia melanjutkan, frasa “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu” dalam dua pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
    “Sepanjang tidak dimaknai ‘hanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum, yang menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan,’” ucap Suhartoyo.
    Dalam salah satu pendapat hukumnya, hakim MK Arief Hidayat mengatakan, dalam Pasal 27A yang dimaksud frasa “orang lain” adalah individu atau perseorangan.
    Oleh karena itu, dikecualikan dari ketentuan Pasal 27A UU ITE  apabila yang menjadi korban pencemaran nama baik bukan individu atau perseorangan, melainkan lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.
    “Walakin, pengecualian tersebut tidak menutup kemungkinan pihak yang dikecualikan mengajukan gugatan dengan menggunakan sarana hukum perdata,” kata Suhartoyo.
    Adapun gugatan ini dilayangkan oleh
    Daniel Frits Maurits Tangkilisan
    , seorang karyawan swasta dari Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
    Terdapat empat klausul hukum yang digugat oleh Daniel dalam UU ITE, yakni Pasal 27A, Pasal 45 ayat (4), Pasal 45 ayat (2), dan Pasal 28 ayat 2.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ahmad Dhani Dilaporkan Lagi ke MKD, Gerindra Ungkap Sudah Pernah Ingatkan Hati-hati Bicara – Halaman all

    Ahmad Dhani Dilaporkan Lagi ke MKD, Gerindra Ungkap Sudah Pernah Ingatkan Hati-hati Bicara – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra, Ahmad Muzani, mengungkapkan bahwa partainya sudah memberikan peringatan kepada anggota Komisi X DPR RI, Ahmad Dhani, terkait pernyataannya yang kontroversial. Muzani menyatakan bahwa Dhani sudah diingatkan untuk berhati-hati, terutama terkait hal-hal yang bisa menyinggung orang lain.

    Pernyataan ini disampaikan Muzani setelah Dhani kembali dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, terkait dugaan penghinaan terhadap marga Pono.

    Muzani menjelaskan bahwa Fraksi Gerindra di DPR memang sudah memberikan arahan kepada anggota-anggotanya untuk berhati-hati dalam mengungkapkan pernyataan, terutama yang berkaitan dengan isu sensitif yang bisa memicu ketersinggungan.

    “Dari sisi internal fraksi, Mas Dhani memang sudah diingatkan supaya ada beberapa hal, kita semua sudah diingatkan ada beberapa hal yang sensitif,” kata Muzani kepada awak media di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (25/4/2025).

    Menurut Muzani, ada wilayah-wilayah sensitif yang memang sebaiknya tidak dibahas, karena dapat menimbulkan konflik.

    “Sensitif itu artinya ada beberapa wilayah yang memang tidak perlu untuk disinggung. Karena itu berpotensi bisa menimbulkan ketersinggungan orang dan saya kira Mas Dhani memahami itu,” beber dia.

    Dia menambahkan bahwa Ahmad Dhani paham betul pentingnya menjaga perasaan orang lain, terutama dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR.

    Rayen Pono Laporkan Ahmad Dhani Ke MKD: Isu Penghinaan Marga

    AHMAD DHANI DIPOLISIKAN – Musisi Rayen Pono resmi melaporkan Ahmad Dhani terkait kasus diskriminasi ras dan etnis dan UU ITE di Bareskrim Mabes Polri, Rabu (23/4/2025). (Tribunnews.com/ Fauzi Alamsyah). (Tribunnews.com/ Fauzi Alamsyah)

    Sebagai informasi, Ahmad Dhani sebelumnya telah dua kali dilaporkan ke MKD DPR.

    Laporan pertama datang dari Komnas Perempuan terkait pernyataan Dhani yang dianggap menyinggung status janda. Kali ini, Dhani kembali dilaporkan ke MKD oleh musisi Rayen Pono.

    Rayen melaporkan Dhani atas dugaan penghinaan terhadap marga Pono yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), setelah Dhani menyebut nama Rayen sebagai “Rayen Porno” dalam sebuah debat.

    Rayen Pono, yang melaporkan Dhani bersama tim kuasa hukumnya pada Rabu (23/4/2025), menilai bahwa pernyataan Dhani mengandung unsur penghinaan terhadap marga Pono, yang merupakan bagian dari identitas budaya masyarakat NTT.

    “Ini bukan hanya soal saya pribadi. Penghinaan ini menyangkut banyak orang di NTT, yang juga menggunakan marga Pono. Kami merasa perlu untuk serius menanggapi hal ini,” ujar Rayen di Gedung DPR, Senayan.

    Rayen juga menegaskan bahwa laporan ini terkait dengan tanggung jawab Dhani sebagai wakil rakyat, bukan sekadar sebagai musisi. Sebagai anggota DPR, Dhani seharusnya lebih bijaksana dalam mengeluarkan pernyataan, terutama yang menyangkut keberagaman budaya Indonesia.

    Rayen berharap, laporan ini dapat menjadi pelajaran penting bagi seluruh anggota DPR, khususnya dalam hal etika dan tanggung jawab moral. Ia menekankan bahwa anggota DPR, yang mewakili rakyat, harus lebih bijaksana dalam menjaga martabat masyarakat yang diwakilinya.

    “Komisi X DPR yang membidangi seni, budaya, pendidikan, dan olahraga seharusnya paham betul tentang nilai-nilai budaya. Jika Mas Dhani bukan anggota DPR, mungkin ini tidak akan menjadi isu sebesar ini,” kata Rayen.

    Proses Verifikasi Laporan dan Tindak Lanjut

    Setelah berkas laporan diterima oleh MKD, proses verifikasi administrasi akan dilakukan. Rayen mengatakan bahwa dalam waktu 14 hari kerja, akan ada pemanggilan untuk klarifikasi dan audiensi dengan perwakilan dari MKD.

    Dengan adanya laporan ini, diharapkan akan muncul pemahaman yang lebih dalam tentang pentingnya menghormati keberagaman budaya dan menjaga etika dalam pernyataan publik, terutama bagi para pejabat publik yang memiliki pengaruh besar.

    Untuk update lebih lanjut tentang permasalahan Ahmad Dhani ini dan berita-berita terkini, kunjungi Tribunnews.com dan tetap ikuti kami untuk perkembangan lebih lanjut.

     

     

  • Bukti yang Diajukan JPU di Kasus Isa Zega Tidak Jelas

    Bukti yang Diajukan JPU di Kasus Isa Zega Tidak Jelas

    GELORA.CO –  Pakar Telekomunikasi dan Informatika (Telematika) atau ITE, Roy Suryo, dihadirkan oleh pengacara Isa Zega, Pitra Romadoni Nasution, sebagai ahli ITE dalam persidangan kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Shandy Purnamasari.

    Roy Suryo dimintai keterangannya sebagai ahli ITE pada persidangan yang digelar Rabu 23 April 2025, sekitar pukul 11.30 WIB di Pengadilan Negeri Kepanjen. Roy Suryo didengar pendapatnya terkait perkara ITE yang sedang berjalan di PN Kepanjen dengan terdakwa Isa Zega.

    Dalam persidangan, Roy Suryo dengan tegas dan jelas menyampaikan bahwa tuduhan pasal pencemaran nama baik haruslah jelas dan terang benderang. Tidak boleh ada plesetan dan kata-kata yang samar-samar, tidak jelas atau kabur. 

    Pasal 27 A UU ITE dan Pasal 27 B UU ITE menyebut, identitas spesifik orang yang diduga dicemarkan harus jelas dan terang, yang dibuktikan oleh KTP, KK, atau Akta Kelahirannya. Kalau dugaan pencemaran tersebut tidak sesuai dengan nama seseorang yang dibuktikan dengan identitas spesifiknya yaitu KTP dan legalitas lainnya, hal tersebut bukanlah tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang ITE.

    Dalam persidangan, setelah bukti-bukti pelapor diminta tim Kuasa Hukum Isa Zega, Pitra Romadoni Nasution, diperlihatkan semuanya oleh JPU, Roy Suryo menilai barang bukti yang diajukan pelapor tersebut tidaklah memenuhi syarat sebagai alat bukti yang kuat di persidangan.

    “Barang bukti, apalagi yang dijadikan alat bukti sekarang harus benar-benar jelas. Kalau itu disebut postingan, harus disertai link-nya,” ujar Roy Suryo, dikutip Kamis, 24 April 2025.

    Ia menambahkan, tangkapan layar atau screenshot dari video atau unggahan di media sosial tidak cukup kuat untuk dijadikan alat bukti di pengadilan.

    “Harus jelas alamat URL-nya. Kalau hanya screenshot atau foto copy-an, itu tidak masuk kriteria alat bukti. Sangat disayangkan jika hanya itu yang ditampilkan,” tegasnya.

    Setelah barang bukti yang diperlihatkan di persidangan tersebut tidak memiliki URL atau link tapi hanya dokumen ‘jpg’, Roy menilai unsur pencemaran nama baik yang dituduhkan terhadap Isa Zega adalah bukti yang tidak jelas dan diragukan. Atau tidak memenuhi unsur bukti yang kuat menurut hukum karena tidak disertai link setiap video atau screenshoot yang dijadikan dasar yang jelas sebagai bukti.

    Pengacara Isa Zega, Pitra Romadoni Nasution, juga menyampaikan hal yang sama dengan keterangan Roy Suryo. Pitra menyatakan, siapa yang bisa menjamin video tersebut diperoleh dari akun Instagram @zega_real kalau Link/URL-nya tidak ada. 

    “Bisa saja mereka comot-comot dari akun media sosial lainnya yang bukan milik Isa Zega tapi seolah-olah diambil dari Isa Zega, tentu itulah gunanya pembuktian ITE tersebut ada link atau URL dari video tersebut di mana didapatkan. Bukan hanya video saja ditunjukkan tapi tidak bisa dibuktikan URL atau link-nya didapat dari akun siapa dan media sosial apa?” paparnya

    Pitra menegaskan, itu adalah bukti yang obscuur dan tidak jelas, apalagi sumbernya sesuai berkas perkara handphone pelapor tidak disita. Adapun barang yang disita dan dijadikan barang bukti hanyalah flashdisk dan screenshoot tanpa bisa ditunjukkan masing-masing link video tersebut. 

    “ini sangat janggal sekali karena kita tidak tahu mereka dapat dari mana sumbernya kalau link/url video tersebut tidak ada,” tutur Pitra.

    Lanjut Pitra, dari keterangan saksi yang dihadirkan, rata-rata keterangannya asumsi dan pendapat. Ahli pidana yang mereka ajukan sudah tegas menyampaikan bahwa unsur pidana kasus tersebut tidak terpenuhi apabila tuduhannya tidak terang benderang dan tidak spesifik yang dibuktikan dengan KTP atau legalitas lainnya.

    “Apalagi tuduhan pemerasan tidak terbukti dilakukan oleh Isa Zega, karena semua saksi sudah diperiksa, tidak ada satupun yang menerangkan Isa Zega meminta uang kepada pelapor maupun menerima uang dari pelapor dalam kasus tersebut. Sehingga kami menilai perkara tersebut tidak jelas dan unsur pidananya tidak terpenuhi,” pungkasnya.

  • Ini Bukan Fitnah, Tapi Kajian Ilmiah

    Ini Bukan Fitnah, Tapi Kajian Ilmiah

    GELORA.CO – Empat tokoh dilaporkan ke polisi atas dugaan penghasutan soal ijazah Presiden Jokowi.

    Roy Suryo, salah satu nama yang disebut, membalas dengan penjelasan bernada akademik.

    Kasus dugaan ijazah palsu milik Presiden Joko Widodo kembali menyeret nama mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo.

    Ia menjadi satu dari empat orang yang dilaporkan ke Polres Metro Jakarta Pusat oleh Pemuda Patriot Nusantara atas tuduhan penghasutan yang dianggap menimbulkan kegaduhan publik.

    Laporan itu terdaftar dengan nomor LP/B/978/IV/2025/SPKT/POLRES METRO JAKPUS/POLDA METRO JAYA, dilayangkan pada Selasa (23/4) oleh Andi Kurniawan, Ketua Pemuda Patriot Nusantara.

    Empat nama yang dilaporkan selain Roy Suryo adalah ahli digital forensik Rismon Sianipar, Wakil Ketua TPUA Rizal Fadillah, serta dokter Tifauzia Tyassuma.

    “Yang dilaporkan itu ada mantan pejabat negara, seorang dokter, aktivis, dan seseorang yang mengaku ahli,” kata Rusdiansyah, kuasa hukum pelapor.

    Ia menyebut para terlapor dijerat Pasal 160 KUHP tentang penghasutan karena diduga menyebarkan narasi soal ijazah palsu Jokowi yang dinilai memicu kegaduhan.

    Namun saat dikonfirmasi PorosJakarta.com, Roy Suryo tak tinggal diam.

    Ia menegaskan bahwa yang ia sampaikan bukan tudingan liar, melainkan hasil riset ilmiah berbasis data.

    “Yang saya kemukakan adalah hasil kajian ilmiah dari ilmu pengetahuan, bukan fitnah. Saya bahkan melakukan penelitian primer terhadap naskah skripsi yang disebut-sebut milik Jokowi, langsung dari dokumen yang diberikan UGM pada 15 April lalu,” ujar Roy.

    Menurut Roy, meskipun dokumen skripsi sudah diperoleh, namun sampai hari ini, tidak pernah ada pihak independen yang benar-benar meneliti keaslian ijazah Jokowi secara langsung.

    “Ijazah itu hanya pernah ditunjukkan ke wartawan—tanpa boleh difoto—atau diposting oleh kader PSI. De facto, ijazahnya belum bisa diverifikasi publik secara menyeluruh sampai sekarang,” imbuhnya.

    Terkait namanya disebut dalam laporan, Roy memilih menunggu proses hukum berjalan.

    Ia berharap tidak ada pasal-pasal karet, terutama dalam UU ITE No. 1/2024, yang digunakan untuk membungkam kritik ilmiah dan demokratis.

    “Mari kita kawal proses ini bersama. Jangan ada kriminalisasi terhadap upaya pencarian kebenaran, apalagi dengan menggunakan pasal-pasal yang selama ini kerap dipakai untuk mempersekusi aktivis demokrasi,” pungkasnya.

    Sementara itu, pihak pelapor menegaskan laporan tersebut murni inisiatif warga negara dan tidak ada kaitan langsung dengan tim hukum Jokowi.

    “Ini delik umum, kami hanya menjalankan kewajiban sebagai warga negara,” kata Rusdiansyah. (*)

  • Buntut Dugaan Penghinaan Marga, Rayen Pono Polisikan Ahmad Dhani

    Buntut Dugaan Penghinaan Marga, Rayen Pono Polisikan Ahmad Dhani

    GELORA.CO – Musisi Rayen Pono mengambil langkah serius terkait dugaan penghinaan marga yang sempat dilakukan Ahmad Dhani pada saat momen panas terkait royalti.

    Dalam momen itu, Ahmad Dhani sempat memplesetkan nama Rayen Pono menjadi Rayen Porno melalui pesan singkat.

    Meski sudah meminta maaf, Rayen Pono tetap mengambil langkah serius lantaran harga diri keluarganya.

    “Jadi sudah memaafkan secara personal sebenarnya buat yang chat itu, tapi Dhani mengulang lagi pada saat diperdebatkan. Dia mengundang Rayen Pono dan keluarga gue marah besar,” ujar Rayen Pono di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (23/5/2025).

    Atas peristiwa itu, Rayen Pono pun berusaha untuk tetap menjaga harga diri keluarga besarnya. Salah satunya dengan melaporkan Ahmad Dhani ke polisi.

    “Gue bela temen-temen VISI bisa, tapi bela keluarga gue kok banyak berpikir, gitu loh. Jadi ada pertentangan moral gue sendirilah beberapa hari ini. Gue berpikir jadi akhirnya gue harus mengambil keputusan ini karena keluarga gue sudah segitu tersinggung dan marah,” bebernya.

    “Kalau kasus ini udah enggak ada urusan permintaan maaf sebenarnya, ya udah kita anggap melanggar hukum ada konsekuensinya udah itu ajalah,” sambungnya.

    Selain ke polisi, Rayen Pono juga menegaskan berencana melaporkan Ahmad Dhani ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan).

    “Selain ke Bareskrim gue juga bersama tim kuasa hukum akan ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan). Laporan kasus penghinaan dan UU ITE. Penghinaan marga, nama dan menyangkut penyalahgunaan UU ITE,” pungkasnya.