Produk: UU ITE

  • Nilai Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Mudah tapi Rumit, Pengamat Politik Sebut Kekuatan 60:40

    Nilai Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Mudah tapi Rumit, Pengamat Politik Sebut Kekuatan 60:40

    GELORA.CO – Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno menilai kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya mudah tapi rumit. 

    Menurut Adi Prayitno rumitnya kasus ii karena masalah politik dan hukum bercamppur baur.

    “Ini kawin silang yang saya kira tidak berkesudahan,” kata Adi dikutip dari tayangan Hot Room Metro TV pada Rabu (17/12/2025). 

    Adi lalu membeber empat tahapan yang bisa membuat masalah ini bisa tuntas.

    Tahapan pertama sudah dilakuka Universitas Gajah Mada (UGM) yang menyebut bahwa Jokowi lulusannya, alumnus Fakultas Kehutanan.

    “Tapi kan tidak dipercaya. Mestinya kalau memang UGM itu tidak dipercaya, gugat juga dong UGM-nya. Tunjukkan bukti-buktinya yang valid dan solid,” katanya. 

    Karena tidak percaya, maka tahap kedua yang mestinya cukup selesai adalah Jokowi sendiri.

    “Pak Jokowi tinggal menunjukkan ijazah aslinya. Selesai. Normalnya begitu. Tapi Pak Jokowi tidak mau menunjukkan dokumennya karena menganggap itu dokumen pribadi dan hanya ingin tunjukkan di pengadilan. Ini yang rumit,” katanya. 

    Karena belum tuntas, akhirnya masuk ke tahap ketiga, yakni pengadilan.

    “Sekarang sudah ada tersangka terkait ijazah ini. Maka satu-satunya pembuktian adalah jalur hukum. Tinggal nanti diadu data dan fakta antara pengacara Roy Suryo dan pengacara Pak Jokowi,” katanya. 

    Kalau ini terus gaduh, maka, menurut Adi ada langkah keempat yakni amnesti atau abolisi dari Presiden. 

    “Seperti yang sudah-sudah karena untuk menyelesaikan persoalan ini, menghentikan kegaduhan,”katanya. 

    Menurut Adi, melihat kasus sebelumnya amnesti dan abolisi alasannya untuk rekonsiliasi dan politis, serta menghentikan suasana kegaduhan dan kontroversi. 

    Namum, lanjutnya, itu paling ujung karena yang paling ditunggu oleh publik itu adalah soal siapa yang sebenarnya paling kuat antara kubu Roy Suryo atau Pak Jokowi terkait dengan adu ijazah. 

    Adi Prayitno melihat kecenderungan publik saat ini menginginkan untuk tidak ada perdamaian atau islah dan berharap ada yang kalah dan menang. 

    Ditanya tentang prediksi siapa yang akan memenangkan pertempuran ini. Adi menyebut fifty-fifty.

    “Itu artinya 60:40 versi Madura, Bang,” ujar Adi Prayitno sambil tertawa. 

    Analisis Mahfud MD

    Terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD menegaskan bahwa polemik tuduhan ijazah palsu terhadap Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) tidak dapat diselesaikan hanya melalui mekanisme gelar perkara di kepolisian.

    Menurutnya, kepastian hukum soal keaslian dokumen hanya dapat ditentukan melalui proses persidangan di pengadilan.

    Mahfud menekankan bahwa kewenangan menyatakan suatu ijazah asli atau palsu berada sepenuhnya di tangan hakim, melalui pembuktian yang terbuka, objektif, dan dapat diuji oleh semua pihak.

    Ia mengingatkan bahwa gelar perkara terkait tudingan ijazah Jokowi sebelumnya pernah dilakukan di Mabes Polri, menyusul laporan dari kelompok aktivis ulama.

    Saat itu, kepolisian memutuskan tidak melanjutkan laporan karena dokumen yang diperiksa dinilai “identik”.

    Namun, Mahfud menilai kesimpulan tersebut tidak menyelesaikan persoalan secara hukum.

    “Identik itu bukan berarti asli atau palsu. Itu hanya berarti mirip. Soal asli atau tidak, hanya hakim yang boleh memutuskan di pengadilan,” ujar Mahfud dalam wawancara di Channel YouTube Mahfud MD Official, Senin (15/12/2025) malam.

    Mahfud menyebut, gelar perkara khusus yang kini digelar di Polda Metro Jaya sah dilakukan.

    Meski begitu, apa pun hasilnya tidak serta-merta menutup peluang perkara untuk berlanjut ke tahap hukum berikutnya.

    Menurutnya, penilaian akhir tetap harus dilakukan melalui persidangan dengan mekanisme pembuktian yang transparan dan adil.

    Mahfud kemudian menguraikan dua jalur penyelesaian yang dinilainya paling proporsional.

    Pertama, setelah berkas perkara dilimpahkan, jaksa penuntut umum memiliki kewenangan untuk menilai kelengkapan alat bukti.

    Apabila dinilai belum memenuhi syarat, jaksa dapat mengembalikan berkas perkara melalui mekanisme P19, meminta penyidik melengkapi kekurangan, bahkan menghentikan perkara jika bukti dianggap tidak mencukupi.

    Kedua, jika jaksa memutuskan membawa perkara ke pengadilan, hakim wajib memerintahkan pembuktian substantif, termasuk pemeriksaan forensik terhadap ijazah yang dipersoalkan.

    “Hakim bisa meminta, mana ijazah aslinya. Tidak cukup hanya menyebut identik,” tegasnya.

    Mahfud juga menyoroti kekeliruan dalam memahami beban pembuktian hukum pidana. Ia menegaskan bahwa pembuktian tidak selalu dibebankan pada satu pihak saja.

    Menurutnya, apabila seseorang dituduh memfitnah karena menyebut ijazah palsu, sementara pihak yang dituduh memiliki dokumen asli, maka dokumen tersebut harus ditunjukkan.

    “Kalau orang dituduh memfitnah karena mengatakan ijazah itu palsu, sementara yang dituduh punya ijazah asli, ya tunjukkan. Kalau aslinya tidak pernah dihadirkan, itu juga problem hukum,” ujarnya.

    Dalam konteks pasal-pasal yang digunakan, Mahfud mengkritisi penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27A dan Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

    Ia menekankan bahwa seluruh unsur pidana harus dibuktikan secara ketat dan tidak boleh ditafsirkan sembarangan.

    “Keonaran menurut putusan MK itu harus keributan fisik yang nyata dan membahayakan, bukan sekadar opini di media sosial,” katanya.

    Mahfud mengingatkan bahwa penegakan hukum yang dipaksakan justru berpotensi melanggar hak asasi manusia dan merusak wibawa hukum itu sendiri.

    Ia menilai perkara ini memiliki dampak besar karena menyangkut masa depan praktik penegakan hukum di Indonesia.

    Terkait keterlibatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Mahfud menilai peran kampus tersebut sudah cukup jelas. UGM telah menyatakan bahwa Jokowi merupakan alumninya dan ijazah tersebut diterbitkan oleh institusi tersebut.

    “UGM tidak perlu diseret lebih jauh. Soal ijazah yang mana dan Jokowi yang mana, itu urusan pengadilan,” ujarnya.

    Mahfud menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya keberanian negara dalam menjunjung proses peradilan yang jujur dan terbuka.

    Jika tuduhan terbukti keliru, pihak yang menuduh harus siap menghadapi konsekuensi hukum.

    Sebaliknya, negara juga berkewajiban membuktikan setiap tuduhan secara sah dan meyakinkan.

    “Negara hukum harus berdiri di atas pembuktian, bukan asumsi. Biarkan pengadilan yang memutuskan,” pungkas Mahfud.

    Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi

    Sebelumnya, Polda Metro Jaya menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo.

    Para tersangka dibagi ke dalam dua klaster berdasarkan peran dan dugaan pelanggaran yang dilakukan.

    Klaster pertama terdiri atas lima tersangka, yakni: 

    Eggi Sudjana

    Kurnia Tri Rohyani

    M. Rizal Fadillah

    Rustam Effendi

    Damai Hari Lubis 

    Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan/atau Pasal 311 dan/atau Pasal 160 KUHP, serta Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) dan/atau Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

    Sementara itu, klaster kedua mencakup tiga tersangka, yakni: 

    Roy Suryo

    Rismon Sianipar (Ahli digital forensik)

    Tifauziah Tyassuma (dr. Tifa)

    Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, Pasal 32 Ayat (1) juncto Pasal 48 Ayat (1), Pasal 35 juncto Pasal 51 Ayat (1), Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4), serta Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) UU ITE.

    Kasus ini bermula dari laporan yang diajukan oleh organisasi Pemuda Patriot Nusantara pada April 2025, diikuti dengan laporan Jokowi dan sejumlah pihak. 

    Di sisi lain, gugatan perdata terkait ijazah di Pengadilan Negeri Solo dan Jakarta Pusat telah dinyatakan gugur atau tidak diterima karena pengadilan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, yang dinilai lebih tepat masuk ranah pidana atau Tata Usaha Negara.

    Pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) sendiri telah mengonfirmasi bahwa Jokowi adalah alumnus Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980 dan lulus pada tahun 1985.

  • Full Link Viral Botol Golda Durasi 19 Detik, Adegan Wanita Bikin Warganet Penasaran

    Full Link Viral Botol Golda Durasi 19 Detik, Adegan Wanita Bikin Warganet Penasaran

    GELORA.CO – Full link viral botol Golda dengan durasi 19 detik belakangan ramai diburu warganet di berbagai platform media sosial.

    Video yang diklaim menampilkan botol plastik minuman kopi Golda ini disebut-sebut mengandung cuplikan wanita dengan adegan tidak pantas dan langsung memicu kehebohan publik.

    Namun hingga kini, keberadaan link viral botol Golda yang asli belum pernah diverifikasi secara faktual.

    Tidak ada satu pun akun kredibel atau media tepercaya yang menampilkan cuplikan maupun detail isi video tersebut.

    Apa Itu Link Viral Botol Golda 19 Detik?

    Narasi yang beredar menyebutkan bahwa video berdurasi 19 detik tersebut hanyalah potongan dari versi yang lebih panjang. Klaim ini semakin memperbesar rasa penasaran warganet dan dimanfaatkan oleh sejumlah akun serta situs clickbait.

    Beberapa unggahan di media sosial bahkan menyebut istilah seperti “Season 4 botol Golda dengan 19 detiknya”, seolah-olah video tersebut benar-benar ada dan berlanjut ke versi lain.

    Faktanya hingga kini tidak ada bukti visual yang valid, tidak ada sumber resmi atau akun terverifikasi dan smua klaim masih sebatas storytelling warganet

    Artinya, informasi tentang link viral botol Golda 19 detik masih belum dapat dibuktikan kebenarannya.

    Waspada Link Palsu dan Malware

    Ahli keamanan digital mengingatkan bahwa pencarian link viral botol Golda justru berisiko tinggi.

    Banyak tautan yang mengatasnamakan “video full 19 detik” ternyata mengarah ke:

    – Situs berbahaya

    – Iklan berlebihan (spam ads)

    – Phishing dan pencurian data

    – Potensi malware yang merusak perangkat

    Alih-alih menemukan video, pengguna justru bisa mengalami kerugian digital.

    Risiko Hukum Jika Menyebarkan Video Asusila

    Selain risiko keamanan, penyebaran atau pencarian link viral botol Golda yang bermuatan asusila juga berpotensi melanggar hukum, antara lain:

    – UU ITE

    – UU Pornografi

    – Pedoman komunitas platform digital

    Membagikan atau menautkan konten semacam ini dapat berujung pada sanksi hukum maupun pemblokiran akun.

  • 7
                    
                        Anggota Polda Metro Akui Jadi Pelapor Demo Ricuh di DPR Atas Perintah Pimpinan
                        Megapolitan

    7 Anggota Polda Metro Akui Jadi Pelapor Demo Ricuh di DPR Atas Perintah Pimpinan Megapolitan

    Anggota Polda Metro Akui Jadi Pelapor Demo Ricuh di DPR Atas Perintah Pimpinan
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com —
    Seorang anggota Polri, Herryanto, mengaku menjadi pelapor aksi demonstrasi berujung ricuh di Gedung DPR RI pada 30 Agustus 2025.
    Pengakuan itu disampaikan dalam sidang kasus yang menjerat 21 terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025).
    Herryanto bertugas di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya. Ia menyebutkan, laporan dibuat atas perintah lisan dari atasannya karena demonstrasi yang berlangsung di Gedung DPR telah berujung anarkistis.
    Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanyakan dasar Herryanto membuat laporan polisi. Ia menjelaskan, bentuk laporan yang dibuat adalah Laporan Polisi Model A, yang dibuat petugas Polri terkait peristiwa pidana yang telah, sedang, atau akan terjadi.
    “Dasar saya membuat laporan polisi A,” kata Herryanto, dikutip dari
    Tribunnews.com.
    “Ada sprin (surat perintah) saudara?” tanya Jaksa.
    “Untuk sprin enggak ada, karena adanya kejadian yang rusuh, karena perintah yang jelas dari pimpinan (secara) lisan, saya sebagai anggota polisi yang diperintah oleh atasan untuk membuat laporan.”
    Mendengar jawaban itu, jaksa pun mencoba mengkonfirmasi ulang atas penjelasan yang diutarakan Harryanto tersebut.
    Ia meminta agar Herryanto menjelaskan maksud dari perintah lisan dari pimpinannya untuk membuat laporan terkait adanya demo rusuh tersebut.
    “Jadi untuk kerusuhan itu terjadi sekitar pukul 16.00. Karena saya memang berada di situ (Gedung DPR) dari pukul 14.00, pimpinan mengatakan, ‘kamu ada di situ, kan ini sudah terjadi peristiwa, kamu bikin laporan polisi A,’” ujarnya.
    Herryanto mengaku berada di halaman Gedung DPR sejak pukul 14.00, sementara kerusuhan mulai terjadi sekitar pukul 16.00 pada 30 Agustus 2025.
    “Sejak kapan saudara ada di posisi MPR DPR?,” cecar Jaksa.
    “Sejak pukul 14.00,” ucap Herryanto.
    “Kejadian mulai kapan?” tanya Jaksa memastikan.
    “Kejadian mulai rusuh pukul 16.00, 30 Agustus,” jelas Herryanto.
    Kuasa hukum salah satu terdakwa menanyakan apakah Herryanto melihat secara langsung terdakwa melakukan perusakan fasilitas umum atau menyerang petugas.
    Herryanto menjawab ia tidak melihat secara langsung keterlibatan para terdakwa karena jumlah massa yang terlibat sangat banyak.
    “Yang mana untuk pembuatan laporan polisi itu menurut saya karena sudah ada peristiwa tindak pidana kerusuhan, itu banyak massa yang melawan petugas dan juga menghiraukan himbauan petugas,” jelas Herryanto.
    “Jadi dasar itulah kami membuat laporan polisi atas perintah pimpinan, yang mana saya tidak melihat secara langsung perbuatan para terdakwa,” tambahnya.
    Delpedro dan tiga rekannya didakwa mengunggah 80 konten di media sosial yang bersifat menghasut terkait aksi Agustus 2025.
    “(Unggahan dilakukan) Dengan tujuan untuk menimbulkan kebencian kepada pemerintah pada aplikasi media sosial Instagram oleh para terdakwa,” ujar JPU dalam persidangan.
    JPU menyatakan unggahan dilakukan antara 24–29 Agustus 2025 dan bertujuan menimbulkan kebencian terhadap pemerintah serta kerusuhan di masyarakat.
    Konten diunggah melalui akun Instagram @gejayanmemanggil, @aliansimahasiswapenggugat, @blokpolitikpelajar, dan @lokataru_foundation yang dikelola terdakwa, menciptakan “efek jaringan” dan memudahkan algoritma media sosial mempromosikan konten tersebut.
    JPU juga menyebut bahwa konten itu mendorong pelajar, sebagian anak-anak, untuk meninggalkan sekolah dan berada di garis depan demonstrasi, sehingga menimbulkan kerusuhan, fasilitas umum rusak, aparat terluka, serta menimbulkan rasa tidak aman bagi masyarakat.
    “Termasuk instruksi untuk meninggalkan sekolah, menutupi identitas, dan menempatkan mereka di garis depan konfrontasi yang membahayakan jiwa anak,” ungkap JPU.
    Atas perbuatan tersebut, terdakwa didakwa melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto pasal 45A ayat (2) atau Pasal 28 ayat (3) juncto pasal 45A ayat (3) UU ITE, juncto pasal 55 KUHP, atau pasal 160 KUHP juncto pasal 55 KUHP, serta pasal 76H juncto pasal 87 UU Perlindungan Anak juncto pasal 55 KUHP.
    Setelah dakwaan dibacakan, Delpedro membacakan pernyataan pribadi yang mewakili diri dan ketiga terdakwa lainnya. Ia mempertanyakan apakah negara masih melindungi kebebasan berpendapat.
    “Apakah ia mampu membedakan antara kritik dan kejahatan? Antara perbedaan pendapat dan ancaman? Antara oposisi dan penghasutan? Kami bukan penghasut! Kami adalah warga negara yang menjalankan hak konstitusional kami,” ucap Delpedro.
    “Kami bukan penghasut! Kami adalah warga negara yang menjalankan hak konstitusional kami,” katanya.
    Delpedro menegaskan jika kebebasan menyampaikan pendapat dianggap penghasutan, demokrasi sedang diuji. Ia menambahkan, majelis hakim tidak hanya menafsirkan pasal, tetapi juga menjadi penjaga peradaban hukum.
    “Oleh karenanya, kami hendak menyampaikan dan mengingatkan, bahwa Yang Mulia tidak hanya sedang mengadili kami, tetapi mengadili masa depan kebebasan berpendapat di negeri ini,” kata Delpedro lagi.
    Ia mengatakan, pernyataan tersebut merupakan hasil perenungan yang ditulis selama berada dalam tahanan. Delpedro dan rekan-rekannya pun menyatakan akan mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan yang dibacakan JPU.
    Sidang kasus dugaan penghasutan ini dijadwalkan dilanjutkan pada 23 Desember 2025 pukul 09.00 WIB, dengan agenda eksepsi terdakwa.
    Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kesaksian Anggota Polda Metro, Akui Jadi Pelapor Aksi Demo Ricuh di DPR Karena Diperintah Pimpinan. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Keaslian Ijazah Jokowi Hanya Bisa Diputus Hakim, Bukan Polisi Atau Saat Gelar Perkara

    Keaslian Ijazah Jokowi Hanya Bisa Diputus Hakim, Bukan Polisi Atau Saat Gelar Perkara

    GELORA.CO  — Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD menegaskan polemik tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) tidak bisa diselesaikan hanya melalui gelar perkara di kepolisian.

    Menurut Mahfud, penentuan asli atau palsu suatu ijazah merupakan kewenangan mutlak pengadilan melalui pembuktian hukum yang fair dan terbuka.

    Mahfud menjelaskan, gelar perkara terkait tudingan ijazah Jokowi sebelumnya pernah dilakukan di Mabes Polri atas laporan kelompok aktivis ulama.

    Hasilnya, laporan tidak dilanjutkan karena ijazah yang dipersoalkan dinilai “identik”.

    Namun, keputusan itu tidak serta-merta menutup perkara.

    “Identik itu bukan berarti asli atau palsu. Itu hanya berarti mirip. Soal asli atau tidak, hanya hakim yang boleh memutuskan di pengadilan,” ujar Mahfud dalam wawancara di Channel YouTube Mahfud MD Official, Senin (15/12/2025) malam.

    Mahfud menilai, gelar perkara khusus yang kini dilakukan di Polda Metro Jaya sah-sah saja, tetapi apa pun hasilnya, perkara tetap dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya.

    Kapolrinya Saja Membangkang Putusan MK

    Penilaian akhir, kata Mahfud, harus dilakukan dalam proses persidangan dengan pembuktian yang dapat diuji semua pihak.

    Mahfud memaparkan dua jalur penyelesaian yang lebih adil.

    Pertama, setelah pelimpahan perkara, jaksa memiliki kewenangan menilai kelengkapan alat bukti.

    Jika dinilai belum cukup, jaksa dapat mengembalikan berkas (P19) dan meminta penyidik melengkapi, bahkan menghentikan perkara bila tak terpenuhi.

    Kedua, jika jaksa memilih melimpahkan perkara ke pengadilan, maka hakim wajib memerintahkan pembuktian substantif, termasuk pemeriksaan forensik terhadap ijazah yang dipersoalkan.

     “Hakim bisa meminta, mana ijazah aslinya. Tidak cukup hanya menyebut identik,” tegasnya.

    Mahfud juga mengkritisi pemahaman keliru soal beban pembuktian.

    Menurutnya, dalam hukum pidana, beban pembuktian tidak selalu sepihak.

    Jika seseorang dituduh memalsukan atau memfitnah, sementara pihak yang dituduh memiliki dokumen asli, maka dokumen itu harus ditunjukkan.

    “Kalau orang dituduh memfitnah karena mengatakan ijazah itu palsu, sementara yang dituduh punya ijazah asli, ya tunjukkan. Kalau aslinya tidak pernah dihadirkan, itu juga problem hukum,” ujarnya.

    Terkait pasal-pasal yang dikenakan, Mahfud menyoroti penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27A dan Pasal 28 UU ITE.

    Ia menegaskan, unsur pidana—termasuk pencemaran nama baik, hasutan, ujaran kebencian, hingga keonaran—harus dibuktikan secara ketat.

    “Keonaran menurut putusan MK itu harus keributan fisik yang nyata dan membahayakan, bukan sekadar opini di media sosial,” katanya.

    Mahfud mengingatkan agar penegakan hukum tidak dipaksakan karena berisiko melanggar hak asasi manusia dan merusak wibawa hukum.

    Ia menilai perkara ini bukan sekadar menyangkut individu, melainkan masa depan penegakan hukum di Indonesia.

    Soal peran Universitas Gadjah Mada (UGM), Mahfud berpandangan sudah cukup.

    UGM telah menyatakan Jokowi adalah alumninya dan ijazah tersebut dikeluarkan oleh UGM.

    “UGM tidak perlu diseret lebih jauh. Soal ijazah yang mana dan Jokowi yang mana, itu urusan pengadilan,” ujarnya.

    Mahfud menutup dengan menekankan pentingnya proses persidangan yang jujur dan berani.

    Jika terbukti salah, pihak yang menuduh harus siap menanggung konsekuensi hukum.

    Sebaliknya, negara juga wajib membuktikan tuduhan secara sah dan meyakinkan.

    “Negara hukum harus berdiri di atas pembuktian, bukan asumsi. Biarkan pengadilan yang memutuskan,” pungkas Mahfud.

  • Pembelaan Laras Faizati di Balik Unggahan Bakar Mabes Polri
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        16 Desember 2025

    Pembelaan Laras Faizati di Balik Unggahan Bakar Mabes Polri Megapolitan 16 Desember 2025

    Pembelaan Laras Faizati di Balik Unggahan Bakar Mabes Polri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Terdakwa kasus dugaan penghasutan demo anarkistis akhir Agustus 2025, Laras Faizati, menegaskan tidak memiliki niat menghasut massa lewat unggahan media sosialnya.
    Hal itu disampaikan Laras saat menjalani pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (15/12/2025).
    Ia mengakui sempat mengunggah sejumlah Instagram Story pada 29 Agustus 2025.
    Empat unggahan di antaranya kemudian dilaporkan karena dituding memprovokasi publik.
    Unggahan pertama berisi kiriman ulang video tewasnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang terjadi malam sebelumnya, Kamis (28/8/2025).
    Laras menambahkan kalimat bernada keras sebagai luapan emosinya terhadap aparat kepolisian.
    Menurut Laras, kalimat tersebut ditulis secara spontan karena kekecewaan dan kemarahan atas peristiwa yang terjadi.
    “Itu spontanitas kekecewaan dan kemarahan saya saja. Karena runtutan kejadian yang terjadi, dari mulai ya Affan Kurniawan dilindas, meninggal, dan juga ada video yang tersebar bahwa mobil tank tersebut kabur begitu saja tidak bertanggung jawab,” jelas Laras di persidangan.
    Unggahan kedua berisi kabar meninggalnya Affan yang disertai ucapan belasungkawa.
    Unggahan ketiga memperlihatkan foto Laras yang tersenyum sambil menunjuk Gedung Mabes Polri.
    Foto itu diambil dari kantornya di ASEAN Inter-Parliamentary Assembly.
    Laras mengatakan, ekspresi tersenyum yang berlawanan dengan kalimat keras dalam unggahan tersebut merupakan cara dirinya mengekspresikan kemarahan melalui sarkasme, gaya yang menurutnya lazim di kalangan Generasi Z.
    Ia menegaskan, kalimat ajakan membakar Gedung Mabes Polri sama sekali tidak dimaksudkan sebagai provokasi.
    “Saya memang tidak ada intensi untuk provokasi atau apa pun. Itu imej yang saya punya di Instagram dan kehidupan saya, yang silly dan fun kalau bahasa Inggrisnya. Jadi tidak ada keseriusan dalam postingan itu,” ungkap dia.
    Selain itu, Laras merasa tidak memiliki kemampuan menggerakkan massa.
    Saat itu, akun Instagram-nya hanya memiliki sekitar 3.900 pengikut, dengan penonton Instagram Story berkisar 300–500 orang.
    Pada unggahan keempat, Laras menyelipkan humor dalam kritiknya terhadap kepolisian.
    Salah satunya melalui kalimatnya, “Policemen should be serving our country but why do I serve harder than all of them combined.”
    Kalimat tersebut secara literatur berarti, “Polisi seharusnya mengabdi kepada negara, tetapi kenapa saya justru ‘mengabdi’ lebih keras dibandingkan mereka semua jika digabungkan.”
    Menurut Laras, kata serve memiliki makna ganda dalam slang Gen Z dan tidak dimaksudkan sebagai kritik literal soal pengabdian.
    “Saya merasa saya lagi cantik, pakaian saya bagus, rambut saya bagus. Jadi di sini sebenarnya saya lagi mendeskripsikan pakaian saya yang ‘I serve hard’ artinya ya pakaian saya lagi keren gitu di situ. Dicampurkan dengan unsur humor lah intinya,” jelas Laras.
    Meski mengakui kalimatnya keras, Laras menegaskan bahwa dirinya tidak membenci polisi.
    “Saya marah, iya. Tapi tidak seemosi untuk sampai saya sebenci itu sama polisi. Karena saya memang lagi marah sama kejadiannya (dilindasnya Affan Kurniawan oleh rantis Brimob), jadi saya tetap tersenyum dan tidak menunjukkan pose saya marah,” sambung dia.
    Di hadapan majelis hakim, Laras juga mengungkapkan rasa ketidakadilan atas ancaman hukuman yang ia hadapi, yang menurutnya lebih berat dibanding aparat yang ia kritik.
    “Selama ini saya selalu bangga menjadi warga negara Indonesia, tapi ketika saya buka suara untuk bela sungkawa, untuk marah, untuk boleh mengekspresikan kecewa saya, saya malah ada di sini,” tutur Laras sambil terisak.
    “Saya malah mendapatkan hukuman penjara yang lebih lama daripada oknum-oknum yang melindas Affan Kurniawan,” lanjutnya.
    Selain ancaman hukuman, Laras mengaku khawatir dengan keselamatan ibu dan adiknya. Ia menyebut telah mengalami doxing setelah ditangkap.
    Identitas pribadinya, mulai dari KTP, nama orang tua, hingga alamat rumah, disebarkan oleh pihak tak dikenal. Awak media juga mendatangi rumah keluarganya.
    “Saya juga khawatir akan masa depan saya, akan keamanan keluarga saya dan saya sendiri, karena saya sudah di-doxing, identitas saya di mana-mana,” tutur Laras.
    Sebagai anak muda yang masih aktif bekerja, Laras merasa penangkapannya telah merenggut hak-hak dasarnya.
    “Saya malah dipidanakan seperti ini, saya merasa hak saya sebagai manusia itu tidak ada karena ini semua. Saya harus kehilangan pekerjaan saya, saya harus kehilangan waktu saya sebagai anak muda, sebagai tulang punggung, harusnya saya bisa berkarya,” ungkapnya.
    Nama Laras termasuk dalam tiga tahanan yang direkomendasikan Komisi Reformasi Polri untuk segera dibebaskan.
    Anggota Komisi Reformasi Polri, Mahfud MD, menyampaikan rekomendasi itu setelah mendengar paparan tim kuasa hukum Laras.
    Mendengar hal tersebut, Laras menyampaikan terima kasih dan berharap rekomendasi itu menjadi pertimbangan majelis hakim.
    “Saya berterima kasih karena nama saya sudah di-mention oleh Bapak Mahfud MD. Semoga ini akan juga menjadi pertimbangan untuk keadilan saya juga,” kata Laras.
    Ia juga berharap rekomendasi serupa diberikan kepada tahanan lain dengan kasus sejenis.
    Jaksa Penuntut Umum mendakwa
    Laras Faizati
    telah menghasut publik untuk melakukan tindakan anarkistis dalam demonstrasi akhir Agustus 2025.
    Penghasutan tersebut disebut berangkat dari unggahan Laras terkait kematian Affan Kurniawan yang dilindas kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus 2025.
    Dalam salah satu unggahan, jaksa menilai Laras mengajak publik melakukan tindakan anarkis.
    “Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya adalah, ‘Ketika kantormu tepat disebelah Mabes Polri. Tolong bakar gedung ini dan tangkap mereka semua! Aku ingin sekali membantu melempar batu, tapi ibuku ingin aku pulang. Mengirim kekuatan untuk semua pengunjuk rasa!!’” kata jaksa.
    Jaksa juga mengaitkan unggahan tersebut dengan percobaan pembakaran fasilitas di sekitar SPBU Mabes Polri.
    Dalam perkara ini, Laras didakwa dengan empat pasal, termasuk pasal-pasal dalam UU ITE serta Pasal 160 dan 161 KUHP tentang penghasutan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jokowi Kamu Itu Jahat Banget

    Jokowi Kamu Itu Jahat Banget

    GELORA.CO  – Pakar telematika Roy Suryo mengaku kaget melihat laporan polisi (LP) yang ditampilkan Polda Metro Jaya saat gelar perkara khusus kasus dugaan fitnah ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi). 

    Dia baru mengetahui dalang di balik laporan dugaan ijazah palsu ini adalah Jokowi sendiri. 

    “Pertama adalah bahwa akhirnya kita ketahui, biang kerok, atau dalang dari semua ini adalah orang namanya Joko Widodo, karena selama ini dia selalu mengatakan, ‘saya tak melaporkan orang, saya tak melaporkan pasal, saya hanya melaporkan peristiwa’. Bohong,” kata Roy, Senin (15/12/2025) malam. 

    Roy menyebut, dalam LP yang ditunjukan Polda Metro Jaya, ada enam pasal dilaporkan oleh Jokowi. 

    “Jelas betul kita diperlihatkan LP atas nama Joko Widodo itu tertulis enam pasal itu dia yang melaporkan,” ujar Roy.

    Adapun enam pasal yang tertulis di LP yakni, Pasal 310 KUHP, Pasal 311 KUHP, Pasal  27 A UU ITE, Pasal 28 ayat (2) UU ITE, Pasal 32 dan Pasal 35.

    “Kalau kata Cinta kepada Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta, Jokowi kamu itu jahat, itu jahat banget,” kata Roy.

    Dalam gelar perkara tersebut, Polda Metro Jaya memperlihatkan langsung ijazah asli Jokowi versi kepada Roy Suryo. Namun, dia masih meyakini itu adalah barang palsu.

  • Rizal Fadillah: Laporan Jokowi di Polda Metro Jaya Sejatinya Sudah Hangus

    Rizal Fadillah: Laporan Jokowi di Polda Metro Jaya Sejatinya Sudah Hangus

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pemerhati Politik dan Kebangsaan, Rizal Fadillah, menyebut laporan Presiden ke-7, Jokowi, terkait dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan dalam polemik ijazah palsu sejatinya telah gugur demi hukum.

    Rizal yang juga merupakan salah satu dari delapan tersangka dalam kasus tersebut mengatakan, laporan yang ditangani Polda Metro Jaya sudah tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk dilanjutkan.

    “Berlarut-larut dan membuat publik jenuh. Laporan Jokowi sejatinya telah hangus,” ujar Rizal kepada fajar.co.id, Minggu (14/12/2025).

    Ia menyampaikan, pada Senin besok Polda Metro Jaya dijadwalkan menggelar gelar perkara khusus sebagai tindak lanjut atas keberatan terhadap penetapan delapan tersangka yang dinilai dilakukan secara sepihak.

    Meski meragukan obyektivitas, transparansi, dan kejujuran penyidik, Rizal menegaskan bahwa para tersangka bersama kuasa hukum tetap akan memanfaatkan forum tersebut untuk mempertanyakan lebih lanjut keabsahan dokumen ijazah Jokowi.

    Selain itu, mereka juga akan memaparkan apa yang disebutnya sebagai ketidakbenaran cara kerja penyidik dalam menangani laporan Jokowi dan pihak-pihak pendukungnya.

    Rizal menjelaskan, selain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang bersifat komplemen, laporan Jokowi sangat bergantung pada pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, khususnya Pasal 310 dan 311 tentang pencemaran nama baik serta Pasal 160 tentang penghasutan.

    Baginya, Jokowi merasa dihinakan, dicemarkan, dan difitnah, sementara sebagian tersangka dituduh melakukan penghasutan. Namun, pasal-pasal tersebut kini berada di ujung masa berlakunya.

  • Hukuman Diperberat, Nikita Mirzani Siap Ajukan Kasasi

    Hukuman Diperberat, Nikita Mirzani Siap Ajukan Kasasi

    Jakarta, Beritasatu.com – Artis Nikita Mirzani menyatakan siap mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung setelah majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menambah hukuman penjaranya dari 4 tahun menjadi 6 tahun. Hal ini diungkapkan kuasa hukumnya, Usman Lawara.

    Usman menyebut kliennya sangat kecewa atas putusan tersebut. Nikita merasa tidak melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

    “Kalau ditanya bagaimana sikap Nikita Mirzani atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pastinya dia kecewa ya. Wajar dia kecewa karena tidak melakukan tindak pidana pencucian uang TPPU, tetapi diputuskan melakukan TPPU. Maka Nikita pasti akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung,” ungkap Usman, mengutip kanal YouTube Intens Investigasi, Sabtu (13/12/2025).

    Usman menjelaskan pihaknya kini tengah menyusun draft pembelaan sebelum resmi mengajukan kasasi 

    “Senin (15/12/2025) kita akan ajukan kasasi, dan ini harus kasasi karena putusan ini sangat keliru apalagi pasal TPPU adalah pasal yang serius,” tegasnya. 

    Sebagai kuasa hukum Nikita, Usman menilai dimasukkannya pasal terkait pemerasan dan TPPU dalam putusan adalah langkah yang salah. 

    “Kalau dari proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selama 8 bulan kan jelas bahwa tidak ada fakta yang mengarah pada TPPU dan semua dilakukan atas dasar kesepakatan,” tambah Usman.

    Kuasa hukum Nikita itu juga menyoroti kejanggalan putusan yang hanya menghukum Nikita, sementara Reza Gladys sebagai pemberi uang tidak diperiksa dengan pasal yang sama.

    “Kenapa giliran dimasukkan pasal TPPU hanya Nikita saja yang dihukum, sementara RG sebagai pemberi uang yang dianggap suap tidak dihukum. Atas putusan ini, ke depan orang Indonesia enggak ada lagi yang mau bantu kalau ada orang yang bermasalah,” pungkas Usman. 

    Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Jakarta menambah hukuman Nikita setelah Nikita dan jaksa penuntut umum (JPU) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sama-sama mengajukan banding.

    Putusan yang dibacakan pada Selasa (6/12/2025) menyatakan Nikita bersalah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik melalui UU ITE. Selain itu, majelis hakim juga memasukkan pasal pemerasan dan TPPU, sehingga hukuman Nikita diperberat menjadi enam tahun.

  • Polda Metro Bakal Gelar Perkara Khusus Kasus Ijazah Jokowi Senin 15 Desember
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        13 Desember 2025

    Polda Metro Bakal Gelar Perkara Khusus Kasus Ijazah Jokowi Senin 15 Desember Megapolitan 13 Desember 2025

    Polda Metro Bakal Gelar Perkara Khusus Kasus Ijazah Jokowi Senin 15 Desember
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Polda Metro Jaya akan menggelar perkara khusus terkait kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo pada Senin (15/12/2025).
    Gelar perkara
    ini dilakukan atas permintaan tersangka
    Roy Suryo
    dan kawan-kawan.
    Kepala Bidang Humas
    Polda Metro Jaya
    Kombes Pol Budi Hermanto mengatakan, gelar perkara khusus tersebut dijadwalkan berlangsung sekitar pukul 10.00 WIB.
    “Diagendakan hari Senin, tanggal 15 Desember 2025 sekitar pukul 10.00 akan dilaksanakan gelar perkara khusus atas permintaan tersangka Roy Suryo dan kawan-kawan,” ujar Budi di Polda Metro Jaya, Sabtu (13/12/2025).
    Budi menjelaskan, gelar perkara khusus ini akan dihadiri oleh pihak internal maupun eksternal kepolisian.
    Dari internal Polri, antara lain Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum), Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), serta Divisi Hukum (Divkum).
    Sementara itu, dari pihak eksternal akan diundang sejumlah lembaga pengawas, seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Ombudsman RI.
    “Jadi hari Senin akan dilaksanakan gelar khusus, akan dihadiri pihak internal maupun eksternal. Sebagai contoh, dari Irwasum, dari Propam, Divkum, dan eksternal ada Kompolnas, Ombudsman, ini akan kita hadiri,” kata Budhi.
    Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus tudingan
    ijazah palsu
    Presiden
    Joko Widodo
    .
    Para tersangka tersebut dibagi ke dalam dua klaster berdasarkan peran dan jenis pelanggaran yang dilakukan.
    Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri mengatakan, penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik menggelar perkara dengan melibatkan sejumlah ahli.
    “Penetapan dilakukan dengan asistensi dan gelar perkara melibatkan ahli pidana, ITE, sosiologi hukum, dan bahasa. Itu yang kami minta keterangan sebagai ahli,” ujar Asep di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (7/11/2025).
    Menurut Asep, delapan tersangka tersebut diduga melakukan pencemaran nama baik, fitnah, dan manipulasi data sebagaimana laporan yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo.
    “Delapan tersangka pencemaran nama baik, fitnah, dan manipulasi data dilaporkan Bapak Joko Widodo,” kata Asep.
    Klaster pertama terdiri atas lima tersangka berinisial ES, KTR, MRF, RE, dan DHL.
    Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan/atau Pasal 311 dan/atau Pasal 160 KUHP, serta Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) dan/atau Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
    Sementara itu, klaster kedua mencakup tiga tersangka berinisial RS, RHS, dan TT.
    Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, Pasal 32 Ayat (1) juncto Pasal 48 Ayat (1), Pasal 35 juncto Pasal 51 Ayat (1), Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4), serta Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) UU ITE.
    “Klaster pertama dan kedua kami bedakan berdasarkan keterlibatan dan modus penyebaran informasi yang dilakukan,” ujar Asep.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dapat Penangguhan Penahanan, Dua Aktivis Walhi dan Kamisan Semarang Menikah di Madiun

    Dapat Penangguhan Penahanan, Dua Aktivis Walhi dan Kamisan Semarang Menikah di Madiun

    Madiun (beritajatim.com) – Pasangan aktivis lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM), Adetya Pramandira alias Dera dan Fathul Munif, resmi melangsungkan akad nikah di Dukuh Seloaji, Dusun Slaji, Desa Randualas, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, pada Kamis (11/12/2025). Momen sakral ini terlaksana setelah keduanya mendapatkan penangguhan penahanan terkait kasus hukum yang sedang berjalan di Polrestabes Semarang.

    Prosesi akad nikah yang digelar di kediaman keluarga mempelai perempuan tersebut berlangsung sederhana, tertib, dan khidmat mulai pukul 09.00 WIB. Acara ini dihadiri oleh keluarga besar kedua mempelai yang datang dari Madiun dan Semarang.

    Kasi Kesra Desa Randualas, Suratno, membenarkan bahwa seluruh rangkaian acara berjalan sesuai ketentuan tanpa hambatan teknis di lapangan.

    “Alhamdulillah semua proses lancar. Tidak ada kendala atau hambatan apa pun sejak persiapan hingga acara selesai,” ujar Suratno.

    Terkait status hukum kedua mempelai yang sempat menjadi sorotan publik, Suratno menegaskan bahwa pihak desa hanya berfokus pada kelancaran administrasi dan pelaksanaan hajatan warganya.

    “Untuk urusan hukum saya tidak tahu menahu. Kami hanya menangani pelaksanaan pernikahan di desa,” imbuhnya.

    Pernikahan ini menjadi perhatian khusus karena status Dera dan Munif yang saat ini tengah berhadapan dengan proses hukum. Seorang anggota keluarga yang enggan disebutkan namanya mengonfirmasi bahwa Dera dan Munif telah mendapatkan surat penangguhan penahanan, yang memungkinkan mereka untuk melaksanakan akad nikah secara sederhana di tengah proses penyidikan.

    Sebagai informasi, Dera merupakan staf advokasi Walhi Jawa Tengah, sementara Munif dikenal sebagai penggerak Aksi Kamisan di Semarang. Keduanya diproses hukum oleh Polrestabes Semarang atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait unggahan di media sosial saat momentum aksi massa Agustus 2025 lalu.

    Pasangan ini sebelumnya ditangkap di sebuah rumah kos di kawasan Tlogosari, Pedurungan, Semarang, pada 27 November 2025. Penahanan mereka memicu gelombang solidaritas dari berbagai elemen masyarakat sipil.

    Tercatat sedikitnya 200 orang, mulai dari tokoh agama, akademisi, hingga aktivis, mengajukan diri sebagai penjamin untuk permohonan penangguhan penahanan. Dua nama tokoh nasional yang turut menjadi penjamin adalah Alissa Wahid dan Inayah Wahid.

    Meskipun masih berstatus sebagai terlapor dalam kasus tersebut, akad nikah keduanya di Randualas berjalan tenang tanpa gangguan. Saksi keluarga hadir lengkap dan seluruh rangkaian acara ditutup dengan doa bersama, menandai resminya pasangan aktivis ini sebagai suami istri. [rbr/beq]