Produk: UU ITE

  • Revisi RUU Penyiaran, DPR Diminta Tiru Regulasi Model AS

    Revisi RUU Penyiaran, DPR Diminta Tiru Regulasi Model AS

    Jakarta, Beritasatu.com– Titik temu antara dua entitas besar, yakni platform digital dan penyiaran televisi konvensional, kini mengemuka dalam pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran. Konvergensi media menjadi isu sentral yang dinilai membutuhkan payung hukum yang tegas dan terintegrasi dalam satu regulasi nasional.

    Sejumlah pakar mendesak agar revisi UU Penyiaran mencantumkan secara eksplisit pasal-pasal yang mengatur konvergensi media. Hal ini menyusul tumbuh pesatnya platform digital seperti Google, Apple TV, YouTube, TikTok, dan layanan OTT (over the top), yang kini memiliki fungsi dan dampak serupa dengan lembaga penyiaran.

    “Platform digital tidak bisa terus dipisahkan dari penyiaran konvensional. Konvergensi sudah menjadi realitas, sehingga perlu diatur secara setara namun adil,” ujar pengamat komunikasi dan media Universitas Airlangga Surabaya,  Suko Widodo, kepada Beritasatu.com, Minggu (27/7/2025).

    Sebagai perbandingan, sambung Suko, di Amerika Serikat (AS), pengawasan atas seluruh bentuk penyiaran, baik digital maupun analog, dilakukan oleh Federal Communications Commission (FCC). Meskipun memiliki lembaga tunggal, regulasi di AS bersifat konvergen dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.

    “Amerika Serikat sejak lama menerapkan satu regulasi menyeluruh, yang mengakomodasi penyiaran televisi, radio, hingga platform digital berbasis internet. Hal ini memudahkan pengawasan, perizinan, hingga perlindungan konsumen,” lanjut Suko.

    Sementara itu, di Indonesia, dualisme regulasi masih terjadi. Televisi tunduk pada UU Penyiaran, sementara platform digital cenderung mengacu pada UU ITE dan aturan turunan dari Kementerian Komdigi Ketiadaan pasal yang jelas tentang konvergensi media dinilai membuka celah ketimpangan pengawasan dan potensi pelanggaran.

    Anggota Komisi I DPR RI, Nurul Arifin, yang membidangi urusan penyiaran, juga mengakui perlunya sinkronisasi aturan.

    Nurul Arifin menilai lembaga penyiaran dan platform digital adalah dua entitas berbeda yang memerlukan dua pendekatan regulasi berbeda pula.

    “Perlu ada undang-undang masing-masing, baik untuk perlindungan hak cipta maupun untuk menjaga eksistensi lembaga penyiaran agar tidak tergusur oleh platform digital,” kata Nurul.

    Diketahui, revisi UU Penyiaran saat ini sedang memasuki tahap tanggapan publik yang dilakukan Panitia Kerja (Panja). Salah satu poin krusial yang menjadi perhatian adalah bagaimana menjembatani kepentingan industri penyiaran lama dan media digital baru secara adil dan setara.

  • Jokowi Hadiri Reuni Fakultas Kehutanan UGM di Tengah Isu Ijazah Palsu

    Jokowi Hadiri Reuni Fakultas Kehutanan UGM di Tengah Isu Ijazah Palsu

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi), menghadiri acara reuni Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Sabtu (26/7/2025). Kehadiran Jokowi dikonfirmasi oleh ajudannya, Kompol Syarif Muhammad Fitriansyah, saat dihubungi Bisnis.com melalui pesan teks.

    “Yes, betul [hadir ke reuni Fakultas Kehutanan UGM,” ujar Syarif singkat saat dikonfirmasi mengenai keberangkatan Jokowi dari kediamannya menuju acara tersebut.

    Acara reuni ini berlangsung di tengah memanasnya isu mengenai dugaan ijazah palsu yang menyeret nama Jokowi. Isu tersebut kembali diangkat ke ruang publik oleh sejumlah pihak, termasuk Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), serta tokoh-tokoh seperti Rismon Sianipar, Roy Suryo, dan Dokter Tifauziya Tyassuma alias Dokter Tifa.

    Reuni ini menjadi sorotan publik bukan hanya karena kehadiran tokoh nasional seperti Jokowi, tetapi juga karena momentum yang bertepatan dengan menguatnya narasi yang mencoba mempertanyakan legitimasi akademiknya.

    Sejauh ini, terlapor dalam dugaan fitnah, penghasutan, pencemaran nama baik, dan pelanggaran UU ITE terkait tuduhan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) bertambah dari sebelumnya lima orang menjadi 12 orang.

    Menurut Jokowi, penambahan jumlah terlapor itu merupakan hasil penyelidikan di Polda Metro Jaya. Diketahui ada 12 orang terlapor dalam kasus tersebut, termasuk mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad.

    “Jadi yang saya laporkan adalah peristiwa, mengenai dugaan pencemaran nama baik dan fitnah. Jadi saya tidak melaporkan nama,” kata Jokowi dikutip dari Solopos, Sabtu (26/7/2025).

    Jokowi menjelaskan, atas laporannya, penyidik Polda Metro Jaya kemudian melakukan tindak lanjut. Dalam tindak lanjut tersebut muncul nama-nama 12 orang.

    “Kemudian ada tindak lanjut penyelidikan dari Polri dan muncul nama-nama itu. Jadi sekali lagi yang saya laporkan adalah peristiwa dugaan pencemaran nama baik dan fitnah,” urai dia.

    Terkait dengan masuknya nama eks Ketua KPK, Abraham Samad dalam daftar terlapor pada kasus tersebut, Jokowi menyatakan itu bukan berasal dari dirinya.

    “Bukan, itu karena proses penyelidikan di Polri,” kata dia.

    Sebelumnya, penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya memeriksa belasan orang saksi dalam kasus dugaan fitnah, penghasutan, pencemaran nama baik, dan pelanggaran UU ITE terkait tuduhan ijazah palsu Jokowi di Mapolresta Solo, Selasa-Rabu (22-23/7/2025).

    Belasan saksi itu diperiksa karena dianggap mengetahui kejadian ketika sejumlah orang dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis mendatangi kediaman Jokowi di Sumber, Banjarsari, Solo, pada April 2025.

    Jokowi juga turut hadir dan memberikan keterangan pada pemeriksaan di Mapolresta Solo itu pada Rabu. Itu merupakan kali kedua bagi Jokowi setelah sebelumnya menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya.

    Pemeriksaan kedua juga seharusnya dilakukan di Polda Metro Jaya namun karena suatu alasan Jokowi tak bisa hadir secara langsung. Hal itu sempat memunculkan spekulasi bahwa tidak hadirnya Jokowi dalam pemeriksaan itu karena sedang sakit.

    Hanya saja, kuasa hukum Jokowi, Yakup Hasibuan, membantah hal tersebut. Sedangkan alasan pemeriksaan Jokowi dilakukan di Mapolresta Solo, Rabu (23/7/2025), Yakup mengatakan karena kebetulan Polda Metro Jaya ada kegiatan pemeriksaan saksi pada hari itu.

    “Terkait pemelintiran bahwa Pak Jokowi sudah dipanggil tapi kok tidak hadir karena sakit. Itu dipelintir. Kami juga sudah bersurat secara resmi untuk meminta penundaan. Karena Pak Jokowi sudah ada agenda yang tidak bisa ditinggalkan,” jelasnya.

  • Terlapor Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi Bertambah jadi 12 Orang, Menyeret Eks Ketua KPK

    Terlapor Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi Bertambah jadi 12 Orang, Menyeret Eks Ketua KPK

    Bisnis.com, JAKARTA – Terlapor dalam dugaan fitnah, penghasutan, pencemaran nama baik, dan pelanggaran UU ITE terkait tuduhan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) bertambah dari sebelumnya lima orang menjadi 12 orang.

    Menurut Jokowi, penambahan jumlah terlapor itu merupakan hasil penyelidikan di Polda Metro Jaya. Diketahui ada 12 orang terlapor dalam kasus tersebut, termasuk mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad.

    “Jadi yang saya laporkan adalah peristiwa, mengenai dugaan pencemaran nama baik dan fitnah. Jadi saya tidak melaporkan nama,” kata Jokowi dikutip dari Solopos, Sabtu (26/7/2025).

    Jokowi menjelaskan, atas laporannya, penyidik Polda Metro Jaya kemudian melakukan tindak lanjut. Dalam tindak lanjut tersebut muncul nama-nama 12 orang.

    “Kemudian ada tindak lanjut penyelidikan dari Polri dan muncul nama-nama itu. Jadi sekali lagi yang saya laporkan adalah peristiwa dugaan pencemaran nama baik dan fitnah,” urai dia.

    Terkait dengan masuknya nama eks Ketua KPK, Abraham Samad dalam daftar terlapor pada kasus tersebut, Jokowi menyatakan itu bukan berasal dari dirinya.

    “Bukan, itu karena proses penyelidikan di Polri,” kata dia.

    Sebelumnya, penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya memeriksa belasan orang saksi dalam kasus dugaan fitnah, penghasutan, pencemaran nama baik, dan pelanggaran UU ITE terkait tuduhan ijazah palsu Jokowi di Mapolresta Solo, Selasa-Rabu (22-23/7/2025).

    Belasan saksi itu diperiksa karena dianggap mengetahui kejadian ketika sejumlah orang dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis mendatangi kediaman Jokowi di Sumber, Banjarsari, Solo, pada April 2025.

    Jokowi juga turut hadir dan memberikan keterangan pada pemeriksaan di Mapolresta Solo itu pada Rabu. Itu merupakan kali kedua bagi Jokowi setelah sebelumnya menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya.

    Pemeriksaan kedua juga seharusnya dilakukan di Polda Metro Jaya namun karena suatu alasan Jokowi tak bisa hadir secara langsung. Hal itu sempat memunculkan spekulasi bahwa tidak hadirnya Jokowi dalam pemeriksaan itu karena sedang sakit.

    Hanya saja, kuasa hukum Jokowi, Yakup Hasibuan, membantah hal tersebut. Sedangkan alasan pemeriksaan Jokowi dilakukan di Mapolresta Solo, Rabu (23/7/2025), Yakup mengatakan karena kebetulan Polda Metro Jaya ada kegiatan pemeriksaan saksi pada hari itu.

    “Terkait pemelintiran bahwa Pak Jokowi sudah dipanggil tapi kok tidak hadir karena sakit. Itu dipelintir. Kami juga sudah bersurat secara resmi untuk meminta penundaan. Karena Pak Jokowi sudah ada agenda yang tidak bisa ditinggalkan,” jelasnya.

  • Polisi Ungkap Akun LinkedIn Bodong, Modusnya Pakai Data Pribadi Orang dari SIM Card
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        25 Juli 2025

    Polisi Ungkap Akun LinkedIn Bodong, Modusnya Pakai Data Pribadi Orang dari SIM Card Megapolitan 25 Juli 2025

    Polisi Ungkap Akun LinkedIn Bodong, Modusnya Pakai Data Pribadi Orang dari SIM Card
    Tim Redaksi
    Polisi Ungkap Akun LinkedIn Bodong, Modusnya Pakai
    Data Pribadi
    Orang dari SIM Card
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Polda Metro Jaya
    mengungkap praktik jual beli kartu SIM yang sudah teregistrasi menggunakan
    data pribadi
    orang lain.
    Modus ini dimanfaatkan oleh empat pelaku berinisial IER, KK, F dan FRR untuk melakukan penipuan daring tanpa perlu menggunakan identitas aslinya.
    “Setelah kami selidiki, ditemukan (modus) adanya nomor telepon yang tidak sesuai dengan identitas di akun tersebut,” ujar Kasubdit III Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, AKBP Rafles Langgak Putra Marpaung, Jumat (25/7/2025).
    Kasus ini terbongkar setelah Direktorat Siber Polda Metro Jaya menerima laporan dari warga yang mengaku data pribadinya, termasuk foto, digunakan untuk membuat
    akun palsu
    di LinkedIn.
    Polisi kemudian menemukan bahwa data tiga orang berasal dari Banyumas, Kendal, dan Bogor telah disalahgunakan untuk registrasi kartu SIM yang digunakan oleh pelaku berinisial IER.
    “IER menggunakan data pribadi orang lain lewat SIM card yang sudah teregistrasi dengan NIK tiga korban. Dia beli dalam kondisi siap pakai untuk dipakai menipu masyarakat,” kata Rafles.
    IER kemudian menggunakan kartu itu untuk menipu masyarakat melalui platform daring.
    Polisi kemudian menangkap penjual kartu berinisial KK, pemilik konter di pusat perbelanjaan.
    Dari konter KK, polisi menyita 130 kartu XL dan 24 kartu Axis yang semuanya sudah teregistrasi.
    Namun, KK mengaku hanya menjual dan tidak melakukan pendaftaran kartu.
    Rantai distribusi terus ditelusuri. Polisi lalu menangkap F, sales kartu SIM dari PT M, yang menyebut kartu itu didapat dari sesama sales berinisial FRR.
    “FRR ini yang mendaftarkan sendiri kartu-kartu tersebut dengan data pribadi yang dia temukan di internet. Dia cari data NIK dan KK di Google, lalu registrasi ke SIM card,” kata Rafles.
    Atas perbuatannya, para pelaku dijerat dengan pasal berlapis, antara lain Pasal 51 ayat 1 UU ITE tentang manipulasi data otentik, serta Pasal 65 dan 67 UU Perlindungan Data Pribadi. Ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara dan denda hingga Rp12 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jokowi Bantah Polisikan Abraham Samad dan 11 Orang Lainnya soal Isu Ijazah Palsu – Page 3

    Jokowi Bantah Polisikan Abraham Samad dan 11 Orang Lainnya soal Isu Ijazah Palsu – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi buka suara terkait munculnya nama 12 orang sebagai terlapor dalam kasus tudingan ijazah palsu. Dari 12 nama tersebut terdapat mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad.

    “Begini, jadi yang saya laporkan itu peristiwa. Peristiwa mengenai dugaan pencemaran nama baik dan fitnah itu. Jadi saya tidak melaporkan nama,” ujar Jokowi kepada wartawan di kediaman pribadinya di Solo pada Jumat (25/7/2025).

    Dengan adanya laporan itu, lanjut Jokowi, pihak Polda Metro Jaya kemudian melakukan penyelidikan. Dari hasil penyelidikan penyidik itu lantas muncul 12 nama sebagai terlapor.

    “Jadi sekali lagi, yang saya laporkan peristiwa dugaan pencemaran nama baik dan fitnah,” Jokowi menegaskan.

    Jokowi membantah bahwa munculnya 12 nama, salah satu di antaranya mantan Ketua KPK Abraham Samad karena laporannya. Kata Jokowi, nama-nama itu muncul karena hasil penyelidikan kepolisian.

    “(Munculnya nama Abraham Samad dari Jokowi?) Bukan, itu karena proses penyelidikan yang ada Polri,” ucap Jokowi.

    Sebelumnya, Jokowi membuat laporan ke Polda Metro Jaya pada Rabu, 30 April 2025. Dalam laporannya, Jokowi menilai ada pernyataan yang ia anggap mencemarkan nama baiknya perihal tuduhan ijazah palsu.

    “Pada tanggal 26 Maret 2025, JW di sekitar Karet, Kuningan mulai mengetahui adanya video melalui medsos berisi pernyataan fitnah dan pencemaran nama baik dengan pernyataan ijazah palsu S1 universitas milik pelapor,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi kepada wartawan, Kamis (15/5/2025).

    Ade Ary menerangkan, JW kemudian meminta ajudan dan kuasa hukumnya untuk mengumpulkan bukti-bukti dari berbagai media sosial. Dia juga mengidentifikasi orang-orang yang ada di konten tersebut. Ade Ary menyebut antara lain RHS, RSN, TT, ES, dan KTR.

    “JW mengingatkan kepada pihak yang membuat pernyataan dan konten berisi fitnah dan pencemaran nama baik tersebut, sebagaimana yang dinyatakan di antaranya oleh RHS, RSN, TT, ES, KTR,” ujar Ade.

    Sejumlah terlapor kasus dugaan tindak pidana penghasutan, pencemaran nama baik, dan pelanggaran UU ITE terkait tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo memenuhi panggilan pemeriksaan Polda Metro Jaya pada Senin siang.

  • Kronologi kasus pengancaman terhadap Erika Carlina

    Kronologi kasus pengancaman terhadap Erika Carlina

    Jakarta (ANTARA) – Polda Metro Jaya mengungkapkan kronologi kasus pengancaman yang dialami aktris Erika Carlina yang dilaporkan pada Sabtu (19/7) pukul 01.13 WIB.

    “Pelapor selaku korban menerangkan korban mengetahui dari saksi atas nama B, dimana terlapor berinisial GS mengirimkan pesan melalui Whatsapp Grup yang isinya mengancam akan menghancurkan karir korban,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

    Ade Ary menambahkan terlapor GS juga ingin membuat berita bohong dengan menyebutkan bahwa anak dalam kandungan korban bukan anaknya.

    “Kemudian terlapor juga mengatakan bahwa korban seorang psikopat, selanjutnya di dalam grup Whatsapp tersebut terlapor juga mengirimkan data pribadi korban berikut foto USG milik Korban,” katanya.

    Ade Ary menyebutkan, korban telah memberikan sejumlah barang bukti yaitu dua buah rekaman layar grup WhatsApp dan percakapan grup WhatsApp.

    Kemudian untuk pasal yang dipersangkakan yaitu Perbuatan Yang Tidak Menyenangkan UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 dan atau Pasal 28 Ayat (2) Jo Pasal 45 UU ITE dan atau Pasal 65 Ayat (2) UU 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi.

    Aktris Erika Carlina Batlawa Soekri atau lebih dikenal dengan nama Erika Carlina menyebutkan alasannya menyambangi Subdit Remaja, Anak dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda Metro Jaya karena merasa diancam.

    “Aku cuman datang untuk melanjutkan proses hukum yang berjalan, ngasih bukti bukti juga pengancaman yang berbahaya untuk janin aku,” katanya usai ditemui di Polda Metro Jaya, Kamis (24/7).

    Erika menjelaskan kronologis pengancaman tersebut berawal dari dirinya yang menutupi kehamilannya sampai sembilan bulan kepada publik setelah munculnya ancaman dalam grup WhatsApp fanbase seorang Disk Jockey (DJ) bernama DJ Panda.

    Ia menjelaskan di dalam grup fanbase tersebut ada 500 orang dan dirinya diancam dengan berbagai berbagai ancaman yang dilontarkan dalam grup tersebut, termasuk yang dilakukan DJ Panda sendiri.

    “Bentuk ancamannya seperti penggiringan opini, ujaran kebencian, pengancaman bentuk dari apa ya, data pribadi juga. Data pribadi juga disebarluaskan. Itu semua asalnya dari dia (DJ Panda),” jelasnya.

    Pewarta: Ilham Kausar
    Editor: Alviansyah Pasaribu
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Polisi: DJ Panda Sebut Erika Carlina Psikopat dan Tak Akui Anaknya

    Polisi: DJ Panda Sebut Erika Carlina Psikopat dan Tak Akui Anaknya

    Jakarta, Beritasatu.com – Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengungkap isi pelaporan yang dilayangkan Erika Carlina (EC) terhadap Giovanni Surya Saputra atau DJ Panda.

    Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi memastikan, pelaporan yang dilayangkan oleh Erika Carlina terjadi pada Sabtu (19/6/2025).

    “Jadi, saat membuat laporan saudari EC sendiri. Dia datang ke sentra pelayanan kepolisian terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya,” kata Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi kepada wartawan, Jumat (25/7/2025).

    Ade Ary juga mengatakan, pada pelaporan yang dibuat oleh Erika Carlina disebutkan bahwa DJ Panda tidak mau mengakui apabila anak yang ada di kandungan Erika Carlina anaknya.

    “Terlapor (DJ Panda) mau membuat berita bohong dengan menyebutkan anak dalam kandungan korban (Erika Carlina) adalah bukan anaknya,” jelasnya lagi.

    Tidak itu saja, DJ Panda telah mengatakan kepada Erika Carlina adalah seorang psikopat.

    “Terlapor juga mengatakan bahwa korban seorang psikopat,” tambahnya.

    Ade Ary menambahkan, pada saat melaporkan DJ Panda, Erika Carlina membawa sejumlah bukti yang diduga mendapatkan pengancaman tersebut.

    “Buktinya ada beberapa, mulai dari bukti percakapan WhatsApp Group, kemudian data pribadi korban hingga foto USG anak yang masih dalam kandungan,” ungkapnya.

    Ia menyebut, atas pelaporan yang dilayangkan Erika Carlina tersebut maka ada sejumlah pasal yang siap diterima DJ Panda atas perbuatannya.

    “Saudara GSS disangkakan dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 335 KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan, UU ITE, hingga Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi,” tutupnya.

  • Nikita Mirzani Emosi Bertemu Reza Gladys pada Persidangan

    Nikita Mirzani Emosi Bertemu Reza Gladys pada Persidangan

    Jakarta, Beritasatu.com – Sidang lanjutan kasus dugaan pemerasan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan terdakwa artis Nikita Mirzani dan asistennya, Mail Syahputra, kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (24/7/2025). Dalam sidang yang akhirnya mempertemukan Nikita dengan dokter Reza Gladys tersebut, tatapan tajam Nikita terhadap Reza terlihat sejak persidangan dimulai.

    Situasi makin memanas ketika kuasa hukum Nikita Mirzani, Fahmi Bachmid, menyatakan keberatan atas kesaksian Reza yang dinilai berbeda dengan keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang telah ada sebelumnya, Nikita ikut melontarkan protes karena merasa pernyataan Reza tidak sesuai dengan isi BAP.

    “Di sini tidak ada! (mengacu pada BAP),” seru Nikita protes.

    Pantauan Beritasatu.com di lokasi, perdebatan berlanjut antara tim kuasa hukum Nikita dengan pihak jaksa penuntut umum dan Reza Gladys ketika Nikita mempertanyakan legalitas produk skincare milik Reza. Nikita mempertanyakan apakah produk tersebut telah terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atau tidak.

    “Masa BAP kayak gini bisa bikin saya jadi tersangka. Sakit hati saya!,” tegas Nikita.

    Setelah persidangan, kepada awak media, Nikita mengakui dirinya begitu emosi  ketika bertemu langsung dengan Reza Gladys dan suaminya. Ia merasa dirugikan akibat BAP yang dianggapnya tidak sesuai dan menyebabkan dirinya ditahan.

    “Emosi lah, gimana ya kalian lihat ini ya BAP Reza, suami dan para saksi. Saya pun baca dan ketawa di sini kenapa BAP ini bisa ditahan begitu lama. Apa penyebabnya? Tetapi enggak apa-apa ya sudah ini kan sudah berjalan dan  masuk ke saksi nanti. Yang pasti memang dia (Reza Gladys) bohong,” jelas Nikita.

    Sebelumnya, Nikita Mirzani bersama asistennya, Mail Syahputra, dilaporkan Reza Gladys atas sangkaan pemerasan dan pelanggaran tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dirinya didakwa melakukan pengancaman melalui sarana elektronik terhadap Reza Gladys. Keduanya juga dijerat atas tuduhan pencucian uang atas dana yang diterima dari korban.

    Jaksa Penuntut Umum mendakwa Nikita Mirzani dan Mail Syahputra dengan Pasal 45 ayat (10) huruf A dan Pasal 27B ayat (2) dari UU ITE, sebagaimana diubah dalam UU No 1 Tahun 2024, serta Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang, yang dikaitkan dengan Pasal 55 ayat (1) KUHP.

  • Data Bocor di Internet, Kemenkomdigi Bisa Disalahkan? Cek Faktanya!

    Data Bocor di Internet, Kemenkomdigi Bisa Disalahkan? Cek Faktanya!

    Jakarta, Beritasatu.com – Dalam beberapa tahun terakhir, publik Indonesia terus dikejutkan oleh berbagai kasus kebocoran data pribadi, mulai dari informasi pengguna kartu SIM hingga akses ke layanan digital milik pemerintah.

    Setiap insiden memicu pertanyaan besar di kalangan masyarakat, sejauh mana Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) bertanggung jawab terhadap pelanggaran tersebut?

    Sebagai penyelenggara sistem elektronik (PSE) sektor publik, Kemenkomdigi, yang sebelumnya dikenal sebagai Kemenkominfo, memiliki peran penting dalam sistem pengawasan data nasional. Namun, memahami batasan dan kewenangannya perlu merujuk pada dasar hukum yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

    Peran Kemenkomdigi dalam UU Perlindungan Data Pribadi

    Dalam Pasal 1 ayat 4 UU PDP, pemerintah, termasuk kementerian, diklasifikasikan sebagai pengendali data pribadi. Hal ini menandakan bahwa Kemenkomdigi wajib menerapkan prinsip-prinsip perlindungan data, termasuk menjaga kerahasiaan informasi pribadi dan memberikan pemberitahuan dalam waktu maksimal 3×24 jam apabila terjadi insiden kebocoran.

    Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, Kemenkomdigi maupun PSE terkait dapat dikenakan sanksi administratif, seperti teguran tertulis, penghentian sementara proses, pemutusan akses sistem, hingga denda administratif maksimal 2% dari pendapatan tahunan.

    Penanganan Kasus oleh Kemenkomdigi

    Berdasarkan data resmi, Kemenkomdigi telah menangani 94 kasus kebocoran data pribadi sejak 2019 hingga pertengahan 2023. Dari jumlah tersebut 62 kasus melibatkan PSE swasta, 32 kasus berkaitan dengan PSE pemerintah, 25 kasus telah memperoleh usulan perbaikan, dan 19 kasus mendapatkan teguran administratif resmi.

    Langkah-langkah tersebut menunjukkan Kemenkomdigi menjalankan peran administratifnya sesuai mandat regulasi. Namun, proses ini belum menyentuh aspek investigasi forensik atau penegakan hukum yang bersifat pidana.

    Jika akar penyebab kebocoran adalah serangan siber, kewenangan investigasi secara teknis tidak berada di tangan Kemenkomdigi. Tugas tersebut menjadi tanggung jawab Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

    Dalam struktur nasional, BSSN berwenang menangani insiden siber secara teknis, sementara Kemenkomdigi berperan sebagai pengelola sistem dan penyampai informasi publik, serta kepolisian dan kejaksaan menangani aspek hukum pidana dan perdata.

    Dengan demikian, peran Kemenkomdigi terbatas pada pemberian sanksi administratif dan penyampaian notifikasi kepada publik, bukan pada pemidanaan pelaku.

    Kemenkomdigi tidak memiliki kewenangan menetapkan sanksi pidana terhadap pelanggar data. Berdasarkan UU PDP dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019, kementerian hanya dapat memberikan teguran, melakukan pemblokiran sementara, menghentikan akses sistem, dan menyampaikan laporan ke publik.

    Sementara itu, penyidikan, penahanan, dan penuntutan hukum terhadap pelaku kebocoran, baik dalam aspek kriminal maupun perdata merupakan domain dari Polri, kejaksaan, atau pihak yang merasa dirugikan secara langsung. Landasan hukum yang digunakan termasuk Pasal 26 UU ITE dan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.

    Di samping UU PDP dan PP Nomor 71/2019, terdapat aturan tambahan, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

    Regulasi tersebut mewajibkan semua penyelenggara sistem, termasuk pemerintah, untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas. Namun, hingga pertengahan 2025, belum ada PP atau Perpres yang secara khusus mengatur mekanisme ganti rugi dan jalur penyelesaian sengketa bagi korban kebocoran data.

    Akibatnya, terjadi kekosongan hukum dalam implementasi hak-hak korban, yang membuat banyak kasus berakhir tanpa kepastian ganti rugi. Situasi ini mempertegas perlunya pembentukan lembaga perlindungan data pribadi yang independen, seperti yang disarankan dalam beleid UU PDP.

    Dalam konteks kebocoran data pribadi, penting dipahami Kemenkomdigi hanya memiliki fungsi administratif, bukan fungsi penegakan hukum. Tanggung jawab mereka mencakup edukasi dan sosialisasi perlindungan data, pemberian teguran administratif, pemblokiran sistem yang bermasalah, dan penyampaian informasi publik kepada masyarakat.

    Namun, penegakan hukum pidana, investigasi teknis mendalam, dan pengenaan ganti rugi berada di tangan lembaga lain, seperti BSSN, kepolisian, dan kejaksaan.

    Untuk menciptakan sistem yang adil dan akuntabel, regulator utama yang dibutuhkan ke depan adalah badan independen pelindung data pribadi yang memiliki wewenang penuh atas investigasi, penindakan, dan kompensasi. Hanya dengan kerangka hukum yang lengkap, hak atas privasi dan keamanan digital rakyat Indonesia dapat terlindungi secara menyeluruh.

  • Roy Suryo minta Polisi gelar perkara khusus soal ijazah palsu

    Roy Suryo minta Polisi gelar perkara khusus soal ijazah palsu

    Jakarta (ANTARA) – Roy Suryo meminta Polda Metro Jaya untuk menggelar perkara khusus terkait laporan tuduh ijazah palsu presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), menyusul peningkatan perkara itu dari penyelidikan ke tahap penyidikan.

    “Kami ingin menyampaikan permintaan atau permohonan untuk dilakukan gelar perkara khusus pada proses laporan saudara Joko Widodo di Polda Metro Jaya, mengingat telah meningkatkan penyelidikan ke penyidikan berdasarkan gelar perkara,” kata kuasa hukum Roy Suryo, Ahmad Khozinudin yang ditemui di depan Gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Senin.

    Ia menyebutkan gelar perkara yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya tidak melibatkan pihak yang berkepentingan, dalam hal ini adalah terlapor.

    “Ada pihak-pihak yang menjadi terlapor di klien kami dan klien kami tidak dilibatkan dalam proses gelar perkara khusus, namun Polda Metro Jaya secara sepihak kemudian meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan,” kata Ahmad.

    Ahmad juga menegaskan bahwa proses di Polda Metro Jaya tidak bisa ditingkatkan ke penyidikan sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memberikan deskripsi sahih tentang ijazah Joko Widodo.

    “Jadi, tidak cukup dengan ‘statement’ (pernyataan) dari UGM, tidak cukup ‘statement’ dari ‘lawyer’- nya, tidak cukup ‘statement’ bahkan dari Bareskrim Polri,” katanya.

    Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah menaikkan kasus laporan tuduhan ijazah palsu Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dari penyelidikan ke penyidikan.

    “Berdasarkan hasil gelar perkara tadi malam maka terhadap laporan polisi yang pertama pelapornya adalah saudara Insinyur HJW disimpulkan ditemukan dugaan peristiwa pidana sehingga perkaranya ditingkatkan ke tahap penyidikan,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Polisi Ade Ary Syam Indradi saat ditemui di Jakarta, Jumat (11/7).

    Kemudian untuk laporan dari sejumlah Polres yang telah ditarik oleh Polda Metro Jaya dalam hasil penyelidikannya ditemukan dugaan peristiwa pidana sehingga perkaranya dapat naik ke tahap penyidikan.

    “Jadi, ada dua peristiwa besar. Yang pertama pencemaran nama baik itu ada pelapornya naik ke penyidikan. Kelompok kedua, penghasutan dan UU ITE, tiga laporan naik penyidikan,” katanya.

    Pewarta: Ilham Kausar
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.