Produk: UU ITE

  • 5 Pemain Judol Sudah Mahir hingga Rugikan Bandar Malah Ditangkap, Dimas Budi Prasetyo: Mustahil yang Lapor Kang Bakso

    5 Pemain Judol Sudah Mahir hingga Rugikan Bandar Malah Ditangkap, Dimas Budi Prasetyo: Mustahil yang Lapor Kang Bakso

    Fajar.co.id, Jakarta — Ditangkapnya 5 orang pemain judi online (Judol) usai berhasil membuat bandar merugi kini jadi sorotan banyak pihak.

    Pasalnya, publik menilai, yang seharusnya ditangkap adalah bandarnya. Terlebih, pemain judol di Indonesia sangat terlalu banyak. Namun hanya lima orang tersebut yang ditangkap usai memahami sistem judol hingga selalu menang.

    Hal itu juga disorot oleh diaspora Indonesia yang kini bermukim di Belanda, Dimas Budi Prasetyo. Melalui unggahannya di akun media sosial Facebooknya, dia membahas kasus tersebut.

    “Wait, baca berita ini dahi saya langsung mengkeret, kepala mumet, tapi lanjut ngakak. Bentar, saya kasih kronologisnya dengan nulis sesingkat dan sepadat mungkin,” tulis Dimas, dikutip Rabu (6/8/2025)

    Pertama, kata Dimas, polisi menangkap 5 orang karena aktivitas jodi online. Mereka didakwa dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan itu, plus UU ITE. Ancaman 10 tahun, denda Rp10 Miliar.

    Kedua, ini yang unik. 5 orang ini agak lain. Di saat banyak orang main judol sampai rugi miliaran, mereka ini nggak. Mereka untung banyak, karena mereka bisa ngalahin para bandar dengan trik terus menggunakan akun baru.

    Kenapa akun baru? Karena akun baru, dalam algoritma permainan judol, meningkatkan peluang besar menang. 5 orang ini sudah paham sistemnya. Intinya, mereka adalah momok para bandar.

    “Ketiga, ini yang bikin saya bertanyea-tanyea. Dalam kasus ini, jelas yang dirugikan adalah bandar. Pirtinyiinnyi, siapa yang kemudian paling logis bikin laporan ke polisi dalam hal ini? Kang parkir, kang ojol, atau kang bakso? Nggak mungkin mereka to?, ” tanya Dimas.

  • Amnesti dan Abolisi, Tunduknya Hukum pada Politik?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        6 Agustus 2025

    Amnesti dan Abolisi, Tunduknya Hukum pada Politik? Nasional 6 Agustus 2025

    Amnesti dan Abolisi, Tunduknya Hukum pada Politik?
    Pengamat hukum pidana dan kebijakan publik

    TUHAN
    selalu berpihak dan memberikan jalan pada kebenaran, God works in the mysterious way, Tuhan bekerja dengan cara-cara yang tak terduga,” demikian perkataan Tom Lembong usai menerima abolisi, yang ditirukan oleh Anies Baswedan.
    Pemberian Amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Hasto Kristianto dan Abolisi kepada Tom Lembong mungkin boleh dikatakan sebagai akhir dari perjalanan kasus dugaan tindak pidana korupsi dengan segala nuansa politik yang berakhir antiklimaks.
    Dalam konteks ketatanegaraan, pemberian amnesti dan abolisi bukan merupakan keputusan Pemerintah, melainkan hak prerogatif presiden, sebagai konsekuesi logis dari kedudukan presiden sebagai kepala negara menurut Pasal 14 UUD 1945 yang diberikan dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
    Secara hukum, dengan diberikannya amnesti kepada Hasto Kristianto, maka semua akibat hukum pidananya dihapuskan. Sedangkan dengan diberikannya abolisi, proses hukum (penuntutan) terhadap Tom Lembong menjadi ditiadakan.
    Dibalik sukacita dari bebasnya kedua tokoh itu, ada sejumlah permasalahan hukum yang tersisa. Antara lain bagaimana nasib pelaku lainnya yang didakwa dengan penyertaan dan sudah usangnya UU Darurat No. 11/1954 tentang Amnesti dan Abolisi yang konteksnya waktu itu adalah kedaruratan akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.
    “Politiæ legibus, non leges politiis, adaptandæ”, demikianlah postulat yang artinya “politik harus disesuaikan dengan hukum, dan bukan hukum yang disesuaikan dengan politik.”
    Terkesan postulat ini bersifat idealis dan normatif. Namun, kenyataannya tidak selalu realistis dalam praktiknya.
    Postulat tersebut sejalan dengan pandangan dari Aji Wibowo yang pernah menyampaikan kepada penulis, “hukum memang merupakan produk politik, tapi hukum jangan dipolitisir”, baik dalam pembentukan maupun penegakannya.
    Dalam kondisi penegakan hukum yang belum ideal, memang tidak dapat disangkal menguatnya fenomena
    judicial caprice
    , yaitu ketidakpercayaan pada putusan pengadilan karena sulit diprediksi hasilnya dan dianggap jauh dari nilai-nilai hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
    Di sinilah ruang bagi presiden sebagai kepala negara untuk menghadirkan keseimbangan dengan cara memberikan pengampunan (
    presidential pardon
    ) dalam bentuk grasi, amnesti, abolisi, dan juga pemulihan harkat dan martabat seseorang melalui rehabilitasi.
    Dahulu mantan Presiden Jokowi juga pernah memberikan amnesti terhadap Baiq Nuril dan Saiful Mahdi yang terjerat UU ITE.
    Meskipun konteks amnesti dalam UU Darurat No. 11/1954 adalah untuk kejahatan politik, tapi keputusan tersebut mendapat dukungan luas, termasuk dari masyarakat sipil, sebagaimana postulat, “equum et bonum est lex legum”, apa yang baik dan adil itulah hukumnya.
    Namun demikian, tanpa parameter yang jelas, pemberian amnesti dan abolisi dapat bernuansa politis, menjustifikasi tuduhan politisasi hukum, dan juga dapat membuat impunitas, khususnya bagi korupsi sebagai tindak pidana khusus yang dianggap
    extraordinary crime
    , yang juga harus dilihat perspektif kepentingan umum.
    Sebagai perbandingan, sebenarnya ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf c UU Kejaksaan telah memungkinkan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
    Adapun yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas dengan memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
    UU No.1 Tahun 2023 (KUHP Baru) yang akan berlaku 3 Januari 2026 nanti telah membuka kemungkinan dari pengecualian dari hak Negara untuk memidana seseorang yang melakukan tindak pidana (
    ius puniendi
    ) berupa gugurnya kewenangan penuntutan dan gugurnya kewenangan pelaksanaan pidana.
    Dalam relevansinya dengan
    presidential pardon
    , Pasal 132 ayat (1) huruf h KUHP Baru telah mengatur bahwa dengan diberikannya amnesti atau abolisi, maka kewenangan penuntutan sebagai proses peradilan yang dimulai dari penyidikan menjadi gugur.
    Sedangkan, Pasal 140 KUHP Baru menyebutkan bahwa kewenangan pelaksanaan pidana dinyatakan gugur, jika terpidana mendapatkan grasi atau amnesti.
    Sederhananya, gugurnya kewenangan penuntutan itu dalam hal perkaranya belum berkekuatan hukum tetap. Sedangkan gugurnya pelaksanaan pidana adalah dalam hal perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga pelaksanaan sanksi pidana itu tidak perlu dijalani terpidana.
    Pertanyaan yang seringkali diajukan kepada penulis adalah dalam hal konteks apa amnesti atau abolisi dibedakan pemberiannya.
    Secara umum, penulis berpendapat pemberian amnesti yang menghapuskan akibat hukum pidana berarti peristiwa pidananya telah ada dan diasumsikan bahwa seseorang dianggap bersalah telah melakukan tindak pidana.
    Sebaliknya dalam abolisi, peristiwa pidananya sudah ada, tapi pemberi abolisi kemungkinan belum teryakinkan apakah seseorang benar-benar bersalah melakukan suatu tindak pidana, sehingga proses hukum dan penuntutannya dihentikan.
    Sebagaimana perkataan Paulus, seorang Yuris Romawi, “Deletio, oblivio vel exctinctio accusationis”, yang artinya “penghapusan, membuat dilupakan dan peniadaan tuduhan”.
    Tentu
    presidential pardon
    ini juga berbeda dengan alasan penghapus pidana, khususnya dalam kaitannya penyertaan tindak pidana (
    delneeming
    ).
    Dalam penyertaan, apabila salah satu pelaku dilepaskan dari tanggung jawab pidana karena adanya alasan pembenar, misalnya karena menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP), maka konsekuensinya pelaku lainnya juga harus dilepaskan. Namun tidak demikian halnya dengan alasan pemaaf.
    Dengan diberikannya abolisi kepada Tom Lembong memunculkan pertanyaan, bagaimana nasib para terdakwa lainnya yang didakwa dengan penyertaan?
    Penulis berpandangan, meskipun abolisi tidak berlaku bagi pelaku lainnya, maka akan menjadi suatu ketidakadilan jika pelaku yang merupakan pejabat negara dihentikan penuntutannya, tapi pelaku lainnya, misalnya, swasta masih tetap diproses, bahkan dihukum karena melakukan tindak pidana korupsi.
    Dengan dianutnya sistem pembagian kekuasaan (
    distribution of power
    ) yang merujuk pada konsep trias politica dari eksekutif, yudikatif dan legislatif, maka dapat dikatakan pembagian kekuasaan tersebut sama sekali tidak terpisah-pisah, melainkan saling melakukan fungsi kontrol pengawasan sesuai dengan prinsip
    checks and balances.
    Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi (GAAR) sebagai hak prerogatif presiden yang diberikan oleh konstitusi itu ibarat sebuah pedang bermata dua: bisa mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan. Sebaliknya, jika disalahgunakan justru dapat mendatangkan impunitas.
    Dalam perspektif negara hukum seharusnya perlu ada peraturan setingkat UU yang mengatur parameter yang jelas, objektif dan berkeadilan, sebagaimana langkah Pemerintah dalam menginisiasi naskah akademik dari RUU GAAR sejak tahun 2022 yang belum kunjung selesai.
    Untuk itu, agar pemberian GAAR tidak bernuansa politis dan mengakibatkan impunitas khususnya untuk tindak pidana korupsi, maka Pemerintah dan DPR harus segera merampungkan Rancangan UU Grasi Amnesti Abolisi dan Rehabilitasi terlebih dahulu, agar ada standar pengaturan yang lebih jelas, objektif, dan berkeadilan.
    Ikhtiar ini untuk mencegah pelaku kejahatan seolah-olah mendapatkan insentif untuk melakukan tindak pidana lagi, sebagaimana postulat
    Veniae facilitas incentivum est delinquendi
    , yang artinya kemudahan mendapatkan pengampunan merupakan insentif untuk melakukan kejahatan
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Republik Srimulat

    Republik Srimulat

    Republik Srimulat
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    LANGIT
    boleh kelabu, jalan boleh berlubang, tetapi tawa masih memantul dari dinding—seolah menolak retak.
    Di sudut-sudut kota, radio tua kadang memutar lakon
    Srimulat
    : ledakan guyon, jeda, tepuk tangan palsu yang terasa sungguh.
    Ironisnya, riuh gelak itu kini seperti gema republik—yang di panggungnya pemerintah bergincu, oposisi berkumis palsu, dan khalayak menanti lucu.
    Kita menatapnya, kadang malu, kadang maklum, sebab lelucon kerap lebih jujur daripada pidato kenegaraan.
    Negara selalu membutuhkan teater. Ia membangun set: gedung parlemen bergaya futuristik dengan cat yang terkelupas; baliho berisi janji yang diulang sampai pudar; konferensi pers yang mengkilap, namun kata-katanya serupa suara gamelan patah.
    Di panggung ini para aktor—menteri, juru bicara, influencer bersertifikat—menambahkan “selo” dan “cis” sebagai efek tertawa.
     
    Seperti di Srimulat, kejanggalan sengaja dipelihara: logika dibalik, kesalahan dilupakan, dan penonton digiring percaya bahwa kekonyolan adalah takdir yang mempersatukan.
    Tahun-tahun belakangan, parodi tak lagi sekadar cermin; ia menjadi alat
    kekuasaan
    . Satire diproduksi resmi—varietas “lucu tapi patuh”—agar kritik kehilangan gigi.
    Ketika parlemen tergopoh mengejar tenggat undang-undang, publik disodori drama komedi: akrobat kursi rapat yang kosong, adu pantun di rapat pansus, selebgram diundang untuk “sosialisasi”.
    Srimulat pernah membuat kita tertawa karena jarak antara panggung dan realitas; kini republik membuat kita khawatir karena jarak itu menghilang.
    Di belakang lakon selalu ada sutradara. Ia tak tertawa; ia menghitung durasi, mengatur lampu, memutus siapa boleh bicara.
    Kuasa di republik ini cenderung memilih mode lawak: menutup blunder dengan musik organ tunggal, mengganti skandal dengan gimik kuliner, atau mencuri fokus menggunakan topik “guyon” tentang penasihat spiritual presiden.
    Kini, kekuasaan itu juga menghibur dengan hukum. Di tengah vonis yang baru saja dijatuhkan kepada seorang terdakwa korupsi, Istana menggelar pertunjukan lain: pemberian amnesti dan abolisi.
    Bukan untuk para penyair pengkritik, bukan bagi aktivis pembela lingkungan, tetapi kepada mereka yang jejak pidananya terekam dalam gegap gempita persidangan.
    Hukum dijahit ulang di ruang belakang, diserahkan dengan senyum. Bukan keadilan yang mengantar pulang, melainkan kuasa yang membebaskan.
    Satu tanda tangan mengalahkan ribuan lembar berkas dakwaan. Seperti guyon Srimulat: salah bukan soal bukti, tapi siapa yang pegang mikrofon.
    Dalam hening, korupsi berganti kostum menjadi amal, nepotisme menyerupai “legacy”, dan sensor dikemas sebagai “moderasi konten”.
    Namun, panggung hidup karena penonton. Kita, para pembayar tiket yang dipungut lewat pajak, kerap tergoda ikut tertawa.
    Ada rasa lega ketika komedi menanggalkan kemarahan. Tapi di antara derai tawa itu, ada sepasang mata anak muda yang baru di-PHK—dari 9,9 juta pengangguran terbuka menurut data BPS (Mei 2025); ada petani yang benihnya tergadai—di tengah utang sektor pertanian yang menembus Rp 82 triliun; ada perawat kontrak yang gagal jadi ASN—dari 160.000 tenaga kesehatan non-ASN yang masih menunggu kepastian.
    Mereka ikut menepuk tangan, meski dalam hati penuh denting cemas.
    Republik Srimulat membuat rakyat terhibur sesaat, lalu pulang membawa keresahan yang dilipat rapi di saku.
    Srimulat lahir di era yang serba sumbing—masa ketika tertawa menjadi bentuk perlawanan halus.
    Dalam desingan kontrol politik, mereka menyelipkan sindiran pada hegemoni feodal dan represi militer.
    Kini, kita mewarisi memori itu, tapi lupa menggigit. Lelucon dibiarkan tanpa dendam: ia menguap sebagai hiburan
    streaming
    , bukan pengingat luka.
    Padahal humor sejatinya tajam, seperti pisau dapur yang sanggup mengupas kesewenang-wenangan. Tanpa ingatan, tawa meluruh jadi tepuk tangan otomatis, kehilangan subversi.
    Kebijakan hari ini kerap dibungkus kosa kata lucu: “pemutihan lahan”, “penataan ulang tarif”, “relaksasi pajak dosa”, “digitalisasi santai”. Bahasa meninabobokkan akal.
    Seperti pernah disindir Goenawan Mohamad, kata-kata dapat membentuk pagar tak kasatmata yang membatasi cara kita melihat kenyataan.
     
    Republik Srimulat mengganti debat serius dengan lelucon berbumbu slogan. Percakapan publik menari di atas jargon, sementara detail pasal diselipkan sunyi di lembar penjelasan. Ketika kata kehilangan beban, hukum pun kehilangan gravitasinya.
    Ada ironi besar: semakin banyak panggung humor, semakin tipis ruang tertawa bebas. Komika dipanggil polisi—seperti Mamat Alkatiri yang dilaporkan karena materi lawaknya soal “polisi dan candaan narkoba” (Mei 2023); karikaturis ditangkap—seperti kasus “Putik” di Pamekasan (Januari 2024) yang sketsanya dianggap menghina tokoh publik; warga dituntut UU ITE karena unggahan meme.
    Negara memproduksi candaan, tapi takut pada tawa yang tak ia kendalikan. Di sini, gelak tawa resmi adalah tanda kesetiaan; tawa liar dianggap makar.
    Maka republik ini bagai badut yang melarang lelucon. Kita dipaksa tertawa pada waktu yang tepat, dengan volume yang diukur, demi menjaga kesepakatan sandiwara.
    Meski begitu, harap berderak seperti kayu panggung tua. Di sela skenario, muncul generasi yang menyusun satire baru: kanal YouTube investigatif, puisi di media sosial, film indie yang menggulung fakta dalam absurditas.
    Mereka mengembalikan fungsi humor sebagai lampu sorot, bukan sekadar kembang api. Dalam naskah baru itu, rakyat bukan hanya penonton; mereka penulis, sutradara, sekaligus auditor kebenaran.
    Jika panggung resmi terus mengulang kelakar usang, publik akan menciptakan teater alternatif—tanpa gincu palsu dan tawa kalengan.
    Republik Srimulat mungkin tak bisa menghapus derita, tetapi ia mengingatkan: ketawa adalah hak politik, dan guyon bisa lebih dalam dari pidato.
    Ketika lakon kekuasaan semakin menyerupai dagelan, cara paling waras adalah menertawakan sekaligus menelanjangi.
    Namun hari-hari ini, panggung itu menawarkan pertunjukan baru yang getir: seseorang divonis, dan tak lama kemudian dihapuskan oleh surat sakti dari Istana.
    Abolisi tak pernah dibahas publik, amnesti tak sempat ditimbang publik. Dalihnya hukum, tapi lakonnya guyon. Seolah negara ini bersandiwara sampai akhir babak.
    Lelucon yang baik tak berhenti pada
    punchline
    ; ia mendorong kita bangkit, menata ulang panggung, menulis dialog yang lebih jujur.
    Suatu hari, barangkali, kita menyaksikan pertunjukan baru—di mana tawa bukan kamuflase, melainkan tanda bahwa pemerintah dan rakyat sama-sama manusia. Dan ketika tirai tertutup, kita pulang tanpa rasa diperdaya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gus Nur Terdakwa Kasus Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi Dapat Amnesti Prabowo 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        4 Agustus 2025

    Gus Nur Terdakwa Kasus Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi Dapat Amnesti Prabowo Nasional 4 Agustus 2025

    Gus Nur Terdakwa Kasus Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi Dapat Amnesti Prabowo
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden RI Prabowo Subianto memberikan
    amnesti
    untuk Sugi Nur Raharja alias
    Gus Nur
    , selaku terpidana kasus pencemaran nama baik terkait tuduhan
    ijazah palsu
    Presiden Ke-6 RI Joko Widodo (Jokowi).
    Hal itu termuat dalam salinan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Pemberian
    Amnesti
    kepada 1.178 terpidana/narapidana tanggal 1 Agustus 2025.
    “SUGI NUR RAHARJA ALS
    GUS NUR
    ,” demikian dilansir dari Keppres tersebut, dikutip Senin (4/8/2025).
    Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana.
    Amnesti merupakan hak prerogatif presiden atau hak istimewa yang dimiliki kepala negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuatan badan-badan perwakilan.
    Hak prerogatif presiden terdapat dalam Pasal 14 UUD 1945.
    Gus Nur bersama Bambang Tri Mulyono kena kasus setelah membuat podcast yang mempertanyakan keaslian ijazah Jokowi di kanal YouTube.
    Podcast itu berjudul “Gus Nur: Mubahalah Bambang Tri di Bawah Al-Qur’an”, diunggah di kanal YouTube Gus Nur 13 Official pada 26 September 2022 dan 27 September 2022.
    Sebagaimana pleidoinya, Gus Nur menyatakan dirinya tidak bersalah karena dalam podcast tersebut Gus Nur bertindak sebagai tuan rumah sedangkan Bambang Tri adalah narasumber podcast.
    Pda 18 April 2023, Gus Nur atau Sugi Nur Raharja divonis hakim Pengadilan negeri Kota Surakarta dengan hukuman 6 tahun penjara.
    Pasal yang dikenakan adalah Pasal 14 Ayat 1 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 berisi berita bohong yang membuat keonaran, jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP terkait penyertaan dalam tindak pidana.
    5 Mei 2023 lalu, Gus Nur yang kena kasus ujaran kebencian, penistaan agama, dan UU ITE ini mengajukan memori banding atas vonisnya.
    Pihak Gus Nur menolak vonis hakim yakni 6 tahun penjara yang disamakan dengan terdakwa lainnya, yakni Bambang Tri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prabowo Bukan yang Pertama, Intip Sejarah Pemberian Abolisi dan Amnesti dari Presiden Soekarno hingga Jokowi

    Prabowo Bukan yang Pertama, Intip Sejarah Pemberian Abolisi dan Amnesti dari Presiden Soekarno hingga Jokowi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kebijakan amnesti dan abolisi merupakan hak prerogatif presiden dalam bidang hukum bukan hal baru. Sejak era Presiden Soekarno hingga Jokowi, amnesti dan abolisi sudah berkali-kali diberikan.

    Contoh historis seperti Keppres Nomor 449 Tahun 1961 untuk tokoh-tokoh gerakan pasca-kemerdekaan, hingga Keppres Presiden Jokowi pada 2016, 2019, dan 2021 untuk korban jeratan UU ITE.

    Presiden pertama RI Soekarno pernah mengeluarkan Keppres Nomor 449 Tahun 1961 Amnesti dan Abolisi untuk tokoh-tokoh gerakan Pasca-Kemerdekaan, misalnya Daud Buereuh Aceh, Kahar Muzakar PRRI/Permesta Sulsel, Kartosuwiryo (DI TII/Jawa), dan Ibnu Hadjar (DI TII/Kalsel).

    Era Presiden Soekarno, diterbitkan Keppres Nomor 63 tahun 1977 Amnesti dan Abolisi untuk Pelaku Pemberontakan Fretilin di Timor Leste. Keppres Nomor 123 Tahun 1998 Pengampunan bagi tokoh oposisi Orde Baru dan separatis di Aceh, seperti Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pakpahan, dan lain-lain.

    Kemudian era Presiden Abdurrahman Wahid, diterbitkan Keppres Nomor 159/1999 dan Nomor 93/2000 Amnesti dan Abolisi untuk Aktivis Orba dan pengkritik pemerintah, seperti Budiman Sudjatmiko, Garda Sembiring, dan lain-lain.

    Presiden SBY pun pernah menerbitkan Keppres Nomor 22 tahun 2005 Pengampunan untuk pihak GAM. Serta Presiden Jokowi memberikan tiga kali, yaitu 2016, 2019, dan 2021 untuk Baiq Nurul dan Saiful Mahdi untuk Korban Jeratan UU ITE, serta Din Minimi eks Pimpinan Kelompok Bersenjata Aceh

    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto merupakan pelaksanaan hak prerogatif Presiden RI sesuai dengan konstitusi, bukan suatu kebijakan istimewa.

  • Prabowo Juga Beri Amnesti ke Ongen yang Terjerat UU ITE karena Hina Jokowi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 Agustus 2025

    Prabowo Juga Beri Amnesti ke Ongen yang Terjerat UU ITE karena Hina Jokowi Nasional 3 Agustus 2025

    Prabowo Juga Beri Amnesti ke Ongen yang Terjerat UU ITE karena Hina Jokowi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden RI
    Prabowo Subianto
    memberikan amnesti kepada
    Yulianus Paonganan
    atau
    Ongen
    yang terjerat dalam kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (
    UU ITE
    ) terkait penghinaan terhadap Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (
    Jokowi
    ).
    Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, sebanyak 1.178 narapidana memenuhi syarat menerima amnesti, termasuk Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP
    Hasto Kristiyanto
    yang terjerat kasus suap dan perintangan penyidikan, serta Yulianus Paonganan terkait kasus pelanggaran UU ITE yang berkaitan dengan penghinaan terhadap Presiden Jokowi.
    “Kalau amnesti itu jumlahnya 1.178, karena ada ketambahan salah satunya adalah Pak Hasto (Sekjen PDIP) dan yang kedua ada atas nama Yulianus Paonganan atas kasus ITE terkait penghinaan terhadap kepala negara,” kata Supratman dalam konferensi pers Jumat (1/8/2025).
    Supratman mengatakan, 99 persen data penerima amnesti berasal dari Kementerian Imigrasi dan Permasyarakatan (Imipas).
    Narapidana yang menerima amnesti terdiri dari kasus penggunaan narkotika, pelaku makar tanpa senjata di Papua, orang dengan gangguan jiwa, penderita paliatif, disabilitas dari sisi intelektual, dan faktor usia.
    “Kemudian tadi yang saya sebutkan Dr. Yulianus Paonganan dan Pak Hasto Kristiyanto,” ujarnya.
    Pada 18 Desember 2025, Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan Yulianus Paonganan selaku pemilik akun @ypaonganan, sebagai tersangka kasus penyebaran konten pornografi.
    Yulianus melalui akun Facebook dan juga Twitter miliknya menyebarkan sebuah foto Presiden Joko Widodo yang duduk bersama artis Nikita Mirzani.
    Di dalam foto itu terdapat tulisan #papadoyanl*e. Kalimat yang menjadi tagar itu kemudian dituliskan Yulianus sebanyak 200 kali.
    Kalimat itulah yang dianggap polisi mengandung unsur pornografi.
    Yulianus, atau yang biasa dipanggil Ongen, pun dijerat dengan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan e Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
    Dia juga dijerat Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
    Atas perbuatannya itu, Yulianus diancam hukuman penjara minimal enam tahun atau maksimal 12 tahun serta denda minimal Rp 250 juta atau Rp 6 miliar.
    Sejumlah media massa mengabarkan bahwa Yulianus adalah seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB). Namun, IPB langsung membantahnya.
    Berdasarkan penelusuran
    Kompas.com
    , di laman Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi terdapat nama Yulianus Paonganan.
    Pria ini tercatat sebagai dosen tetap di Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur, dengan program studi Biologi.
    Di dalam riwayat pendidikan yang tercantum dalam situs itu, Yulianus meraih gelar sarjana di Universitas Hasanuddin pada tahun 1997.
    Dia kemudian meraih gelar master di IPB pada tahun 2000.
    Di Universitas Nusa Cendana, Yulianus diketahui mengajar pada tahun 2006-2009 dengan sejumlah mata kuliah, seperti Biologi Laut, Ekologi Hewan, Limnologi, Planktonologi, dan Biostatistik.
    Dia juga sempat menjadi anggota staf Menteri Perhubungan pada periode 2009-2010.
    Selain aktif mengajar, Yulianus juga diketahui menciptakan pesawat tanpa awak (drone).
    Di laman Facebook miliknya terdapat sejumlah foto kegiatan Yulianus ketika tengah merakit drone.
    Ada pula foto pria kelahiran Batusitanduk, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan, 10 Juli 1970, itu saat bersama perwira-perwira TNI Angkatan Laut dengan drone.
    Selain menciptakan drone, Yulianus dalam media sosialnya juga mencantumkan bahwa dirinya seorang pimpinan redaksi di Maritime Media Group.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Abolisi dan amnesti bagi Tom dan Hasto dari sisi yuridis-sosial

    Abolisi dan amnesti bagi Tom dan Hasto dari sisi yuridis-sosial

    Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong, Jumat (1/8/2025), bebas dari proses hukum yang sedang ia jalani setelah mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/bar/pri.

    Abolisi dan amnesti bagi Tom dan Hasto dari sisi yuridis-sosial
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Minggu, 03 Agustus 2025 – 13:40 WIB

    Elshinta.com – Pada 30 Juli 2025, muncul sebuah berita yang cukup mengejutkan masyarakat Indonesia. Presiden Prabowo Subianto secara resmi memberikan abolisi untuk mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan amnesti untuk Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025.

    Selanjutnya DPR telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R-43/Pres/072025 tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI tentang pemberian abolisi terhadap Tom Lembong.

    Keputusan DPR juga menyetujui pemberian amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana, termasuk Hasto Kristiyanto sebagaimana tertuang dalam Surat Presiden Nomor R-42/Pres/072725 tanggal 30 Juli 2025.

    Pendapat pro dan kontra juga mengemuka. Pemberlakuan hak prerogatif Presiden ini dinilai sarat dengan kepentingan politik dan menciderai sistem penegakan hukum. Ada juga pendapat yang justru menyanjung Presiden karena telah berjiwa besar dan mendengarkan aspirasi masyarakat luas.

    Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Presiden memiliki sejumlah kewenangan konstitusional, salah satunya adalah hak prerogatif untuk memberikan amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945.

    Dua bentuk pengampunan hukum ini seringkali menjadi perbincangan publik karena menyentuh ranah penegakan hukum dan keadilan. Namun, hak tersebut tidak bersifat mutlak, melainkan tunduk pada prinsip-prinsip hukum, syarat formil, dan kontrol konstitusional melalui pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

    Lalu seperti apa format hukum yang berlaku dalam peristiwa ini. Menarik tentunya untuk dapat kita kaji atau analisis tentang bagaimana framework yuridis terhadap penggunaan kewenangan atau hak tersebut.

     

    Abolisi dan Amnesti dalam UUD 1945

    Pasal 14 UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden berhak memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, serta amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

    Abolisi dan amnesti berbeda dari grasi. Amnesti dan abolisi bersifat kolektif dapat bernuansa politik, sehingga pertimbangan DPR bersifat wajib sebagai bentuk kontrol demokratis terhadap kekuasaan eksekutif.

    Amnesti dapat diartikan sebagai penghapusan akibat hukum pidana terhadap perbuatan pidana yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam kaitannya dengan kepentingan politik, yang biasanya diberikan untuk memulihkan hubungan negara dengan warga negara atau kelompok tertentu.

    Sedangkan abolisi adalah penghentian proses hukum terhadap seseorang atau sekelompok orang atas perbuatan yang bersifat pidana, bahkan sebelum ada putusan pengadilan. Keduanya bersifat kolektif dan berimplikasi pada penghentian proses hukum atau penghapusan hukuman.

    Selain Konstitusi, UU No 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan KUHAP turut mengatur teknis pemasyarakatan, namun tidak secara eksplisit merinci mekanisme amnesti dan abolisi.

    Dalam Putusan MK No 7/PUU-IV/2006, MK menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi bukanlah tindakan administratif semata, melainkan tindakan hukum bersifat konstitusional yang wajib memperhatikan prinsip checks and balances.

    Secara yuridis, hak prerogatif Presiden atas amnesti dan abolisi adalah bentuk pengejawantahan fungsi Presiden sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan. Hak ini dapat menjadi alat korektif dalam sistem peradilan pidana, khususnya bila terdapat ketimpangan hukum atau pertimbangan kemanusiaan.

    Namun, dalam praktiknya, pemberian amnesti dan abolisi tidak boleh disalahgunakan untuk melindungi kepentingan politik tertentu. Oleh karena itu, pertimbangan dari DPR menjadi instrumen penting dalam menjaga akuntabilitas Presiden.

    Pemberian amnesti dan abolisi bukan hal baru di Indonesia. Pada 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan amnesti umum untuk 1.200 orang dan abolisi untuk kelompok yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka sebagai bagian dari kesepakatan damai Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka. Langkah ini diapresiasi sebagai wujud politik hukum restoratif dan transisional.

    Pada 2019, Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril, seorang korban pelecehan yang justru dijatuhi hukuman berdasarkan UU ITE. Ini merupakan preseden penting yang menunjukkan bahwa amnesti dapat diberikan pada kasus individual yang sarat kepentingan keadilan substantif.

    Abolisi untuk Thomas Lembong

    Dalam hukum pidana, abolisi adalah penghapusan hak negara untuk menuntut seseorang secara pidana, meskipun ada dugaan tindak pidana. Berbeda dari grasi (pasca-putusan), abolisi dapat diberikan sebelum proses peradilan dimulai atau saat masih berjalan. Abolisi bersifat prospektif dan menghentikan proses penegakan hukum, sehingga secara praktis dapat diartikan sebagai intervensi politik terhadap penuntutan pidana.

    Tom Lembong sebelumnya terseret kasus impor gula dengan kerugian Rp578 miliar. Jaksa mengungkap keterlibatan Tom telah terjadi sejak 12 Agustus 2015. Saat itu, Tom masih menjadi Menteri Perdagangan dan menyetujui impor gula kristal mentah yang akan diolah jadi kristal putih. Ia menyetujui tanpa melakukan rapat koordinasi dengan kementerian terkait.

    Jaksa menyalahkan Tom karena tidak menunjuk BUMN untuk menstabilkan harga gula di Indonesia. Ia malah menunjuk Induk Koperasi Kartika (INKOPKAR), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (INKOPPOL), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (PUSKOPOL), dan Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI Polri. Tom didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada 18 Juli 2025, Tom divonis 4,5 tahun penjara.

    Selanjutnya dalam pertimbangan Presiden untuk memberikan abolisi, Menteri Hukum menjelaskan bahwa pertimbangan pemberian abolisi itu didasari pula oleh pertimbangan-pertimbangan subjektif, salah satunya kontribusi Tom Lembong terhadap negara.

    Walaupun begitu tidak sedikit pihak yang menyarankan kepada Tom Lembong untuk menolak abolisi dan terus berjuang hingga putusan. Bahkan terdapat informasi bahwa Kejaksaan juga masih dalam proses mempelajari putusan hakim untuk pengajuan banding.

    Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 31/PUU-VIII/2010, MK menyatakan bahwa penggunaan kewenangan prerogatif presiden tidak boleh melanggar prinsip due process of law dan non-diskriminatif. Artinya pemberian abolisi kepada individu tertentu tanpa kriteria obyektif dan tidak berlaku umum berpotensi melanggar asas kepastian hukum dan keadilan.

    Abolisi harus proporsional dan tidak dapat digunakan sebagai alat perlindungan terhadap elit politik.

    Amnesti untuk Hasto Kristiyanto

    Amnesti adalah penghapusan akibat hukum pidana terhadap sekelompok orang atau individu yang melakukan tindak pidana tertentu.

    Dalam doktrin klasik, amnesti berlaku untuk delik politik, seperti pemberontakan, penghasutan terhadap negara, atau pelanggaran terhadap ketertiban umum yang bermotif ideologis. Selain itu amnesti juga diberikan dalam rangka rekonsiliasi nasional pasca-konflik, pemberontakan, atau peralihan rezim.

    Adapun dalam kasus Hasto, ia sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara karena terbukti bersalah memberikan suap kepada mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 untuk Harun Masiku.

    Dalam Putusan Hakim, Hasto dinilai telah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

    Menkumham menyebut bahwa pada mulanya pemerintah menargetkan pemberian amnesti terhadap 44 ribu narapidana. Hasto bersama 1116 terpidana lainnya akhirnya diberikan amnesti.

    Hal ini menjadi jawaban atas perjuangan Hasto dan seluruh pendukungnya yang selama ini menyerukan ketidakadilan dan kriminalisasi berdasar politik. Dengan amnesti tersebut maka seluruh akibat hukum pidana yang telah dijatuhkan kepada penerima amnesti dihapuskan. Dengan demikian status hukum mereka dipulihkan sepenuhnya.

    Dalam kasus pemberian abolisi dan amnesti terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, maka semua proses hukum terhadap keduanya dihentikan, serta keduanya harus dilepaskan atau dibebaskan.

    Banyak pihak kemudian mulai mencoba untuk mengkaji apakah abolisi dan amnesti tersebut memang dapat atau layak diberikan. Apakah pemberian tersebut berafiliasi dengan kepentingan politis.

    Untuk mengkaji hal ini, pertama kita harus mendalami dahulu makna dari amnesti dan abolisi.

    Amnesti dan abolisi memang dapat bernuansa politik, namun untuk memberikan keseimbangan dan obyektivitasnya, keputusan ini harus mendapat pertimbangan DPR. Oleh sebab itu, Presiden harus dapat menjelaskan alasan dari pemberian amnesti dan abolisi.

    Melihat dari alasan yuridisnya, maka Presiden memiliki hak prerogatif yang dijamin dalam Konstitusi untuk mengajukan amnesti dan abolisi kepada DPR demi kepentingan negara, termasuk dalam menciptakan stabilitas politik.

    Kita ketahui bersama bahwa gelombang protes terhadap proses hukum Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto sangat besar dan cukup menurunkan citra penegakan hukum.

    Hal kedua adalah pentingnya kita memahami bahwa hukum sangat berhubungan dengan politik. Roscoe Pound misalnya mengemukakan bahwa hukum adalah hasil dari kehendak politik yang saling bersaing dan berinteraksi. Karl Marx menyatakan perspektif hukum yang dipandang sebagai alat kekuasaan dan tujuan politik.

    Niklas Luhmann mengemukakan terkait dengan teori interdependesi hukum yang menyatakan bahwa hukum dan politik sangat berinteraksi dan saling mempengaruhi. Aliran Realisme seperti Jerome Frank dan Karl Llewellyn juga melihat bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan kekuasaan politik.

    Seluruh teori tersebut menegaskan bahwa politik, pemerintahan, dan hukum saling berinteraksi. Amnesti dan Abolisi menjadi salah satu hal yang konkrit yang menjelaskan interaksi antara politik dan kekuasaan dengan hukum.

    Hal ketiga adalah apakah pemberian tersebut kemudian menegasikan penegakan hukum?

    Sejumlah akademisi hukum berpendapat bahwa Amnesti dan abolisi harus digunakan secara selektif dan proporsional demi menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Pertimbangan HAM dan keadilan restoratif menjadi landasan moral dalam penggunaannya.

    Dalam negara hukum, tidak ada kekuasaan yang absolut, termasuk hak prerogatif Presiden. Oleh karena itu, mekanisme kontrol oleh DPR bukan hanya formalitas, tetapi bagian dari prinsip konstitusionalisme.

    Prof Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa hak prerogatif presiden tidak dapat dilepaskan dari prinsip checks and balances, dan harus ditujukan untuk kepentingan keadilan dan kemanusiaan. Abolisi dan Amnesti dalam hal ini tidak dapat dihubungkan dengan ketidakpercayaan pada sistem hukum atau absolutisme.

    Menakar Amnesti dan Abolisi

    Amnesti dan abolisi mencerminkan wajah manusiawi dari hukum. Dalam negara hukum yang demokratis, keduanya bukanlah bentuk impunitas, tetapi saluran korektif atas sistem peradilan yang bisa saja tidak sempurna.

    Oleh karenanya, penggunaan hak prerogatif Presiden ini harus dijaga agar tetap dalam koridor konstitusi dan etika publik. Politik kekuasaan dan hukum saling berinteraksi, namun kedewasaan dan pemikiran yang realis dan logis perlu untuk dikedepankan.

     

    Dalam hal ini, kita boleh berpendapat pula bahwa Presiden, walaupun memiliki hak prerogatif yang diatur dalam konstitusi, tidak serta merta memiliki kewenangan secara mutlak untuk melakukan semacam intervensi terhadap sistem peradilan dan penegak hukum.

    Prinsip check and balances dan saling menghormati antar-lembaga tetap ada dan diatur secara jelas. Presiden tetap membutuhkan pertimbangan DPR atau bahkan MA dalam hal pemberian Grasi dan Rehabilitasi.

    Dengan begitu, aturan yang ada tentang pemberian abolisi dan amnesti ini telah menegasikan kesewenangan atau intervensi penuh dari Pemerintah terhadap sistem penegakan hukum.

    Dengan adanya mekanisme pertimbangan tersebut, Presiden justru menghormati proses hukum dan mendukung penuh program penegakan hukum khususnya tindak pidana korupsi. Presiden dan DPR kemudian hanya menjadi jalan untuk mewujudkan kepentingan nasional dan keadilan sosial yang hidup dalam masyarakat.

    Pemberian abolisi dan amnesti ini dapat pula dibaca sebagai jalan untuk memberi koreksi terhadap hasil sistem penegakan hukum.

    Ketika terjadi sebuah kekeliruan atau kekosongan hukum dan di mana sistem peradilan dan penegakan hukum tidak mampu untuk mengimplementasi sebuah keadilan sosial-politik, amnesti dan abolisi menjadi jalan untuk meluruskan jalan untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, stabilitas politik dan hukum, serta mengedepankan prinsip HAM dan kemanusiaan.

    Hal ini memperlihatkan semangat bahwa sistem hukum harus dapat menyeimbangkan tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Selain itu semangat dalam merestorasi atau mewujudkan keadilan yang restoratif, restitutif, rehabilitatif, dan substantif dapat diwujudkan dalam mekanisme  atau tindakan hukum yang luar biasa.

    Kita boleh saja melihat bahwa dunia hukum dan demokrasi kita belum sepenuhnya dapat terlaksana dengan sempurna. Namun kini kita setidaknya telah teruji dengan kedewasaan politik dan kekuasaan, responsivitas terhadap keinginan masyarakat, dan instrumen hukum yang demokratis dan restoratif.

    Sehingga ini menjadi pilar fundamental bangsa Indonesia yang memiliki semangat persatuan dan kesatuan, saling menghormati dan bergotong royong, berkeadilan sosial, dan mampu untuk menjadi dewasa secara politik yang mengakui segala kelemahan dan kekurangan untuk maju bersama.

    Semoga Indonesia makin jaya dan berdikari. Merdeka!

     

    *) Dr I Wayan Sudirta, Anggota Komisi III DPR RI

    Sumber : Antara

  • 5 Fakta Pembajak Siaran Bola Kantongi Untung Puluhan Juta

    5 Fakta Pembajak Siaran Bola Kantongi Untung Puluhan Juta

    Jakarta

    Kasus pembajakan siaran televisi berbayar berhasil diungkap aparat kepolisian. Dua orang pria asal Sumenep, Jawa Timur ditangkap setelah membajak satelit dan menjual siaran pertandingan sepakbola secara ilegal.

    Dirangkum detikcom, Sabtu (2/8/2025), aksi pembajakan ini dilaporkan oleh perusahaan televisi tersebut. Pihak pemilik satelit TV berbayar mengalami kerugian hingga ratusan juta rupiah. Berikut fakta-faktanya.

    1. Dua Tersangka Ditangkap

    Polisi menangkap dua pelaku tindak pidana akses ilegal berinisial S (53) dan KF (30). Kedua tersangka diduga membajak saluran televisi (TV) satelit parabola berbayar dan menyalurkannya secara ilegal ke pelanggan.

    Kedua tersangka menjual sejumlah saluran-saluran televisi yang menyiarkan siaran langsung bola Liga Inggris, saluran TV drama, dan beberapa channel lainnya.

    Keduanya ditangkap pada Kamis (24/7) di wilayah Jawa Timur. Kedua tersangka diduga melakukan penyiaran dari saluran atau channel televisi berbayar secara ilegal melalui kabel ke rumah pelanggan.

    “Tersangka melakukan penyiaran dari channel Nex Parabola berupa beberapa channel dengan cara menggabungkan beberapa STB yang berisi channel,” kata Kasubbid Penmas Polda Metro Jaya, AKBP Reonald Simanjuntak, dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jumat (1/8).

    2. Modus Operandi Tersangka

    Tersangka menyambungkan siaran parabola berbayar itu dengan peralatan yang mereka miliki. Setelah itu, mereka menyambungkan siaran itu lewat kabel ke rumah-rumah pelanggan yang membayar ke mereka.

    “Dan disambungkan ke beberapa perangkat pendukung, kemudian didistribusikan dengan metode penarikan kabel ke rumah-rumah pelanggan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk diperjualbelikan atau dikomersialkan untuk mendapatkan keuntungan,” ujarnya.

    Pengungkapan kasus ini berawal pada 5 April 2024 saat perusahaan channel televisi berbayar mendapat informasi dugaan pelanggaran kedua pelaku selaku operator. Mereka diduga memperjualbelikan siaran tanpa izin.

    “Setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan, diketahui benar bahwa Tersangka diduga telah menggunakan akses ilegal untuk mendistribusikan atau mentransmisikan beberapa channel kepada masyarakat umum untuk kepentingan komersial dan dalam penyiaran tersebut tidak ada izin dengan pemegang hak siar,” ucapnya.

    3. Saluran TV Bajakan Dijual ke Pelanggan

    Kanit Unit 5 Subdit 1 AKP Irrine Kania Defi mengatakan S diduga melakukan tindak pidana tersebut dengan menyambungkan beberapa STB milik perusahaan.

    “Disiarkan secara ilegal dengan menarik kabel langsung ke rumah pelanggan dengan biaya pemasangan di awal Rp 350 ribu dan biaya berlangganan Rp 30 ribu per pelanggan,” ucap Irrine.

    Tersangka KF melakukan hal serupa dengan biaya pemasangan Rp 350 ribu dan biaya berlangganan Rp 30 ribu per bulan.

    4. Keuntungan hingga Puluhan Juta

    Dua orang pria membajak satelit televisi berbayar dan menyiarkan ulang siaran bola secara ilegal. Keduanya memungut bayaran dari warga hingga meraup keuntungan ratusan juta rupiah.
    “Dari hasil tindak pidana tersebut, tersangka S mendapatkan keuntungan sebesar Rp 14.300.000 per bulan dengan total keuntungan Rp 85.000.000 selama 6 bulan beroperasi,” kata Kanit Unit 5 Subdit 1 AKP Irrine Kania Defi dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jumat (1/8/2025).

    Tersangka KF mendapatkan keuntungan sebesar Rp 10 juta per bulan dengan total keuntungan Rp 60 juta. Jika dikalkulasikan, total keuntungan kedua pelaku yaitu Rp 145 juta per 6 bulan.

    “Tersangka KF mendapatkan keuntungan sebesar Rp 10 juta per bulan dengan total keuntungan Rp 60 juta,” ucapnya.

    5. Terancam 4 Tahun Penjara

    Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat Pasal 46 juncto Pasal 30 UU ITE. Keduanya terancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 600 juta.

    Mereka juga dijerat Pasal 48 juncto UU ITE dengan ancaman pidana penjara paling lama 8 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2 miliar. Mereka juga dijerat Pasal 118 ayat (1) juncto Pasal 25 ayat (2) UU Hak Cipta dengan ancaman pidana paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.

    Halaman 2 dari 3

    (mea/mea)

  • Nikita Mirzani hadiri sidang pemeriksaan saksi di PN Jaksel

    Nikita Mirzani hadiri sidang pemeriksaan saksi di PN Jaksel

    Nikita Mirzani hadiri sidang pemeriksaan saksi dari terdakwa dalam kasus pemerasan dan pengancaman bos perawatan kulit (skincare), Reza Gladys di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (31/7/2025). ANTARA/Luthfia Miranda Putri.

    Nikita Mirzani hadiri sidang pemeriksaan saksi di PN Jaksel
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Kamis, 31 Juli 2025 – 14:23 WIB

    Elshinta.com – Nikita Mirzani dan asistennya, Ismail Marzuki menghadiri sidang pemeriksaan saksi dari pihak terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus pemerasan dan pengancaman bos perawatan kulit (skincare), Reza Gladys. Berdasarkan pantauan di lokasi, Nikita sebagai terdakwa sudah tiba di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis pagi, sekitar pukul 10.27 WIB.

    Dia datang dengan menaiki mobil tahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tampilannya dengan rambut dikepang dan bergelombang, mengenakan kemeja putih dan rompi tahanan berwarna merah. Kedatangannya disambut ramai oleh wartawan memasuki ruang tunggu maupun persidangan di ruang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

    Sementara, saksi dari pihak Nikita yang dijadwalkan hadir, yakni dr. Oky Pratama, yang dikenal sebagai dokter estetika, pengusaha, dan influencer. Dia tiba di PN Jaksel sekitar pukul 10.18 WIB. Lalu, saksi lainnya yakni Dokter Detektif atau ‘Doktif’ diketahui merupakan akun milik Dokter Samira, seorang influencer yang juga dikenal sebagai pemilik merek skincare Glafidsya.

    Namun Doktif diketahui tak bisa hadir karena tengah berada di Korea Selatan. Kemudian, pelapor yakni Reza Gladys dan suaminya, Attaubah Mufid sudah tiba lebih dulu di PN Jaksel sekitar pukul 09.57 WIB. Kedatangan keduanya untuk memenuhi panggilan sebagai pelapor dalam kasus dugaan pemerasan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan oleh Nikita Mirzani.

    Dakwaan yang dibacakan JPU dalam persidangan sebelumnya, disebut Nikita Mirzani mengancam bos perawatan kulit (skincare) milik dokter Reza Gladys (RGP) membayar Rp4 miliar untuk uang tutup mulut terkait produk yang dijual. Disebutkan juga, Nikita menggunakan uang tersebut untuk membayar sisa kredit pemilikan rumah (KPR).

    Berdasarkan informasi yang tertera dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, perkara dengan nomor 362/Pid.Sus/2025/PN JKT.SEL telah dilimpahkan pada Selasa (17/6). Jaksa Penuntut Umum mendakwa Nikita Mirzani dan asistennya, Ismail Marzuki dengan Pasal 45 ayat 10 huruf A dan Pasal 27B Ayat (2) dari UU ITE, sebagaimana diubah dalam UU No. 1 Tahun 2024, serta Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang, yang dikaitkan dengan Pasal 55 Ayat 1 KUHP.

    Sumber : Antara

  • Nikita diminta lapor terkait dugaan Reza Gladys “main mata” dengan JPU

    Nikita diminta lapor terkait dugaan Reza Gladys “main mata” dengan JPU

    Jakarta (ANTARA) – Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan meminta Nikita Mirzani melapor terkait dugaan Reza Gladys dan suaminya, Attaubah Mufid yang “main mata” dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang pemerasan dan pengancaman bos perawatan kulit (skincare).

    “Tidak ada yang transaksional. Silakan dilaporkan saja ke yang berwajib, jangan ragu-ragu,” kata Hakim Kairul Soleh dalam sidang pemeriksaan saksi dari terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis.

    Kairul mengatakan hal itu terkait tudingan yang disampaikan Nikita jelang sidang pemeriksaan saksi.

    Saat itu, Nikita meminta waktu pada hakim Kairul Soleh menyampaikan keberatan.

    “Saya sangat terkejut setelah mendengar rekaman suara percakapan dan melihat screenshot percakapan yang patut diduga berasal dari keluarga Reza Gladys dan dokter Mufid. Yang patut diduga telah mengatur JPU dan majelis hakim,” kata Nikita.

    Nikita membawa bukti yang dinilai memiliki indikasi kuat untuk menjatuhkan dirinya lewat proses hukum yang dianggap tidak adil. Dia menilai rekaman itu sudah diatur secara masif dan terkoordinir.

    “Hal ini terbukti sebagaimana dengan adanya rekaman dalam diska lepas (flash disk) yang akan saya serahkan kepada majelis hakim. Saya mohon setelah majelis hakim mendengar isi flash disk ini untuk segera membebaskan saya dari Rutan Pondok Bambu,” ucapnya.

    Lalu, Nikita menyerahkan bukti tersebut dan hakim Kairul Soleh memberikan klarifikasi tegas bahwa tidak ada transaksi apa pun yang melibatkan pihak pengadilan.

    Dakwaan yang dibacakan JPU dalam persidangan sebelumnya, disebut Nikita Mirzani mengancam bos perawatan kulit (skincare) milik dokter Reza Gladys (RGP) membayar Rp4 miliar untuk uang tutup mulut terkait produk yang dijual.

    Disebutkan juga, Nikita menggunakan uang tersebut untuk membayar sisa kredit pemilikan rumah (KPR).

    Berdasarkan informasi yang tertera dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, perkara dengan nomor 362/Pid.Sus/2025/PN JKT.SEL telah dilimpahkan pada Selasa (17/6).

    Jaksa Penuntut Umum mendakwa Nikita Mirzani dan asistennya, Ismail Marzuki dengan Pasal 45 ayat 10 huruf A dan Pasal 27B Ayat (2) dari UU ITE, sebagaimana diubah dalam UU No. 1 Tahun 2024, serta Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang, yang dikaitkan dengan Pasal 55 Ayat 1 KUHP.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.