Produk: tifa

  • Polisi Sebut Buku Jokowi’s White Paper Roy Suryo Cs hanya Klaim, Bukan Karya Ilmiah

    Polisi Sebut Buku Jokowi’s White Paper Roy Suryo Cs hanya Klaim, Bukan Karya Ilmiah

    GELORA.CO – Polda Metro Jaya menyatakan buku Jokowi’s White Paper yang diterbitkan tersangka tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), Roy Suryo cs, merupakan asumsi saja. Buku itu dianggap bukan karya ilmiah.

    “Ya bisa dikatakan seperti itu (analisis dan buku Roy Suryo cs hanya klaim, bukan karya ilmiah),” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Budi Hermanto, dikutip Minggu (21/12/2025). 

    Dirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Iman Imanuddin menuturkan produk akademik harus memenuhi syarat-syarat etika, baik itu dalam proses pembuatan maupun etika publikasi.

    Dalam etika publikasi, Iman menjelaskan peneliti harus memenuhi syarat keaslian atau orisinalitas dan bebas manipulasi data dalam menerbitkan karya ilmiah. Kemudian memenuhi syarat integritas akademik yang memahami kode etik dosen atau peneliti yang mengklaim dari produk akademik itu sendiri. 

    “Syarat peneliti akademik yang memenuhi aspek metodologi, kemudian aspek substansi, aspek teknis, maupun aspek kelembagaan etis,” ujar Iman.

    Mantan Kapolres Tangsel itu menyebut, seorang peneliti juga harus memenuhi standar prinsip-prinsip utama penelitian. Peneliti harus memiliki rasa respect for person atau menghormati manusia, mengakui otonomi individu, kemudian berbuat baik dan tidak merugikan, serta tidak mengeksploitasi kelompok tertentu. 

    Menurut dia, peneliti juga harus memegang etika  yakni kejujuran, integritas, objektivitas, transparansi, kompetensi, hingga yang terkait dengan kerahasiaan atau privasi. 

    “Di mana dalam proses penelitian harus melindungi data pribadi dari subjek itu penelitian sendiri. Kalau itu adalah sebuah penelitian dengan maksud produk akademik,” ucap Iman.

    “Karena produk akademik itu tidak berada di ruang hampa, sehingga dia harus memenuhi kaidah-kaidah keilmuan yang itu dalam rangka menjaga hak-hak orang lain juga. Sehingga diatur dalam norma dan kaidah peraturan perundang-undangan,” imbuhnya. 

    Sebelumnya, Polda Metro Jaya menetapkan delapan orang sebagai tersangka tudingan ijazah palsu Jokowi. Kedelapan tersangka itu dibagi dalam dua klaster, yakni sebagai berikut.

    Klaster 1:

    – Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi Sudjana;

    – Anggota TPUA, Kurnia Tri Royani;

    – Pengamat Kebijakan Umum Hukum dan Politik, Damai Hari Lubis;

    – Mantan aktivis ’98, Rustam Effendi;

    – Wakil Ketua TPUA, Muhammad Rizal Fadillah.

    Klaster 2:

    – Pakar telematika, Roy Suryo;

    – Ahli Digital Forensik Rismon Hasiholan Sianipar;

    – Dokter Tifauzia Tyassuma alias dr Tifa.

    Kedelapan tersangka itu tak ditahan. Kelima tersangka dari klaster pertama dijerat Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 27A jo Pasal 45 Ayat 4 dan atau Pasal 28 Ayat 2 jo Pasal 45A Ayat 2 UU ITE.

    Sementara tiga tersangka dari klaster 2 disangkakan Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 32 Ayat 1 jo Pasal 48 Ayat 1 dan atau Pasal 35 jo Pasal 51 Ayat 1 dan atau Pasal 27A jo Pasal 45 Ayat 4 dan atau Pasal 28 Ayat 2 jo Pasal 45A Ayat 2 UU ITE.

    Meski tak ditahan, para tersangka telah dicegah ke luar negeri

  • Polisi Sebut Buku Jokowi’s White Paper Roy Suryo Cs hanya Klaim, Bukan Karya Ilmiah

    Polisi Sebut Buku Jokowi’s White Paper Roy Suryo Cs hanya Klaim, Bukan Karya Ilmiah

    GELORA.CO – Polda Metro Jaya menyatakan buku Jokowi’s White Paper yang diterbitkan tersangka tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), Roy Suryo cs, merupakan asumsi saja. Buku itu dianggap bukan karya ilmiah.

    “Ya bisa dikatakan seperti itu (analisis dan buku Roy Suryo cs hanya klaim, bukan karya ilmiah),” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Budi Hermanto, dikutip Minggu (21/12/2025). 

    Dirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Iman Imanuddin menuturkan produk akademik harus memenuhi syarat-syarat etika, baik itu dalam proses pembuatan maupun etika publikasi.

    Dalam etika publikasi, Iman menjelaskan peneliti harus memenuhi syarat keaslian atau orisinalitas dan bebas manipulasi data dalam menerbitkan karya ilmiah. Kemudian memenuhi syarat integritas akademik yang memahami kode etik dosen atau peneliti yang mengklaim dari produk akademik itu sendiri. 

    “Syarat peneliti akademik yang memenuhi aspek metodologi, kemudian aspek substansi, aspek teknis, maupun aspek kelembagaan etis,” ujar Iman.

    Mantan Kapolres Tangsel itu menyebut, seorang peneliti juga harus memenuhi standar prinsip-prinsip utama penelitian. Peneliti harus memiliki rasa respect for person atau menghormati manusia, mengakui otonomi individu, kemudian berbuat baik dan tidak merugikan, serta tidak mengeksploitasi kelompok tertentu. 

    Menurut dia, peneliti juga harus memegang etika  yakni kejujuran, integritas, objektivitas, transparansi, kompetensi, hingga yang terkait dengan kerahasiaan atau privasi. 

    “Di mana dalam proses penelitian harus melindungi data pribadi dari subjek itu penelitian sendiri. Kalau itu adalah sebuah penelitian dengan maksud produk akademik,” ucap Iman.

    “Karena produk akademik itu tidak berada di ruang hampa, sehingga dia harus memenuhi kaidah-kaidah keilmuan yang itu dalam rangka menjaga hak-hak orang lain juga. Sehingga diatur dalam norma dan kaidah peraturan perundang-undangan,” imbuhnya. 

    Sebelumnya, Polda Metro Jaya menetapkan delapan orang sebagai tersangka tudingan ijazah palsu Jokowi. Kedelapan tersangka itu dibagi dalam dua klaster, yakni sebagai berikut.

    Klaster 1:

    – Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi Sudjana;

    – Anggota TPUA, Kurnia Tri Royani;

    – Pengamat Kebijakan Umum Hukum dan Politik, Damai Hari Lubis;

    – Mantan aktivis ’98, Rustam Effendi;

    – Wakil Ketua TPUA, Muhammad Rizal Fadillah.

    Klaster 2:

    – Pakar telematika, Roy Suryo;

    – Ahli Digital Forensik Rismon Hasiholan Sianipar;

    – Dokter Tifauzia Tyassuma alias dr Tifa.

    Kedelapan tersangka itu tak ditahan. Kelima tersangka dari klaster pertama dijerat Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 27A jo Pasal 45 Ayat 4 dan atau Pasal 28 Ayat 2 jo Pasal 45A Ayat 2 UU ITE.

    Sementara tiga tersangka dari klaster 2 disangkakan Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 32 Ayat 1 jo Pasal 48 Ayat 1 dan atau Pasal 35 jo Pasal 51 Ayat 1 dan atau Pasal 27A jo Pasal 45 Ayat 4 dan atau Pasal 28 Ayat 2 jo Pasal 45A Ayat 2 UU ITE.

    Meski tak ditahan, para tersangka telah dicegah ke luar negeri

  • Lawyer Eggi Sudjana Merinding Saat Lihat dan Sentuh Fisik Ijazah Jokowi: Ada Emboss dan Watermark

    Lawyer Eggi Sudjana Merinding Saat Lihat dan Sentuh Fisik Ijazah Jokowi: Ada Emboss dan Watermark

    GELORA.CO  — Elida Netti, kuasa hukum dari Eggi Sudjana, mengungkapkan momen emosional saat menghadiri gelar perkara khusus terkait kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Mapolda Metro Jaya, Senin (15/12/2025).

    Dalam kesempatan tersebut, penyidik akhirnya membuka segel barang bukti dan memperlihatkan fisik ijazah asli milik Jokowi kepada para pihak yang hadir.

    Elida mengaku merinding dan terharu ketika melihat langsung dokumen yang selama ini menjadi sumber polemik berkepanjangan tersebut. 

    Menurut kesaksiannya, fisik ijazah yang diperlihatkan memiliki fitur keamanan otentik yang membantah tudingan pemalsuan.

    “Waktu map digunting, saya deg-degan. Ya Allah, akhirnya yang kita perdebatkan sekian tahun, sekarang ada sosoknya di depan mata. Saya melihat, saya merinding dan terharu,” ujar Elida saat berbincang di tayangan Channel YouTube Cumicumi, Jumat (19/12/2025).

    Elida menceritakan detik-detik saat penyidik membuka map penyitaan barang bukti tertanggal 23 Juni.

    Di dalamnya terdapat ijazah SMA dan S1 milik Jokowi.

    Meski peserta dilarang menyentuh, Elida dan beberapa rekan pengacara dari klaster satu berusaha mendekat untuk memastikan keasliannya.

    “Saya tusuk (tahan) dengan ujung jari saya. Saya pegang, ada emboss (huruf timbul), ada watermark, dan ada lintasan stempel,” ungkap Elida secara rinci.

    Ia juga menambahkan detail kondisi fisik kertas yang menunjukkan usia dokumen tersebut.

    “Di bagian bawahnya itu sudah robek-robek, mungkin karena sudah lama sekali. Kertas tua. Jadi bagi saya, itu adalah aslinya, bukan sekadar fotokopi,” tegasnya.

    Elida meluruskan isu yang menyebut Eggi Sudjana “pecah kongsi” atau meninggalkan rekan-rekannya seperti Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa.

    Ia menjelaskan bahwa para tersangka terbagi menjadi dua klaster.

    Klaster pertama adalah Eggi Sudjana sebagai advokat/prinsipal, sedangkan klaster kedua adalah Roy Suryo dan kawan-kawan.

    “Bukan pecah belah atau saling meninggalkan. Bang Eggi punya alasan hukum dan konstruksi hukum sendiri. Kami mengajukan gelar perkara khusus ini untuk meminta tinjau ulang penetapan tersangka Bang Eggi,” jelas Elida.

    Elida menekankan bahwa Eggi Sudjana belum pernah di-BAP (Berita Acara Pemeriksaan) karena kondisi kesehatannya yang buruk (sakit usus stadium 4) dan sedang menjalani pengobatan di Penang, Malaysia.

    Namun, statusnya tiba-tiba dinaikkan menjadi tersangka.

    “Bang Eggi belum pernah diperiksa sebagai tersangka, baru undangan klarifikasi. Itulah dasar kami memohon gelar perkara, agar status tersangkanya ditinjau ulang,” tambahnya.

    Apresiasi Polisi

    Elida memberikan apresiasi tinggi kepada pihak kepolisian dan Ombudsman yang hadir dalam gelar perkara tersebut.

    Menurutnya, keputusan polisi untuk membuka barang bukti ijazah—meski sempat didebat oleh pihak kuasa hukum Jokowi—adalah langkah bijak untuk meredam kegaduhan publik.

    Elida memberikan apresiasi tinggi kepada kepolisian yang berani mengambil langkah diskresi untuk membuka barang bukti demi meredam kegaduhan.

    Ia pun mengimbau semua pihak untuk menyudahi polemik ijazah palsu yang dinilainya sudah menguras energi bangsa

    “”Apa salahnya dilihatkan? Sekarang sudah terbuka. Polisi mengambil langkah berani untuk membuka barang bukti demi transparansi. Alhamdulillah, kami bersyukur bisa melihat aslinya,” kata Elida.

    Terkait masih adanya keraguan dari pihak lain seperti Roy Suryo yang juga melihat ijazah tersebut, Elida menghormati perbedaan pendapat itu.

    Namun, ia mengajak masyarakat untuk mulai menyudahi polemik ijazah ini dan fokus pada persoalan bangsa yang lebih mendesak, seperti penanganan bencana alam dan pemberantasan korupsi.

    “Polemik ini sudah berkepanjangan dan menguras energi. Kalau saya pribadi sudah puas melihatnya. Mari kita akur, jangan terlalu fokus pada ijazah, masih banyak masalah bangsa lain yang butuh perhatian, korupsi, dan bencana alam yang butuh perhatian kita,” katanya.

    Elida menyampaikan permohonan kemanusiaan kepada penyidik agar mencabut pencekalan terhadap Eggi Sudjana, sehingga kliennya dapat melanjutkan pengobatan medis di luar negeri dengan jaminan dari pihak keluarga dan kuasa hukum.

  • Ijazah yang Ditunjukkan Polda Metro Berbeda dengan Ijazah yang Ditampilkan Bareskrim

    Ijazah yang Ditunjukkan Polda Metro Berbeda dengan Ijazah yang Ditampilkan Bareskrim

    GELORA.CO – Pegiat media sosial yang menjadi tersangka kasus dugaan penyebaran fitnah Ijazah Joko Widodo, Tifauziah Tyassuma alias dr Tifa menyebut bahwa Polda Metro telah melakukan blunder

    Dia menyebut bahwa ijazah Jokowi yang ditampilkan Polda Metro dalam gelar perkara khusus , berbeda dengan foto ijazah yang pernah ditampilkan Bareskrim Mabes Polri saat menggelar konferensi pers beberapa waktu lalu

    “Polda blunder. Kami, RRT -Roy, Rismon, Tifa berani pastikan, bahwa Ijazah yang ditampilkan Bareskrim tanggal 22 Mei 2025 dengan Ijazah yang ditampilkan pada Gelar Perkara Khusus di Polda Metro Jaya tanggal 15 Desember 2025 100 persen berbeda,” ungkap dokter Tifa dikutip dari keterangan di akun media sosial X pribadinya, Jumat (19/12/2025)

    Dokter Tifa pun meminta agar Polda Metro tak main-main dalam menangani perkara yang menjerat dirinya bersama Roy Suryo dan Rismon Sianipar

    “Karena itu saya ingatkan kepada kepolisian agar berhati-hati dengan kasus Kriminalisasi kepada RRT, sesuai dengan warning dari Prof Mahfud, bahwa kasus pidana kepada RRT melanggar HAM!” imbuhnya

    Tifa menambahkan, dirinya bersama Roy Suryo dan Rismon ditunjukkan ijazah Jokowi oleh Polda Metro pada malam hari, beberapa saat sebelum gelar perkara khusus

    Pahadal, dia sudah meminta agar polisi menunjukkan ijazah tersebut sejak siang hari

    “RRT diperkenankan melihat Ijazah yang disebut asli oleh Polda hanya beberapa menit sebelum Gelar Perkara Khusus, di jam 23.20 hampir tengah malam, setelah sejak jam 14.00 kami menunggu sampai GPK berlangsung selama 7 jam hampir tengah malam,” kata dia 

    “Padahal sejak awal, ketika GPK sedang berlangsung beberapa menit, saya, dr Tifa, sudah minta agar Ijazah ditunjukkan kepada kami, sebagai bahan diskusi. Namun, permintaan itu ditangguhkan, dan dikabulkan setelah semua kelelahan, di waktu tengah malam,” jelasnya

    Dia pun menuding, Polda Metro Jaya telah melakukan pelanggaran HAM

    “Inilah, yang tanpa disadari, POLDA Metro Jaya telah melakukan Pelanggaran HAM! Dan inilah yang disoroti oleh Prof Mahfud, MD. Sengaja membuat kami semua kelelahan, sehingga mengalami Disonansi Kognitif, terjadi Compliance dan Confirmatory Bias, karena terjadi Brain Overloaded Polda Metro Jaya melakukan Ilusi Transparansi, untuk mengecoh kami. Mengecoh seluruh Rakyat Indonesia. Jika terbukti melanggar HAM maka kami segera lanjutkan ke HAM Internasional,” tandasnya

  • Hasil Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi: Roy Suryo Cs Tetap jadi Tersangka

    Hasil Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi: Roy Suryo Cs Tetap jadi Tersangka

    Bisnis.com, JAKARTA — Polda Metro Jaya menyatakan Roy Suryo Cs masih jadi tersangka usai mengajukan gelar perkara khusus terkait kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).

    Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Iman Imanuddin mengatakan dalam gelar perkara khusus itu penyidik telah membuktikan penetapan tersangka Roy Cs sudah sesuai prosedur.

    “Berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP, penyidik telah menetapkan tersangka dan melakukan pemberkasan perkara atas perkara dimaksud,” ujar Iman di Polda Metro Jaya, Kamis (18/12/2025).

    Dia menambahkan dalam gelar perkara khusus ini sudah dilakukan dengan melibatkan pengawas eksternal seperti Komnas HAM, Kompolnas hingga Ombudsman.

    Terlebih, kata Iman, penyidik juga telah memperlihatkan ijazah Jokowi yang identik dari Universitas Gajah Mada (UGM) ke Roy Suryo dkk.

    “Kami sampaikan bahwa dalam forum gelar perkara khusus tersebut, atas seizin dan kesepakatan para pihak dalam forum, penyidik telah menunjukkan [ke Roy Cs] ijazah atas nama Joko Widodo yang diterbitkan oleh fakultas kehutanan UGM,” imbuhnya.

    Di samping itu, Iman mengemukakan bahwa apabila Roy Suryo dkk masih keberatan soal penetapan tersangka, maka kepolisian mempersilakan pengujian itu dilakukan melalui praperadilan.

    “Adapun, terhadap penetapan tersangka yang sudah kami lakukan apabila para tersangka atau kuasa hukum keberatan maka dipersilahkan untuk melakukan pengujian melalui mekanisme pra peradilan sebagaimana yang sudah diatur dalam KUHAP,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, kasus tudingan ijazah palsu ini dilaporkan langsung oleh Jokowi ke Polda Metro Jaya pada (30/5/2025). Dalam perkara ini, Polda Metro Jaya telah menetapkan delapan tersangka.

    Delapan tersangka ini dibagi menjadi dua klaster. Klaster pertama, yakni menjadi dua klaster. Klaster pertama yakni Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi Sudjana (ES) dan Anggota TPUA Kurnia Tri Royani (KTR).

    Kemudian, Pengamat Kebijakan Umum Hukum dan Politik Damai Hari Lubis (DHL), Mantan aktivis ’98 Rustam Effendi (RE) dan Wakil Ketua TPUA Muhammad Rizal Fadillah (MRF).

    Sementara itu, klaster kedua Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Roy Suryo (RS), Ahli Digital Forensik Rismon Hasiholan Sianipar (RSH) dan Dokter Tifauzia Tyassuma alias dr Tifa (TT).

  • Wanti-wanti Mahfud MD Terkait Kasus Ijazah Jokowi, Ungkap Risiko Roy Suryo Cs Harus Berani Dipenjara

    Wanti-wanti Mahfud MD Terkait Kasus Ijazah Jokowi, Ungkap Risiko Roy Suryo Cs Harus Berani Dipenjara

    GELORA.CO  – Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menguraikan konsekuensi hukum apabila ijazah asli Presiden ke-7 RI Joko Widodo tidak ditampilkan dalam proses persidangan.

    Ia menegaskan, keputusan terkait pembuktian keaslian dokumen sepenuhnya berada di tangan hakim.

    Menurut Mahfud, inti persoalan hukum dalam polemik ijazah tersebut adalah pembuktian keaslian dokumen, bukan sekadar klaim atau persepsi.

    “Hakim nanti harus membuktikan loh ijazah itu asli atau tidak. Tidak boleh bicara identik asli apa tidak. Mana aslinya karena apa? Kan ini persoalannya intinya tuh ijazah ini asli atau palsu,” ungkap Mahfud MD dalam program TERUS TERANG yang tayang di Youtube Mahfud MD Official, Selasa (16/12/2025).

    Mahfud menjelaskan, dalam sistem hukum dikenal asas fundamental bahwa pihak yang mengajukan dalil wajib membuktikan kebenaran dalil tersebut.

    Prinsip ini berlaku baik dalam ranah perdata maupun pidana, meskipun dengan mekanisme yang tidak selalu sama.

    “Siapa yang mendalilkan dia harus membuktikan. Itu dalil dalam hukum perdata, tapi di dalam hukum pidana juga ada bisa dipakai, tapi juga yang sebaliknya. Siapa yang memdalilkan harus membuktikan,” ujar Mahfud MD.

    Ia kemudian memberikan ilustrasi terkait tudingan bahwa ijazah yang beredar hanya berupa salinan atau fotokopi.

    Dalam kondisi tersebut, menurut Mahfud, pihak yang memiliki dokumen wajib memperlihatkan ijazah asli.

    “Misalnya, itu palsu indikasinya ini fotokopian. Nah, kalau gitu mana dong aslinya? Tunjukkan ya. Harus ditunjukkan dong,” ujarnya.

    Mahfud menambahkan, dalam proses hukum, jaksa memiliki peran penting dalam menghadirkan alat bukti, sementara hakim harus bersikap tegas apabila unsur pembuktian tidak terpenuhi.

    “Jaksa harus mewakili negara untuk mencari yang asli. Kalau tidak, hakim harus berani mengatakan ‘tidak ada kasusnya’. Wong dia menyatakan ini asli tapi aslinya nggak pernah ada. Hakim harus minta ke jaksa (ijazah aslinya),” tegas Mahfud MD.

    Ia juga menilai tidak tepat jika seseorang langsung dituduh melakukan pencemaran nama baik atau fitnah tanpa terlebih dahulu ditunjukkan objek perkara, yakni ijazah asli yang dipersoalkan.

    “Coba sekarang tunjukkan buktinya apa ada barcode-nya, ada (dokumen) apanya gitu. Coba buktikan. Nah, di situ pembuktian forensiknya bisa dilakukan atas perintah hakim.

    “Jadi gak adil kalau tiba-tiba aslinya tidak ditunjukkan, dia (Roy Suryo dkk) dituduh memfitnah gitu,” kata Mahfud MD.

    Lebih jauh, Mahfud mengingatkan bahwa pemaksaan hukum tanpa pembuktian yang transparan berpotensi melanggar hak asasi manusia dan dapat berdampak pada masa depan penegakan hukum di Indonesia.

    “Saya katakan pelanggaran karena asasi manusia, urusan Suryo, urusan Tifa, urusan Rismon, tetapi masa depan bangsa ini yang dipertaruhkan.”

    “(Masa depan) hukum rusak kalau hanya karena itu tanpa ditunjukkan aslinya, dikatakan ‘Anda (Roy Suryo dkk) menyebar berita bohong, Anda tidak pernah melihat aslinya lalu mengatakan ini palsu’, ya yang punya dong yang harus menunjukan aslinya baru dia (mereka) dikatakan memfitnah, wong dia (Jokowi) punya yang (diklaim) asli kok,” tegas Mahfud MD.

    Meski demikian, Mahfud mengapresiasi pernyataan Joko Widodo yang sebelumnya menyatakan kesediaannya memperlihatkan ijazah asli dalam persidangan.

    Baca juga: Rekam Jejak Doktor Hukum UI yang Sebut Masalah Tak Selesai Meski Ijazah Jokowi Ditunjukkan

    “Alhamdulillah Pak Jokowi seminggu lalu ya sudah diwawancarai oleh Friska Clarisa, saya akan tunjukkan di pengadilan. Nah, itu bagus. Tunjukkan nanti dibuktikan secara forensik,” kata Mahfud MD.

    Mahfud menegaskan, apabila melalui pemeriksaan forensik tudingan pemalsuan terbukti tidak benar, maka pihak yang menuduh harus siap menanggung risiko hukum atas perbuatannya.

    “RRT (Roy Surto, Rismon dan Tifa) itu ya harus berani masuk penjara. Itu risiko dari setiap perjuangan, harus dengan gagah (mengakui) ‘Ya saya salah. Saya minta maaf, tapi tidak minta dibebaskan’,” kata Mahfud MD.

    2 Jalur Penyelesaian Kasus Ijazah Jokowi

    Dalam tayangan yang sama, Mahfud juga menguraikan dua jalur penyelesaian yang dinilainya paling proporsional.

    Pertama, setelah berkas perkara dilimpahkan, jaksa penuntut umum memiliki kewenangan untuk menilai kelengkapan alat bukti.

    Apabila dinilai belum memenuhi syarat, jaksa dapat mengembalikan berkas perkara melalui mekanisme P19, meminta penyidik melengkapi kekurangan, bahkan menghentikan perkara jika bukti dianggap tidak mencukupi.

    Kedua, jika jaksa memutuskan membawa perkara ke pengadilan, hakim wajib memerintahkan pembuktian substantif, termasuk pemeriksaan forensik terhadap ijazah yang dipersoalkan.

    “Hakim bisa meminta, mana ijazah aslinya. Tidak cukup hanya menyebut identik,” tegasnya.

    Mahfud juga menyoroti kekeliruan dalam memahami beban pembuktian hukum pidana. Ia menegaskan bahwa pembuktian tidak selalu dibebankan pada satu pihak saja.

    Menurutnya, apabila seseorang dituduh memfitnah karena menyebut ijazah palsu, sementara pihak yang dituduh memiliki dokumen asli, maka dokumen tersebut harus ditunjukkan.

    “Kalau orang dituduh memfitnah karena mengatakan ijazah itu palsu, sementara yang dituduh punya ijazah asli, ya tunjukkan. Kalau aslinya tidak pernah dihadirkan, itu juga problem hukum,” ujarnya.

    Dalam konteks pasal-pasal yang digunakan, Mahfud mengkritisi penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27A dan Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

    Ia menekankan bahwa seluruh unsur pidana harus dibuktikan secara ketat dan tidak boleh ditafsirkan sembarangan.

    “Keonaran menurut putusan MK itu harus keributan fisik yang nyata dan membahayakan, bukan sekadar opini di media sosial,” katanya.

    Mahfud mengingatkan bahwa penegakan hukum yang dipaksakan justru berpotensi melanggar hak asasi manusia dan merusak wibawa hukum itu sendiri.

    Ia menilai perkara ini memiliki dampak besar karena menyangkut masa depan praktik penegakan hukum di Indonesia.

    Terkait keterlibatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Mahfud menilai peran kampus tersebut sudah cukup jelas. UGM telah menyatakan bahwa Jokowi merupakan alumninya dan ijazah tersebut diterbitkan oleh institusi tersebut.

    “UGM tidak perlu diseret lebih jauh. Soal ijazah yang mana dan Jokowi yang mana, itu urusan pengadilan,” ujarnya.

    Mahfud menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya keberanian negara dalam menjunjung proses peradilan yang jujur dan terbuka.

    Jika tuduhan terbukti keliru, pihak yang menuduh harus siap menghadapi konsekuensi hukum.

    Sebaliknya, negara juga berkewajiban membuktikan setiap tuduhan secara sah dan meyakinkan.

    “Negara hukum harus berdiri di atas pembuktian, bukan asumsi. Biarkan pengadilan yang memutuskan,” pungkas Mahfud

  • Nilai Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Mudah tapi Rumit, Pengamat Politik Sebut Kekuatan 60:40

    Nilai Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Mudah tapi Rumit, Pengamat Politik Sebut Kekuatan 60:40

    GELORA.CO – Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno menilai kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya mudah tapi rumit. 

    Menurut Adi Prayitno rumitnya kasus ii karena masalah politik dan hukum bercamppur baur.

    “Ini kawin silang yang saya kira tidak berkesudahan,” kata Adi dikutip dari tayangan Hot Room Metro TV pada Rabu (17/12/2025). 

    Adi lalu membeber empat tahapan yang bisa membuat masalah ini bisa tuntas.

    Tahapan pertama sudah dilakuka Universitas Gajah Mada (UGM) yang menyebut bahwa Jokowi lulusannya, alumnus Fakultas Kehutanan.

    “Tapi kan tidak dipercaya. Mestinya kalau memang UGM itu tidak dipercaya, gugat juga dong UGM-nya. Tunjukkan bukti-buktinya yang valid dan solid,” katanya. 

    Karena tidak percaya, maka tahap kedua yang mestinya cukup selesai adalah Jokowi sendiri.

    “Pak Jokowi tinggal menunjukkan ijazah aslinya. Selesai. Normalnya begitu. Tapi Pak Jokowi tidak mau menunjukkan dokumennya karena menganggap itu dokumen pribadi dan hanya ingin tunjukkan di pengadilan. Ini yang rumit,” katanya. 

    Karena belum tuntas, akhirnya masuk ke tahap ketiga, yakni pengadilan.

    “Sekarang sudah ada tersangka terkait ijazah ini. Maka satu-satunya pembuktian adalah jalur hukum. Tinggal nanti diadu data dan fakta antara pengacara Roy Suryo dan pengacara Pak Jokowi,” katanya. 

    Kalau ini terus gaduh, maka, menurut Adi ada langkah keempat yakni amnesti atau abolisi dari Presiden. 

    “Seperti yang sudah-sudah karena untuk menyelesaikan persoalan ini, menghentikan kegaduhan,”katanya. 

    Menurut Adi, melihat kasus sebelumnya amnesti dan abolisi alasannya untuk rekonsiliasi dan politis, serta menghentikan suasana kegaduhan dan kontroversi. 

    Namum, lanjutnya, itu paling ujung karena yang paling ditunggu oleh publik itu adalah soal siapa yang sebenarnya paling kuat antara kubu Roy Suryo atau Pak Jokowi terkait dengan adu ijazah. 

    Adi Prayitno melihat kecenderungan publik saat ini menginginkan untuk tidak ada perdamaian atau islah dan berharap ada yang kalah dan menang. 

    Ditanya tentang prediksi siapa yang akan memenangkan pertempuran ini. Adi menyebut fifty-fifty.

    “Itu artinya 60:40 versi Madura, Bang,” ujar Adi Prayitno sambil tertawa. 

    Analisis Mahfud MD

    Terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD menegaskan bahwa polemik tuduhan ijazah palsu terhadap Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) tidak dapat diselesaikan hanya melalui mekanisme gelar perkara di kepolisian.

    Menurutnya, kepastian hukum soal keaslian dokumen hanya dapat ditentukan melalui proses persidangan di pengadilan.

    Mahfud menekankan bahwa kewenangan menyatakan suatu ijazah asli atau palsu berada sepenuhnya di tangan hakim, melalui pembuktian yang terbuka, objektif, dan dapat diuji oleh semua pihak.

    Ia mengingatkan bahwa gelar perkara terkait tudingan ijazah Jokowi sebelumnya pernah dilakukan di Mabes Polri, menyusul laporan dari kelompok aktivis ulama.

    Saat itu, kepolisian memutuskan tidak melanjutkan laporan karena dokumen yang diperiksa dinilai “identik”.

    Namun, Mahfud menilai kesimpulan tersebut tidak menyelesaikan persoalan secara hukum.

    “Identik itu bukan berarti asli atau palsu. Itu hanya berarti mirip. Soal asli atau tidak, hanya hakim yang boleh memutuskan di pengadilan,” ujar Mahfud dalam wawancara di Channel YouTube Mahfud MD Official, Senin (15/12/2025) malam.

    Mahfud menyebut, gelar perkara khusus yang kini digelar di Polda Metro Jaya sah dilakukan.

    Meski begitu, apa pun hasilnya tidak serta-merta menutup peluang perkara untuk berlanjut ke tahap hukum berikutnya.

    Menurutnya, penilaian akhir tetap harus dilakukan melalui persidangan dengan mekanisme pembuktian yang transparan dan adil.

    Mahfud kemudian menguraikan dua jalur penyelesaian yang dinilainya paling proporsional.

    Pertama, setelah berkas perkara dilimpahkan, jaksa penuntut umum memiliki kewenangan untuk menilai kelengkapan alat bukti.

    Apabila dinilai belum memenuhi syarat, jaksa dapat mengembalikan berkas perkara melalui mekanisme P19, meminta penyidik melengkapi kekurangan, bahkan menghentikan perkara jika bukti dianggap tidak mencukupi.

    Kedua, jika jaksa memutuskan membawa perkara ke pengadilan, hakim wajib memerintahkan pembuktian substantif, termasuk pemeriksaan forensik terhadap ijazah yang dipersoalkan.

    “Hakim bisa meminta, mana ijazah aslinya. Tidak cukup hanya menyebut identik,” tegasnya.

    Mahfud juga menyoroti kekeliruan dalam memahami beban pembuktian hukum pidana. Ia menegaskan bahwa pembuktian tidak selalu dibebankan pada satu pihak saja.

    Menurutnya, apabila seseorang dituduh memfitnah karena menyebut ijazah palsu, sementara pihak yang dituduh memiliki dokumen asli, maka dokumen tersebut harus ditunjukkan.

    “Kalau orang dituduh memfitnah karena mengatakan ijazah itu palsu, sementara yang dituduh punya ijazah asli, ya tunjukkan. Kalau aslinya tidak pernah dihadirkan, itu juga problem hukum,” ujarnya.

    Dalam konteks pasal-pasal yang digunakan, Mahfud mengkritisi penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27A dan Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

    Ia menekankan bahwa seluruh unsur pidana harus dibuktikan secara ketat dan tidak boleh ditafsirkan sembarangan.

    “Keonaran menurut putusan MK itu harus keributan fisik yang nyata dan membahayakan, bukan sekadar opini di media sosial,” katanya.

    Mahfud mengingatkan bahwa penegakan hukum yang dipaksakan justru berpotensi melanggar hak asasi manusia dan merusak wibawa hukum itu sendiri.

    Ia menilai perkara ini memiliki dampak besar karena menyangkut masa depan praktik penegakan hukum di Indonesia.

    Terkait keterlibatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Mahfud menilai peran kampus tersebut sudah cukup jelas. UGM telah menyatakan bahwa Jokowi merupakan alumninya dan ijazah tersebut diterbitkan oleh institusi tersebut.

    “UGM tidak perlu diseret lebih jauh. Soal ijazah yang mana dan Jokowi yang mana, itu urusan pengadilan,” ujarnya.

    Mahfud menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya keberanian negara dalam menjunjung proses peradilan yang jujur dan terbuka.

    Jika tuduhan terbukti keliru, pihak yang menuduh harus siap menghadapi konsekuensi hukum.

    Sebaliknya, negara juga berkewajiban membuktikan setiap tuduhan secara sah dan meyakinkan.

    “Negara hukum harus berdiri di atas pembuktian, bukan asumsi. Biarkan pengadilan yang memutuskan,” pungkas Mahfud.

    Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi

    Sebelumnya, Polda Metro Jaya menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo.

    Para tersangka dibagi ke dalam dua klaster berdasarkan peran dan dugaan pelanggaran yang dilakukan.

    Klaster pertama terdiri atas lima tersangka, yakni: 

    Eggi Sudjana

    Kurnia Tri Rohyani

    M. Rizal Fadillah

    Rustam Effendi

    Damai Hari Lubis 

    Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan/atau Pasal 311 dan/atau Pasal 160 KUHP, serta Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) dan/atau Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

    Sementara itu, klaster kedua mencakup tiga tersangka, yakni: 

    Roy Suryo

    Rismon Sianipar (Ahli digital forensik)

    Tifauziah Tyassuma (dr. Tifa)

    Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, Pasal 32 Ayat (1) juncto Pasal 48 Ayat (1), Pasal 35 juncto Pasal 51 Ayat (1), Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4), serta Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) UU ITE.

    Kasus ini bermula dari laporan yang diajukan oleh organisasi Pemuda Patriot Nusantara pada April 2025, diikuti dengan laporan Jokowi dan sejumlah pihak. 

    Di sisi lain, gugatan perdata terkait ijazah di Pengadilan Negeri Solo dan Jakarta Pusat telah dinyatakan gugur atau tidak diterima karena pengadilan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, yang dinilai lebih tepat masuk ranah pidana atau Tata Usaha Negara.

    Pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) sendiri telah mengonfirmasi bahwa Jokowi adalah alumnus Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980 dan lulus pada tahun 1985.

  • Alasan Dokter Tifa Sebut Transkrip Nilai di Ijazah Jokowi Cacat, Soroti Tulisan hingga Tanda Tangan

    Alasan Dokter Tifa Sebut Transkrip Nilai di Ijazah Jokowi Cacat, Soroti Tulisan hingga Tanda Tangan

    GELORA.CO – Dokter sekaligus pegiat isu kesehatan publik, Tifauzia Tyassuma atau yang dikenal sebagai Dokter Tifa, menyampaikan pandangannya terkait keabsahan transkrip nilai mantan Presiden RI Joko Widodo.

    Ia menilai dokumen akademik tersebut tidak memenuhi standar kelengkapan administrasi.

    Penilaian itu disampaikan Dokter Tifa setelah mengikuti gelar perkara khusus yang digelar Polda Metro Jaya pada Senin (15/12/2025).

    Proses gelar perkara berlangsung sekitar enam jam dan menghadirkan sejumlah barang bukti, termasuk ijazah dan transkrip nilai Jokowi yang telah disita penyidik sejak Juni 2025.

    Dalam forum tersebut, penyidik memperlihatkan ijazah serta dokumen akademik lain milik Presiden ke-7 RI, termasuk transkrip nilai strata satu Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM).

    Dokumen itu ditunjukkan secara langsung kepada tiga pihak yang kerap disebut sebagai Trio RRT, yakni Roy Suryo selaku pakar telematika, Rismon Sianipar sebagai ahli digital forensik, dan Dokter Tifa.

    Gelar perkara khusus tersebut digelar setelah permintaan yang diajukan Trio RRT sebanyak dua kali, masing-masing pada 21 Juli 2025 dan 20 November 2025.

    Sebagaimana diketahui, Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa telah ditetapkan sebagai tersangka bersama lima orang lainnya pada Jumat (7/11/2025).

    Penetapan tersebut berkaitan dengan laporan dugaan pencemaran nama baik atau fitnah terkait tuduhan ijazah palsu yang dilayangkan Joko Widodo pada 30 Mei 2025.

    Usai mengikuti gelar perkara, Dokter Tifa mengungkapkan sejumlah temuan yang menurutnya menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam transkrip nilai Jokowi.

    Ia menilai dokumen tersebut tidak memuat informasi akademik secara utuh.

    “Sebagaimana yang kami semua lihat, bahwa transkrip nilai Joko Widodo yang disampaikan oleh Bareskrim itu transkrip nilai yang cacat,” tutur Dokter Tifa dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Senin, melansir dari Tribunnews.

    “Karena tidak lengkap dan tidak sesuai dengan transkrip nilai dari Fakultas Kehutanan UGM di era tahun 1985,” tambahnya.

    Baca juga: Kubu Roy Suryo Cs Klaim Tiga Orang Dikeluarkan dari Gelar Perkara Khusus Kasus Ijazah Jokowi, Siapa?

    Dokter Tifa menyebut dirinya bersama Roy Suryo dan Rismon Sianipar memiliki dokumen pembanding berupa transkrip nilai Fakultas Kehutanan UGM yang diterbitkan pada tahun yang sama, yakni 1985.

    Ia mengklaim, jika dibandingkan dengan spesimen yang mereka miliki, transkrip nilai Jokowi menunjukkan perbedaan signifikan.

    Padahal, ijazah Jokowi sendiri tercatat bertanggal 5 November 1985.

    “Kebetulan kami bertiga punya spesimen transkrip nilai Fakultas Kehutanan UGM keluaran tahun 1985 yang sangat berbeda dengan transkrip nilai yang disita oleh kepolisian,” jelas Dokter Tifa.

    “Dan ini bisa kami buktikan nanti bahwa transkrip nilai keduanya itu betul-betul sangat berbeda,” lanjutnya.

    Lebih lanjut, Dokter Tifa menjelaskan bahwa transkrip nilai yang sah seharusnya memuat tanda tangan pejabat fakultas, yakni dekan dan pembantu dekan I.

    Namun, hal tersebut tidak ia temukan pada dokumen milik Jokowi yang ditampilkan dalam gelar perkara.

    “Nah, kalau transkrip nilai asli itu sangat bagus, sempurna, ya, lengkap. dengan tanda tangan dari dekan dan pembantu dekan 1 dari Fakultas Kehutanan UGM,” tutur Dokter Tifa.

    “Sedangkan transkrip nilai Joko Widodo sama sekali tidak lengkap,” imbuhnya.

    Sebagai alumni Universitas Gadjah Mada dari Fakultas Kedokteran, Dokter Tifa juga menyoroti bentuk penulisan nilai dalam transkrip tersebut.

    Menurutnya, pencantuman nilai secara tulisan tangan tidak lazim untuk lulusan Fakultas Kehutanan UGM pada era 1985.

    Ia menilai, pada periode tersebut, nilai akademik umumnya dicetak menggunakan mesin ketik manual.

    “Angkanya, angka-angka nilai pun juga ditulis dengan tulisan tangan dan itu sama sekali tidak lazim untuk lulusan sarjana di Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985,” jelas Dokter Tifa.

    “Karena seharusnya angka tersebut dicetak dengan mesin ketik manual,” tambahnya.

    Dokter Tifa kembali menegaskan bahwa absennya tanda tangan dekan dan pembantu dekan I menjadi salah satu poin krusial yang menurutnya membedakan transkrip nilai Jokowi dengan dokumen pembanding yang mereka miliki.

    “Dan yang paling penting lagi adalah bahwa transkrip nilai Joko Widodo tidak ada tanda tangan dari dekan dan pembantu dekan 1,” ucap Dokter Tifa.

    “Sedangkan transkrip nilai asli tahun 1985 ada tanda tangan dekan dan tanda tangan pembantu dekan 1,” tegasnya

  • Dokter Tifa Kecewa Penyidik Perlihatkan Ijazah Jokowi cuma 10 Menit

    Dokter Tifa Kecewa Penyidik Perlihatkan Ijazah Jokowi cuma 10 Menit

    GELORA.CO -Pegiat media sosial Tifauzia Tyassuma alias Dokter Tifa mengaku konsisten meyakini bahwa ijazah mantan Presiden Joko Widodo alias Jokowi adalah palsu.

    Penegasan Dokter Tifa ini disampaikan melalui  akun X pribadinya, dikutip Rabu 17 Desember 2025, terkait langkah penyidik yang memperlihatkan ijazah yang diklaim milik Jokowi kepada para tersangka dalam Gelar Perkara Khusus pada Senin 15 Desember 2025.

    “Ditunjukkannya ijazah itu, yang hanya berlangsung kurang dari 10 menit. Dan berbagi adu kepala dengan puluhan orang yang hadir. Tidak ada proses observasi, penelitian,  pengkajian yang memadai dengan waktu sependek itu. Apalagi kami dilarang menyentuh, memegang,  meraba, dan menguji selembar kertas yang disebut ijazah tersebut,” kata Dokter Tifa.

    Padahal, Dokter Tifa sudah meminta agar  ijazah ditunjukkan di saat awal gelar perkara. Tetapi dipenuhi di saat terakhir, setelah enam jam diskusi yang sangat melelahkan. 

    “Dilakukan hampir tengah malam. Ketika otak sudah lelah berpikir,” kata Dokter Tifa. 

    Menurut Dokter Tifa, masyarakat harus paham dan tidak boleh terjebak dalam ilusi transparansi yang sedang dimainkan ini.

    “Sebab, ini bukan soal asli dan tidaknya ijazahnya tersebut. Pembuktian  keaslian ijazah bagi RRT sudah selesai. Sudah kami tuntaskan secara science-based,” kata Dokter Tifa.

    “Ini adalah  perang konsistensi. RRT tetap konsisten dengan hasil penelitiannya.

    Jokowi tetap konsisten dengan kebohongannya,” sambungnya.

    Dokter Tifa mengingatkan bahwa ijazah bukan dokumen tunggal yang berdiri sendiri. Ada transkrip nilai yang amburadul, skripsi yang muncul tahun 2108, KKN yang terjadi dua kali, kartu  registrasi masuk ke prodi Sarjana Muda dan bukan prodi Sarjana, dan  700 dokumen lainnya yang disita Polda dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

    “Untuk saya, dr Tifa, semua bahan itu adalah tanda kegiatan penelitian kami akan  terus berlanjut,” pungkas Dokter Tifa. 

  • Tersangka Rizal Fadillah Berapi-Api Sebut Jokowi Harus Dihukum di Gelar Perkara Khusus Polda Metro

    Tersangka Rizal Fadillah Berapi-Api Sebut Jokowi Harus Dihukum di Gelar Perkara Khusus Polda Metro

    GELORA.CO  — Polda Metro Jaya (PMJ) melakukan gelar perkara khusus kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), Senin (15/12/2025).

    Gelar perkara khusus ini dilakukan Polda Metro Jaya dalam memenuhi permintaan atau pengajuan para tersangka kasus ini termasuk Roy Suryo Cs.

    Rizal Fadillah, salah satu dari 8 tersangka kasus ini yang merupakan Wakil Ketua Umum Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) mengatakan ada 3 hal yang menjadi catatan pihaknya menghadiri gelar perkara khusus kasusnya di Polda Metro Jaya, Senin (15/11/2025) hari ini.

    “Ada tiga hal yang menjadi catatan pada kesempatan ini. Yang pertama adalah bahwa yang kita perjuangkan ini baik principal maupun puasa hukum itu, bukan kepentingan pribadi, bukan kepentingan kelompok dan bukan kepentingan kami saja,” kata Rizal di Mapolda Metro Jaya seperti ditayangkan Kompas TV.

    Menurut Rizal, apa yang mereka lakukan adalah perjuangan untuk meneruskan aspirasi masyarakat dan rakyat bangsa Indonesia.

    “Aspirasi yang ingin tahu tentang status ijazah Joko Widodo. Saya kira ini spirit perjuangannya. Dengan begitu yang kita lakukan adalah upaya demi kepentingan umum. Karena itu tidak akan ada pidananya di situ,” papar Rizal.

    “Masa orang menjadi kebenaran dari sesuatu yang diragukan oleh masyarakat, rakyat dan bangsa, eh disebut pidana, disebut kriminal. Ada tidak? Tidak ada itu,” kata Rizal yang tampak makin bersemangat dan emosional.

    Karenanya kata Rizal dalam gelar perkara khusus ini, pihaknya akan membuktikan juga bahwa tidak ada unsur pidana terhadap mereka.

    “Yang kita lakukan mencari kebenaran dari apa yang diragukan publik. Kebenaran, keadilan, kejujuran adalah nilai moral hakiki yang harus dihormati,” ujar Rizal.

    Kemudian yang kedua, kata Rizal, bahwa bukti tidak ada tidak pidana dalam kasus yang dituduhkan padanya yakni itulah gelar perkara khusus ini.

    “Kalau sudah ada tindak pidana, buat apa kami sampai capek-capek minta gelar perkara khususnya. Kan sudah ada gelar perkara sebelumnya. Menurut penilaian kita, gelar perkara sebelumnya cacat hukum. Penegak hukum, melakukan tindakan yang melawam hukum,” bebernya,

    Rizal mengatakan pasal pecemaran nama baik, fitnah,dan penghasutan yang dipakai penyidik menjerat mereka sangat janggal diterapkan.

    “Bagaimana ada pencemaran? Bagaimana fitnah? Kalau ijazah asli tidak ada maka tidak ada pencemaran, tidak ada fitnah, tidak mungkin. Tanya mereka yang paham tentang aturan-aturan, pasti akan jawabannya begitu,” kata Rizal.

    Yang ketiga atau terakhir menurut Rizal, karena kasus tidak ada tindak pidananya, maka harus dihentikan penyidik dengan mengeluarkan SP3.

    “Bahkan, jika sudah dihentikan, kita tidak akan tinggal diam. Belum selesai urusan. Urusan kita adalah mendesak agar pemalsu ijazah, dihukum. Jokowi yang seharusnya jadi pesakitan. Dia pemalsu, pemakai, menggunakan gelar palsu, dia sudah melanggar banyak KUHP dan UU Sisdiknas,” teriak Rizal berapi-api.

    Rizal semakin emosional dan tampak makin berapi-api

    “Pokoknya Jokowi harus dihukum, karena dia sudah melakukan sesuatu yang meresahkan masyarakat, menipy masyarakat, membohongi rakyat. Maka tidak lain, kita akan berjuang terus, agar Jokowi ditangkap, diperiksa, dan dihukum atas perbuatannya, Memalsukan dokumen, menggunakan dokumen, dan gelar palsu. Insya Allah terbukti,” kata Rizal.

    Sementara itu, kuasa hukum Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) Rivai Kusumanegara berharap pelaksanaan gelar perkara yang diminta oleh kubu Roy Suryo cs ini bisa menjawab berbagai persoalan yang diutarakan oleh para tersangka.

    “Harapannya semua yang dianggap persoalan oleh para tersangka dapat terjawab,” kata Rivai.

     Ia juga berharap perkara ini bisa segera dilimpahkan ke pengadilan untuk membuktikan siapa benar dan salah dalam tuduhan tersebut.

    “Kemudian perkaranya segera dilimpahkan ke persidangan melalui penuntut umum,” katanya.

    Rivai juga mengingatkan bahwa gelar perkara tidak bisa membahas pembelaan dari para tersangka.

    Sebab berdasarkan Pasal 312 KUHP, pembelaan itu hanya bisa diuji oleh hakim, dan bukan ranah dari penyidikan ataupun penuntutan.

    “Gelar perkara ini tidak dapat membahas pembelaan para tersangka karena menurut pasal 312 KUHP hanya dapat diuji hakim. Jadi jelas bukan ranah penyidikan maupun penuntutan,” katanya.

    Dua Tahap

    Kuaasa hukum Roy Suryo Cs, Abdul Gafur Sangadji, mengatakan gelar perkara khusus di Mapolda Metro Jaya ini akan digelar dua tahap.

    Tahap pertama akan digelar pukul 10.00 WIB untuk klaster pertama yang terdiri dari lima tersangka.

    Sedangkan tahap kedua dijadwalkan sekira pukul 14.00 WIB untuk klaster kedua yang meliputi Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dr. Tifa.

    “Untuk gelar perkara khusus, itu diagendakan akan dilakukan dalam dua tahap. Jam 10.00 itu klaster pertama dengan lima tersangka, kemudian jam 14.00 untuk klaster dua, yaitu Mas Roy, Bang Rismon, dan dr. Tifa,” kata Abdul Gafur, Senin.

    Abdul Gafur menyebut pihaknya telah menyiapkan pendamping hukum serta sejumlah materi yang akan dipertanyakan kepada penyidik, termasuk kepastian penyitaan ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi).

    Selain itu, tim kuasa hukum juga mempertanyakan dokumen pembanding yang digunakan dalam pemeriksaan laboratorium forensik, jumlah alat bukti, saksi, dan ahli yang telah diperiksa penyidik.

    “Kami ingin mendapatkan kepastian dari penyidik Polda Metro Jaya, apakah ijazah Pak Joko Widodo itu sudah disita atau belum,” ucap Abdul Gafur.

    Ia menegaskan gelar perkara khusus diharapkan tidak sekadar formalitas, melainkan dilakukan secara profesional dan transparan agar para tersangka mengetahui secara jelas dasar penetapan status hukum mereka.

    “Kami ingin tahu ijazah pembanding itu ijazah siapa, apakah disita secara sah, dan apakah ada berita acara keabsahan dari Universitas Gadjah Mada atau tidak,” kata Abdul Gafur. 

    “Kami ingin mendapatkan kepastian, 28 ahli itu siapa saja, 130 saksi itu siapa saja, dan 700 barang bukti yang disita itu barang bukti apa saja,” sambungnya.

    Pihaknya berharap gelar perkara khusus ini tak hanya bersifat formalitas semata. 

    “Kami harapkan gelar perkara khusus besok tidak sekadar menjalankan kewajiban formil sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri. Tetapi betul-betul menjadi forum diskusi yang detail dan mendalam,” lanjut Abdul Gafur