Produk: startup

  • Apa Itu DeepSeek, Startup AI China yang Mengguncang Pasar Saham

    Apa Itu DeepSeek, Startup AI China yang Mengguncang Pasar Saham

    Jakarta, Beritasatu.com – DeepSeek, sebuah perusahaan rintisan (startup) yang berbasis di Hangzhou, China, berhasil mencuri perhatian dunia dengan chatbot kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) buatannya. 

    Kemunculannya telah mengguncang indeks utama Wall Street dan membuat Nasdaq anjlok hingga 3,1%. Aplikasi DeepSeek bahkan menduduki posisi teratas di App Store Apple untuk aplikasi gratis, sehingga memicu kekhawatiran akan dominasi teknologi China di sektor AI.

    Dilansir dari AP, Selasa (28/1/2025), model AI generatif DeepSeek, yang disebut lebih hemat biaya dibandingkan ChatGPT milik OpenAI, telah memancing kekhawatiran di industri teknologi AS. Dengan menggunakan cip Nvidia H800 yang tidak dilarang di China, DeepSeek menunjukkan bahwa perangkat keras tercanggih tidak selalu diperlukan untuk inovasi AI.

    Meskipun model AI DeepSeek dinilai fantastis, analis semikonduktor Stacy Rasgon menyebut hype yang mengelilinginya terlalu berlebihan.

    “Mereka tidak menggunakan inovasi yang belum pernah ada sebelumnya,” kata Rasgon.

    Keunggulan DeepSeek
    Didirikan pada 2023, DeepSeek dirintis oleh Liang Wenfeng, mantan pendiri High-Flyer, sebuah dana lindung nilai berbasis AI. DeepSeek merilis model bahasa AI pertamanya pada akhir 2023, dan baru-baru ini meluncurkan model R1 yang disebut mampu melakukan penalaran tingkat lanjut.

    Salah satu keunggulan R1 adalah kemampuannya dalam “test time scaling”, yaitu proses model AI dapat berpikir ulang dan melatih dirinya sendiri tanpa membutuhkan data baru. Hal ini menciptakan efisiensi yang signifikan dalam pengembangan AI.

    DeepSeek menjadi sorotan karena dianggap mampu bersaing dengan perusahaan besar seperti OpenAI dan Google. Meskipun model serupa sudah dikembangkan oleh perusahaan Amerika, ini adalah kali pertama sebuah perusahaan China mendekati level tersebut dalam waktu singkat.

    Keberhasilan DeepSeek juga memicu diskusi di AS tentang bagaimana negara itu harus bersaing dengan China dalam bidang AI. Beberapa pihak, seperti kapitalis ventura Marc Andreessen, menyebut peluncuran R1 sebagai “momen Sputnik AI” yang merujuk pada perlombaan eksplorasi luar angkasa era Perang Dingin.

    Sementara itu, upaya AS untuk membatasi ekspor cip canggih ke China menjadi sorotan. Gregory Allen dari Wadhwani AI Center mengatakan peluncuran AI DeepSeek bertepatan dengan upaya diplomasi China untuk membuktikan bahwa kontrol ekspor AS tidak efektif.

  • Model AI Tiongkok Deepseek Kalahkan OpenAI hingga Meta, Amerika Panik? – Page 3

    Model AI Tiongkok Deepseek Kalahkan OpenAI hingga Meta, Amerika Panik? – Page 3

    Sekadar informasi, menurut laporan media setempat, laboratorium DeepSeek AI didirikan oleh Liang WenFeng. DeepSeek lahir dari pendanaan bernama High Flyer Quant yang mengelola aset sebanyak USD 8 miliar.

    Meski begitu, DeepSeek bukanlah satu-satunya perusahaan Tiongkok yang berupaya mengembangkan teknologi kecerdasan buatan.

    Peneliti AI terkemuka di Tiongkok, Kai-Fu Lee belum lama ini mengungkapkan, startup mereka, 01.ai melatih model AI hanya dengan dana sebesar USD 3 juta.

    Selain itu, perusahaan induk TikTok, ByteDance juga merilis sebuah update model AI barunya yang mengklaim bisa mengungguli performa o1 milik OpenAI dalam sebuah tes benchmark.

    Menanggapi kebangkitan laboratorium dan startup AI Tiongkok, CEO Perplexity Aravind Srinivas mengatakan, “kebutuhan menjadi induk dari segala penemuan.”

    “Karena mereka harus menjari jalan keluar, pada akhirnya mereka berhasil membangun sesuatu yang jauh lebih efisien,” ungkapnya.

  • Startup AI China DeepSeek, Salip ChatGPT di App Store Apple

    Startup AI China DeepSeek, Salip ChatGPT di App Store Apple

    Bisnis.com, JAKARTA – Aplikasi asisten AI buatan startup asal China, DeepSeek, berhasil menyalip ChatGPT dan meraih posisi sebagai aplikasi gratis berperingkat teratas di App Store Apple di Amerika Serikat.

    Melansir dari Reuters, Senin (27/1/2025), didukung oleh model AI DeepSeek-V3, aplikasi ini telah menarik perhatian besar di kalangan pengguna AS sejak dirilis pada 10 Januari, menurut data dari firma riset aplikasi Sensor Tower.

    Adapun model AI DeepSeek-V3 diklaim oleh para pengembangnya memimpin papan peringkat di antara model sumber terbuka (open source) dan menyaingi model sumber tertutup (closed source) tercanggih di dunia.

    Pencapaian ini menunjukkan betapa DeepSeek berhasil meninggalkan jejaknya di Silicon Valley, sekaligus meruntuhkan anggapan umum tentang dominasi Amerika Serikat dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI). 

    Keberhasilan ini juga menguji efektivitas kebijakan kontrol ekspor Washington yang menargetkan chip canggih dan teknologi AI China.

    Model-model AI seperti ChatGPT dan DeepSeek memerlukan chip canggih untuk pelatihan. Pemerintahan Presiden Joe Biden telah memperkenalkan serangkaian pembatasan sejak 2021 yang bertujuan untuk menghentikan ekspor chip tersebut ke China, dengan tujuan mencegah pengembangan model-model AI yang kompetitif dari perusahaan-perusahaan China.

    Namun, peneliti DeepSeek mengungkapkan dalam sebuah makalah bulan lalu bahwa model DeepSeek-V3 menggunakan chip Nvidia H800 untuk pelatihan, dengan biaya yang tercatat kurang dari US$6 juta. 

    Klaim ini memunculkan perdebatan, terutama mengenai penggunaan chip yang dianggap kurang bertenaga dibandingkan dengan produk-produk Nvidia tercanggih yang menjadi sasaran pembatasan ekspor AS. 

    Terlepas dari perdebatan tersebut, biaya pelatihan yang relatif rendah ini telah memicu keraguan di kalangan para eksekutif teknologi AS tentang efektivitas kebijakan kontrol ekspor tersebut.

    DeepSeek sendiri adalah perusahaan rintisan kecil yang didirikan pada 2023 di Hangzhou, China. Meskipun belum banyak yang diketahui tentang perusahaan ini, peluncurannya datang setelah Baidu, perusahaan teknologi terbesar kedua di Tiongkok, merilis model AI bahasa besar pertama di negara itu.

    Sejak saat itu, puluhan perusahaan teknologi Tiongkok, baik besar maupun kecil, telah merilis model AI mereka sendiri. Namun, DeepSeek menjadi yang pertama mendapat pengakuan luas dari industri teknologi AS, karena kinerjanya yang dianggap sejajar atau bahkan melampaui model-model AI mutakhir buatan AS.

  • Ironis, Sanksi Amerika ke China Malah Munculkan AI Canggih

    Ironis, Sanksi Amerika ke China Malah Munculkan AI Canggih

    Jakarta

    Komunitas AI ramai membicarakan DeepSeek R1, large language model AI asal China yang meski dibuat dengan biaya murah, mampu menandingi produk AI dari Amerika Serikat. Model ini dikembangkan startup DeepSeek, yang mengklaim R1 menyamai bahkan melampaui ChatGPT o1 milik OpenAI tapi beroperasi dengan biaya jauh lebih murah.

    “Ini bisa menjadi terobosan yang sangat bagus bagi para peneliti dan pengembang dengan sumber daya terbatas,” kata Hancheng Cao, asisten profesor sistem informasi di Universitas Emory.

    Keberhasilan DeepSeek lebih luar biasa mengingat kendala yang dihadapi perusahaan AI China terkait kontrol ekspor AS pada chip canggih. Namun, aliih-alih melemahkan kemampuan AI China, sanksi itu malah tampaknya mendorong perusahaan rintisan seperti DeepSeek untuk berinovasi.

    Menurut Zihan Wang, mantan karyawan DeepSeek, untuk membuat R1, DeepSeek harus mengurangi beban pada GPU-nya, jenis GPU yang dirilis Nvidia untuk pasar China yang kinerjanya dibatasi hingga setengah kecepatan produk teratasnya.

    DeepSeek R1 dipuji peneliti karena mampu menangani tugas penalaran rumit, khususnya dalam matematika dan pengodean. Model ini memakai pendekatan berjuluk ‘rantai pemikiran’ mirip dengan ChatGPT o1, memungkinkannya memecahkan masalah dengan memproses kueri langkah demi langkah.

    Dimitris Papailiopoulos, peneliti di lab penelitian AI Frontiers Microsoft, mengatakan hal paling mengejutkan tentang R1 adalah kesederhanaan rekayasanya. “DeepSeek bertujuan untuk jawaban yang akurat, secara signifikan mengurangi waktu komputasi sambil mempertahankan tingkat efektivitas tinggi,” katanya.

    Meski perbincangan seputar R1 sedang hangat, DeepSeek relatif tidak dikenal. Berbasis di Hangzhou, perusahaan ini didirikan Juli 2023 oleh Liang Wenfeng, alumni Universitas Zhejiang dengan latar belakang di bidang informasi dan teknik elektronik. Seperti Sam Altman dari OpenAI, Liang ingin membangun kecerdasan umum buatan (AGI), AI yang dapat menyamai atau bahkan mengalahkan kecerdasan manusia.

    Ada alasan lain mengapa DeepSeek canggih. Jauh sebelum sanksi dari AS, Liang memperoleh persediaan besar chip Nvidia A100, jenis yang sekarang dilarang diekspor ke China. Media China memperkirakan perusahaan tersebut memiliki lebih dari 10.000 stok, tapi Dylan Patel, pendiri SemiAnalysis, memperkirakan mereka punya setidaknya 50.000 unit.

    Menyadari potensi persediaan ini untuk pelatihan AI adalah hal yang mendorong Liang untuk mendirikan DeepSeek, yang dapat menggunakannya dalam kombinasi dengan chip berdaya rendah untuk mengembangkan model AI.

    Liang mengatakan tantangan tambahan yang dihadapi perusahaan China selain sanksi chip adalah teknik rekayasa AI mereka cenderung kurang efisien. “Kami harus mengonsumsi daya komputasi dua kali lipat untuk mencapai hasil yang sama. Tujuan kami adalah terus menutup kesenjangan ini,” katanya. DeepSeek menemukan cara mengurangi penggunaan memori dan mempercepat perhitungan tanpa mengorbankan akurasi secara signifikan.

    Namun, DeepSeek menemukan cara untuk mengurangi penggunaan memori dan mempercepat kalkulasi tanpa mengorbankan akurasi secara signifikan. “Tim senang mengubah tantangan perangkat keras menjadi peluang untuk inovasi,” kata Wang.

    (fyk/hps)

  • eFishery Tegaskan Sudah Lunasi Semua Utang di Bank

    eFishery Tegaskan Sudah Lunasi Semua Utang di Bank

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perusahaan teknologi akuakultur eFishery buka suara terkait lilitan utang yang dilakukan manajemen sebelumnya terhadap sejumlah yang menjadi krediturnya. Seperti diketahui, perusahaan startup tersebut tercatat mendapat pembiayaan dari PT Bank DBS Indonesia, PT Bank OCBC NISP Tbk, dan PT Bank HSBC Indonesia.

    Manajemen menegaskan, di bawah kepemimpinan baru, perusahaan memastikan seluruh kewajiban terhadap bank-bank telah dilunasi.

    “eFishery sudah tidak memiliki utang kepada bank manapun. Kami juga ingin menegaskan bahwa informasi mengenai potensi kredit macet atau adanya hubungan utang yang berisiko tidaklah benar,” tulis manajemen dalam keterangan resminya, dikutip Senin (27/1/2025).

    Manajemen menjelaskan, manajemen sebelumnya mengklaim menggunakan pinjaman dari ketiga bank besar tersebut untuk digunakan sebagai modal kerja meningkatkan pelayanan maupun ekspansi bisnis.

    Sebelumnya, salah satu media luar melaporkan bahwa hasil audit sementara menunjukkan manajemen lama eFishery yang dipimpin CEO sekaligus pendiri perusahaan Gibran Huzaifah, memiliki dua laporan keuangan yang berbeda sejak 2018, yakni untuk kebutuhan internal dan eksternal.

    Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa sejak 2021 hingga 9 bulan pertama di 2024, laporan eksternal memperlihatkan pertumbuhan profit sebelum pajak yang positif dan stabil. Namun, data ini berbanding terbalik dengan laporan internal yang menunjukkan perusahaan terus merugi sejak 2021. Kerugian terparah terjadi pada 2022, yaitu sebesar Rp 784 miliar. Kemudian pada 2023 sebesar Rp759 miliar.

    Manipulasi yang dilakukan tak hanya dari laporan keuangan tetapi juga klaim mantan CEO Gibran Huzaifa. Gibran mengaku ke investor bahwa perusahaan memiliki lebih dari 400.000 fasilitas pakan. Padahal, kenyataan di lapangan hanya sekitar 24.000.

    Kabar mengenai dugaan fraud oleh founder eFishery berawal di Desember 2024. Perusahaan mengganti pucuk pimpinannya, Gibran Huzaifah, CEO dan pendiri perusahaan.

    (ayh/ayh)

  • Startup Rp 344 T Kini Tak Berharga, Karyawan Panik Upah Gak Dibayar

    Startup Rp 344 T Kini Tak Berharga, Karyawan Panik Upah Gak Dibayar

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sebuah bisnis tentunya memiliki risiko termasuk perusahaan dengan peluang besar seperti perusahaan rintisan atau startup. Sektor yang digadang-gadang akrab dengan teknologi ternyata tidak kuat menopang biaya operasional sehingga mengalami beban keuangan.

    Misalnya startup India, yaitu Byju, yang valuasinya sempat menembus US$ 22 miliar (Rp 344 triliun) terpaksa bangkrut karena mengambil langkah yang salah. Hal ini sontak membuat pegawainya ketar-ketir.

    Ternyata, para pegawai Byju sudah lama tidak menerima upah mereka. Berdasarkan laporan Reuters, pengajar di platform Byju sudah berbulan-bulan tidak menerima pembayaran.

    “Banyak orang, termasuk saya, sudah berhenti mengajar karena tak ada gunanya terus-terusan ‘kerja sukarela’ untuk perusahaan,” kata Sukirti Mishra kepada Reuters dalam panggilan konferensi video.

    Reuters berbicara dengan 60 orang pegawai Byju dalam panggilan konferensi video tersebut. Mishra sebelumnya memperoleh sekitar US$ 1.200 per bulan sebagai pengajar matematika di platform Byju.

    Kini Mishra rela menerima keluhan hingga caci maki siswa yang kecewa karena ia menolak memberikan kelas karena sudah lama tidak menerima upah.

    Sekitar 27.000 karyawan Byju yang sudah 3 bulan tidak digaji dilaporkan berencana turun ke jalan atau menggugat Byju.

    Sebanyak 280 pegawai Byju juga sudah mengadu ke pemerintah karena pajak yang dipotong oleh perusahaan dari gaji mereka tidak dibayarkan ke negara.

    Reuters juga diundang ke tiga grup WhatsApp yang berisi lebih dari 2.200 karyawan dan orang tua yang haknya belum dibayarkan oleh Byju.

    Pendiri dan CEO Byju yang bernama Byjy Raveendran berusaha menenangkan pegawainya dan berjanji membayar gaji mereka setelah ia kembali menjadi pengendali perusahaan.

    “Saya jamin, ketika kami kembali memegang kendali, gaji kalian akan dibayar segera,” kata Raveendran.

    Byju kini dikendalikan oleh petugas yang ditunjuk pengadilan karena sudah ada di tahap likuidasi, yang serupa dengan PKPU di Indonesia. Penggugat PKPU Byju adalah kreditur asal Amerika Serikat, yang sudah gerah karena Byju tidak membayar utang US$ 1 miliar.

    Pegawai Byju berhadapan dengan ketidakpastian karena proses likuidasi bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan. Hukum yang berlaku juga tidak menjamin semua hak para pegawai dipenuhi sebelum kewajiban Byju lain, termasuk utang, dipenuhi.

    Perusahaan teknologi pendidikan tersebut padahal juga sudah diterpa berbagai masalah lain yang membuat investor menganggap saham mereka di Byjutak ada ada harganya.

    Prosus adalah salah satu investor paling besar di Byju dengan kepemilikan mencapai 9,6 persen. Saham Prosus di Byju tersebut nilainya sempat mencapai US$ 2,1 miliar (Rp 34 triliun) saat valuasi Byju membubung di Rp 360 triliun.

    Dalam laporan kuartalannya yang baru dirilis, Prosus menyatakan saham mereka di Byju sekarang berharga nol karena penurunan nilainya bagi pemodal ekuitas.

    Byju adalah startup yang bergerak di bidang pendidikan yang beroperasi di Asia Selatan dan Timur Tengah. Kini, perusahaan itu sedang menghadapi berbagai masalah keuangan dan tata kelola.

    Permasalahan di Byju mengemuka saat perusahaan terus menerus menunda rilis laporan keuangan. Ketika laporan keuangan akhirnya dipublikasikan, pendapatan Byju jauh di bawah proyeksi.

    Prosus, investor startup kelas kakap yang mengantongi saham Tencent dan OLX, adalah salah satu yang menarik perwakilannya di dewan komisaris Byju. Mereka menuding Byju tidak mengindahkan saran para pemegang saham.

    Para investor Byju juga menyebut manajemen perusahaan bohong soal penggalangan dana US$ 200 juta yang diumumkan tahun ini.

    HSBC juga menilai harga saham Byju nyaris tak ada harganya. Dalam risetnya, HSBC menilai kepemilikan Prosus atas 10% saham Byju sudah tak layak untuk diperhitungkan.

    (ayh/ayh)

  • Kasus eFishery Berdampak Sistemik pada Ekosistem Startup RI

    Kasus eFishery Berdampak Sistemik pada Ekosistem Startup RI

    Bisnis.com, BANDUNG — Skandal manajemen eFishery yang diduga memanipulasi laporan keuangan hingga US$600 juta disebut akan berdampak sistematik terhadap ekosistem startup di Indonesia.

    Padahal sebelum hal ini menyeruak, dia menilai eFishery sebagai perusahaan rintisan anak negeri yang bergerak di sektor agrikultur ini menjadi kebanggaan Indonesia hingga sukses mencapai status unicorn.

    Dosen sekaligus Kepala Inkubator Bisnis SBM ITB Dina Dellyana mengatakan kasus eFishery menjadi pengingat pahit bahwa mengejar pertumbuhan tanpa memprioritaskan integritas hanya akan berujung pada kehancuran.

    “eFishery, sebagai salah satu startup yang menjadi contoh sukses di industri ini, menghadapi tantangan besar yang tidak hanya mengguncang reputasi mereka, tetapi juga berdampak sistemik pada ekosistem startup, terutama bagi mereka yang sedang dalam tahap fundraising. Banyak yang kini menghadapi ketidakpastian akibat situasi ini,” ungkap dia, Minggu (26/1/2025). 

    Dina menilai kasus eFishery membuat beberapa venture capital (VC) mulai lebih selektif dalam memberikan pendanaan ke startup di Indonesia. Menurutnya, kekhawatiran akan terulangnya permasalahan serupa membuat mereka lebih berhati-hati. 

    “Saya rasa kita akan melihat investor lebih selektif ke depannya, bahkan mungkin ada yang menunda atau membatalkan rencana investasi di sektor teknologi untuk sementara waktu,” jelas Dina.

    Dia menambahkan bahwa situasi ini justru membuka peluang untuk membentuk ulang industri teknologi menjadi lebih sehat. Dengan pendekatan yang lebih berhati-hati, penggunaan metrik yang lebih jelas, dan fokus pada startup yang memiliki model bisnis yang kuat, industri ini dapat berkembang dengan lebih berkelanjutan. 

    “Di era seperti sekarang, teknologi adalah hal yang tak terpisahkan, dan masa depan ekosistem teknologi akan sangat ditentukan oleh kualitas startup yang bertahan,” ungkap Dina.

    Sementara itu, Dosen SBM ITB sekaligus ahli keuangan Yunieta Anny Nainggolan menjelaskan bahwa manipulasi keuangan adalah pelanggaran serius yang berakar pada kelemahan tata kelola perusahaan. 

    “Startup sering kali terlalu fokus pada valuasi dan pertumbuhan cepat, sampai lupa bahwa kepercayaan investor bergantung pada transparansi dan integritas,” kata Neta. 

    Dia menambahkan bahwa praktik semacam ini menciptakan preseden buruk yang membuat investor berpikir dua kali sebelum mendanai startup baru. Untuk memperbaiki situasi, Dia menekankan pentingnya transparansi para manajemen startup. 

    “Startup seperti eFishery perlu menunjukkan komitmen nyata untuk memperbaiki diri, misalnya dengan mempublikasikan hasil audit independen. Restrukturisasi manajemen juga penting, terutama dengan melibatkan pemimpin baru yang memiliki rekam jejak kredibel,” imbuhnya.

    Neta juga menyoroti pentingnya teknologi dalam mendukung tata kelola perusahaan yang lebih baik. 

    Pasalnya, penggunaan software akuntansi berbasis cloud atau bahkan blockchain bisa membantu menciptakan sistem keuangan yang lebih transparan dan akurat. 

    Ia juga mengatakan startup harus berani diaudit secara rutin oleh auditor eksternal. Meski situasi saat ini tampak sulit, baik Dina maupun Neta optimis bahwa ekosistem startup Indonesia akan pulih. 

    “Penurunan investasi di sektor teknologi mungkin akan terjadi dalam waktu dekat, tetapi ini hanya sementara. Saya percaya, dengan adanya permasalahan ini, industri akan menjadi lebih kuat dan matang,” kata Dina. 

    Pada akhirnya, permasalahan ini mengingatkan pelaku usaha apapun bahwa integritas adalah kunci. Startup tidak hanya perlu mengejar mimpi, tetapi juga melakukannya dengan cara yang benar. 

    “Semua pihak, baik investor, founder, maupun ekosistem secara keseluruhan, harus belajar dari kejadian ini untuk menciptakan masa depan yang lebih baik,” jelasnya.

    Permasalahan yang dihadapi eFishery menurutnya mencerminkan tantangan dalam ekosistem startup Indonesia. Namun, dari sini juga muncul pelajaran penting tentang pentingnya transparansi, integritas, dan tata kelola yang baik. 

    “Dengan komitmen untuk berubah dan berkembang, ekosistem ini memiliki peluang besar untuk menjadi lebih kuat di masa depan,” tutup dia.

  • Akses Pendanaan dan Pemerataan Distribusi Jadi Tantangan Serius Industri Perfilman Indonesia – Halaman all

    Akses Pendanaan dan Pemerataan Distribusi Jadi Tantangan Serius Industri Perfilman Indonesia – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Industri film Indonesia mengalami pertumbuhan signifikan dalam satu dekade terakhir. Namun sektor industri kreatif inj masih menghadapi kendala dalam akses pendanaan dan distribusi yang merata.

    Teknologi blockchain dapat menjadi jalan keluar untuk mengatasi hambatan ini. Melalui ekosistem yang sedang dirancang, startup ini berharap dapat menghubungkan kreator dengan audiens secara lebih langsung.

    “Industri film kita memiliki potensi besar, tetapi seringkali terhambat oleh akses pendanaan yang terbatas dan kurangnya transparansi dalam distribusi hasil karya,” ungkap Daniel Yorick, penggagas Cinevix, teknologi berbasis blockchain, di Jakarta dikutip Minggu, 26 Januari 2015.

    Untuk menghadapi tantangan tersebut pihaknya berencana memghadirkan platform bagi kreator film independen didukung teknologi yang menjanjikan transparansi dan akses yang lebih luas. Harapannya, ini dapat menjadi alternatif bagi pendanaan dan distribusi karya film di tanah air.

    Salah satu pendekatan baru yang digunakan startup ini adalah mengintegrasikan tren Real-World Asset (RWA) ke dalam sistem mereka. Teknologi ini memungkinkan digitalisasi aset dunia nyata, seperti hak cipta film, untuk mempermudah transaksi dan meningkatkan nilai investasi.

    RWA saat ini dipandang sebagai tren utama dalam ekosistem blockchain, menawarkan peluang besar bagi sektor kreatif untuk menarik minat investor global.

    Penerapan teknologi ini dirancang oleh tim yang terdiri dari berbagai ahli, termasuk Farhan Aziz Ath Thariq, seorang programmer yang terlibat langsung dalam pengembangan ekosistem Cinevix.

    “Kami percaya bahwa blockchain bukan hanya alat teknologi, tetapi juga solusi untuk menciptakan keadilan dalam industri kreatif,” ujar Farhan, menyoroti potensi teknologi ini dalam membawa transparansi bagi kreator dan investor.

    Dengan mengadopsi pendekatan ini, Cinevix berharap dapat memberikan cara baru bagi investor untuk mendukung proyek-proyek kreatif, sekaligus menjamin transparansi dan keamanan aset. Meskipun rencana peluncurannya belum diumumkan secara pasti, startup ini memastikan bahwa mereka akan mengambil pendekatan bertahap untuk mengembangkan platform tersebut.

    “Kami ingin memastikan bahwa setiap langkah yang diambil didasari pada riset mendalam dan analisis yang matang,” jelas Daniel.

    Menurut data yang dirilis Cinevix, pendanaan dan distribusi menjadi dua tantangan utama bagi kreator film lokal, terutama mereka yang berada di luar jaringan rumah produksi besar.

    Dengan memanfaatkan blockchain, mereka berharap dapat membawa transparansi dan efisiensi dalam proses tersebut.

    Platform ini juga disebut-sebut sebagai bagian dari upaya memperkenalkan budaya Indonesia ke tingkat global melalui media film. Dalam beberapa tahun terakhir, promosi budaya Indonesia melalui seni visual dinilai menjadi salah satu cara efektif untuk meningkatkan visibilitas Indonesia di dunia internasional.

    Namun, seperti startup lainnya, Cinevix masih menghadapi tantangan, termasuk penerimaan teknologi blockchain di pasar lokal yang masih berkembang.

    Pengamat industri menilai bahwa keberhasilan proyek ini akan sangat bergantung pada bagaimana mereka menjembatani teknologi baru ini dengan kebutuhan praktis pelaku industri. “Melalui Cinevix, kami ingin membuka jalan baru yang lebih adil dan inklusif.” tambahnya.

    Platform ini akan mencakup beberapa fitur utama, termasuk: CineFi, platform crowdfunding berbasis blockchain yang memungkinkan kreator mengajukan proyek dan mendapatkan dukungan dana langsung dari komunitas.

    CinePlay, layanan streaming Video on Demand (VOD) yang mendukung kreator memonetisasi karya mereka secara fleksibel.

  • Garena Resmi Gelar Lomba Bikin Game, Diikuti 130 Pelajar dan Mahasiswa

    Garena Resmi Gelar Lomba Bikin Game, Diikuti 130 Pelajar dan Mahasiswa

    Jakarta

    Garena Indonesia resmi menggelar lomba bikin game dalam waktu singkat bertajuk Garena Game Jam: Back For Round 2. Acaranya diikuti 130 pelajar dan mahasiswa.

    Garena Gam Jam: Back For Round 2 diselenggarakan di Universitas Ciputra Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, pada 24-26 Januari 2025. Kompetisi ini mengharuskan para peserta membuat game dalam kurun waktu 48 jam.

    “Kali ini, kami membawa Garena Gam Jam ke Surabaya dengan semangat yang sama, sejalan dengan komitmen kami untuk mendukung perkembangan talenta muda di industri game,” kata Country Head Garena Indonesia, Hans Saleh, dalam keterangan yang diterima detikINET, Minggu (26/1/2025).

    Jumlah peserta yang ikut di game jam kali ini lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Untuk kompetisi pertamanya sempat diadakan pada Desember 2023 dan diikuti oleh 100 orang.

    Hans berharap acara ini dapat menginspirasi kolaborasi lintas stakeholder. Dirinya ingin lebih banyak tercipta peluang untuk kolaborasi bagi para developer game muda di Tanah Air.

    Selain mengadakan kompetisi, Garena Gam Jam: Back For Round 2 turut memberikan transfer knowledge melalui sesi mentoring dari tim developer Garena. Salah satu profesional yang hadir ialah tim developer global Free Fire.

    “Dengan mentoring dari tim developer global Garena, kami berharap acara ini dapat menjadi katalis lahirnya game lokal yang mampu di pasar internasional, mendukung visi Indonesia sebagai pusat ekonomi kreatif,” ujar Deputi Bidang Kreativitas Digital dan Teknologi Kemenparekraf RI, Muhammal Neil El Himam.

    Ketua Tim Fasilitasi Gim, Animasi, dan Startup Teknologi Baru, Kominfo RI, berharap agar apa yang dilakukan Garena menjadi role model bagi pelaku industri game lainnya. Jadi menurutnya masa depan talenta dan industri game di Indonesia bisa semakin cerah.

    Nantinya pemenang Garena Game Jam: Back For Round 2 berkesempatan membawa pulang total hadiah senilai Rp 30 juta. Selain itu, mereka juga bisa bergabung di acara IGDX mendatang bersama Garena Indonesia.

    (hps/hps)

  • Industri Kripto Raih Keuntungan Cepat pada Minggu Pertama Trump Menjabat

    Industri Kripto Raih Keuntungan Cepat pada Minggu Pertama Trump Menjabat

    Jakarta, Beritasatu.com – Industri kripto mulai merasakan hasil awal dari dukungan mereka terhadap Donald Trump saat kampanye Pilpres Amerika Serikat (AS) pada 2024.

    Mengutip CNBC International, Minggu (26/1/2025), industri itu telah menyuntikkan puluhan juta dolar untuk kampanye presiden Trump.

    Namun, saat ini industri kripto menikmati keuntungan signifikan hanya dalam minggu pertama masa jabatan Donald Trump di Gedung Putih.

    “Saya rasa mereka tidak bisa berharap hasil yang lebih baik daripada yang telah mereka dapatkan dalam 48 jam terakhir,” kata Bill Gurley dari Benchmark.

    Gurley menambahkan, meskipun pengaruh teknologi yang semakin kuat di Washington, mungkin menimbulkan tantangan bagi beberapa sektor dunia startup, hal ini jelas membawa manfaat besar bagi industri kripto.

    Dukungan industri terhadap Trump berakar pada janji sang pemimpin Partai Republik untuk menghentikan tindakan keras pemerintah terhadap kripto dan memberlakukan regulasi yang mendukung pengembangan teknologi pembayaran baru, sekaligus melonggarkan pembatasan investasi dalam mata uang kripto.

    Tokoh-tokoh besar industri, seperti CEO Coinbase Brian Armstrong dan CEO Binance Richard Teng, menyambut optimisme terhadap era baru ini.

    “Selama empat tahun terakhir, kami merasa benar-benar berada di bawah tekanan pemerintahan sebelumnya,” kata Armstrong.

    Ia mengkritik pemerintahan Biden yang dianggap memanfaatkan kurangnya kejelasan regulasi untuk menghukum perusahaan, bahkan yang berniat baik.

    “Memang ada beberapa pelaku yang tidak bertanggung jawab, tetapi mereka juga mencoba mengejar pihak-pihak yang sebenarnya sudah berusaha menjalankan bisnis secara baik, seperti kami,” tambah Armstrong. 

    Coinbase merupakan salah satu donatur perusahaan terkemuka pada pemilu 2024.

    Diketahui, salah satu aset terbesar industri kripto, yakni Bitcoin, telah mencetak rekor tertinggi baru mencapai sekitar US$ 109.000 pada Senin (20/1/2025) dan bertahan di angka US$ 105.000 pada akhir pekan. Nilai ini naik lebih dari 50% sejak kemenangan Trump pada pemilu awal November.