Produk: startup

  • Telkomsel Dorong Generasi Muda Hadapi Era AI Lewat IndonesiaNEXT dan NextDev

    Telkomsel Dorong Generasi Muda Hadapi Era AI Lewat IndonesiaNEXT dan NextDev

    Liputan6.com, Jakarta – Indonesia diproyeksikan membutuhkan setidaknya 9 juta talenta digital terampil hingga tahun 2030. Namun, berdasarkan data terkini, lembaga pendidikan formal seperti perguruan tinggi hanya mampu memasok sekitar 6 juta talenta, menyisakan defisit signifikan yang harus diatasi. 

    Tantangan ini kian mendesak dengan hadirnya era otomatisasi dan Kecerdasan Buatan (AI). World Economic Forum 2025 mencatat, sebanyak 92 juta pekerjaan di seluruh dunia berpotensi tergantikan oleh otomatisasi pada 2030, meskipun kabar baiknya, 69 juta peran baru juga diprediksi akan muncul.

    Kondisi itu menuntut peningkatan keterampilan masif dan kepemimpinan yang siap menghadapi disrupsi teknologi.

    Menyikapi urgensi ini, Telkomsel menegaskan komitmennya dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM) digital unggul melalui dua program: IndonesiaNEXT dan NextDev.

    Kedua inisiatif ini dirancang untuk memberdayakan generasi muda Indonesia agar adaptif terhadap perkembangan teknologi, khususnya di bidang AI, pengembangan startup digital, dan inovasi berbasis solusi sosial.

    IndonesiaNEXT dan NextDev difokuskan untuk meningkatkan kapabilitas digital masyarakat, termasuk pemanfaatan teknologi AI yang bertanggung jawab.

    Vice President Corporate Communications & Social Responsibility Telkomsel, Abdullah Fahmi, menjelaskan bahwa tolak ukur keberhasilan program bukan hanya pada jumlah kepesertaan, melainkan pada kualitas output dan dampak nyata yang dihasilkan.

    “Kami ingin memastikan generasi muda Indonesia tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta dan pengembang inovasi berbasis digital,” ujarnya, dikutip Sabtu (15/11/2025).

    Melalui IndonesiaNEXT, Fahmi menjelaskan bahwa perusahaan ingin mendorong peningkatan kompetensi digital secara berkelanjutan agar para peserta siap menghadapi tantangan era AI.

     

  • HP Buatan RI Diam-diam Sudah Mendunia, Banyak Orang Belum Tahu

    HP Buatan RI Diam-diam Sudah Mendunia, Banyak Orang Belum Tahu

    Jakarta, CNBC Indonesia – Banyak yang belum tahu kalau ternyata bangsa kita sudah memproduksi HP untuk dijual di pasar global. Merek HP itu adalah Unplugged, yakni startup asal Limassol, Siprus.

    Unplugged menghadirkan ponsel bernama ‘UP Phone’ yang fokus pada keamanan privasi pengguna.

    Sepintas UP Phone memiliki desain mirip iPhone dengan panel kamera bergaya ‘boba’. Sisiannya juga melengkung dengan bezel layar tipis, hanya saja tak memiliki Dynamic Island seperti iPhone.

    Unplugged mengklaim UP Phone jauh lebih aman ketimbang iPhone 16 Pro dan Galaxy S25. UP Phone disebut tak memiliki permintaan DNS pihak ketiga, dikutip di laman resminya, Sabtu (15/11/2025). Sementara iPhone 16 Pro dan Galaxy S25 masing-masing disebut memiliki 3.181 dan 1.368 permintaan DNS pihak ketiga.

    Ponsel ini ditenagai chip MediaTek Dimensity 1200. Ukuran layarnya cukup besar 6,67-inci berjenis AMOLED. RAM-nya berkapasitas standar 8GB dengan kapasitas penyimpanan 256GB yang bisa diperluas hingga 1TB.

    Sektor fotografi juga diperhatikan. Kamera utamanya memiliki lensa beresolusi 108MP, ditemani kamera makro 5MP dan wide 8MP. Kebutuhan selfie dan video call mengandalkan kamera depan 32MP.

    UP Phone mengandalkan baterai berkapasitas 4.300 mAh dengan pengisian daya 33W (kabel) dan 15W (tanpa kabel). Fitur lainnya meliputi sertifikasi IP53, koneksi Wi-Fi 6, NFC, eSIM dan SIM Nano, jaringan 5G, slot USB Type-C 2.0, serta speaker ganda.

    Sejauh ini, berdasarkan informasi yang beredar, UP Phone dipasarkan di negara-negara seperti AS dan Kanada.

    Informasi soal UP Phone yang diproduksi di Indonesia diketahui dari laporan Reuters pada Agustus 2025 lalu, berdasarkan keterangan CEO Unplugged Joe Well.

    Ditekan Trump Bikin Pabrik di Amerika

    Reuters memuat laporan yang menyebut Unplugged berencana memproduksi UP Phone di Nevada, Amerika Serikat (AS), setelah selama ini mengandalkan manufaktur di Indonesia.

    Meskipun produksi di AS akan menambah biaya tenaga kerja, Unplugged berupaya merakit di Nevada dan bertujuan mempertahankan harga jualnya di bawah US$1.000 (Rp16,2 jutaan). Sebagai perbandingan, ponsel hasil produksi di Indonesia dijual US$989 (Rp16 juta).

    Tak hanya memproduksi ponsel saja di Nevada, CEO Unplugged Joe Weil mengungkapkan langkah berikut perusahaan adalah melakukan pengadaan komponen perangkat.

    “Langkah pertama yang dilakukan adalah perakitan, bertahap melakukan pengadaan komponen,” jelasnya dikutip dari Reuters.

    Sayang, ia tak berbicara banyak soal informasi lain terkait jumlah perangkat yang dirakit dan mitra kerjanya di Nevada. Begitu juga jumlah dana yang dikumpulkan untuk bisa memulai upaya barunya.

    Biaya perakitan smartphone di AS sangat mahal. Ada beberapa alasannya, seperti rantai pasok yang masih berada di Asia dan harga tenaga kerja dalam negerinya yang tinggi.

    Unplugged nampaknya telah memikirkan tantangan ini. Perusahaan berencana melakukan perakitan dengan jumlah yang lebih kecil dan stabil, bukan dengan merilis model baru setiap tahunnya.

    Sementara itu, presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terus berupaya agar lebih banyak produsen smartphone bisa merakit langsung perangkatnya di negaranya. Salah satu yang jadi sasaran adalah raksasa asal AS, Apple.

    Trump mendorong inisiatif itu dengan menerapkan beberapa langkah, termasuk dengan ancaman tarif tinggi bagi perusahaan yang menjual barang di AS dan memproduksinya di negara lain.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Talenta Muda RI Siap Ubah Dunia, Asal 5G Dipercepat!

    Talenta Muda RI Siap Ubah Dunia, Asal 5G Dipercepat!

    Jakarta

    Presiden Direktur Ericsson Indonesia, Singapura, Filipina, dan Brunei, Daniel Ode, menyatakan keyakinannya bahwa talenta digital muda Indonesia memiliki kapasitas untuk mengubah masa depan industri teknologi global. Namun, ia menegaskan bahwa percepatan pembangunan jaringan 5G menjadi syarat utama agar inovasi tersebut benar-benar dapat berkembang dan diadopsi industri.

    Pernyataan itu disampaikan Daniel dalam interview usai acara Ericsson Hackathon 2025, yang mempertemukan ratusan talenta muda untuk mengembangkan solusi berbasis 5G dan kecerdasan buatan (AI).

    Daniel menjelaskan bahwa 5G harus dipahami sebagai platform. Nilainya tidak muncul hanya dari jaringan yang dibangun, tetapi dari aplikasi dan use case yang berkembang di atasnya.

    “Platform itu tidak ada artinya kalau tidak ada yang berjalan di atasnya. Sama seperti App Store tanpa aplikasi. Begitu pula 5G-nilai sebenarnya muncul ketika ada inovasi,” ujarnya.

    Karena itu, ia menilai hackathon menjadi katalis penting untuk mempercepat lahirnya aplikasi 5G di Indonesia. “Acara seperti ini menggerakkan lalu lintas inovasi ke platform 5G. Itulah yang membuat ekosistemnya hidup.”

    Terpukau dengan Energi Talenta Digital Indonesia

    Daniel mengaku terkesan dengan antusiasme dan kualitas ide para peserta tahun ini. Bahkan sebelum menyaksikan presentasi final, ia langsung merasakan atmosfer yang berbeda.

    “Saya masuk dan langsung merasa ada energi. Ketika mahasiswa mengembangkan solusi nyata, auranya itu langsung terasa,” katanya.

    Ia menilai tiga tim pemenang menunjukkan kemampuan yang sangat matang. “Give it a year or two. Saya ingin lihat bagaimana mereka berkembang. Ide mereka sudah sangat advance.”

    Walaupun ditanya soal “favorit”, Daniel menjawab diplomatis namun tegas bahwa semua peserta menunjukkan pendekatan kuat dalam menyelesaikan masalah riil.

    Presiden Direktur Ericsson Indonesia, Singapura, Filipina, dan Brunei, Daniel Ode, Foto: Adi Fida Rahman/detikINET

    Daniel menekankan bahwa solusi teknologi tidak boleh berhenti pada konsep futuristis. Harus ada relevansi dengan kehidupan nyata.

    “Ketika kamu mengambil masalah hari ini, lalu menyelesaikannya dengan digitalisasi, di situlah nilai platform itu muncul. Kecepatan, produktivitas, dan efisiensi-itulah yang membuat 5G relevan untuk industri,” jelasnya.

    5G Innovation Lab

    Daniel menegaskan bahwa inovasi tidak boleh berhenti di ajang hackathon. Ericsson telah menyiapkan 5G Innovation Lab yang berfungsi sebagai ruang kolaborasi bagi industri, akademisi, dan developer.

    “Tidak perlu menunggu hackathon. Lab kami sudah ada, sudah beroperasi. Developer bisa datang, industri bisa menyampaikan masalah mereka, dan kita kembangkan bersama,” ujarnya.

    Ericsson juga mulai mendorong model business matching agar solusi yang lahir dari kompetisi tidak berhenti sebagai proyek eksperimental. “Kami ingin solusi ini benar-benar digunakan industri dalam satu atau dua tahun ke depan.”

    Jaringan 5G Harus Digenjot

    Foto: Adi Fida Rahman/detikINET

    Ketika ditanya tentang tantangan talenta digital Indonesia, Daniel menjawab dengan tegas:

    “Saya tidak melihat tantangan. Saya melihat peluang.” ungkapnya.

    Menurutnya, generasi muda Indonesia tumbuh sebagai digital natives yang haus informasi dan memiliki motivasi kuat untuk berkontribusi. “Mereka ingin belajar, ingin mengubah dunia. Itu modal besar.”

    Namun demikian, Daniel menilai industri butuh dukungan infrastruktur agar ide-ide tersebut dapat diwujudkan.

    Daniel menekankan bahwa percepatan adopsi 5G merupakan faktor krusial bagi Indonesia untuk bersaing di level global.

    “Jika infrastrukturnya tidak ada, sulit bagi inovasi untuk berkembang. Ketika 5G benar-benar tersedia luas, akan lahir lebih banyak use case dan teknologi baru,” ujarnya.

    Ia mengingatkan bahwa 5G adalah pondasi bagi kolaborasi lintas sektor-universitas, startup, pemerintah, dan industri. “Ketika semua aktor duduk bersama, efeknya bisa berlipat. One plus one can be three.”

    Pesan untuk Talenta Muda Indonesia

    Di akhir wawancara, Daniel memberikan pesan spesial bagi generasi muda Indonesia yang ingin berkarier di bidang teknologi dan jaringan masa depan:

    “Jangan takut. Rangkullah teknologi baru. Hari ini kita lihat AI yang masih dasar. Besok, mesin berbicara dengan mesin, AI agent dengan AI agent. Itu akan mengubah semuanya. Kita butuh talenta yang berpikiran terbuka untuk menyongsong masa depan itu.”

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Kemkomdigi Bakal Bikin SE Laporan Talenta Digital untuk Global-Tech”
    [Gambas:Video 20detik]
    (afr/afr)

  • ​NasDem Dalami Strategi Kemandirian Teknologi Tiongkok, Bahas Produktivitas Baru Asia

    ​NasDem Dalami Strategi Kemandirian Teknologi Tiongkok, Bahas Produktivitas Baru Asia

    Beijing: Delegasi Partai NasDem mengikuti seminar tingkat tinggi di Beijing yang mengusung tema “Accelerating Sci-Tech Self-Reliance and Self-Strengthening at Higher Levels, Leading the Development of New Quality Productivity.”

    Seminar ini menghadirkan dialog mendalam antara pakar Tiongkok dan delegasi NasDem serta delegasi dari ASEAN mengenai bagaimana negara-negara Asia dapat memperkuat kemandirian sains dan teknologi sebagai fondasi produktivitas baru di era global.

    Profesor Xu Jie dari Departemen Ekonomi, Sekolah Partai Pusat CPC (Akademi Pemerintahan Tiongkok), yang juga menjabat sebagai Direktur Bagian Pengajaran dan Penelitian Ekonomi Industri, memaparkan arah strategis pembangunan teknologi di Tiongkok. Ia menjelaskan bahwa kemandirian teknologi (sci-tech self-reliance) dibangun dengan visi nasional yang konsisten, investasi riset jangka panjang, integrasi inovasi ke dalam perekonomian, serta penguatan ekosistem talenta.

    “Kemandirian teknologi bukan tentang menutup diri dari dunia, tetapi tentang memiliki kekuatan ilmiah untuk berkolaborasi secara setara. Tiongkok ingin memberi kontribusi bagi kemajuan peradaban manusia melalui inovasi yang lahir dari kekuatan sendiri,” jelas Prof. Xu Jie.

    Ia menambahkan bahwa konsep new quality productivity mengarah pada produktivitas generasi baru yang menggabungkan kreativitas manusia, kualitas riset, teknologi strategis, dan orientasi pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan.

    “Produktivitas berkualitas harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan hanya mempercepat pertumbuhan. Teknologi masa depan harus human-centered,” tegasnya.

    Dalam forum tersebut, Prof. Xu Jie secara khusus memuji Indonesia sebagai negara dengan modal teknologi yang sangat besar.

    “Indonesia memiliki kekuatan STEM – sains, teknologi, teknik, dan matematika – yang luar biasa. Dengan sumber daya manusia seperti itu, Indonesia memiliki potensi besar untuk membangun kapasitas teknologinya sendiri dan menjadi pemain penting di kawasan,” ujarnya.
     

    Ia menilai keunggulan demografi Indonesia, kemunculan talenta muda, dan pertumbuhan ekonomi kreatif sebagai fondasi kuat bagi Indonesia untuk bertransformasi menuju teknologi generasi berikutnya. Pernyataan ini menjadi dorongan penting bagi delegasi NasDem untuk melihat peluang kerja sama strategis Indonesia – Tiongkok dalam bidang inovasi dan penguatan SDM.

    Menanggapi paparan Prof. Xu mengenai talenta dan inovasi, Laurentia Mellynda, anggota delegasi NasDem yang juga Anggota DPRD Kota Cirebon, menjelaskan bahwa Indonesia terus memperkuat ekosistem kewirausahaan teknologi untuk generasi muda.

    “Pemerintah Indonesia mendorong tumbuhnya young entrepreneur melalui berbagai program inkubasi startup di Kementerian UMKM dan Kementerian Ekraf. Banyak kompetisi yang memberikan grant dan dukungan pembiayaan untuk membantu anak muda memperluas inovasinya,” ujarnya.

    Ia menambahkan bahwa akses permodalan kini semakin terbuka melalui venture capital baik dari sektor swasta maupun pemerintah.

    “Akses pembiayaan memang semakin terbuka, tetapi tetap harus disertai regulasi yang kuat agar menghindari fraud dan memastikan ekosistem inovasi tumbuh secara sehat,” jelasnya.

    Pemaparan Mellynda memperlihatkan bahwa Indonesia siap memperkuat kapasitas talenta digital dan kewirausahaan teknologi, sehingga kolaborasi dengan Tiongkok akan berpotensi menghasilkan percepatan produktivitas baru di Asia.

    Sementara Ketua Delegasi NasDem, Rio Okto Mendrino Waas, menilai bahwa pemaparan Prof. Xu sangat relevan bagi Indonesia dan sejalan dengan agenda masa depan NasDem.

    “Apa yang dipaparkan Prof. Xu menunjukkan bahwa kemandirian teknologi lahir dari visi nasional, investasi riset, dan kolaborasi antaraktor. Indonesia memiliki potensi besar, dan ini harus dikelola dengan strategi yang jelas. NasDem percaya masa depan bangsa ditentukan oleh kemampuan kita membangun teknologi sendiri,” ujarnya.

    Rio menegaskan bahwa paradigma produktivitas baru yang menggabungkan teknologi, inovasi, dan nilai kemanusiaan sangat selaras dengan visi Restorasi Indonesia.

    “Teknologi harus menghadirkan manfaat langsung bagi manusia. Itulah inti dari restorasi, membangun kemajuan yang berpihak pada rakyat,” tambahnya.

    Sedangkan, Damianus Bilo, Staf Khusus Ketua Umum Partai NasDem, menyoroti bahwa inovasi teknologi Tiongkok memiliki karakter yang unik karena dibangun di atas identitas nasional.

    “Yang menarik adalah bagaimana inovasi teknologi Tiongkok berakar pada nilai budaya dan narasi bangsanya. Mereka membangun teknologi sebagai bagian dari jati diri nasional. Indonesia perlu mengembangkan pendekatan serupa agar inovasi kita memiliki karakter, arah, dan makna,” ujarnya.

    Ia menegaskan bahwa kerja sama teknologi Indonesia – Tiongkok harus dipahami sebagai pertukaran nilai, perspektif, dan imajinasi masa depan Asia.

    “Ini bukan sekadar pertukaran skill. Ini adalah pertukaran gagasan, cara pandang, dan visi tentang masa depan Asia. NasDem melihat diplomasi inovasi ini sebagai bagian penting dari masa depan Indonesia,” tutupnya.

    Seminar ini menjadi salah satu agenda kunci dalam rangkaian program kunjungan multinegara ASEAN di Tiongkok, pada 12–19 November 2025, termasuk delegasi Partai NasDem yang mencakup dialog politik, kunjungan pusat riset, diplomasi kebudayaan, serta pertemuan tingkat tinggi dengan pejabat IDCPC

    Beijing: Delegasi Partai NasDem mengikuti seminar tingkat tinggi di Beijing yang mengusung tema “Accelerating Sci-Tech Self-Reliance and Self-Strengthening at Higher Levels, Leading the Development of New Quality Productivity.”
     
    Seminar ini menghadirkan dialog mendalam antara pakar Tiongkok dan delegasi NasDem serta delegasi dari ASEAN mengenai bagaimana negara-negara Asia dapat memperkuat kemandirian sains dan teknologi sebagai fondasi produktivitas baru di era global.
     
    Profesor Xu Jie dari Departemen Ekonomi, Sekolah Partai Pusat CPC (Akademi Pemerintahan Tiongkok), yang juga menjabat sebagai Direktur Bagian Pengajaran dan Penelitian Ekonomi Industri, memaparkan arah strategis pembangunan teknologi di Tiongkok. Ia menjelaskan bahwa kemandirian teknologi (sci-tech self-reliance) dibangun dengan visi nasional yang konsisten, investasi riset jangka panjang, integrasi inovasi ke dalam perekonomian, serta penguatan ekosistem talenta.

    “Kemandirian teknologi bukan tentang menutup diri dari dunia, tetapi tentang memiliki kekuatan ilmiah untuk berkolaborasi secara setara. Tiongkok ingin memberi kontribusi bagi kemajuan peradaban manusia melalui inovasi yang lahir dari kekuatan sendiri,” jelas Prof. Xu Jie.
     
    Ia menambahkan bahwa konsep new quality productivity mengarah pada produktivitas generasi baru yang menggabungkan kreativitas manusia, kualitas riset, teknologi strategis, dan orientasi pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan.
     
    “Produktivitas berkualitas harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan hanya mempercepat pertumbuhan. Teknologi masa depan harus human-centered,” tegasnya.
     
    Dalam forum tersebut, Prof. Xu Jie secara khusus memuji Indonesia sebagai negara dengan modal teknologi yang sangat besar.
     
    “Indonesia memiliki kekuatan STEM – sains, teknologi, teknik, dan matematika – yang luar biasa. Dengan sumber daya manusia seperti itu, Indonesia memiliki potensi besar untuk membangun kapasitas teknologinya sendiri dan menjadi pemain penting di kawasan,” ujarnya.
     

     
    Ia menilai keunggulan demografi Indonesia, kemunculan talenta muda, dan pertumbuhan ekonomi kreatif sebagai fondasi kuat bagi Indonesia untuk bertransformasi menuju teknologi generasi berikutnya. Pernyataan ini menjadi dorongan penting bagi delegasi NasDem untuk melihat peluang kerja sama strategis Indonesia – Tiongkok dalam bidang inovasi dan penguatan SDM.
     
    Menanggapi paparan Prof. Xu mengenai talenta dan inovasi, Laurentia Mellynda, anggota delegasi NasDem yang juga Anggota DPRD Kota Cirebon, menjelaskan bahwa Indonesia terus memperkuat ekosistem kewirausahaan teknologi untuk generasi muda.
     
    “Pemerintah Indonesia mendorong tumbuhnya young entrepreneur melalui berbagai program inkubasi startup di Kementerian UMKM dan Kementerian Ekraf. Banyak kompetisi yang memberikan grant dan dukungan pembiayaan untuk membantu anak muda memperluas inovasinya,” ujarnya.
     
    Ia menambahkan bahwa akses permodalan kini semakin terbuka melalui venture capital baik dari sektor swasta maupun pemerintah.
     
    “Akses pembiayaan memang semakin terbuka, tetapi tetap harus disertai regulasi yang kuat agar menghindari fraud dan memastikan ekosistem inovasi tumbuh secara sehat,” jelasnya.
     
    Pemaparan Mellynda memperlihatkan bahwa Indonesia siap memperkuat kapasitas talenta digital dan kewirausahaan teknologi, sehingga kolaborasi dengan Tiongkok akan berpotensi menghasilkan percepatan produktivitas baru di Asia.
     
    Sementara Ketua Delegasi NasDem, Rio Okto Mendrino Waas, menilai bahwa pemaparan Prof. Xu sangat relevan bagi Indonesia dan sejalan dengan agenda masa depan NasDem.
     
    “Apa yang dipaparkan Prof. Xu menunjukkan bahwa kemandirian teknologi lahir dari visi nasional, investasi riset, dan kolaborasi antaraktor. Indonesia memiliki potensi besar, dan ini harus dikelola dengan strategi yang jelas. NasDem percaya masa depan bangsa ditentukan oleh kemampuan kita membangun teknologi sendiri,” ujarnya.
     
    Rio menegaskan bahwa paradigma produktivitas baru yang menggabungkan teknologi, inovasi, dan nilai kemanusiaan sangat selaras dengan visi Restorasi Indonesia.
     
    “Teknologi harus menghadirkan manfaat langsung bagi manusia. Itulah inti dari restorasi, membangun kemajuan yang berpihak pada rakyat,” tambahnya.
     
    Sedangkan, Damianus Bilo, Staf Khusus Ketua Umum Partai NasDem, menyoroti bahwa inovasi teknologi Tiongkok memiliki karakter yang unik karena dibangun di atas identitas nasional.
     
    “Yang menarik adalah bagaimana inovasi teknologi Tiongkok berakar pada nilai budaya dan narasi bangsanya. Mereka membangun teknologi sebagai bagian dari jati diri nasional. Indonesia perlu mengembangkan pendekatan serupa agar inovasi kita memiliki karakter, arah, dan makna,” ujarnya.
     
    Ia menegaskan bahwa kerja sama teknologi Indonesia – Tiongkok harus dipahami sebagai pertukaran nilai, perspektif, dan imajinasi masa depan Asia.
     
    “Ini bukan sekadar pertukaran skill. Ini adalah pertukaran gagasan, cara pandang, dan visi tentang masa depan Asia. NasDem melihat diplomasi inovasi ini sebagai bagian penting dari masa depan Indonesia,” tutupnya.
     
    Seminar ini menjadi salah satu agenda kunci dalam rangkaian program kunjungan multinegara ASEAN di Tiongkok, pada 12–19 November 2025, termasuk delegasi Partai NasDem yang mencakup dialog politik, kunjungan pusat riset, diplomasi kebudayaan, serta pertemuan tingkat tinggi dengan pejabat IDCPC

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (RUL)

  • Mengapa Rencana Pusat Data Google Khawatirkan Jerman?

    Mengapa Rencana Pusat Data Google Khawatirkan Jerman?

    Jakarta

    Pengumuman yang telah lama dinantikan itu disampaikan pada Selasa (11/11) dalam sebuah konferensi pers di Berlin.

    Philipp Justus, direktur utama Google untuk Jerman, menyampaikan bahwa raksasa teknologi asal California AS itu akan menginvestasikan €5.5 miliar dalam empat tahun ke depan. Dana ini dikucurkan untuk membangun pusat data baru di dekat kota Frankfurt dan perluasan pusat data yang telah ada sebelumnya di beberapa kota di Jerman, Mnchen, Frankfurt, dan Berlin.

    Pemerintah Jerman menyambut antusias pengumuman tersebut yang sejalan dengan ambisi Jerman dalam digitalisasi.

    “Kami ingin membuat Jerman menjadi lokasi terkemuka untuk pusat data Eropa,” jelas Menteri Digitalisasi, Karsten Wildberger kepada kantor Berita Reuters.

    Menteri Riset Dorothee Br menilai rencana Google menunjukkan,” Jerman sebagai lokasi yang atraktif.” Investasi tersebut, menurutnya akan membawa “pertumbuhan dan nilai tambah bagi negara kami.”

    Menteri Keuangan Lars Klingbeil turut memuji rencana tersebut, mendeskripsikannya sebagai “Hal yang benar-benar dibutuhkan Jerman saat ini.”

    Berbicara pada kantor berita dpa, Klingbeil menyebut inisiatif Google sebagai “Investasi yang tulus untuk masa depan – dalam inovasi, kecerdasan buatan, transformasi ramah iklim dan pekerjaan masa depan di Jerman.”

    Sisi lain dari investasi Google

    Ketika banyak yang merayakan kabar investasi tersebut, beberapa pakar memperingatkan untuk tetap waspada akan ketergantungan yang ditimbulkan.

    Katharina Hlze, direktur Fraunhofer Institute di Stuttgart, Jerman, mengatakan kepada DW bahwa investasi tentu hal yang baik dan dapat diterima “hal tersebut menunjukkan Jerman memiliki daya tarik melebihi dugaan.” Namun ia turut menyampaikan kekhawatirannya akan “ketergantungan yang kian meningkat,” memperingatkan bahwa “dengan Google membangun infrastruktur tambahannya di sini, sulit bagi Jerman untuk melepas ketergantungan di kemudian hari”

    Wolfgang Eppler, peneliti di Institut Penilaian Teknologi dan Analisis Sistem (ITAS) di Karlsruhe, Jerman, menyebut meski investasi tersebut “berjumlah besar,” namun jumlah tersebut masih jauh di bawah level belanja AS.

    “Jika melihat apa yang diinvestasikan AS untuk teknologi dalam negeri, contohnya ada yang mencapai $500 miliar (Rp 9.718 triliun), investasi (ke Jerman) ini benar-benar hanya ‘setetes air di lautan luas’,” jelasnya.

    Skala investasi Google ini menegaskan kesenjangan besar antara Eropa dan AS, di mana perusahaan teknologi seperti Microsoft, Google, dan startup seperti OpenAI menanamkan ratusan miliar dolar AS untuk memperluas kapasitas komputasi AI.

    Menurut Bloomberg, proyek Google di Jerman diperkirakan akan menggunakan hingga 10.000 unit pemrosesan grafis (GPU), yang hanya sebagian kecil dibandingkan 500.000 GPU yang direncanakan untuk satu proyek pusat data di Texas yang didukung oleh SoftBank, OpenAI, dan Oracle.

    ‘Suntikan’ investasi untuk pusat data di Jerman

    Google bukan satu-satunya yang bertaruh pada ekonomi data Jerman. Awal November lalu, operator telekomunikasi Jerman, Deutsche Telekom, dan pembuat chip AI Amerika, Nvidia, mengumumkan proyek pusat data gabungan senilai €1 miliar (Rp 19 triliun).

    Menurut asosiasi industri Bitkom, total investasi pusat data di Jerman diperkirakan mencapai sekitar €12 miliar (Rp 233 triliun) tahun ini.

    Pada September 2025, perusahaan Prancis Data4 mengumumkan rencana investasi sekitar €2 miliar (Rp 38 triliun) dan mendirikan fasilitas pusat data pertamanya di Hanau, Jerman.

    Sementara itu, Innovation Park for Artificial Intelligence (IPAI) di Heilbronn, di utara kota Stuttgart, akan menjadi ekosistem AI terbesar di Eropa berfokus pada desain chip.

    Lonjakan permintaan komputasi berbasis AI telah memicu peningkatan masif pembangunan pusat data. Studi terbaru Bitkom menemukan bahwa total kapasitas server Jerman diperkirakan hampir dua kali lipat menjadi 5 gigawatt pada 2030.

    Dukungan Uni Eropa

    Uni Eropa juga berupaya menutup ‘kesenjangan’ teknologi. Pada Februari 2025, UE berencana mengucurkan anggaran senilai €200 miliar (Rp 3.888 triliun) untuk mendorong pengembangan AI dan melipatgandakan kapasitas sistem AI di kawasan hingga 2032.

    Deutsche Telekom dikabarkan tengah bernegosiasi dengan beberapa perusahaan untuk membangun AI gigafactory, meski kemajuannya dinilai lambat dan UE belum merinci bagaimana dana dialokasikan dan bagaimana proyek-proyek tersebut diawasi.

    Google menyatakan fasilitas barunya di Jerman dibangun dengan prinsip keberlanjutan. Perusahaan teknologi tersebut berencana menggunakan kembali ulang sisa energi panas dari pusat data dekat Frankfurt, mengalirkannya ke jaringan pemanas distrik milik perusahaan utilitas lokal, EVO. Setelah pusat data ini beroperasi, sistem akan dapat memasok air panas dan energi untuk pemanas ruangan bagi lebih dari 2.000 rumah di sekitarnya.

    Hlzle dari Fraunhofer mengatakan bahwa membangun pusat data yang sepenuhnya netral karbon masih penuh tantangan, meski ia tetap optimistis.

    “Saya tidak tahu apakah kita dapat mencapai nol emisi sepenuhnya,” ujarnya. “Tapi kita harus turut memikirkan jika kita tidak membangun pusat data sendiri, setidaknya kita bisa mengembangkan teknologi yang digunakan di dalamnya. Saya melihat peluang di situ.”

    Pentingnya melindungi kedaulatan digital

    Kedua ahli yang diwawancarai DW mendorong pembuat kebijakan untuk tetap berhati-hati.

    “Kita sebaiknya tidak bergantung sepenuhnya,” jelas Eppler, peneliti ITAS, menekankan bahwa perusahaan AS akan menyimpan dan memproses data warga Jerman.

    Sedang Hlze merasa optimis karena “pembahasan tentang kedaulatan digital telah meningkat selama setahun terakhir.” Meski demikian, ia menambahkan bahwa sangat penting bagi pembuat kebijakan Jerman untuk “memperhatikan dengan cermat di mana data disimpan dan siapa saja yang memiliki akses.”

    “Ini adalah kunci untuk melindungi daya saing industri Jerman,” tegasnya.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga Video: Organisasi Musik Jerman Menang Gugatan Hak Cipta Lawan OpenAI

    (ita/ita)

  • MAJU:ON Hackathon 2025, Wadah 100 Startup Muda Peduli Lingkungan dan Energi

    MAJU:ON Hackathon 2025, Wadah 100 Startup Muda Peduli Lingkungan dan Energi

    Liputan6.com, Jakarta – Perusahaan solusi ESG berbasis dampak, UD IMPACT, sukses menghelat ajang “MAJU:ON Hackathon 2025”. Acara yang berlangsung pada 7-8 November lalu di Hotel The Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta, ini menjadi wadah bagi lebih dari 100 wirausahawan muda untuk berkompetisi menciptakan inovasi di bidang lingkungan dan energi.

    CEO UD IMPACT Kim Jeongheon menjelaskan, proyek “MAJU:ON” sendiri merupakan program kewirausahaan muda yang digagas oleh UD IMPACT dan didukung penuh oleh SK Innovation E&S. Program ini secara khusus dirancang untuk mendorong terciptanya solusi berkelanjutan di Indonesia.

    “MAJU:ON secara sistematis mendukung pengembangan mahasiswa dan wirausahawan tahap awal di Indonesia,” jelas dia dikutip Jumat (14/11/2025).

    Untuk menjangkau talenta terbaik, program ini dijalankan melalui kolaborasi strategis dengan delapan universitas terkemuka di Indonesia. Daftar mitra kampus tersebut meliputi Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Sebelas Maret (UNS), Telkom University (TELKOM), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Negeri Semarang (UNNES), dan Primakara University (PRIMAKARA).

    Keberagaman latar belakang peserta terlihat jelas, dengan keikutsertaan tim mahasiswa dari universitas mitra serta tim startup awal dari berbagai wilayah di Indonesia. Mereka berkompetisi secara intensif selama dua hari penuh.

     

  • Adopsi AI Indonesia Paling Tinggi, tapi Masih Jadi Konsumen

    Adopsi AI Indonesia Paling Tinggi, tapi Masih Jadi Konsumen

    Jakarta

    Indonesia menunjukkan lonjakan signifikan dalam adopsi kecerdasan buatan (AI). Ini terungkap berdasarkan laporan terbaru e-Conomy SEA 2025 yang dirilis hasil kolaborasi Google, Temasek, Bain & Company.

    Masifnya penggunaan teknologi AI ini membuat Indonesia berada pada posisi strategis sebagai pemimpin AI di kawasan Asia Tenggara.

    Country Director Google Indonesia, Veronica Utami mengungkapkan Indonesia termasuk ke dalam jajaran 20 besar negara tertinggi di dunia yang memanfaatkan Nano Banana dengan menghasilkan 18 juta image generation setiap harinya.

    “Minat dan adopsi AI yang sangat kuat dari konsumen juga mendorong momentum komersial dimana Indonesia menunjukkan momentum komersial terkuat untuk aplikasi AI di seluruh kawasan, dengan memimpin dalam pertumbuhan pendapatan aplikasi berbasis AI yang melonjak hingga 127% antara paruh pertama 2024 dan paruh pertama 2025, tertinggi di Asia Tenggara,” tutur Veronica di Kantor Google Indonesia, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Lebih dari sekadar penggunaan harian, pemanfaatan teknologi teranyar ini terlihat di dunia kerja, yakni 79% pengguna aktif mempelajari dan meningkatkan keterampilan terkait AI.

    “Motivasi utama mereka adalah untuk meningkatkan efisiensi, menghemat waktu riset dan perbandingan (51%), mendapatkan rekomendasi yang lebih personal (35%), serta keamanan yang lebih baik (32%),” ucapnya.

    Meski momentum pengguna sangat kuat, laporan itu juga menyoroti tantangan yang masih dihadapi. Jumlah startup AI di Indonesia masih sekitar 45+ dan hanya menyumbang 4% dari total pendanaan untuk kawasan ASEAN-10, di mana angka itu jauh di bawah negara seperti Singapura (495+ startup) dan Malaysia (60+).

    “AI ini bukan sekedar fase teknologi, tetapi mentransformasi cara bisnis, cara kita beroperasi dan juga berkembang. Urgensinya bagi Indonesia itu jelas, kita harus secara strategis mengubah antusiasme dan keterbukaan pengguna dalam mengodopsi teknologi tersebut,” ungkap Veronica.

    Dalam laporan e-Conomy SEA 2025 ini menggarisbawahi urgensinya bahwa Indonesia perlu secara strategis mengubah antusiasme pengguna dan momentum pasar menjadi inovasi dalam negeri.

    Veronica mengungkapkan bahwa persoalan tersebut dapat diatasi dengan kolaborasi antara investor, pembuat kebijakan, dan pelaku bisnis untuk membangun infrastruktur, mengembangkan talenta, memastikan adopsi dan integrasi AI yang cerdas, serta memperkuat kepercayaan melalui tata kelola yang baik.

    “Indonesia berada pada posisi yang sangat kuat untuk mengamankan kepemimpinannya di masa depan Asia Tenggara yang digerakkan oleh AI,” ucapnya.

    (agt/rns)

  • Gencar Dipakai, Ini Cara Gunakan AI Agar Tidak Jadi Bumerang

    Gencar Dipakai, Ini Cara Gunakan AI Agar Tidak Jadi Bumerang

    Jakarta, CNBC Indonesia – Dewasa ini, semakin banyak orang yang mulai memanfaatkan solusi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) untuk mendorong produktivitas hingga efisiensi. Lantas, tanggung jawab siapa jika AI salah mengambil keputusan?

    Menanggapi hal itu, Deputy EGM Digital Product Telkom, Fauzan Feisal mengatakan, dalam merancang sebuah sistem AI, pihaknya tidak menyerahkan 100% keputusan terhadap robot, tetapi turut melibatkan manusia atau human in the loop. Artinya, robot tidak sepenuhnya memiliki kewenangan. Selalu ada intervensi, pengawasan, maupun persetujuan dari manusia itu sendiri.

    “Walaupun dengan AI itu yang kita tata bukan lagi human in the loop. Harus ada human, tapi adalah distribusi decision,” ujar dia dalam Coffee Morning Tech & Telco Edition, dikutip Kamis (13/11/2025).

    Berkaca pada pengalaman Telkom, Fauzan menyebut bahwa pihaknya berfokus pada distribusi keputusan atau pembagian kewenangan antara manusia dan sistem AI secara optimal. Agar AI tidak menjadi bumerang bagi manusia, maka diperlukan pengaturan terkait tata kelola yang komprehensif terhadap AI.

    Pengaturan ini ditujukan untuk mengetahui apa saja keputusan yang bisa atau tidak boleh diambil oleh AI.

    “Apa saja keputusan yang boleh dan tidak boleh diambil, dan ketika itu boleh diserahkan, full dilakukan oleh robotnya. So it’s about governance ya, mengaturnya. But at the end of the day, commonly akan kita rasakan human in the loop sih pasti,” kata dia.

    Lebih jauh, Telkom mengakui bahwa awal dari pengembangan AI harus dilakukan dari penataan data yang kemudian akan menjadi fondasi pertama dalam penyusunan peta jalan (roadmap) AI bagi perusahaan.

    Pada 2026 mendatang, dia bilang, Telkom akan fokus memperkuat integrasi AI terhadap proyek-proyek besar sekaligus memperluas pemerataan penggunaan AI agar teknologi ini bisa diakses hingga ke level UMKM. Selain itu, seiring dengan berkembangnya adopsi AI, Telkom juga hendak mereformasi kebijakan kemitraan agar kolaborasi menjadi lebih cepat.

    “Biasanya kalau mau bermitra dengan Telkom itu luar biasa panjang, lama-lama ya maklum perusahaan giant gitu ya. Jadi itu salah satu yang akan kami reformasi adalah cara berkolaborasi dan berpartnership. Prosedur itu satu critical, penting,” jelas dia.

    Meski tergolong sangat menjanjikan, kata dia, pengembangan AI bukan hal yang mudah dilakukan oleh pelaku usaha. Apalagi, hampir 90% perusahaan di dunia yang mengadopsi AI belum mampu balik modal. Dengan demikian, keputusan untuk berinvestasi pada AI harus dilakukan secara matang dan penuh pertimbangan.

    Tak hanya itu, adopsi AI juga bakal lebih menantang ketika terdapat gap teknologi atau kapabilitas antar wilayah. Sebagai contohnya, ia menceritakan bahwa perkembangan solusi digital di Jawa, khususnya Jakarta, sudah sangat rumit. Banyak korporasi kini menuntut sistem analitik big data yang kompleks. Namun, kondisi berbeda terlihat di wilayah Indonesia Timur yang masih berada pada tahap dasar pemanfaatan teknologi.

    Fauzan menekankan, untuk mendorong pemerataan pemanfaatan teknologi AI di Indonesia, diperlukan aktor baru yang ia sebut sebagai “pasukan ketiga”. Pasukan ini adalah startup lokal dan pelaku usaha teknologi di daerah yang mampu membawa demokratisasi teknologi.

    “Kalau saya nyebutnya pasukan ketiga. Teman-teman startup pengusaha lokal yang bisa membawa demokratisasi teknologi ke seluruh Indonesia,” tandas dia.

    (dpu/dpu)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Laporan Baru: Investor Lebih Percaya Tanam Duit ke Startup Singapura

    Laporan Baru: Investor Lebih Percaya Tanam Duit ke Startup Singapura

    Jakarta, CNBC Indonesia – Banyak investor yang lebih percaya menanamkan investasi ke startup AI yang ada di Singapura. Ini terungkap dalam Laporan e-Conomy SEA 2025 dari Google, Temasek, Bain & Company.

    Dalam laporan itu, seluruh investor (100%) memperkirakan pendanaan akan meningkat di Singapura, baru diikuti Vietnam (79%) dan Malaysia (64%), sementara Indonesia hanya 50%.

    Aadarsh Baijal, Senior Partner Bain & Company, mengatakan banyak investor berpikir bisa menemukan startup AI dengan fokus global di Singapura. Sebab negara itu punya rekam jejak dan telah membangun ekosistemnya.

    “Jadi, sebagian alasannya adalah karena fokus saat ini adalah membangun startup AI yang berpotensi memiliki basis target global dengan AI sebagai intinya. Mereka memperkirakan sebagian besar startup jenis ini akan muncul di Singapura,” kata Aadarsh, melalui sambungan video conference, Kamis (13/11/2025).

    Menurut Aadarsh, pertumbuhan terbesar akan lebih banyak terlihat di pasar Singapura. Sementara untuk Indonesia, dia mengatakan banyak investor yang melihat pertumbuhan pendapatan berasal dari pasar terbesar yakni Indonesia.

    Diharapkan juga akan ada pergeseran. Jadi bukan hanya berfokus pada pasar global, namun juga lebih banyak keterlibatan dan nuansa lokal.

    “Oleh karena itu, saya berharap akan melihat lebih banyak pendanaan yang keluar dari Singapura dan masuk ke pasar-pasar tersebut, dan sebagian besar akan masuk ke pasar-pasar yang lebih besar seperti Indonesia,” jelasnya.

    Dalam laporan yang sama juga disebutkan jumlah startup AI di Singapura berkisar lebih dari 495 perusahaan. Jauh lebih banyak dibandingkan negara lain di Asia Tenggara, seperti 60 Malaysia, 45 di Indonesia, 20 di Thailand, Vietnam sebanyak 40, dan Fillipina.

    Terkait hal ini, Country Director Google indonesia Veronica Utami mengatakan ada banyak faktor yang ingin disoroti oleh laporan itu. Termasuk mendorong banyak pemain untuk berinovasi dan produksi.

    “Kedua, juga dari sisi, ini perbedaan yang saya rasa cukup besar antara startup AI dan startup teknologi konvensional. Startup AI membutuhkan daya komputasi dengan pemrosesan tinggi, yang berarti juga memerlukan capital expenditure (capex) yang besar. Dan itu berlaku terus-menerus. Jadi, mungkin hambatan untuk masuk (barrier to entry) memang lebih tinggi. Itu hanya hipotesis saya,” jelas Veronica.

    Laporan itu juga melihat jumlah pendanaan di Indonesia mengalami penurunan sejak 2021. Saat itu sebanyak 649 pendaan tercatat, sementara selama enam bulan pertama tahun 2025 hanya 20 dan menurun dari tengah tahun kedua 2024 sebanyak 22 pendanaan.

    Tren yang sama juga terjadi di seluruh Asia Tenggara. Pada 2021 tercatat 2.697 investasi, menurun hingga 191 investasi pada pertengahan tahun pertama 2025.

    Aadarsh mengatakan penurunan itu bisa juga karena investor mencari apa yang bisa didapatkan setelah berinvestasi. Hal ini membuat mereka berhati-hati, termasuk mungkin beralih ke sektor lain untuk berinvestasi.

    “tetapi akan datang dalam bentuk baru, seperti di bidang AI atau di beberapa sektor yang sedang berkembang,” dia menjelaskan.

    (hsy/hsy)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ekonomi Digital RI Diproyeksikan Tembus Rp 1.672 Triliun di 2025

    Ekonomi Digital RI Diproyeksikan Tembus Rp 1.672 Triliun di 2025

    Jakarta

    Ekonomi digital Indonesia diperkirakan menembus angka USD 100 miliar atau sekitar Rp 1.672 triliun (kurs USD 1 = Rp 16.727) pada 2025 menurut laporan terbaru Google, Temasek, dan Brain & Company. Dibandingkan di tahun sebelumnya, ada kenaikan USD 10 miliar.

    Dari laporan yang sama, kawasan Asia Tenggara tengah berlari menuju era baru ekonomi digital dengan total nilai transaksi bruto (GMV) regional yang diproyeksikan melampaui USD 300 miliar. Khusus untuk Indonesia menyumbang porsi terbesar dari pertumbuhan itu, terutama lewat e-commerce, jasa keuangan digital, dan teknologi kecerdasan buatan (AI).

    Country Director Google Indonesia, Veronica Utami, mengatakan seperti laporan sebelumnya, pada kali ini masih menyoroti enam sektor, yakni e-Commerce, Jasa Keuangan Digital (DFS), Transportasi dan Makanan, Media Online, Perjalanan, dan Sektor Baru.

    “Ekonomi digital Indonesia sendiri tumbuh sebesar 14% dibandingkan tahun lalu. Artinya, Indonesia masih tetap menjadi ekonomi digital paling besar di Asia Tenggara dan GMV-nya sekarang mencapai hampir USD 100 miliar,” ujar Veronica di Kantor Google Indonesia, Kamis (13/11/2025).

    Sektor e-commerce masih menjadi tulang punggung utama. Namun, tren baru yang mencuri perhatian adalah video commerce, di mana penjual memanfaatkan format video dan live streaming untuk berjualan.

    Laporan Google, Temasek, dan Bain & Company ini menyebut, jumlah penjual yang menggunakan video commerce melonjak 75% secara tahunan, mencapai sekitar 800 ribu akun. Sementara itu, volume transaksinya naik 90% menjadi 2,6 miliar transaksi. Kategori fashion dan aksesori menjadi yang paling banyak diminati dalam format jualan video ini.

    “Sektor e-Commerce tetap menjadi kontributor terbesar GMV di Indonesia, dan diproyeksikan tumbuh lebih dari 14% sehingga mencapai USD 71 miliar. Ini adalah akselerasi signifikan dari tahun ke tahun dibandingkan tahun sebelumnya dan ini didorong oleh pesatnya pertumbuhan video commerce,” tutur Veronica.

    Dari sektor Transportasi dan Makanan, dijelaskan juga menunjukkan momentum yang stabil dan kuat dengan pertumbuhan 13% dari tahun ke tahun dan mencapai USD 10 miliar di 2025.

    Veronica memaparkan sektor Media Online yang mencakup gaming, periklanan, musik, hingga video on demand yang sifatnya langganan menunjukkan tren pertumbuhan sebesar 16% dan mencapai USD 9 miliar.

    Kemudian, sektor layanan keuangan digital (DFS) mencatatkan pertumbuhan dua digit yang tinggi di semua segmen. Sistem pembayaran nasional seperti QRIS mendorong inklusi keuangan lebih luas, sementara bank digital terus memperluas basis nasabahnya di luar kota besar.

    “Kalau kita lihat ini sektor yang paling menonjol performanya, adalah pembayaran digital yang kita melihat skala yang sangat luar biasa besar,” ucapnya.
    Meski begitu, laporan juga mengingatkan bahwa pendanaan bagi startup digital di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, masih relatif tertinggal dibanding kawasan lain. Artinya, para pelaku industri masih perlu bersaing ketat dalam menarik investasi baru.

    Country Director Google Indonesia Veronica Utami Foto: Agus Tri Haryanto/detikINET

    Kendati begitu, yang paling menonjol, Indonesia kini masuk fase baru yang disebut laporan itu sebagai ‘AI reality’. Pendapatan dari aplikasi berfitur AI tumbuh hingga 127%, menunjukkan bahwa kecerdasan buatan mulai dimanfaatkan secara nyata dalam bisnis dan layanan digital.

    AI dinilai bisa menjadi penggerak utama gelombang ekonomi digital berikutnya, mulai dari otomatisasi UMKM, customer service berbasis bahasa Indonesia, hingga solusi kesehatan dan pendidikan digital.

    “Kita juga sudah melihat bangkitnya generasi baru startup yang berbasis AI di kawasan kita,” kata Veronica.

    Meski pertumbuhannya menjanjikan, laporan e-Conomy SEA juga menyoroti sejumlah tantangan klasik, di antaranya keterbatasan talenta digital dan data scientist, regulasi data dan keamanan siber yang belum seragam, serta infrastruktur internet di luar kota besar yang masih timpang. Tanpa pembenahan di tiga aspek ini, potensi pertumbuhan bisa melambat dalam beberapa tahun ke depan.

    Analis Bain & Company menilai, Indonesia kini berada di titik krusial. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan startup lokal perlu diperkuat agar momentum pertumbuhan tidak hanya cepat, tapi juga berkelanjutan.

    Dengan dukungan kebijakan, investasi infrastruktur digital, dan pengembangan talenta AI, Indonesia berpeluang menjadi pusat ekonomi digital terbesar di kawasan, bahkan menembus panggung global.

    (agt/rns)