Produk: smelter

  • Hilirisasi mineral dongkrak pertumbuhan ekonomi di NTB

    Hilirisasi mineral dongkrak pertumbuhan ekonomi di NTB

    Mataram (ANTARA) – Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut kebijakan hilirisasi mineral melalui fasilitas pemurnian dan pengolahan atau smelter yang berada di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat berpeluang mendongkrak pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

    “Dua perusahaan tambang yang ada di sana menggaet tenaga kerja cukup banyak dan mendongkrak ekonomi di Nusa Tenggara Barat,” kata Kepala BPS Nusa Tenggara Barat Wahyudin di Mataram, Selasa.

    Wahyudin mengatakan bila fasilitas smelter yang dimiliki oleh PT Amman Mineral Nusa Tenggara mampu mengolah produk tambang tidak hanya dari Sumbawa Barat, namun juga dari daerah lain, maka daya dongkrak terhadap ekonomi bakal lebih besar.

    Dia mencontohkan manfaat keberadaan smelter nikel di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Meski di daerah itu tidak memiliki tambang nikel, namun smelter tersebut mampu mengolah nikel yang diproduksi dari daerah lain.

    Pewarta: Sugiharto Purnama
    Editor: Adi Lazuardi
    Copyright © ANTARA 2024

  • Terdakwa Kasus Timah Menangis Ceritakan Nasib Anak: Hidup Mereka Terombang-Ambing

    Terdakwa Kasus Timah Menangis Ceritakan Nasib Anak: Hidup Mereka Terombang-Ambing

    Terdakwa Kasus Timah Menangis Ceritakan Nasib Anak: Hidup Mereka Terombang-Ambing
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – General Manager Operasional PT Tinindo Internusa, Rosalina menangis saat menceritakan nasib kedua anaknya yang kini ia tinggal karena menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pada tata niaga komoditas
    timah
    .
    Peristiwa ini terjadi ketika Rosalina membacakan nota pembelaan atau pleidoi guna menanggapi tuntutan jaksa penuntut umum.
    Rosalina mengatakan, setelah dirinya ditahan penyidik kejaksaan, kehidupan dua anaknya yang berusia 12 dan 8 tahun berubah drastis.
    “Kehidupan mereka ikut terombang-ambing oleh ketidakpastian,” kata Rosalina di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (16/12/2024).
    Menurut Rosalina, kedua anaknya kehilangan sosok ibu yang selama ini menjadi tumpuan hidup. Sebab, mereka telah ditinggal oleh ayahnya.
    Ketidakhadiran sosok ibu, kata Rosalina, menjadi lubang besar dalam dalam kehidupan dua anak itu.
    “Hal ini terus menerus menghantui pikiran saya sebagai seorang ibu,” ujar Rosalina.
    “Kedua anak saya kini hidup dalam kekosongan dan kehilangan sosok ibu, bahkan sekaligus ayah,” tambahnya.
    Belum memahami situasi saat ini, kedua anak itu bertanya kepada bibi mereka kenapa ibunya tidak pulang, tidak mengantar ke sekolah seperti biasa, dan tidak menemani persiapan ujian.
    “Pertanyaan-pertanyaan ini mengganggu saya setiap waktu karena saya tahu mereka masih kecil untuk memahami situasi ini,” kata Rosalina.
    Sebagai informasi, Rosalina merupakan salah satu petinggi smelter swasta yang tidak dituntut membayar uang pengganti. Sebab, tidak ada dana korupsi yang mengalir ke kantong Rosalina.
    Jaksa hanya menuntut Rosalina dihukum 6 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan.
    Meski demikian, Rosalina dituntut bersalah melakukan perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hilirisasi Ciptakan Lapangan Kerja, Tingkatkan Perekonomian

    Hilirisasi Ciptakan Lapangan Kerja, Tingkatkan Perekonomian

    Jakarta: Riset yang dilakukan oleh The Reform Initiatives (TRI) Indonesia mengungkapkan proyek hilirisasi pemerintah mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak yang disertai pertumbuhan ekonomi. Ketua Tim Peneliti TRI Indonesia, Unggul Heriqbaldi menyampaikan bahwa temuan utama dari riset tersebut adalah penciptaan lapangan kerja.
     
    “Semua pihak bersepakat bahwa isu utama dari kegiatan industri hilirisasi harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan,” tutur pria yang akrab dipanggil Eriq,  merujuk hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) riset tersebut pada Kamis, 12 Desember 2024.
     
    Menurut Eriq, hilirisasi telah memberikan kontribusi positif, terutama dalam peningkatan investasi di sektor-sektor strategis seperti nikel dan pasir silika.
     
    “Menurut data kajian, sektor manufaktur yang menjadi fokus hilirisasi telah menyerap lebih dari 19,29 juta tenaga kerja pada Agustus 2023, naik dari 15,62 juta pada tahun 2014,” katanya.
     
    Eriq yang juga dosen FEB Universitas Airlangga Surabaya tersebut mencontohkan proyek hilirisasi di Konawe telah menyerap lebih dari 26 ribu tenaga kerja dan secara signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Proyek-proyek ini juga membuka peluang bisnis lokal, seperti penyediaan logistik dan jasa pendukung lainnya.
     

    “Hal itu dibuktikan dengan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 22,52 persen. Selain itu, penambahan smelter dan sentra pengolahan di berbagai kota tidak hanya meningkatkan lapangan kerja tetapi juga mendorong kenaikan UMP (Upah Minimum Provinsi) di beberapa daerah. Maluku Utara, misalnya, mencatat kenaikan UMP sebesar 7,5% pada tahun 2024,” kata Eriq.
     
    Lebih lanjut, kata Eriq, perusahaan yang terlibat dalam proyek hilirisasi sejauh ini melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja tersebut, salah satunya melalui kerja sama dengan perguruan tinggi lokal mengembangkan pendidikan vokasi untuk melatih warga agar bisa mengisi kebutuhan perusahaan.
     

    “Isu berikutnya adalah hubungan antara kebutuhan perusahaan terhadap tenaga kerja terampil bersertifikat dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia,” imbuh Eriq.
     
    The Reform Initiatives (TRI) Indonesia bersama konsorsium yang terdiri dari Binus University, The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya Malang, dan FEB Universitas Indonesia telah menyelenggarakan penelitian terkait Hilirisasi di Indonesia dalam berbagai tema kunci.
     
    TRI Indonesia sendiri mengambil tema spesifik “Membangun Harmoni yang Produktif antara Pekerja Asing-Domestik dan Masyarakat Lokal: Tantangan, Kesempatam, dan Kebijakan Investasi Hilirisasi di Indonesia” yang dilaksanakan di Kabupaten Konawe – Sulawesi Tenggara dan Kota Batam – Kepulauan Riau.
     
    Hasil riset tersebut kemudian didesiminasikan oleh TRI Indonesia bekerja sama dengan FEB Universitas Nasional Jakarta pada Rabu, 12 Desember 2024.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ROS)

  • Riset TRI: Hilirisasi Ciptakan Banyak Lapangan Kerja dan Tingkatkan Perekonomian

    Riset TRI: Hilirisasi Ciptakan Banyak Lapangan Kerja dan Tingkatkan Perekonomian

    Riset TRI: Hilirisasi Ciptakan Banyak Lapangan Kerja dan Tingkatkan Perekonomian
    Penulis
    KOMPAS.com –
    The Reform Initiatives (TRI) Indonesia mengungkapkan bahwa proyek
    hilirisasi
    pemerintah mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
    Ketua Tim Peneliti TRI Indonesia Unggul Heriqbaldi menyampaikan bahwa temuan utama dari riset tersebut adalah penciptaan
    lapangan kerja
    .
    “Semua pihak bersepakat bahwa isu utama dari kegiatan industri hilirisasi harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan”, tutur pria yang akrab dipanggil Eriq itu merujuk hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) riset tersebut, seperti dikutip dari siaran pers, Minggu (15/12/2024).
    Menurut Eriq, hilirisasi telah memberikan kontribusi positif, terutama dalam peningkatan investasi di sektor-sektor strategis, seperti nikel dan pasir silika.
    “Menurut data kajian, sektor manufaktur yang menjadi fokus hilirisasi telah menyerap lebih dari 19,29 juta tenaga kerja pada Agustus 2023, naik dari 15,62 juta pada 2014,” katanya.
    Eriq yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga Surabaya mencontohkan proyek hilirisasi di
    Konawe
    , Sulawesi Tenggara. 
    Proyek tersebut telah menyerap lebih dari 26.000 tenaga kerja dan secara signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.
    Proyek-proyek itu juga membuka peluang bisnis lokal, seperti penyediaan logistik dan jasa pendukung lain.
    “Hal itu dibuktikan dengan pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar 22,52 persen,” jelas Eriq.
    Selain itu, lanjutnya, penambahan smelter dan sentra pengolahan di berbagai kota tidak hanya meningkatkan lapangan kerja, tetapi juga mendorong kenaikan upah minimum provinsi (UMP) di beberapa daerah. Maluku Utara, misalnya, mencatat kenaikan UMP sebesar 7,5 persen pada 2024.
    Eriq melanjutkan, perusahaan yang terlibat dalam proyek hilirisasi sejauh ini melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja tersebut.
    Salah satunya melalui kerja sama dengan perguruan tinggi lokal mengembangkan pendidikan vokasi untuk melatih warga agar bisa mengisi kebutuhan perusahaan.
    “Isu berikutnya adalah hubungan antara kebutuhan perusahaan terhadap tenaga kerja terampil bersertifikat dan jumlah tenaga kerja yang tersedia,” imbuh Eriq.
    TRI Indonesia bersama konsorsium yang terdiri dari Binus University, The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), FEB Universitas Brawijaya Malang, dan FEB Universitas Indonesia telah menyelenggarakan penelitian terkait hilirisasi di Indonesia dalam berbagai tema kunci.
    TRI Indonesia sendiri mengambil tema spesifik “Membangun Harmoni yang Produktif antara Pekerja Asing-Domestik dan Masyarakat Lokal: Tantangan, Kesempatan, dan Kebijakan Investasi
    Hilirisasi
    di Indonesia” yang dilaksanakan di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara dan Kota Batam, Kepulauan Riau.
    Hasil riset tersebut kemudian didesiminasikan oleh TRI Indonesia bersama FEB Universitas Nasional Jakarta pada Rabu (12/12/2024).
     
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Merasa Dizalimi dalam Kasus Korupsi Timah, Helena Lim: Saya Dijadikan Talenan oleh JPU

    Merasa Dizalimi dalam Kasus Korupsi Timah, Helena Lim: Saya Dijadikan Talenan oleh JPU

    ERA.id – Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim membantah jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung yang menyebut bahwa QSE adalah alat pengumpul dana keuntungan kerja sama smelter.

    “Saya menyatakan penolakan keras,” kata Helena dalam sidang pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, dikutip Antara, Jumat (13/12/2024).

    Transaksi pembelian valuta asing oleh terdakwa Harvey Moeis dan para terdakwa lainnya, kata dia, bukan transaksi fiktif dan juga bukan merupakan tindakan bantuan alat pengumpulan dana, melainkan transaksi pembelian valuta asing.

    Diungkapkan pula bahwa valuta asing yang dibeli oleh para terdakwa pun sudah diterima dengan lengkap dan sudah diakui oleh mereka. Helena menegaskan bahwa keuntungannya kurang lebih sama dengan keuntungan jasa money changer atau penukaran uang lainnya.

    “Tidak ada suatu keuntungan lebih sehingga dapat dianggap sebagai dasar argumentasi bahwa saya dan/atau PT QSE berperan sebagai alat pengumpul dana keuntungan kerja sama smelter,” tegasnya.

    Dalam kesempatan tersebut, Helena mengakui sudah melakukan kelalaian administrasi sebelum mengenal Harvey Moeis dan para terdakwa lainnya. Meskipun demikian, dia mengaku tidak ada urusan dan tidak mau tahu urusan smelter Harvey dengan PT Timah Tbk.

    “Saya merasa sangat tidak adil dan sangat dizalimi oleh jaksa penuntut umum. Hanya karena saya seorang figur publik, dijadikan chopping board, talenan oleh jaksa penuntut umum,” kata Helena.

    Pada hari Kamis (5/12), jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung Ardito Muwardi dalam Pengadilan Tipikor Jakarta menuntut Helena untuk dijatuhi pidana selama 8 tahun penjara terkait dengan kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.

    JPU menilai Helena melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.

    Selain pidana penjara, JPU turut menuntut agar majelis hakim menghukum Helena dengan denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 1 tahun.

    Helena juga dituntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar dengan memperhitungkan aset yang telah dilakukan penyitaan.

    Dalam kasus korupsi timah, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp420 miliar.

    Uang korupsi itu diduga berasal dari biaya pengamanan alat processing atau pengolahan untuk penglogaman timah sebesar 500 dolar AS hingga 750 dolar AS per ton, yang seolah-olah merupakan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) empat smelter swasta dari hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

    Keempat smelter swasta dimaksud, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.

    Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.

    Atas perbuatannya, Helena didakwa merugikan negara senilai total Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.

  • Helena Lim Curhat, Julukan Crazy Rich yang Dulu Dibanggakan Kini Menamparnya

    Helena Lim Curhat, Julukan Crazy Rich yang Dulu Dibanggakan Kini Menamparnya

    ERA.id – Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim menyampaikan bahwa stigma Crazy Rich PIK dimanfaatkan dalam perkara dugaan korupsi tata niaga timah untuk menormalkan tirani dalam penegakan hukum.

    “Perkara ini memanfaatkan hiperbola dunia showbiz agar muncul kenyinyiran, bahkan kebencian masyarakat terhadap stigma Crazy Rich PIK untuk menormalkan tirani dalam penegakan hukum,” ucap Helena dalam sidang pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis kemarin.

    Helena mengatakan bahwa seorang crazy rich yang menjadi terdakwa korupsi, berikut dengan citra bahwa orang tersebut kaya dari uang rakyat, menjadi drama favorit para warganet.

    Drama tersebut, kata dia, membuat Helena dan keluarganya merasa terluka, dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.

    Padahal, Helena mengaku sempat bangga dengan jargon Crazy Rich PIK yang disematkan pada dirinya. Menurut dia, pemberian julukan tersebut merupakan apresiasi dari warganet atas hasil kerja kerasnya.

    “Namun, ternyata, Yang Mulia, harga sebuah popularitas itu sangat mahal. Mahal sekali. Saya membayarnya dengan harga diri saya,” ucap Helena.

    Pada hari Kamis (5/12), jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung Ardito Muwardi dalam Pengadilan Tipikor Jakarta menuntut Helena untuk dijatuhi pidana selama 8 tahun penjara terkait dengan perkara korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.

    JPU menilai Helena melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.

    Selain pidana penjara, JPU turut menuntut agar majelis hakim menghukum Helena dengan denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 1 tahun.

    Helena juga dituntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar dengan memperhitungkan aset yang telah dilakukan penyitaan.

    Dalam kasus korupsi timah, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp420 miliar.

    Uang korupsi itu diduga berasal dari biaya pengamanan alat processing atau pengolahan untuk penglogaman timah sebesar 500 dolar AS hingga 750 dolar AS per ton, yang seolah-olah merupakan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) empat smelter swasta dari hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

    Keempat smelter swasta dimaksud, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.

    Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.

    Atas perbuatannya, Helena didakwa merugikan negara senilai total Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.

  • Bacakan Pleidoi di Sidang Timah, Helena Lim Singgung Harga Mahal dari Sebuah Popularitas – Halaman all

    Bacakan Pleidoi di Sidang Timah, Helena Lim Singgung Harga Mahal dari Sebuah Popularitas – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Terdakwa kasus korupsi tata niaga komoditas timah, Helena Lim menceritakan kisah masa kecil dan keluarganya yang berasal dari kalangan bawah, dalam sidang lanjutan agenda penyampaian nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/12/2024).

    Helena bercerita dirinya lahir dari keluarga yang kurang mampu, dan menjadi yatim ketika berusia 12 tahun.

    Ketika ayahnya meninggal, ibundanya harus bekerja keras membiayai 5 anaknya untuk bisa makan dan sekolah.

    Bahkan Helena Lim mengaku sejak kecil sudah harus ikut mencari uang dengan membantu ibundanya menjahit sepatu, berjualan nasi hingga keripik di sekolah.

    “Saya adalah anak yatim yang dilahirkan dari keluarga yang kurang mampu. Sejak usia saya 12 tahun sudah ditinggal mati ayah saya, dan mama pun harus bekerja keras membiayai 5 anaknya untuk diberi makan dan sekolah,” kata Helena.

    “Di usia saya yang masih belia saya sudah mencari uang dengan membantu mama menjahit sepatu, berjualan nasi, sampai berjualan keripik di sekolah,” lanjut dia.

    Saat dirinya menginjak usia 17 tahun, Helena mendapat kesempatan bekerja di perusahaan besar.

    Seiring berjalannya waktu, ia mengawali bisnisnya dalam dunia valas hingga menjadi manager PT Quantum Skyline Exchange.

    Setelah usahanya naik dan dipercaya banyak orang, namanya mulai dikenal sebagai Crazy Rich Pantai Indah Kapuk dan seorang figur publik.

    Tapi kata Helena, label itu punya harga yang mahal. Salah satu di antaranya, label itu membuatnya menjadi target dari kasus dugaan korupsi PT Timah.

    Ia menyatakan kasusnya ini adalah cermin dari mahalnya harga yang harus dibayar dari sebuah popularitas.

    “Saya ingin sedikit bercerita tentang seberapa mahalnya harga sebuah popularitas disebut sebagai Crazy Rich Pantai Indah Kapuk,” kata Helena.

    Gara-gara sakit leher, crazy rich Helena Lim tak bisa mengikuti sidang kasus korupsi tata niaga komoditas timah, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (18/9/2024). (kolase/dok Tribunnews.com)

    Dirinya merasa dizalimi karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjadikannya sebagai talenan, di mana hasil jerih payah kerjanya selama 30 tahun kini terancam dirampas negara.

    “Saya merasa sangat tidak adil dan sangat dizalimi oleh JPU hanya karena saya seorang publik figur maka saya dijadikan chopping board, talenan oleh JPU,” katanya.

    Helena mengaku heran jaksa menyeretnya ke dalam pusaran kasus dugaan korupsi tata niaga timah ini hanya karena usahanya dianggap jadi tempat penampungan dana. Padahal ada banyak money changer lain yang juga bertransaksi dengan terdakwa Harvey Moeis.

    “Ada beberapa money changer lain yang juga dipakai oleh para terdakwa, tetapi tetap yang dijadikan terdakwa hanya saya. Padahal pola transaksi seluruh money changer sama persis,” kata dia.

    Terhadap kasus ini, Helena menyatakan seandainya sejak awal tahu bahwa sumber daya para smelter berasal dari hasil kejahatan, dirinya pasti menolak transaksi tersebut dan tak akan mau memproses penukaran valuta asing dari para terdakwa. 

    Dirinya juga menilai penentuan uang pengganti sebesar Rp210 miliar tidak proporsional. Ia berharap Majelis Hakim PN Tipikor untuk mempertimbangkan vonis yang dijatuhi berdasarkan hati nurani.

    “Mohon dengan sangat agar Yang Mulia mempertimbangkan dengan hati nurani kepantasan tuntutan 8 tahun ditambah 4 tahun karena dalam posisi sekarang saya sudah pasti tidak mampu membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar tersebut,” ucap Helena.

    Adapun dalam kasus ini Helena Lim dituntut 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan serta membayar uang pengganti Rp 210 miliar subsider 4 tahun kurungan.

    Jaksa meyakini Helena Lim telah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.

  • Hakim Nyatakan Kerugian Negara Kasus Korupsi Timah Capai Rp300 Triliun

    Hakim Nyatakan Kerugian Negara Kasus Korupsi Timah Capai Rp300 Triliun

    ERA.id – Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Sukartono menyatakan kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. tahun 2015–2022 terbukti merugikan negara sebesar Rp300 triliun.

    “Kegiatan penambangan ilegal di wilayah IUP (izin usaha pertambangan) PT Timah Tbk tahun 2015–2022 mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp300.003.263.938.131,14 (300 triliun),” ujar Sukartono di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (11/12/2024).

    Kerugian tersebut, kata dia, juga disebabkan oleh perbuatan tiga mantan Kepala Dinas (Kadis) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bangka Belitung, yakni Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode 2015–2019 Suranto Wibowo, Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode 2021–2024 Amir Syahbana, serta Pelaksana Tugas Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode Maret hingga Desember 2019 Rusbani alias Bani.

    “(Mereka) tidak melakukan pembinaan dan pengawasan secara benar,” ucap dia.

    Sukartono mengatakan bahwa Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) lima smelter beserta perusahaan afiliasinya digunakan untuk kerja sama dengan PT Timah untuk melakukan penambangan di IUP PT Timah.

    Adapun lima smelter yang dimaksud adalah PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa beserta serta PT Tinindo Internusa, masing-masing beserta perusahaan afiliasinya.

    Akibat RKAB tersebut, penambangan oleh pihak swasta di wilayah IUP PT Timah menjadi masif dan menyebabkan kerusakan ekologi, kerusakan ekonomi lingkungan, serta menimbulkan biaya pemulihan lingkungan akibat penambangan bijih timah.

    Sukartono menjabarkan, biaya kerugian ekologi sebesar Rp183,7 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp75,4 triliun, serta biaya pemulihan lingkungan Rp11,8 triliun. Dengan demikian, total kerugian lingkungan Rp271,06 triliun

    Lebih lanjut, Sukartono memaparkan bahwa kerugian senilai Rp271,06 triliun dapat pula dibagi berdasarkan kawasan yang dirusak.

    Sukartono membaginya menjadi dua kategori, yakni kerusakan lingkungan hidup di non-kawasan hutan dengan luas sekitar 95 ribu ha dengan kerugian sebesar Rp47,7 triliun; serta kerusakan lingkungan hidup akibat tambang timah di dalam kawasan hutan dengan luas sekitar 75 ribu ha senilai Rp223,3 triliun.

    Dalam kasus korupsi timah, ketiga terdakwa tersebut diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp300 triliun.

    Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,06 triliun berupa kerugian lingkungan. (Ant)

  • MIND ID Lunasi Utang 3,85 Miliar Dolar untuk Mendanai Akuisisi 51 Persen Saham Freeport di 2018 – Halaman all

    MIND ID Lunasi Utang 3,85 Miliar Dolar untuk Mendanai Akuisisi 51 Persen Saham Freeport di 2018 – Halaman all

    Laporan Wartawan  Tribunnews.com Eko Sutriyanto 

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – BUMN Holding Industri Pertambangan Indonesia atau MIND ID  melunasi pinjaman sebesar 3,85 miliar dolar yang digunakan untuk akuisisi 51 persen saham Freeport di 2018.

    “Pinjaman ini telah dilunasi lebih awal dari jadwal yang seharusnya,” kata Direktur Utama MIND ID, Hendi Prio Santoso, Jumat (13/12/2024).

    MIND.id juga secara konsisten memberikan kontribusi kepada negara melalui pajak, dividen, dan penerimaan bukan pajak lainnya.

    “Kami terus mencatatkan laba yang signifikan bahkan laba bersih akan jauh melampaui pencapaian tahun lalu. Insya Allah laba di atas Rp35 triliun,” kata  Hendi Prio.

    BUMN ini juga tidak pernah menerima suntikan modal dari pemerintah untuk mendukung operasional perusahaan. Karena itu dia optimistis laba bersih akan jauh melampaui pencapaian tahun lalu.

    “Insya Allah di atas Rp35 triliun,” ujarnya.

    Menurut Hendi, MIND ID tercatat sebagai salah satu perusahaan tambang yang progresif dalam menjalankan berbagai proyek strategis sepanjang 2024, seperti Smelter Freeport Indonesia di Gresik, Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat, serta sinergi emas antara PT Aneka Tambang Tbk dan Freeport Indonesia.

    Hal ini mencerminkan kemampuan MIND ID dalam mengelola likuiditas sehingga dapat konsisten mendukung agenda strategis pemerintah tanpa membebani anggaran negara.

    “Melalui MIND ID, pemerintah dapat memperkuat kendali Indonesia atas sumber daya tambang strategis, serta memperkuat keuntungan finansial yang nyata bagi negara melalui pendapatan dividen dan pajak,” tambah Hendi.

     

  • Helena Lim di Sidang Pleidoi Kasus Timah: Harga Mahal Sebuah Popularitas

    Helena Lim di Sidang Pleidoi Kasus Timah: Harga Mahal Sebuah Popularitas

    Jakarta

    Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan timah, Helena Lim, menyinggung soal harga mahal sebuah popularitas. Helena mengatakan julukan crazy rich terhadapnya kini runtuh.

    “Ada perasaan bahagia ketika ruang kosong di kehidupan saya diisi oleh pengakuan di masyarakat. Ketika penghargaan tersebut kemudian semakin meluas, dan mewujud menjadi popularitas seorang Helena Lim, maka seluruh pengorbanan saya sejak saya remaja menjadi terbayarkan. Namun ternyata Yang Mulia, harga sebuah popularitas itu sangat mahal Yang Mulia, sangat mahal sekali,” ujar Helena saat membacakan pleidoi pribadinya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2024).

    “Saya membayarnya dengan harga diri saya, dengan integritas dan karakter kejujuran yang telah saya pupuk sejak usia kanak-kanak. Nilai kebaikan yang ditanamkan orang tua saya sekarang runtuh, seiring dengan runtuhnya jargon crazy rich yang kemudian dijadikan pondasi bangunan kasus korupsi Timah yang berdiri megah dengan dekorasi Rp 300 triliun,” tambahnya.

    Helena mengutip ayat alkitab dari injil Kolose 2:8-9. Dia mengaku tak pernah berniat mengambil keuntungan dari hasil yang tidak sah.

    “Tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiran saya untuk beralih atau merambah sumber pemasukan saya dari bisnis tambang, apalagi mengambil keuntungan secara tidak sah,” ujarnya.

    Helena mengatakan dakwaan penyidik merupakan tuduhan berdasarkan asumsi yang tak berdasar. Dia mengatakan tuntutan 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar hingga uang pengganti Rp 210 miliar yang dibebankan jaksa sebagai tuntutan yang keji dan kejam.

    Helena menyebut total transaksi melalui money changer miliknya, PT Quantum Skyline Exchange (PT QSE) dari para smelter swasta senilai Rp 420 miliar merupakan paksaan penyidik. Dia mengatakan nilai itu merupakan hasil perkiraan yang tidak dapat dibuktikan di persidangan.

    “Nilai 30 juta USD atau setara dengan Rp 420 miliar, ini berasal dari paksaan penyidik kepada saya untuk membuat perkiraan, bukan berdasarkan fakta-fakta serta tidak ada satu pun bukti di dalam persidangan yang membuktikan kebenaran materill nilai tersebut,” ujarnya.

    “Transaksi pembelian valuta asing yang dilakukan oleh Saudara Harvey dan para terdakwa kepada money changer PT QSE bukan transaksi fiktif, juga bukan merupakan tindakan bantuan alat pengumpulan dana melainkan murni transaksi pembelian valuta asing,” kata Helena.

    “Valuta asing yang dibeli oleh para terdakwa sudah diterima dengan lengkap dan sudah diakui oleh mereka. Hal ini merupakan fakta persidangan dan para terdakwa semua sudah bersaksi dan mengakui semua transaksi jual beli valuta asing yang jelas jelas pada faktanya terjadi,” tambahnya.

    Selain itu, dia mengatakan keuntungan yang diperolehnya dari bisnis money changer merupakan nilai yang wajar. Dia menolak tuduhan jaksa yang menyebutnya sebagai koordinator money changer pengumpul dana smelter swasta.

    “Keuntungan yang saya peroleh dari bisnis jual beli valuta asing adalah wajar, bahwa keuntungan yang saya peroleh dari bisnis jual beli valuta asing adalah masih dalam nilai wajar jika dibandingkan dengan patokan kurs BI yang berlaku valid sebagai rujukan. Bahwa keuntungan yang saya peroleh besarannya kurang lebih sama dengan keuntungan money changer yang lain,” kata Helena.

    “Atas tuduhan keji, tidak berdasar tersebut, dengan ini saya menyatakan penolakan keras,” imbuhnya.

    Selain itu, Helena mengakui melakukan kelalaian administrasi dalam menjalankan transaksi di PT QSE. Dia merasa dizalimi oleh jaksa dengan dakwaan terlibat membantu tindak pidana korupsi serta melakukan pencucian uang.

    “Saya merasa sangat tidak adil dan sangat dizalimi oleh JPU hanya karena saya seorang publik figur maka saya dijadikan chopping board, talenan oleh JPU. Bahwa aset saya yang merupakan hasil kerja keras saya selama 30 tahun terancam dirampas,” kata Helena.

    Helena kemudian meminta maaf ke anak dan orang tuanya karena terseret dalam kasus ini. Dia memohon majelis hakim memberikan putusan adil untuknya.

    “Saya mohon keadilan Yang Mulia, saya dituntut 8 tahun dan harus membayar uang pengganti Rp 210 miliar yang didapat dari nilai Rp 420 miliar dibagi dua dengan Saudara Harvey Moeis. Saya telah uraikan di atas bahwa perhitungan nilai Rp 420 miliar bukan berdasarkan fakta dan kebenaran melainkan berdasarkan keterangan saya sendiri yang muncul akibat desakan, paksaan penyidik untuk menghitung nilai perkiraan maksimal dalam proses penyidikan,” ucapnya.

    Helena juga mengaku tak mampu membayar uang pengganti Rp 210 miliar yang dituntut jaksa. Dia mengatakan dirinya tak tahu terkait kerja sama PT Timah dengan para smelter swasta.

    “Bahwa penentuan untuk uang pengganti senilai Rp 210 miliar adalah tidak proporsional, mustahil, dan jauh dari rasa keadilan karena tidak mungkin pendapatan saya yang hanya beberapa ratus juta harus membayar negara sebesar Rp 210 miliar. Saya tidak tahu urusan kerja sama smelter dengan PT Timah, dan saya tidak peduli dengan mereka,” ujarnya.

    “Saya mohon keadilan Yang Mulia, agar berkenan menempatkan diri di posisi saya dan mohon dengan sangat agar Yang Mulia mempertimbangkan dengan hati nurani kepantasan tuntutan 8 tahun ditambah 4 tahun karena dalam posisi sekarang saya sudah pasti tidak mampu membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar tersebut. Tidak pernah ada dalam kepemilikan saya, dengan demikian total hukuman penjara yang ditimpakan kepada sy adalah 12 tahun,” tambahnya.

    Sebelumnya, Helena Lim dituntut 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan serta membayar uang pengganti Rp 210 miliar subsider 4 tahun kurungan.

    Jaksa menyakini Helena Lim melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.

    (mib/whn)