Produk: smelter

  • Eks Dirjen ESDM Didakwa Terlibat dan Terima Uang di Kasus Korupsi PT Timah

    Eks Dirjen ESDM Didakwa Terlibat dan Terima Uang di Kasus Korupsi PT Timah

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Direktur Jenderal Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono didakwa terlibat dalam kasus korupsi timah di IUP PT Timah Tbk. (TINS) periode 2015-2022.

    Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) pada Senin (30/12/2024) di PN Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Gatot didakwa melakukan perbuatan melawan hukum lantaran menyetujui RKAB 2019 PT Timah.

    Padahal, menurut JPU, Gatot mengetahui bahwa masih ada kekurangan yang belum dilengkapi terkait dengan studi amdal dan kelayakan dalam rangka mengakomodir pembelian bijih timah ilegal.

    “Padahal mengetahui masih terdapat kekurangan yang belum dilengkapi yaitu aspek studi Amdal dan Studi Kelayakan untuk memfasilitasi PT Timah, Tbk dalam mengakomodir pembelian bijih timah ilegal,” ujar jaksa.

    Gatot juga didakwa telah menerbitkan persetujuan proyek area PT Timah meskipun kegiatan kerja sama sewa alat processing PT Timah dengan sejumlah smelter swasta sudah dilakukan terlebih dahulu.

    Bahkan, kerja sama antara PT Timah dengan kelima smelter mulai dari PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa tidak termuat dalam RKAB 2019.

    “Dan smelter swasta tersebut dapat dengan leluasa melakukan pengambilan dan pengolahan bijih timah hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah, Tbk,” tambah jaksa.

    Selain itu, Bambang Gatot juga diduga telah menerima sejumlah uang dan fasilitas untuk menyetujui RKAB 2019 itu.

    Perinciannya, uang Rp60 juta, sponsorship kegiatan golf tahunan yang dilaksanakan oleh IKA Minerba Golf, Mineral Golf Club, dan Batubara Golf Club yang difasilitasi oleh PT Timah.

    Hadiah kegiatan golf itu juga difasilitasi PT Timah berupa tiga ponsel Iphone 6 Rp12 juta dan tiga jam beerek Garmen seharga Rp21 juta.

    Di sisi lain, Direktur Operasi Produksi PT Timah Tbk 2017-2020 Alwin Albar serta mantan Plt. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bangka Belitung Supianto yang didakwa melakukan korupsi bersama-sama dengan Bambang beserta terdakwa lainnya.

    Atas perbuatannya, ketiga terdakwa ini telah mengakibatkan terjadinya kerugian pada PT Timah dan kerusakan lingkungan baik di kawasan hutan maupun di luar Kawasan hutan dalam wilayah IUP PT Timah , berupa kerugian ekologi, kerugian ekonomi lingkungan, dan pemulihan lingkungan. Totalnya, kerugian itu mencapai Rp300 triliun.

  • 8
                    
                        Eks Dirut PT Timah Tak Dihukum Bayar Uang Pengganti, Pengacara: Tak Terbukti Terima Uang
                        Nasional

    8 Eks Dirut PT Timah Tak Dihukum Bayar Uang Pengganti, Pengacara: Tak Terbukti Terima Uang Nasional

    Eks Dirut PT Timah Tak Dihukum Bayar Uang Pengganti, Pengacara: Tak Terbukti Terima Uang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kuasa hukum eks Direktur
    PT Timah Tbk

    Mochtar Riza Pahlevi
    Tabrani, Andi Ahmad Nur Darwin, menyebut fakta persidangan menyatakan kliennya tidak terbukti menikmati uang korupsi pada tata niaga komoditas timah.
    Pernyataan ini disampaikan Andi usai kliennya dihukum 8 tahun penjara, namun tidak dihukum membayar uang pengganti sebagaimana tuntutan jaksa penuntut umum.
    “Dalam persidangan tidak terbukti menerima uang untuk kepentingan pribadi,” kata Andi usai sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024).
    Andi mengatakan, pertimbangan majelis hakim yang menyatakan kliennya tidak terbukti menikmati uang korupsi sebesar Rp 986.799.408.690 (Rp 986 miliar) bersama eks Direktur Keuangan PT Timah Tbk Emil Ermindra penting bagi nama baik kliennya.
    Pengacara itu mengeklaim, semua kebijakan yang dilakukan Riza semasa menjabat Direktur Utama PT Timah Tbk hanya untuk meningkatkan produksi perusahaan negara tersebut sambil tidak menutup pintu penghasilan masyarakat.
    Sebab, dalam sidang terungkap PT Timah mengalami kesulitan produksi karena bijih timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) mereka diambil masyarakat yang bekerja menjadi penambang ilegal.
    Bijih itu kemudian dijual ke sejumlah perusahaan smelter swasta yang menjadi kompetitor PT Timah Tbk.
    Riza lantas mengeluarkan kebijakan yang membolehkan PT Timah membeli bijih dari perusahaan yang mengumpulkan bijih dari penambang ilegal.
    “Dia ikhlas karena dalam persidangan tidak terbukti menerima uang untuk kepentingan pribadi. Ini hal yang penting untuk nama baik dia. Semua yang dia lakukan demi hanya keuntungan PT Timah saja,” ujar dia.
    Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rianto Adam Pontoh, menyatakan Riza dan Emil tidak terbukti diperkaya Rp 986 miliar sebagaimana dakwaan dan tuntutan jaksa.
    Hakim tidak sependapat dengan jaksa yang menyebut mereka diperkaya melalui CV Salsabila Utama dalam transaksi pembelian bijih timah.
    Hakim lantas menyatakan Riza dan Emil tidak bisa dihukum dengan pidana pengganti masing-masing Rp 493 miliar.
    “Kepada terdakwa Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Emil Ermindra tidak dibebankan untuk membayar uang pengganti tersebut,” kata hakim Pontoh di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Setujui RKAB PT Timah, Eks Dirjen Minerba Didakwa Ikut Rugikan Negara Rp 300 T

    Setujui RKAB PT Timah, Eks Dirjen Minerba Didakwa Ikut Rugikan Negara Rp 300 T

    Setujui RKAB PT Timah, Eks Dirjen Minerba Didakwa Ikut Rugikan Negara Rp 300 T
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
    Bambang Gatot Ariyono
    didakwa turut terlibat dalam korupsi tata niaga komoditas timah yang merugikan negara sebesar Rp 300 triliun.
    Jaksa penuntut umum menyebut, Gatot melakukan perbuatan melawan hukum lantaran menyetujui Revisi Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) PT Timah Tbk tahun 2019.
    “Padahal mengetahui masih terdapat kekurangan yang belum dilengkapi,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024).
    Menurut jaksa, dokumen RKAB itu belum disertai dengan aspek studi analisis masalah dampak lingkungan (Amdal) dan studi kelayakan PT Timah dalam mengakomodasi pembelian bijih timah dari penambang ilegal.
    Dokumen itu juga dibutuhkan untuk memfasilitasi kegiatan kerjasama pengolahan bijih timah yang dilakukan bersama Harvey Moeis dan para pemilik smelter swasta.
    “Pengambilan dan pengolahan bijih timah hasil penambangan ilegal di wilayah IUP (izin usaha pertambangan) PT Timah Tbk,” tutur jaksa.
    Perbuatan melawan hukum lainnya adalah menerbitkan persetujuan Project Area PT Timah Tbk.
    Padahal, kegiatan sewa alat pengolahan dengan lima perusahaan, yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan PT Tinindo Internusa, sudah dilakukan terlebih dahulu sebelum persetujuan project area diterbitkan.
    Bahkan, kerja sama sewa smelter itu tidak tertuang dalam Studi Kelayakan dan RKAB PT Timah Tbk tahun 2019.
    “Sehingga PT Timah Tbk dan smelter swasta tersebut dapat dengan leluasa melakukan pengambilan dan pengolahan bijih timah hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk,” ujar jaksa.
    Dalam surat dakwaannya, jaksa juga menyebut Bambang menerima uang Rp 60 juta untuk menyetujui RKAB PT Timah Tbk tahun 2019.
    Selain itu, ia juga disebut menerima sponsorship kegiatan golf tahunan yang digelar IKA Minerba Golf, Mineral Golf Club, dan Batubara Golf Club yang difasilitasi PT Timah.
    Fasilitas itu antara lain, tiga
    handphone
    iPhone 6 senilai Rp 12 juta dan tiga buah jam Garmin seharga Rp 21 juta.
    Karena perbuatannya, Bambang didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.
    Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
    Mochtar, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan crazy rich Helena Lim.
    Perkara ini juga turut menyeret suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, yang menjadi perpanjangan tangan PT RBT.
    Bersama Mochtar, Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
    Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
    Setelah beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan pemrosesan peleburan timah.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Eks Dirjen Minerba Didakwa Terlibat Korupsi Timah, Terima Fasilitas Golf

    Eks Dirjen Minerba Didakwa Terlibat Korupsi Timah, Terima Fasilitas Golf

    Jakarta

    Mantan Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, didakwa terlibat kasus dugaan korupsi pengelolaan timah. Jaksa menyebut Gatot berperan menyetujui Revisi Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) PT Timah, padahal belum lengkap dan mendapat Rp 60 juta serta sejumlah fasilitas.

    Sidang dakwaan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/12/2024). Jaksa juga membacakan dakwaan untuk dua terdakwa lainnya yakni eks Plt Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung Supianto dan mantan Direktur Operasional PT Timah Tbk Alwin Albar.

    “Terdakwa Bambang Gatot Ariyono selaku Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara melawan hukum menyetujui Revisi Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) tahun 2019 PT Timah Tbk padahal mengetahui masih terdapat kekurangan yang belum dilengkapi yaitu aspek studi amdal dan studi kelayakan untuk memfasilitasi PT Timah Tbk dalam mengakomodir pembelian bijih timah ilegal dari hasil penambangan ilegal di wilayah cadangan marginal Wilayah IUP PT Timah Tbk,” kata jaksa saat membacakan surat dakwaan.

    Jaksa mengatakan Gatot memfasilitasi PT Timah dalam kegiatan kerja sama pengolahan, pemurninan dan penglogaman dengan smelter swasta yang melakukan pengambilan dan pengolahan bijih timah hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah. Gatot juga menerbitkan persetujuan project area PT Timah.

    “Terdakwa Bambang Gatot Ariyono selaku Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tetap menerbitkan Persetujuan Project Area PT Timah Tbk walaupun kegiatan kerja sama sewa alat processing PT Timah Tbk dengan smelter swasta di antaranya PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa sudah dilaksanakan terlebih dahulu sebelum persetujuan penetapan Project Area,” ujar jaksa.

    Jaksa menyebut kerja sama sewa peralatan processing pelogaman dengan smelter swasta tidak termuat dalam studi kelayakan dan RKAB tahun 2019 PT Timah. Hal itu mengakibatkan PT Timah dan smelter swasta secara leluasa melakukan pengambilan dan pengolahan bijih timah hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.

    “Terdakwa Bambang Gatot Ariyono selaku Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara melawan hukum menerima sejumlah uang, dan fasilitas untuk menyetujui Revisi RKAB tahun 2019 PT Timah Tbk berupa; satu, uang sebesar Rp 60.000.000; dua, sponsorship kegiatan golf tahunan yang dilaksanakan oleh IKA Minerba Golf, Mineral Golf Club, dan Batu bara Golf Club yang difasilitasi oleh PT Timah Tbk, berupa doorprize tiga buah Handphone Iphone 6 seharga Rp 12.000.000 dan 3 buah jam Garmin seharga Rp 21.000.000,” ucap jaksa.

    Sementara itu, Terdakwa Alwin Albar bersama eks Dirut PT Timah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, jajaran direksi PT Timah serta smelter swasta mengakomodir penambangan ilegal yang dilakukan smelter swasta. Lima smelter swasta yang bekerja sama dengan PT Timah dan melakukan penambangan ilegal itu PT Refined Bangka Tin, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Tinindo Internusa dan CV Salsabila Utama.

    “Yang memiliki tugas dan fungsi selaku Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada periode yang berbeda dalam kurun waktu Januari 2015 sampai dengan Desember 2022,” kata jaksa.

    Praktik penambangan ilegal ini mengakibatkan terjadinya kerugian pada PT Timah dan kerusakan lingkungan baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan dalam wilayah IUP PT Timah berupa kerugian ekologi, kerugian ekonomi lingkungan, dan pemulihan lingkungan. Jaksa mengatakan kegiatan penambangan ilegal itu juga tak tertuang dalam RKAB lima smelter swasta tersebut.

    “Yang tidak tertuang dalam RKAB PT Timah Tbk maupun RKAB 5 smelter beserta perusahaan afiliasinya yang mana RKAB 5 smelter beserta perusahaan afiliasinya tersebut diterbitkan atau disetujui oleh Suranto Wibowo, Supianto dan Amir Syahbana serta Terdakwa Bambang Gatot Ariyono selaku Dirjen Minerba Kementerian ESDM yang memberikan persetujuan revisi RKAB PT Timah, Tbk tahun 2019,” ujar jaksa.

    Jaksa menyebut kegiatan ini memperkaya para petinggi smelter swasta termasuk pengusaha Harvey Moeis dan Helena Lim senilai Rp 420 miliar. Jaksa menyakini Gatot, Supianto dan Alwin Albar melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    “Yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 (triliun) berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah Di Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 Tanggal 28 Mei 2024,” imbuh jaksa.

    (mib/fas)

  • Hukuman Uang Pengganti Helena Lim Cuma Rp900 Juta di Kasus Timah, Kok Bisa?

    Hukuman Uang Pengganti Helena Lim Cuma Rp900 Juta di Kasus Timah, Kok Bisa?

    Bisnis.com, JAKARTA — Hakim Pengadilan Negeri tindak pidana korupsi atau PN Tipikor menyatakan terdakwa Helena Lim hanya perlu membayar uang pengganti sebesar Rp900 juta di kasus korupsi PT Timah Tbk. (TINS). 

    Menurut hakim, Helena Lim terbukti tidak menerima uang pengamanan dari kasus korupsi timah dengan Harvey Moeis. Sebelumnya, Helena dinyatakan telah membantu praktik pengelolaan, penyewaan proses peleburan timah ilegal melalui perusahaan PT PT Quantum Skyline Exchange.

    Helena selaku Manager PT QSE telah memberikan sarana dan prasarana peleburan ilegal itu dengan dalih penyaluran program Corporate Social Responsibility (CSR) dari sejumlah perusahaan smelter. Dalam tindakan itu, jaksa mengemukakan bahwa Harvey dan Helena telah menerima uang Rp420 miliar dalam kasus korupsi timah.

    Hakim Ketua Rianto Adam Pontoh mengatakan berdasarkan fakta persidangan bahwa aliran dana Rp420 miliar yang dikantongi perusahaan Helena Lim telah diserahkan seluruhnya ke Harvey Moeis.

    “Seluruh uang dari dana pengamanan seolah-olah dana CSR yang diterima Harvey Moeis dari para perusahaan smelter tersebut yang ditransfer ke rekening PT Quantum semuanya sudah diterima oleh Harvey Moeis,” ujar Rianto di PN Tipikor, Senin (30/12/2024).

    Namun demikian, Rianto menyatakan bahwa Helena juga masih tetap menerima keuntungan dari praktik penukaran valuta asing dari sejumlah perusahaan smelter sebesar Rp900 juta.

    “Sehingga majelis hakim berpendapat bahwa Helena tidak menikmati uang pengamanan atau seolah-olah dana CSR tersebut namun hanya menikmati keuntungan dari kurs atas penukaran valuta asing dari uang pengamanan tersebut dengan perhitungan 30 rupiah x 30 juta US Dollar yang seluruhnya berjumlah Rp900 juta rupiah,” pungkasnya.

    Sebagai informasi, Helena telah divonis lima tahun penjara dan denda Rp750 juta dalam kasus korupsi timah di IUP PT Timah (TINS). Helena juga dibebankan uang pengganti Rp900 juta subsider satu tahun penjara.

    Tuntutan itu lebih rendah dari permintaan jaksa penuntut umum yang meminta Helena agar divonis delapan tahun pidana dan dibebankan harus membayar uang pengganti Rp210 miliar.

  • 7
                    
                        Ibunda Helena Menangis Histeris Usai Anaknya Divonis 5 Tahun Penjara: Pulang Anakku…
                        Nasional

    7 Ibunda Helena Menangis Histeris Usai Anaknya Divonis 5 Tahun Penjara: Pulang Anakku… Nasional

    Ibunda Helena Menangis Histeris Usai Anaknya Divonis 5 Tahun Penjara: Pulang Anakku…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ibu terdakwa dugaan korupsi tata niaga komoditas timah Helena Lim, Hoa Lian menangis histeris usai anaknya divonis 5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024).
    Peristiwa itu terjadi ketika Helena yang sudah menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan dibawa kelua roleh petugas pengawal tahanan Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
    Begitu keluar dari pintu ruang sidang, Hoa Lian sudah menunggu di kursi rodanya. Ia kemudian berteriak meminta Helena pulang.
    “Pulang sini sayang, pulang anakku. Ya ampun,” ujar ibunda Helena histeris.
    “Mati mamah, Nak, mati mamah, sayang, pulang,” tambahnya.
    Dalam perkara ini, majelis hakim menyatakan Helena terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 Ke-2 KUHP sebagaimana dakwaan kesatu primair.
    Helena dinilai terbukti membantu Harvey Moeis mengumpulkan uang hasil korupsi kerja sama perusahaan smelter swasta dengan PT Timah Tbk.
    Uang panas itu disamarkan di antaranya melalui transaksi
    money changer
    Helena Lim.
    Selain itu, Helena juga dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Perbuatannya dinilai melanggar Pasal 3 Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
    Majelis hakim kemudian menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara, denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan dan uang pemgganti Rp 900 juta subsidair 1 tahun kurungan.
    Sebelumnya, jaksa menuntut Helena dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan.
    Jaksa juga menuntut Helena dihukum membayar uang pengganti Rp 210 miliar subsidair 4 tahun kurungan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 8
                    
                        Eks Dirut PT Timah Tak Dihukum Bayar Uang Pengganti, Pengacara: Tak Terbukti Terima Uang
                        Nasional

    Kasus Korupsi Rp 300 Triliun, Eks Dirut PT Timah Dihukum 8 Tahun Penjara

    Kasus Korupsi Rp 300 Triliun, Eks Dirut PT Timah Dihukum 8 Tahun Penjara
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, dan eks Direktur Keuangan PT Timah Tbk, Emil Ermindra, dihukum 8 tahun penjara dalam kasus korupsi tata niaga timah yang merugikan negara Rp 300 triliun.
    Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rianto Adam Pontoh, menyatakan bahwa Riza dan Emil terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu primair.
    “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Mochtar Riza Pahlevi Tabrani oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 tahun, dikurangi selama terdakwa dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan,” kata Hakim Pontoh di ruang sidang, Senin (30/12/2024).
    Hakim juga membacakan amar putusan yang sama untuk perkara yang menjerat Emil Ermindra.
    Perbuatan mereka dalam menerbitkan kebijakan kerjasama sewa smelter dan pembelian bijih timah dari penambang ilegal melalui sejumlah perusahaan melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Pidana.
    Selain pidana badan, majelis hakim juga menghukum Riza dan Emil membayar denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan.
    “Denda Rp 750 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti kurungan 6 bulan,” ujar Hakim Pontoh.
    Sebelumnya, jaksa menuntut Riza dan Emil dihukum 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan.
    Mereka juga dituntut masing-masing membayar uang pengganti Rp 493 miliar subsidair 6 tahun kurungan.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Crazy Rich PIK Helena Lim Divonis 5 Tahun Penjara dalam Kasus Korupsi Timah

    Crazy Rich PIK Helena Lim Divonis 5 Tahun Penjara dalam Kasus Korupsi Timah

    Jakarta, Beritasatu.com – Pengusaha yang dikenal sebagai Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim, divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Ketua Majelis Hakim, Rianto Adam Pontoh, menyatakan Helena terbukti membantu Harvey Moeis melakukan korupsi melalui perusahaan money changer miliknya, PT Quantum Skyline Exchange (QSE).

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Helena dengan pidana penjara selama 5 tahun, dikurangi masa tahanan, dengan perintah agar tetap ditahan,” ujar Hakim Pontoh dalam sidang pada Senin (30/12/2024). Selain pidana badan, Helena juga diwajibkan membayar denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan.

    Dalam pertimbangan hakim, Helena terbukti menampung dana hasil korupsi dari Harvey Moeis yang disamarkan sebagai dana Corporate Social Responsibility (CSR) oleh PT Timah Tbk. Helena juga dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sesuai Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

    Selain hukuman penjara, Helena diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 900 juta. Apabila tidak dibayarkan dalam satu bulan setelah putusan inkrah, maka harta bendanya akan disita dan dilelang. Jika aset tidak mencukupi, hukuman tambahan berupa 1 tahun penjara akan dijatuhkan.

    Sebelumnya, jaksa menuntut Helena dengan hukuman 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan, dan uang pengganti Rp 210 miliar. Helena disebut mendapatkan keuntungan Rp 900 juta dari penukaran valuta asing yang dilakukan di PT QSE. Transaksi tersebut menyamarkan dana hasil korupsi yang diakui sebagai CSR.

    Menurut laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), korupsi ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Uang ini terkait kerja sama smelter swasta dengan PT Timah Tbk dalam pengelolaan komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) pada periode 2015-2022.

    Helena Lim, sebagai pemilik PT QSE, berperan menampung dana dari Harvey Moeis. Dana ini kemudian digunakan untuk mendukung praktik ilegal dalam tata niaga timah. Meskipun Helena tidak tercatat dalam akta perusahaan, perannya dalam memfasilitasi transaksi ilegal ini terbukti kuat.

  • Kontroversi Kasus Harvey Moeis, Antara Korupsi Rp300 Triliun dan Hukuman Bui 6,5 Tahun

    Kontroversi Kasus Harvey Moeis, Antara Korupsi Rp300 Triliun dan Hukuman Bui 6,5 Tahun

    Bisnis.com, JAKARTA – Vonis PN Tipikor terhadap Harvey Moeis menuai kontroversi lantaran dinilai tidak sebanding dengan kerugian negara yang ditimbulkan dalam perkara korupsi timah.

    Pasalnya, dari kerugian negara kasus timah yang ditetapkan Rp300 triliun, Harvey Moeis hanya mendapatkan hukuman sebesar 6,5 tahun pidana.

    Selain itu, suami dari artis Sandra Dewi itu harus membayar denda Rp1 miliar serta dibebankan hukuman uang pengganti Rp210 miliar.

    Lantas, bagaimana peran serta kronologi kasus timah yang seret Harvey Moeis?

    Dalam catatan Bisnis, Harvey Moeis ditetapkan sebagai tersangka oleh tim penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Rabu (26/3/2024).

    Setidaknya, perlu waktu lima bulan bagi korps Adhyaksa untuk melengkapi berkas perkara Harvey Moeis hingga akhirnya disidangkan di meja hijau.

    Di persidangan, Harvey yang mewakili PT Refined Bangka Tin (RBT) disebut telah melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak yakni, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama dan Alwin Albar selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Tbk.

    Pertemuan itu dilakukan untuk membahas permintaan Riza Pahlevi dan Alwin Akbar atas kuota ekspor bijih timah sebesar 5% dari hasil penambangan ilegal di IUP PT Timah.

    Selanjutnya, Harvey juga meminta kepada sejumlah perusahaan smelter yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan sebesar US$500 hingga US$750 per ton metriks.

    Biaya itu seolah-olah dicatat sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang dikelola oleh Harvey Moeis atas nama PT RBT dan difasilitasi terdakwa Helena Lim selaku manager PT Quantum Skyline Exchange.

    Kemudian, suami Sandra Dewi itu menginisiasi kerja sama alat pelogaman timah smelter swasta yang tidak memiliki competent person dengan CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa dengan PT Timah Tbk.

    Adapun, Harvey bersama empat perusahaan itu telah sepakat dengan PT Timah untuk menerbitkan surat perintah kerja di IUP PT Timah. Tujuannya, untuk melegalkan pembelian bijih timah oleh swasta yang berasal dari penambangan ilegal.

    Di lain sisi, Harvey bersama dengan pihak PT Timah juga menyepakati harga sewa peralatan processing pelogaman timah sebesar US$4.000 per ton untuk PT RBT.

    Sementara, US$3.700 per ton untuk PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan CV Venus Inti Perkasa. Namun, tindakan itu dilakukan tanpa melalui kajian atau studi kelayakan.

    Singkatnya, sejumlah smelter ini kemudian melakukan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk. (TINS). Tindakan itu bisa terlaksana lantaran ada pembiaran yang dilakukan pihak PT Timah Tbk. dan Dinas ESDM Provinsi Bangka Belitung.

    Akibatnya, berdasarkan audit perhitungan kerugian dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI), Harvey dan sejumlah pihak yang terlibat telah merugikan negara Rp300 triliun

    Aliran Dana Korupsi Harvey

    Selain itu, Harvey juta didakwa melakukan tindak pidana dugaan pencucian uang (TPPU) dengan dalih biaya CSR.

    Uang yang diterima Harvey mengalir ke sejumlah pihak, termasuk untuk kebutuhan istrinya Sandra Dewi. Perinciannya, 88 tas mewah dengan sejumlah merek yaitu Louis Vuitton, Herme, Chanel, Dior, Gucci hingga Loewe.

    Kemudian, pembayaran cicilan dan pelunasan rumah yang berlokasi di The Pakubuwono House, Town House F RT 3 RW 1 Kel. Gunung Kec. Kebayoran Baru Kota Jakarta Selatan atas nama Sandra Dewi.

    Tak hanya di Indonesia, jaksa mengungkap aliran dana itu juga dipakai Harvey untuk pembayaran sewa rumah di Australia sebesar Rp5,7 miliar.

    Selanjutnya, bangunan di atas tanah Blok J-3 Jalan Haji Kelik, Permata Regency atas nama Kartika Dewi, Blok J-5 dan J-7 atas nama Sandra Dewi dan Blok J-9 atas nama Raymon Gunawan.

    Adapun, Harvey juga turut membelanjakan Sandra Dewi sejumlah 141 perhiasan dengan berbagai macam bentuk mulai dari, anting, gelang hingga kalung.

    Selain itu, Harvey turut membeli delapan mobil mewah melalui dana tersebut, yakni bermerek Vellfire, Lexus RX, Ferrari, Porsche hingga Rolls Royce.

    Di sisi lain, Sandra Dewi membantah bahwa aliran dana korupsi itu mengalir ke sejumlah barang miliknya seperti tas hingga perhiasan.

    Pada persidangan Kamis (10/10/2024), Sandra mengaku bahwa sejumlah barang mewah itu diperoleh melalui hasil pekerjaannya, termasuk soal apartemen yang telah disita.

    Vonis Harvey Belum Inkrah

    Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar memastikan bahwa pihaknya telah melayangkan upaya hukum banding terkait dengan vonis Harvey Moeis.

    Alasannya, banding itu dilakukan karena pihaknya menilai vonis yang dijatuhkan terhadap kelima terdakwa itu belum setimpal.

    “Adapun alasan menyatakan banding terhadap 5 Terdakwa karena putusan pengadilan masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (28/12/2024).

    Dia juga menyatakan, majelis hakim PN tindak pidana korupsi (Tipikor) dalam putusannya tidak mempertimbangkan dampak dari kasus megakorupsi timah terhadap masyarakat.

    “Majelis Hakim tidak mempertimbangkan dampak yang dirasakan masyarakat terhadap kerusakan lingkungan akibat perbuatan para Terdakwa serta terjadi kerugian negara yang sangat besar,” pungkasnya.

    Vonis Harvey Tuai Polemik

    Dalam hal ini, Mahfud MD mengkritisi bahwa vonis itu belum adil jika dibandingkan dengan kerugian negara dari kasus megakorupsi yang mencapai Rp300 triliun itu.

    Apalagi, menurutnya, dengan uang pengganti yang dibebankan Rp210 miliar itu masih sangat jauh dibandingkan dengan kerugian negara yang ditimbulkan.

    “Dimana keadilan. Harvey Moeis didakwa melakukan korupsi dan TPPU yang merugikan keuangan negara Rp 300 Triliun. Dakwaannya konkret ‘merugikan keuangan negara’, bukan potensi ‘merugikan perekonomian negara’,” ujarnya, Kamis (26/12/2024).

  • BPJS Ungkap Status Harvey Moeis dan Sandra Dewi, Penerima Bantuan tapi Bukan untuk Warga Miskin – Halaman all

    BPJS Ungkap Status Harvey Moeis dan Sandra Dewi, Penerima Bantuan tapi Bukan untuk Warga Miskin – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – BPJS Kesehatan akhirnya buka suara setelah data Harvey Moeis dan Sandra Dewi masuk Penerima Bantuan Iuran (PBI).

    Diketahui identitas lengkap Harvey Moeis beredar di media sosial setelah vonis ringan kasus korupsi PT Timah yang menyeretnya.

    Nomor KTP suami Sandra Dewi pun ikutan kena doxing.

    Warganet pun tak tinggal diam. Ada yang memeriksa status penerimaan BPJS Harvey Moeis dan Sandra Dewi.

    Menariknya, keduanya yang terkenal hidup mewah menjadi anggota PBI alias mendapatkan bantuan dari pemerintah.

    Status BPJS Harvey Moeis dan Sandra Dewi bocor ke publik

    Status tersebut viral dan membuat banyak kecaman muncul menyudutkan BPJS.

    Kini BPJS buka suara soal status Harvey Moeis dan Sandra Dewi dijelaskan bukan penerima bantuan untuk kalangan rakyat miskin.

    Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, langsung membenarkan Harvey Moeis dan Sandra Dewi sebagai peserta PBI.

    Namun PBI dari APBD BPJS Kesehatan.

    “Hasil pengecekan data, nama yang bersangkutan masuk ke dalam segmen PBPU Pemda (nomenklatur lama PBI APBD) Pemprov DKI Jakarta,” ujarnya dikutip dari Kompas.com, Minggu (29/12/2024). 

    Rizzky menjelaskan bahwa PBI APBD pada BPJS Kesehatan berbeda dengan PBI Jaminan Kesehatan (JK) yang hanya diperuntukkan khusus untuk masyarakat miskin.

    Untuk menjadi peserta PBI APBD, tidak harus berasal dari masyarakat miskin.

    Beredar data BPJS Kesehatan Harvey Moeis sebagai PBI (Akun X)

    Pasalnya, peserta segmen PBI APBD didaftarkan oleh masing-masing pemerintah daerah (pemda), dan iurannya dibayarkan oleh pemda menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing pemda.

    “Pada segmen ini (PBI APBD), persyaratannya tidak harus fakir miskin maupun orang yang tidak mampu, melainkan seluruh penduduk pada suatu daerah yang belum terdaftar sebagai peserta Program JKN dan bersedia diberikan hak kelas 3,” jelasnya. 

    “Adapun nama-nama yang termasuk dalam segmen PBPU Pemda ini, sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat,” tambah dia.

    Sementara untuk segmen PBI JK yang khusus masyarakat miskin, hanya masyarakat yang namanya terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial (Kemensos) yang boleh menjadi peserta.

    Lantaran didaftarkan oleh pemerintah pusat, maka iuran segmen PBI JK ini dibayarkan juga oleh pemerintah pusat menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    “Daftar nama-nama peserta pada segmen ini mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial dan diperbarui secara berkala,” tuturnya.

    Diketahui Harvey Moeis tengah menjadi sorotan setelah vonis ringan yang ia dapat dalam kasus korupsi yang merugikan negara sebanyak Rp300 triliun.

    Ketua Majelis Hakim, Eko Aryanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (23/12/2024), telah membacakan vonis.

    Ia juga menjelaskan alasan Harvey Moeis mendapatkan vonis lebih rendah daripada tuntutan JPU.

    Harvey terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHAP.

    Selain itu, Harvey juga dianggap Hakim Eko terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    “Menjatuhkan terhadap terdakwa Harvey Moeis oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan,” ucap Hakim Eko di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.

    Selain hukuman pidana badan, Harvey Moeis juga divonis pidana denda sebesar Rp1 miliar di mana apabila tidak mampu membayar, maka diganti dengan kurungan selama 6 bulan.

    Tak hanya itu, Harvey Moeis juga dikenakan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar.

    Namun, apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta benda Harvey dapat disita oleh Jaksa untuk dilelang guna menutupi uang pengganti.

    “Dalam hal terdakwa tidak memiliki harta benda lagi yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun,” jelas Hakim.

    “Menimbang bahwa tuntutan pidana penjara selama 12 tahun kepada terdakwa Harvey Moeis, Majelis hakim mempertimbangkan tuntutan pidana penjara tersebut terlalu berat,” ucap Hakim di ruang sidang.

    Salah satu pertimbangannya, Eko menganggap Harvey selama di persidangan beralasan hanya membantu Suparta selaku Direktur PT Refined Bangka Tin dalam kerjasama dengan PT Timah Tbk.

    “Karena terdakwa memiliki pengalaman mengelola usaha tambang batu bara di Kalimantan,” kata Hakim.

    Selain itu, Hakim juga mempertimbangkan posisi Harvey Moeis di PT RBT yang tidak tergabung dalam kepengurusan di perusahaan.

    Sehingga kata Eko, Harvey bukan pembuat keputusan kerjasama antara PT Timah Tbk dan PT RBT serta terdakwa dinilai tidak mengetahui administrasi dari keuangan di kedua perusahaan tersebut.

    “Bahwa dengan keadaan tersebut terdakwa tidak berperan besar dalam hubungan kerja sama peleburan timah antara PT timah TBK dan PT RBT maupun dengan para pengusaha smelter peleburan timah lainnya yang menjalin kerja sama dengan PT timah TBK,” jelasnya.

    Alhasil, majelis hakim pun berpandangan hukuman pidana yang sebelumnya dituntut oleh Jaksa harus dikurangi.

    Pengurangan hukuman itu bahkan bukan berlaku hanya untuk Harvey. Kata Hakim, hal itu juga berlaku untuk dua terdakwa lain yakni Suparta dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.

    Pasalnya, menurut dia, dalam fakta persidangan diketahui PT RBT bukan merupakan penambang ilegal yang beroperasi di wilayah IUP PT Timah.

    Perusahaan smelter swasta itu dianggap Hakim memiliki izin usaha pertambangan (IUP) sendiri dalam menjalankan bisnis timahnya.

    “Menimbang bahwa berdasarkan fakta tersebut sehingga majelis hakim berpendapat tuntutan pidana penjara yang diajukan penuntut umum terhadap 3 terdakwa Harvey Moeis, Suparta, Reza terlalu tinggi dan harus dikurangi,” pungkasnya. (*)

    (Tribunnews.com/ Siti N/ Fahmi Ramadhan) (Kompas.com/ Isna Rifki Sri Rahayu)