Produk: smelter

  • ESDM Harap Larangan Smelter Intermediate Dorong Investasi Produk Jadi

    ESDM Harap Larangan Smelter Intermediate Dorong Investasi Produk Jadi

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berharap pembatasan izin investasi pembangunan smelter nikel yang memproduksi produk antara (intermediate) tertentu dapat menarik investor untuk produk jadi.

    Adapun larangan pembangunan smelter baru itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

    Dalam beleid yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 5 Juni 2025 itu, industri pembuatan logam dasar bukan besi yang memiliki izin usaha industri (IUI) tak diperbolehkan membangun proyek smelter baru yang khusus memproduksi produk intermediate, seperti nickel matte, mixed hydroxide precipitate (MHP), feronikel (FeNi), dan nickel pig iron (NPI).

    Dirjen Mineral dan Batu bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno menyatakan, pelarangan pembangunan smelter baru yang memproduksi produk intermediate itu diharapkan menarik gelombang investor baru.

    Adapun produk hilir yang dimaksud seperti baja tahan karat, nikel sulfat, atau bahkan barang jadi.

    “Harapannya kan gitu. Harapannya kan sampai ke produk jadi,” ujar tri di Kompleks Parlemen, Jakarta (10/11/2025).

    Selain itu, dia juga berharap pembatasan pembangunan smelter baru dapat mendorong harga nikel global. Sebab, hal ini bisa menjaga pasokan nikel.

    Maklum, belakangan harga nikel kini anjlok hampir 40% dibandingkan dengan 5 sampai 7 tahun lalu, dari level US$38.000 per ton menjadi US$15.000 per ton.

    Anjloknya harga nikel itu tak lepas dari maraknya smelter di Tanah Air. Sayangnya, menjamurnya smelter tidak diimbangi dengan permintaan yang stabil di pasar global.

    “Supaya multiplier effect-nya itu lebih panjang rantainya. Kan tujuan hilirisasi kan itu. Untuk menciptakan nilai tambah atau multiplier effect yang lebih tinggi,” imbuh Tri.

    Sebelumnya, pemerintah resmi membatasi izin investasi baru untuk pembangunan pabrik pemurnian atau smelter nikel yang memproduksi produk antara tertentu di Indonesia. Kebijakan ini berpotensi berdampak pada proyek-proyek yang direncanakan setelah 2027.

    Kebijakan baru ini sebenarnya telah diterbitkan sejak Juni 2025, tetapi baru belakangan ini menjadi topik pembahasan di pasar.

    Dalam PP Nomor 28 tahun 2025, pemerintah meminta komitmen perusahaan smelter untuk melanjutkan kegiatan hilirisasi yang tidak berhenti pada produk antara (intermediate) bijih nikel.

    “Dalam hal menjalankan kegiatan pemurnian nikel dengan teknologi pirometalurgi memiliki dan menyampaikan surat pernyataan tidak memproduksi NPI, FeNi, dan nickel matte,” demikian tertulis dalam lampiran 1.F 3534 beleid tersebut.

    Masih dalam lampiran yang sama, pemerintah juga membatasi investasi baru pembangunan smelter dengan teknologi hidrometalurgi atau berbasis high pressure acid leach (HPAL) yang hanya memproduksi MHP. Adapun, MHP umumnya menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).

    “Dalam hal menjalankan kegiatan pemurnian nikel dengan teknologi hidrometalurgi, memiliki dan menyampaikan tidak memproduksi mixed hydroxide precipitate [MHP],” demikian bunyi lampiran itu.

  • Menteri Bahlil kaji tambang Freeport yang tak terdampak longsor

    Menteri Bahlil kaji tambang Freeport yang tak terdampak longsor

    Kalau kami beri target waktu, kemudian kerjanya nggak benar, nanti bahaya karena ini nyawa.

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengkaji tambang PT Freeport Indonesia yang tidak terdampak longsor untuk kembali berproduksi setelah longsor yang terjadi pada September 2025.

    “Ada bagian yang memang tidak ada kaitannya dengan musibah, ini lagi di-exercise untuk bagaimana bisa produksi,” ujar Bahlil ketika ditemui setelah melantik anggota Komite BPH Migas, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin.

    Evaluasi tersebut dilatarbelakangi oleh terdampaknya pendapatan negara apabila aktivitas pertambangan Freeport betul-betul terhenti.

    Selain itu, Bahlil juga mempertimbangkan karyawan, pendapatan daerah, dan keberlangsungan smelter Gresik yang terdampak oleh terhentinya operasional tambang Freeport pascalongsor.

    “Sekarang tim saya masih di sana, makanya belum berani ngomong secara menyeluruh karena tim kami belum kasih laporan,” kata dia lagi.

    Bahlil pun tak memberi batas akhir kapan evaluasi akan berakhir, sebab ia menginginkan evaluasi yang teliti dan tidak terburu-buru. Evaluasi yang dilakukan oleh terburu-buru, kata dia, dapat membahayakan nyawa.

    “Kalau kami beri target waktu, kemudian kerjanya nggak benar, nanti bahaya karena ini nyawa,” ujar Bahlil.

    Secara terpisah, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Tri Winarno menyampaikan bahwa Freeport sudah mengajukan permohonan untuk mengoperasikan kembali tambang yang tidak terdampak oleh longsor.

    “Sudah (mengajukan), tapi mitigasinya seperti apa, itu yang kami mau tahu,” ujar Tri.

    Sebelumnya, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas menyampaikan bahwa smelter Freeport yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur, tidak beroperasi karena tidak memperoleh pasokan konsentrat sejak longsornya tambang bawah tanah di Grasberg Block Cave (GBC).

    Sejak longsor lumpur bijih basah terjadi di area tambang bawah tanah kawasan Grasberg Block Cave (GBC) Extraction 28-30 Panel, Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua Tengah, pada 8 September 2025, Freeport memberhentikan operasional tambangnya.

    Pemberhentian operasional tersebut bertujuan untuk memfokuskan sumber daya dalam mengevakuasi tujuh orang pekerja yang terjebak di area tambang. Seluruh korban ditemukan secara bertahap, hingga pada 6 Oktober, Freeport menyatakan pencarian selesai.

    “Mudah-mudahan kami bisa segera beroperasi walaupun tidak dalam kapasitas penuh, supaya bisa ada konsentrat yang kami produksi untuk dikirim ke smelter-smelter,” kata Tony.

    Implikasi terhentinya operasional tambang Freeport selama lebih dari sebulan terhadap realisasi produksi perusahaan akan segera dikalkulasi.

    Tony menyampaikan bahwa yang menjadi fokus bagi Freeport saat ini adalah restorasi tambang setelah tuntasnya evakuasi tujuh korban.

    Pewarta: Putu Indah Savitri
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Babak Baru Penghiliran Nikel, Izin Baru Smelter Dibatasi

    Babak Baru Penghiliran Nikel, Izin Baru Smelter Dibatasi

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akhirnya membatasi izin investasi baru untuk pembangunan smelter nikel yang hanya memproduksi produk antara (intermediate) tertentu di Indonesia. Kebijakan ini dinilai dapat mendorong pengembangan penghiliran nikel ke tahap lebih lanjut.

    Adapun, pembatasan izin smelter baru itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Beleid ini mensyaratkan bagi industri pembuatan logam dasar bukan besi tidak membangun smelter yang khusus memproduksi produk intermediate, seperti nickel matte, mixed hydroxide precipitate (MHP), feronikel (FeNi), dan nickel pig iron (NPI).

    “Dalam hal menjalankan kegiatan pemurnian nikel dengan teknologi pirometalurgi [RKEF], memiliki dan menyampaikan surat pernyataan tidak memproduksi NPI, FeNi, dan nickel matte,” demikian tertulis dalam lampiran 1.F 3534 beleid tersebut dikutip Minggu (9/11/2025).

    Masih dalam lampiran yang sama, pemerintah juga membatasi investasi baru pembangunan smelter dengan teknologi hidrometalurgi atau berbasis high pressure acid leach (HPAL) yang hanya memproduksi MHP. Adapun, MHP umumnya menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).

    Jika mengacu pada klasifikasi bisnisnya, smelter yang dimaksud termasuk dalam kategori industri manufaktur. Artinya, bukan yang terintegrasi dengan pertambangan. Dengan kata lain, aturan ini berlaku untuk perusahaan smelter nikel yang mendapat izin usaha industri (IUI) dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

    Menanggapi kebijakan tersebut, Ketua Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Arif Perdana Kusumah mengamini bahwa pembatasan izin smelter baru yang memproduksi produk antara itu dirancang untuk membuka peluang investasi baru. Ini khususnya demi mengundang investor untuk memproduksi produk hilir lebih lanjut seperti baja tahan karat, nikel sulfat, atau bahkan barang jadi.

    Menurutnya, investasi smelter yang memproduksi produk jadi, akan menciptakan nilai tambah yang lebih besar bagi industri nikel di Indonesia.

    “Melalui peraturan pemerintah ini [PP Nomor 28 tahun 2025], pemerintah Indonesia masih memperbolehkan proyek pengolahan dan pemurnian nikel baru sepanjang badan usaha tersebut tidak hanya bertujuan menghasilkan produk antara, tetapi juga mengembangkan produk akhir lebih lanjut,” ujar Arif kepada Bisnis, Minggu (9/11/2025). 

    Namun demikian, pihaknya meminta pemerintah memberikan pengecualian untuk sejumlah proyek smelter yang sedang dibangun. Artinya, smelter yang saat ini sedang dibangun masih diperbolehkan untuk diteruskan hingga rampung.

    Arif menuturkan, saat ini, beberapa perusahaan anggota FINI telah memulai pembangunan smelter sebelum PP Nomor 28 tahun 2025 tersebut berlaku. Menurutnya, proses pembangunan ini telah berlangsung cukup lama. Perusahaan juga telah menggelontorkan dana investasi yang signifikan.

    Oleh karena itu, FINI juga mengadvokasi para anggotanya yang saat ini sedang dalam tahap pembangunan smelter.

    “Kami memohon agar pemerintah memberikan pengecualian terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025, dengan mempertimbangkan kesiapan produksi dan proses konstruksi atau pengembangan yang telah dilakukan,” katanya.

    Dia menyebut bahwa permohonan ini semata-mata untuk menjaga produktivitas industri hilir mineral nikel dan menciptakan iklim investasi yang kondusif dan berkeadilan.

    Menjaga Keekonomian Nikel

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar menilai kebijakan pemerintah itu sudah tepat karena memang jumlah smelter existing sudah berlebih.

    Dia mengatakan, pembatasan smelter penting untuk menjaga pasokan dan memperbaiki harga nikel di tingkat global. Maklum, belakangan harga nikel kini anjlok hampir 40% dibandingkan dengan 5 sampai 7 tahun lalu, dari level US$38.000 per ton menjadi US$15.000 per ton.

    Anjloknya harga nikel itu tak lepas dari maraknya smelter di Tanah Air. Sayangnya, menjamurnya smelter tidak diimbangi dengan permintaan yang stabil di pasar global.

    Alhasil, beberapa smelter pun tumbang tahun ini. Berdasarkan catatan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), setidaknya terdapat empat smelter besar investasi dari China di wilayah Sulawesi yang menyetop sebagian atau total lini produksinya.

    Empat smelter yang dimaksud yaitu PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) yang mengurangi 15-20 lini produksi nikel sejak awal 2024. Sepanjang tahun lalu, tercatat 28 smelter ditutup di berbagai wilayah, paling banyak dari PT GNI.

    Kemudian, PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) yang menghentikan beberapa lini baja nirkarat dan jalur cold rolling sejak Mei 2025. Lalu, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe yang mengurangi kapasitas produksi, meski datanya tidak menyebutkan jumlah lini spesifik.

    Terbaru, PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) yang disebut telah mengurangi kapasitas agregat dan menghentikan operasional sementara sejak 15 Juli 2025. Alhasil, dikabarkan 1.200 karyawan terdampak dirumahkan.

    Karena itu, Bisman menilai pembatasan pembangunan smelter baru menjadi hal mendesak. “Hal ini juga penting untuk menjaga kesinambungan pasokan nikel. Selain itu, juga untuk menjaga keseimbangan nilai keekonomian produk nikel,” ucapnya.

    Dia berpendapat, ke depan pemerintah perlu lebih fokus pada membangun ekosistem industri nikel serta produk turunan dari smelter.

    Di sisi lain, Bisman mengamini kebijakan baru itu dapat membuat investor gusar. Ini khususnya bagi investor yang sebelumnya berencana membangun smelter yang memproduksi MHP, FeNi, dan NPI.

    “Dampak negatifnya mungkin terkait kepercayaan investor terutama investor yang sudah siap-siap mau bangun smelter,” tutur Bisman.

    Pengendalian Izin Tambang Perlu Diperhatikan

    Sementara itu, ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat, pembatasan izin investasi pembangunan smelter nikel baru harus diiringi moratorium izin tambang.

    Menurutnya, hal ini perlu dilakukan jika pemerintah memang betul-betul ingin mengatasi oversuplai nikel. Bhima mencatat jumlah smelter nikel yang sudah berdiri saat ini sebanyak 54 unit.

    Dia menilai jumlah itu berperan dalam oversuplai produksi nikel olahan di pasar ekspor. Sementara itu, terdapat 38 smelter yang sedang dalam tahap konstruksi dan 45 smelter dalam perencanaan.

    Selanjutnya, Bhima menyebut bahwa jumlah rencana keuangan anggaran perusahaan (RKAP) yang tahun ini disetujui oleh Kementerian ESDM sudah sebanyak 292 izin, dengan total izin usaha pertambangan khusus (IUPK) seluas 866.292 hektare.

    “Dengan luasan konsesi yang begitu besar dan izin tambang yang terus bertambah, meski izin smelter baru dimoratorium, tanpa kontrol di sektor hulu hanya akan memindahkan tekanan dari industri pengolahan ke kawasan tambang,” ucap Bhima.

    Menurutnya, jika IUPK tak dibatasi, maka akan memperparah kerusakan ekologis dan konflik sosial.

    Dalam laporan bersama, Celios dan CREA mencatat total kerugian pendapatan petani dan nelayan di wilayah nikel sebesar US$234,84 juta atau sekitar Rp3,64 triliun dalam 13 tahun ke depan. Di samping itu, terdapat potensi lebih dari 3.800 kematian dini pada 2025 dan hampir 5.000 kasus pada 2030.

    Dia juga mencermati adanya kontradiksi antara moratorium izin smelter dengan rencana Danantara yang ingin membangun smelter baru.

    Menurutnya, di tengah situasi pasar yang jenuh dan harga yang terus merosot, pemerintah Indonesia justru mengumumkan akan membiayai proyek smelter nikel milik Vale Indonesia (INCO) dan GEM Co. Ltd. (China), melalui program Danantara.

    “Kontradiksi ini memperlihatkan inkonsistensi kebijakan: di satu sisi pemerintah berupaya menahan ekspansi, tetapi di sisi lain tetap mendorong investasi baru melalui skema pembiayaan negara,” kata Bhima.

  • Ekonom Sebut Moratorium Smelter Harus Diiringi Pengendalian Izin Tambang

    Ekonom Sebut Moratorium Smelter Harus Diiringi Pengendalian Izin Tambang

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai pembatasan izin investasi pembangunan smelter nikel baru harus diiringi moratorium izin tambang.

    Adapun pembatasan pembangunan smelter nikel sendiri tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

    Beleid itu mengatur agar industri pembuatan logam dasar bukan besi yang memiliki izin usaha industri (IUI) tak membangun proyek smelter baru yang khusus memproduksi produk antara nikel, seperti nickel matte, mixed hydroxide precipitate (MHP), feronikel (FeNi), dan nickel pig iron (NPI).

    Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pembatasan pembangunan smelter itu seharusnya diikuti dengan ketegasan regulasi. Ini khususnya terkait moratorium izin tambang.

    Menurutnya, hal ini perlu dilakukan jika pemerintah memang betul-betul ingin mengatasi oversuplai nikel. Adapun jumlah smelter nikel yang sudah berdiri sebanyak 54 unit. 

    Bhima menilai jumlah itu berperan dalam oversuplai produksi nikel olahan di pasar ekspor. Sementara itu terdapat 38 smelter yang sedang dalam tahap konstruksi dan 45 smelter dalam perencanaan. 

    Bhima menyebut, jumlah Rencana Keuangan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang tahun ini disetujui oleh Kementerian ESDM sudah sebanyak 292 izin, dengan total izin usaha pertambangan khusus (IUPK) seluas 866.292 hektare. 

    “Dengan luasan konsesi yang begitu besar dan izin tambang yang terus bertambah, meski izin smelter baru dimoratorium namun tanpa kontrol di sektor hulu hanya akan memindahkan tekanan dari industri pengolahan ke kawasan tambang,” ucap Bhima dalam keterangannya dikutip Minggu (9/11/2025).

    Menurutnya, jika IUPK tak dibatasi, maka akan memperparah kerusakan ekologis dan konflik sosial.

    Dalam laporan bersama, Celios dan CREA mencatat total kerugian pendapatan petani dan nelayan di wilayah nikel sebesar US$234,84 juta atau sekitar Rp3,64 triliun dalam 13 tahun ke depan. Di samping itu, terdapat potensi lebih dari 3.800 kematian dini pada 2025 dan hampir 5.000 kasus pada 2030.  

    Dia juga mencermati adanya kontradiksi antara moratorium izin smelter dengan rencana Danantara yang ingin membangun smelter baru. 

    Menurutnya, di tengah situasi pasar yang jenuh dan harga yang terus merosot, pemerintah Indonesia justru mengumumkan akan membiayai proyek smelter nikel milik Vale Indonesia (INCO) dan GEM Co. Ltd. (China), melalui program Danantara. 

    “Kontradiksi ini memperlihatkan inkonsistensi kebijakan: di satu sisi pemerintah berupaya menahan ekspansi, tetapi di sisi lain tetap mendorong investasi baru melalui skema pembiayaan negara,” kata Bhima.

    Sementara itu, Peneliti Celios Attina Rizqiana menambahkan bahwa pembatasan terhadap izin smelter nikel, harus ditindaklanjuti dengan pembatasan pada IUPK perusahaan yang notabene memiliki izin pertambangan, konsesi maupun pengolahan nikel. 

    “Tidak luput, langkah tegas juga harus diambil terkait perusahaan yang masih dalam tahap rencana pembangunan fasilitas, juga terkait batas waktu pembatasan,” ungkap Kiki.

    Dia berpendapat, langkah yang diambil pemerintah menimbulkan kesan kuat bahwa pengendalian ekspansi industri nikel di Indonesia masih didorong oleh pertimbangan ekonomi semata, bukan dimotori atas komitmen terhadap dekarbonisasi dan perlindungan lingkungan. 

    Kiki menyebut, proyek-proyek smelter yang bergantung pada pembangkit energi fosil berpotensi memperbesar jejak emisi sektor mineral justru di tengah klaim transisi energi hijau. 

    “Ditambah lagi dengan perluasan konsesi yang berdampak pada deforestasi dan hilangnya ruang hidup dan penghidupan masyarakat,” imbuhnya.

    Kiki menambahkan bahwa tanpa adanya pembatasan yang sejalan di tingkat hulu (IUP), peta jalan dekarbonisasi yang tegas, dan integrasi kebijakan lingkungan yang nyata, kebijakan pembatasan IUI berisiko menjadi langkah kosmetik.

    “Seolah memperlambat ekspansi secara administratif, tapi tidak mengubah arah struktural pembangunan industri yang masih berbasis ekstraktivisme dan emisi tinggi.” tutup Kiki. 

  • Pemerintah Batasi Izin Smelter Nikel Baru, Sejumlah Proyek Diproyeksi Bisa Batal

    Pemerintah Batasi Izin Smelter Nikel Baru, Sejumlah Proyek Diproyeksi Bisa Batal

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah resmi membatasi izin investasi baru untuk pembangunan pabrik pemurnian atau smelter nikel yang memproduksi produk antara tertentu di Indonesia. Kebijakan ini berpotensi berdampak pada proyek-proyek yang direncanakan setelah 2027. 

    Hal ini sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

    Dalam beleid yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 5 Juni 2025 itu, pemerintah meminta komitmen perusahaan smelter untuk melanjutkan kegiatan hilirisasi yang tidak berhenti pada produk antara (intermediate) bijih nikel.

    Oleh karena itu, beleid itu juga mengatur agar industri pembuatan logam dasar bukan besi tak membangun proyek smelter baru yang khusus memproduksi produk antara nikel, seperti nickel matte, mixed hydroxide precipitate (MHP), feronikel (FeNi), dan nickel pig iron (NPI).

    “Dalam hal menjalankan kegiatan pemurnian nikel dengan teknologi pirometalurgi memiliki dan menyampaikan surat pernyataan tidak memproduksi NPI, FeNi, dan nickel matte,” demikian tertulis dalam lampiran 1.F 3534 beleid tersebut dikutip Sabtu (8/11/2025).

    Masih dalam lampiran yang sama, pemerintah juga membatasi investasi baru pembangunan smelter dengan teknologi hidrometalurgi atau berbasis high pressure acid leach (HPAL) yang hanya memproduksi MHP. Adapun, MHP umumnya menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).

    “Dalam hal menjalankan kegiatan pemurnian nikel dengan teknologi hidrometalurgi, memiliki dan menyampaikan tidak memproduksi mixed hydroxide precipitate [MHP],” demikian bunyi lampiran itu.

    Lebih lanjut, jika mengacu pada klasifikasi bisnisnya, smelter yang dimaksud termasuk dalam kategori industri manufaktur. Artinya, bukan pertambangan.

    Dengan kata lain, aturan ini berlaku untuk perusahaan smelter nikel yang mendapat izin usaha industri (IUI) dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

    Analis Citigroup Inc., Ryan Davis dalam laporannya menyebutkan bahwa kebijakan ini berpotensi menyebabkan penundaan, bahkan pembatalan sejumlah proyek yang sedang direncanakan.

    Dia menyebut, kebijakan ini juga menegaskan niat pemerintah untuk mengatasi kelebihan pasokan nikel yang terus terjadi di dalam negeri.

    “Namun, detail implementasinya masih cair, termasuk seberapa ketat regulasi ini akan diterapkan,” tulis Davis seperti dikutip dari Bloomberg.

    Dia memperkirakan sejumlah perusahaan yang telah memperoleh IUI untuk proyek yang tengah dibangun tidak akan terdampak secara langsung. Namun, aturan baru ini bisa berpengaruh terhadap proyek yang diproyeksikan selesai setelah 2027.

    Kebijakan baru ini sebenarnya telah diterbitkan sejak Juni 2025, tetapi baru belakangan ini menjadi topik pembahasan di pasar.

  • Simalakama Jorjoran Smelter Nikel, Strategi Hilirisasi Perlu Diatur Ulang

    Simalakama Jorjoran Smelter Nikel, Strategi Hilirisasi Perlu Diatur Ulang

    Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia mulai gencar membangun smelter nikel dan mendorong hilirisasi mineral secara masif sejak 1 dekade lalu. Seiring berjalannya waktu, upaya tersebut kini dihadapkan sejumlah tantangan sehingga strategi hilirisasi perlu diatur ulang.

    Tekad pemerintah menggenjot industri nikel tak lepas dari tingginya kebutuhan global. Utamanya untuk industri baja dan bahan baku baterai kendaraan listrik (electric vehicle).

    Keseriusan pemerintah pun ditunjukan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara. Beleid ini mewajibkan perusahaan melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) di dalam negeri.

    Tak mau main-main, pada 2014, pemerintah menerapkan pelarangan terbatas ekspor bijih mineral mentah, termasuk nikel. Hal ini juga dilakukan demi mendorong investor membangun smelter domestik.

    Pembangunan smelter pun gencar dilakukan. Namun, maraknya proyek pembangunan tersebut malah menjadi buah simalakama, harga nikel kini tertekan.

    Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Cecep Mochammad Yasin menuturkan, industri nikel nasional memang tumbuh ekspansif dengan pembangunan sejumlah smelter baru dan peningkatan produksi dari berbagai produk turunan seperti nickel pig iron (NPI) dan nickel-based cathode (NFC).  

    Namun, pertumbuhan tersebut juga menimbulkan persoalan baru berupa potensi oversuplai dan tekanan harga di pasar global. Cecep mengatakan, saat ini, rata-rata harga nikel turun ke level US$15.000 per ton. Angka tersebut anjlok sekitar 40% dibandingkan 7 tahun lalu.

    “Beberapa hal yang menjadi tantangan adalah harga nikel itu sendiri yang saat ini tertekan di kisaran US$15.000 per ton. Ini salah satu sinyal adanya kelebihan pasokan,” katanya dalam Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Kamis (6/11/2025).

    Perkembangan Industri Baterai EV Tak Sesuai Ekspektasi

    Di sisi lain, Cecep mengatakan bahwa pemerintah juga dihadapkan pada dinamika pengembangan industri baterai nasional. Dia menjelaskan, saat ini Indonesia mendorong penguatan industri baterai berbasis nikel, yakni NFC.

    Namun, pasar global masih didominasi oleh teknologi baterai lithium iron phosphate (LFP). Pasalnya, LFP dinilai memiliki biaya produksi lebih rendah.

    “Meski LFP lebih murah, kita tetap ingin menonjolkan dan memperkuat industri nikel berbasis NFC,” ujar Cecep.

    Dia menambahkan bahwa sejumlah negara seperti Australia, bahkan telah menghentikan operasi tambang nikel karena harga yang tidak lagi kompetitif. Menurutnya, kondisi ini menjadi sinyal kuat perlunya pembenahan tata kelola dan kebijakan industri tambang di dalam negeri agar lebih adaptif terhadap dinamika global.

    Adapun, sejumlah upaya perbaikan tata kelola pertambangan yang dilakukan Kementerian ESDM salah satunya dengan memperbaiki aturan yang menyangkut ketentuan produksi. Cecep mengatakan, saat ini Kementerian ESDM mengontrol produksi berdasarkan demand.

    Oleh karena itu, kini penerbitan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) minerba dilakukan dari 3 tahun menjadi 1 tahun sekali. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Cara Penyusunan, Penyampaian, dan Persetujuan RKAB serta Tata Cara Pelaporan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara.

    Menurut Cecep, aturan baru ini bisa menekan isu oversuplai, khususnya untuk komoditas nikel. “Itu yang jadi satu perubahan setidaknya untuk isuoversuplai bisa ditekan dengan pengaturan produksi,” ujarnya.

    Di samping itu, Kementerian ESDM juga melakukan penyederhanaan perizinan lewat digitalisasi. Cecep mengatakan, kini pengusaha dapat mengajukan izin hingga perpanjangan RKAB melalui aplikasi MinerbaOne.

    Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara, Kamis (7/12/2023)./Bisnis-Fanny Kusumawardhani

    Arah Kebijakan Hilirisasi Perlu Ditinjau Ulang

    Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Abra Talattov mengingatkan pemerintah perlu meninjau ulang arah kebijakan hilirisasi mineral nasional agar lebih terarah dan berkelanjutan.

    Menurutnya, euforia terhadap prospek hilirisasi mineral dalam beberapa tahun terakhir berisiko menimbulkan guncangan baru bagi sektor industri. Abra menyebut, lonjakan investasi smelter yang cukup agresif, tidak diimbangi dengan permintaan yang stabil di pasar global.

    Hal ini tercermin dari fenomena shutdown sejumlah smelter pada tahun ini akibat harga nikel global yang anjlok dan permintaan yang melemah. Berdasarkan catatan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), setidaknya terdapat empat smelter besar investasi dari China di wilayah Sulawesi yang menyetop sebagian atau total lini produksinya.

    Empat smelter yang dimaksud yaitu PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) yang mengurangi 15-20 lini produksi nikel sejak awal 2024. Sepanjang tahun lalu, tercatat 28 smelter ditutup di berbagai wilayah, paling banyak dari PT GNI.

    Kemudian, PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) yang menghentikan beberapa lini baja nirkarat dan jalur cold rolling sejak Mei 2025. Lalu, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe yang mengurangi kapasitas produksi, meski datanya tidak menyebutkan jumlah lini spesifik.

    Terbaru, PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) yang disebut telah mengurangi kapasitas agregat dan menghentikan operasional sementara sejak 15 Juli 2025. Alhasil, dikabarkan 1.200 karyawan terdampak dirumahkan.

    Abra menilai, tutupnya sejumlah smelter dipicu oleh kelebihan pasokan nikel di pasar global yang dipicu oleh produksi besar-besaran dari Indonesia.

    “Kita perlu meninjau ulang arah kebijakan hilirisasi sektor mineral. Roadmap hilirisasi seharusnya dibuat dengan konteks yang lebih terarah,” ujarnya.

    Dia menjelaskan, kebijakan hilirisasi tidak harus berorientasi pada pengolahan seluruh sumber daya mineral di dalam negeri. Pemerintah, kata dia, perlu mengidentifikasi komoditas yang memiliki daya saing dan nilai tambah ekonomi tertinggi untuk diolah. Sementara itu, sebagian lainnya dapat tetap diekspor dalam bentuk produk antara.

    “Tidak harus seluruh produk itu kita olah di dalam negeri. Ada produk yang bisa kita ekspor di tier 1 atau tier 2, tergantung daya saing dan dampaknya terhadap PDB [produk domestik bruto],” imbuhnya.

    Abra menambahkan bahwa pemerintah perlu menyeimbangkan antara optimisme terhadap hilirisasi dengan mitigasi risiko dari fluktuasi harga, kelebihan produksi, maupun perubahan teknologi global.

    “Kita jangan terlalu euforia terhadap potensi hilirisasi mineral. Pemerintah harus memastikan tata kelola dan arah kebijakan hilirisasi benar-benar matang agar tidak menimbulkan guncangan baru di sektor industri dan keuangan,” katanya.

    Perlunya Hilirisasi Tahap Lanjut

    Setali tiga uang, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto mengkritik pola hilirisasi nikel yang justru membuat Indonesia terjebak sebagai eksportir produk setengah jadi atau intermediate seperti NPI. Akibatnya, Indonesia sebagai eksportir terbesar justru menghadapi risiko pelemahan harga yang signifikan.

    “Kita terlalu jorjoran dalam memproduksi nikel yakni NPI dan nickel matte. Kita ekspor produk nikel setahun kurang lebih 2 juta ton, sedangkan negara-negara lain paling 350.000 ton,” papar Sugeng.

    Sepakat dengan Cecep, Sugeng menyebut harga nikel kini anjlok hampir 40% dibandingkan dengan 5 sampai 7 tahun lalu, dari level US$38.000 per ton menjadi US$15.000 per ton.

    Ke depan, Sugeng menegaskan Indonesia harus melampaui fase produk intermediate dan langsung menuju hilirisasi tahap lanjut.

    Selain baterai kendaraan listrik, Indonesia juga harus mengembangkan battery energy storage system (BEST) serta mempersiapkan komoditas masa depan seperti tanah jarang (rare earth) yang menurutnya telah menjadi alat leverage dalam percaturan geopolitik global.

  • Indef Dorong Pemerintah Tinjau Ulang Arah Kebijakan Hilirisasi Mineral

    Indef Dorong Pemerintah Tinjau Ulang Arah Kebijakan Hilirisasi Mineral

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat mengingatkan pemerintah perlu meninjau ulang arah kebijakan hilirisasi mineral nasional agar lebih terarah dan berkelanjutan. Hal ini perlu dilakukan di tengah dinamika harga global serta perubahan teknologi industri.

    Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Abra Talattov menilai, euforia terhadap prospek hilirisasi mineral dalam beberapa tahun terakhir berisiko menimbulkan guncangan baru bagi sektor industri.

    Menurutnya, lonjakan investasi smelter yang cukup agresif, tidak diimbangi dengan permintaan yang stabil di pasar global. Hal ini tercermin dari fenomena shutdown sejumlah smelter pada tahun ini akibat harga nikel global yang anjlok dan permintaan yang melemah.

    Tutupnya sejumlah smelter juga dipicu oleh kelebihan pasokan nikel di pasar global yang dipicu oleh produksi besar-besaran dari Indonesia.

    “Kita perlu meninjau ulang arah kebijakan hilirisasi sektor mineral. Roadmap hilirisasi seharusnya dibuat dengan konteks yang lebih terarah,” ujar Abra dalam acara Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Kamis (6/11/2025).

    Dia menjelaskan, kebijakan hilirisasi tidak harus berorientasi pada pengolahan seluruh sumber daya mineral di dalam negeri. Pemerintah, kata dia, perlu mengidentifikasi komoditas yang memiliki daya saing dan nilai tambah ekonomi tertinggi untuk diolah. 

    Sementara itu, sebagian lainnya dapat tetap diekspor dalam bentuk produk antara.

    “Tidak harus seluruh produk itu kita olah di dalam negeri. Ada produk yang bisa kita ekspor di tier 1 atau tier 2, tergantung daya saing dan dampaknya terhadap PDB [produk domestik bruto],” imbuhnya.

    Abra juga mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak dalam euforia global, seperti tren kendaraan listrik (EV) yang mendorong investasi besar pada rantai pasok baterai berbasis nikel-mangan-kobalt (NMC).

    Menurut dia, munculnya teknologi baru seperti lithium ferro phosphate (LFP) bisa mendisrupsi investasi NMC yang sudah terlanjur besar. Dia berpendapat, kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian industri hilirisasi mineral, bahkan dapat berimbas pada sektor keuangan yang ikut menyalurkan pembiayaan ke proyek-proyek tersebut.

    “Ketika teknologi seperti NMC terdisrupsi oleh LFP, investasi yang sudah dialokasikan bisa menjadi idle dan menimbulkan kerugian. Ini harus diantisipasi,” jelasnya.

    Abra menambahkan bahwa pemerintah perlu menyeimbangkan antara optimisme terhadap hilirisasi dengan mitigasi risiko dari fluktuasi harga, kelebihan produksi, maupun perubahan teknologi global.

    “Kita jangan terlalu euforia terhadap potensi hilirisasi mineral. Pemerintah harus memastikan tata kelola dan arah kebijakan hilirisasi benar-benar matang agar tidak menimbulkan guncangan baru di sektor industri dan keuangan,” katanya.

  • Bahlil Ungkap 18 Proyek Hilirisasi Prioritas Rp 16 T Mulai Digarap 2026

    Bahlil Ungkap 18 Proyek Hilirisasi Prioritas Rp 16 T Mulai Digarap 2026

    Jakarta

    Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan Presiden Prabowo Subianto menargetkan 18 proyek hilirisasi prioritas dapat direalisasikan mulai tahun 2026 mendatang. Sejauh ini, Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi yang dipimpin olehnya telah memberikan dokumen pra feasibilty study kepada BPI Danantara.

    Nah Danantara diminta untuk menyelesaikan segera dokumen feasibility study 18 proyek tersebut pada akhir tahun ini. Dengan begitu pengerjaan 18 proyek hilirisasi itu bisa mulai berjalan di tahun 2026.

    Arahan ini didapatkan Bahlil dalam rapat terbatas mengenai percepatan hilirisasi yang dipimpin Prabowo siang ini. CEO Danantara Rosan Roeslani hingga Menko Perekonomian Airlangga Hartarto turut hadir dalam rapat tersebut.

    “Tadi kami sudah membicarakan setelah pulang dari Cilegon, arahan Bapak Presiden dari 18 proyek yang sudah selesai pra-FS dan sudah dibicarakan dengan Danantara, tadi Pak Rosan juga, kita akan selesaikan di tahun ini untuk semuanya dan di 2026 langsung pekerjaan di lapangan bisa berjalan,” ungkap Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (6/11/2025).

    Bahlil menyatakan 18 proyek hilirisasi itu investasinya menyentuh Rp 16 triliun lebih dan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui pembukaan lapangan pekerjaan dan produksi barang hilirisasi yang jadi subtitusi impor.

    “Ini akan menciptakan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, dan produk-produknya itu menjadikan sebagai substitusi impor. Salah satu di antaranya adalah menyangkut dengan DME,” beber Bahlil.

    Daftar 18 Proyek Hilirisasi yang dimaksud Bahlil adalah sebagai berikut:

    1. Industri Smelter Aluminium (Bauksit) yang berada di wilayah Mempawah, Kalimantan Barat dengan nilai investasi Rp 60 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 14.700 pekerja.

    2. Industri DME (batu bara) yang berada di Bulungan, Kutai Timur, Kota Baru, Muara Enim, Pali, Banyuasin dengan nilai investasi Rp 164 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 34.800 pekerja.

    3. Industri aspal yang berada di Buton, ulawesi Tenggara dengan nilai investasi Rp 1,49 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 3.450 pekerja.

    4. Industri Mangan Sulfat yang berada di Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan nilai investasi Rp 3,05 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 5.224 pekerja.

    5. Industri Stainless Steel Slab (Nikel) yang berada di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah dengan nilai investasi Rp 38,4 Triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 12.000 pekerja.

    6. Industri Cooper Rod, WIre & Tube (katoda tembaga) yang berada di Gesik, Jawa Timur dengan nilai investasi Rp 19,2 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 9.700 pekerja.

    7. Industri Besi Baja (Pasir Besi) yang berada di Kabupaten Sarmi, Papua dengan nilai investasi Rp 19 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 18.000 pekerja.

    8. Industri Chemical Grade Alumina (Bauksit) yang berada di Kendawangan, Kalimantan Barat dengan nilai investasi Rp 17,3 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 7.100 pekerja.

    9. Industri Olresin (Pala) yang berada di Kabupaten Fakfak, Papua Barat dengan nilai investasi Rp 1,8 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 1.850 pekerja.

    10. Industri Oleofood (Kelapa Sawit) yang berada di KEK Maloy Batuta Trans Kalimantan Timur (MBTK) Rp 3 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 4.800 pekerja.

    11. Industri Nata de Coco, Medium-Chain Triglycerides (MTC), Coconut Flour, Activated Carbon (Kelapa) yang berada di Kawasan Industri Tenayan, Riau dengan nilai investasi Rp 2,3 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 22.100 pekerja.

    12. Industri Chlor Alkali Plant (Garam) di Aceh, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Riau, Banten, dan NTT dengan nilai transaksi Rp 16 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 33.000 pekerja.

    13. Industri Fillet Tilapia (Ikan Tilapia) di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan nilai investasi Rp 1 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 27.600 pekerja.

    14. Industri Carrageenan (Rumput Laut) di Kupang, NTT dengan nilai investasi sebesar Rp 212 miliar. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 1.700 pekerja.

    15. Oil Refinery di Lhokseumawe, Sibolga, Natuna, Cilegon, Sukabumi, Semarang, Surabaya, Sampang, Pontianak, Badung, Bima, Ende, Makassar, Donggala, Bitung, Ambon, Halmahera Utara dan Fakfak dengan nilai investasi sebesar Rp 160 Triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 44.000 pekerja.

    16. Oil Storage Tanks di Lhokseumawe, Sibolga, Natuna, Cilegon, Sukabumi, Semarang, Surabaya, Sampang, Pontianak, Badung, Bima, Ende, Makassar, Donggala, Bitung, Ambon, Halmahera Utara dan Fakfak dengan nilai investasi sebesar Rp 72 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 6.960 pekerja.

    17. Modul Surya Terintegrasi (Bauksit dan Silika) di Kawasan Industri Batang, Jawa Tengah dengan nilai investasi Rp 24 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 19.500 pekerja.

    18. Industri Boavtur (Used Cooking Oil) di KBN Marunda, Kawasan Industri Cikarang dan Kawasan Industri Karawang dengan nilai investasi Rp 16 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja hingga 10.152 pekerja.

    (hal/fdl)

  • Hilirisasi Tembaga Mandek, Ekonom Soroti Arah Peta Jalan hingga Insentif

    Hilirisasi Tembaga Mandek, Ekonom Soroti Arah Peta Jalan hingga Insentif

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai proses hilirisasi komoditas tembaga masih mengalami sejumlah tantangan seiring dengan fenomena fasilitas operasional tambang dan smelter besar di Indonesia yang mengalami insiden kahar. 

    Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal mengatakan selain kondisi tak terduga, dia melihat pemerintah masih belum memberikan arah jelas untuk penghiliran tembaga sehingga pasokan yang diproduksi juga dapat teroptimalkan dalam negeri. 

    “Menurut saya yang jelas perlu arah, supaya dia lebih terdorong hilirisasi tembaga ini, perlu arah yang jelaskan untuk hilirisasi nya ke produk-produk turunannya,” kata Faisal kepada Bisnis, Rabu (5/11/2025). 

    Arah kebijakan hilirisasi dinilai perlu memperhatikan sinergi antara pengembangan industri turunan dengan ketersediaan bahan baku dari sektor hulu. Banyak produk hilir memiliki karakter serupa, namun bergantung pada bahan tambang yang berbeda.

    Menurutnya, kendaraan listrik (EV) misalnya, tidak hanya memerlukan nikel untuk baterai, tetapi juga membutuhkan tembaga sebagai komponen penting lainnya. 

    “Karena itu, pemerintah perlu menentukan terlebih dahulu fokus pengembangan produk hilir, apakah kendaraan listrik, pendingin udara, atau telepon seluler,” jelasnya. 

    Dia juga menilai, kejelasan arah pengembangan industri hilir perlu disertai dengan peta kebutuhan bahan baku yang spesifik, mencakup nikel, tembaga, aluminium, dan logam lainnya. Dengan begitu, kebijakan hilirisasi dapat memastikan industri hilir benar-benar menyerap bahan baku domestik.

    “Harus ada keterkaitan antara industri hilir dan hulu agar arah pengembangan komoditas tambang seperti tembaga, nikel, aluminium, hingga timah saling bersinergi,” ujarnya.

    Selain perencanaan, langkah berikutnya adalah memastikan realisasi melalui kebijakan yang mendukung. Faisal juga menekankan pentingnya pemberian insentif tambahan untuk mendorong industri hilir, khususnya sektor turunan tembaga, agar implementasinya berjalan optimal.

    Sebelumnya, Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA) Rachmat Makkasau mengatakan defisit tembaga akan terjadi seiring dengan masifnya transisi energi dunia, sehingga penggunaan komoditas mineral, termasuk tembaga menjadi incaran berbagai negara.

    “Kenapa Indonesia menjadi salah satu negara yang dibicarakan, karena kita di Indonesia saat ini memproduksi 3%-5% tembaga dunia,” kata Rachmat di Jakarta, Selasa (4/11/2025). 

    Indonesia diprediksi akan memproduksi 15% tembaga dunia pada 2032-2035. Angka tersebut terbilang besar dan menjadi potensi bagi Indonesia untuk menguasai pasar produk tembaga. Namun, dia menyayangkan industrialisasi produk komoditas ini masih minim. 

    “Kita produksi sekitar 1 juta ton tembaga kita di Indonesia menyerap 200.000-250.000 ton, sisanya ekspor, bayangkan kalau kita di 2033 memproduksi 15% tembaga dan semuanya dieskpor?” ujarnya. 

    Indonesia saat ini tengah mendorong penghiliran dengan mengatur pelarangan ekspor konsentrat. Untuk itu, dia mendorong pemerintah untuk memberikan stimulus agar proses industrialisasi produk tembaga makin bergairah. 

    Adapun, produksi konsentrat tembaga mencapai 1 juta ton, sedangkan konsumsi industri domestik hanya sekitar 200.000-250.000 ton dan sisanya diekspor. 

    “Ini harus dimanfaatkan oleh Indonesia pengusaha dan negara harus memberikan regulasi terbaik untuk mengnyerap produksi-produksi tembaga di negara kita pada masa yang akan datang,” pungkasnya. 

  • Sempat Setop, Amman dapat Rekomendasi Ekspor Konsentrat Tembaga hingga April 2026

    Sempat Setop, Amman dapat Rekomendasi Ekspor Konsentrat Tembaga hingga April 2026

    Bisnis.com, JAKARTA – PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), anak usaha PT Amman Mineral Internasional Tbk. (AMMN), mendapat rekomendasi ekspor konsentrat tembaga sebesar 480.000 metrik ton kering (dmt). Rekomendasi ekspor itu berlaku selama enam bulan, mulai 31 Oktober 2025 hingga April 2026.

    Presiden Direktur AMNT Rachmat Makkasau menyampaikan penjualan ekspor konsentrat tembaga AMNT telah terhenti sejak awal 2025. Smelter AMMAN juga telah berhenti beroperasi pada pertengahan 2025. Hal ini terjadi lantaran ada perbaikan di unit Flash Converting Furnace dan Sulfuric Acid Plant. Kerusakan ini kata dia, terjadi murni di luar kemampuan perseroan, tidak disengaja, dan tidak dapat dihindarkan.

    “Kegiatan operasional fasilitas smelter AMMAN ini terpaksa dihentikan sementara untuk mencegah kerusakan lebih parah dan risiko bagi keselamatan kerja,” kata Rachmat dalam keterangannya, Sabtu (1/11/2025).

    Dia menuturkan, perbaikan terhadap komponen utama smelter ini memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi dan harus dilakukan secara menyeluruh. Mengingat skala dan kerumitan pekerjaan tersebut, proses perbaikan diperkirakan akan berlanjut hingga paruh pertama 2026. 

    Selama periode perbaikan berlangsung, Rachmat menyebut bahwa pihaknya tetap melakukan operasi secara parsial dengan peningkatan produksi yang dilakukan secara hati-hati tanpa mengabaikan aspek keselamatan.

    Dengan dimulainya kembali penjualan ekspor konsentrat tembaga yang sudah terhenti sejak awal 2025, AMMAN dapat memastikan bahwa gudang penyimpanan konsentrat tidak melebihi kapasitas, sehingga operasional tambang tetap dapat berlanjut sesuai rencana, selama fasilitas smelter diperbaiki. 

    Dengan demikian, lanjut dia, kontribusi fiskal AMMAN bagi perekonomian nasional dan daerah juga dapat terjaga, sesuai dengan kinerja penjualan.

    Sesuai dengan panduan yang disampaikan dalam laporan kinerja kuartal III/2025, AMMAN menargetkan produksi tahun ini sebesar 430.000 dmt konsentrat tembaga dengan kandungan sekitar 228 juta pon tembaga dan 90.000 ons emas.

    Target ini telah mempertimbangkan produksi dari stockpile serta bijih segar berkadar rendah dari lingkar luar Fase 8, mengingat kegiatan penambangan saat ini masih berfokus pada pengupasan batuan penutup di fase tersebut.

    Selain target produksi pada 2025, AMMAN juga memiliki persediaan (inventory) sebesar 190.000 dmt pada akhir 2024. Tercatat, produksi konsentrat mencapai 310,143 dmt hingga 30 September 2025. Sebanyak 273.506 dmt telah diumpankan ke fasilitas smelter.

    Adapun sebagian dari inventory konsentrat yang dihasilkan hingga akhir tahun nanti akan diekspor, sementara sebagian lainnya akan diumpankan ke smelter seiring dengan kemajuan proses perbaikan fasilitas.

    “Perkembangan ini menandai kemajuan yang konsisten menuju pemulihan penuh operasi smelter, sekaligus menegaskan komitmen AMMAN untuk terus menciptakan pertumbuhan berkelanjutan dan nilai jangka panjang,” pungkasnya.