Produk: smelter

  • Deretan Investasi Baru Rp133 Triliun di IWIP: Ada Baterai hingga Aluminium

    Deretan Investasi Baru Rp133 Triliun di IWIP: Ada Baterai hingga Aluminium

    Bisnis.com, WEDA – Sejumlah proyek hilirisasi dan energi bersih tengah dikembangkan di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), Halmahera Tengah, Maluku Utara.

    Total nilai investasi baru yang berada di kawasan industri tersebut mencapai sekitar US$8 miliar atau Rp133,76 triliun (asumsi kurs Rp16.720 per US$). Kehadiran investasi baru ini makin melengkapi rantai pasok, terutama hilirisasi nikel, di kawasan industri IWIP.

    Secara terperinci, investasi itu terdiri atas tiga proyek. Pertama, proyek ekosistem baterai (battery ecosystem) dan hilirisasi nikel dengan nilai investasi kurang lebih US$5 miliar.

    Proyek ini memproduksi mixed hydroxide precipitate, nickel sulfate, cobalt sulfate, dan nickel precursor, dengan pengembangan mencakup baterai kendaraan listrik (EV battery), truk listrik, serta alat berat bertenaga listrik. Produksi awal ditargetkan pada awal 2026.

    Kedua, proyek energi hijau senilai US$2 miliar yang meliputi pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 2 gigawatt (GW) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) sebesar 500 MW. Pengembangan pembangkit berbasis energi terbarukan ini tengah berjalan dan akan dilakukan secara bertahap.

    Selain itu, proyek energi hijau juga mencakup pengembangan industri pembuatan panel surya (solar panel manufacturing) dengan rencana produksi pada 2027–2028.

    Ketiga, proyek Smelter Electrolytic Aluminium Fase 1 yang investasinya sekitar US$1 miliar. Smelter ini akan menghasilkan produk electrolytic aluminium. Produksi awalnya ditargetkan pada akhir 2025.

    Selain ketiga proyek strategis tersebut, IWIP juga tengah menyiapkan pengembangan Zona Energi Hijau dan transformasi menuju sustainable industrial park, dengan fokus pada digitalisasi, efisiensi energi, dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).

    Adapun, pengembangan kawasan industri Weda Bay turut mendorong meningkatnya arus investasi ke Maluku Utara. Pada triwulan II/2025, realisasi investasi di provinsi ini mencapai Rp19 triliun. Sebagian besar investasi tersebut berasal dari penanaman modal asing (PMA) di sektor industri logam dasar dan fasilitas pengolahan yang berada di dalam kawasan IWIP.

    “Tingginya minat investor global menjadi indikasi atas prospek jangka panjang hilirisasi nikel di Indonesia, sekaligus menunjukkan bahwa keberadaan IWIP dan WBN [PT Weda Bay Nickel] memberikan kontribusi dalam memperkuat iklim investasi, memperluas industri pengolahan, serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah,” ujar General Manager External Relations IWIP Yudhi Santoso, Minggu (16/11/2025).

    Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara menunjukkan perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan ekonomi Maluku Utara tumbuh sebesar 32,09% (year-on-year) pada triwulan II/2025, menjadikannya provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia.

    BI turut mencatat bahwa akselerasi ini didorong terutama oleh aktivitas hilirisasi dan pengolahan nikel di kawasan Weda Bay, yang melibatkan WBN pada sektor pertambangan dan IWIP sebagai pusat industri pengolahan.
     
    Transformasi ekonomi ini juga tercermin dari struktur produk domestik regional bruto (PDRB) provinsi. Sektor industri pengolahan kini berkontribusi 40,11% terhadap perekonomian Maluku Utara, disusul oleh sektor pertambangan sebesar 20,79%.
     
    “IWIP dan WBN akan terus mendukung pembangunan berkelanjutan Maluku Utara, tidak hanya melalui kontribusi terhadap ekonomi daerah, tetapi juga dengan menyediakan peluang kerja bagi masyarakat,” kata Yudhi.

    Hingga awal 2025, WBN dan IWIP telah menyerap lebih dari 81.000 tenaga kerja langsung dan 80% di antaranya berasal dari Maluku Utara.

  • MIND ID Pacu Hilirisasi Bauksit, Smelter SGAR Fase II Diperluas

    MIND ID Pacu Hilirisasi Bauksit, Smelter SGAR Fase II Diperluas

    Bisnis.com, JAKARTA — Holding Industri Pertambangan Indonesia, MIND ID memperkuat hilirisasi bauksit sebagai bahan baku aluminium untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain kunci dalam rantai pasok industri energi bersih dunia.

    Salah satu proyek hilirisasi bauksit yang akan diperluas yakni Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat yang merupakan kerja sama antara PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM) dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). 

    Fasilitas pemurnian tersebut memiliki kapasitas produksi 1 juta ton alumina per tahun dari hasil pemanfaatan cadangan bauksit dalam negeri. Produk alumina yang dihasilkan SGAR menjadi bahan utama untuk memproduksi aluminium oleh Inalum di Kuala Tanjung. 

    MIND ID juga disebut akan memperluas proyek SGAR Fase II dengan kemampuan produksi tambahan 1 juta ton alumina per tahun, dan fasilitas Smelter Aluminium Baru di Mempawah dengan kapasitas 600.000 ton per tahun.

    Corporate Secretary MIND ID Pria Utama mengatakan pihaknya terus berkomitmen menjadi penggerak utama hilirisasi bauksit yang tidak hanya memperkuat industri nasional, tetapi juga mendukung pencapaian target transisi energi Indonesia.

    Sebagai pengelola mineral strategis nasional, dari total cadangan bauksit sebesar 198,43 juta ton, Grup MIND ID memproduksi 1,33 juta ton pada 2024.

    “Kami berupaya konsisten untuk mendukung terwujudnya kemajuan peradaban masa depan yang lebih baik. Hilirisasi bauksit yang dijalankan secara terintegrasi ini menjadi salah satu kunci percepatan transisi energi di Indonesia,” kata Pria dalam keterangan resminya, Minggu (16/11/2025).

    Apalagi, aluminium merupakan material kunci dalam teknologi transisi energi berkat sifatnya yang ringan, tahan korosi, dan dapat didaur ulang. Dalam satu fasilitas panel surya berkapasitas 1 MW dibutuhkan sekitar 21 ton aluminium untuk rangka dan sistem pemasangan.

    Selain itu, aluminium juga berperan penting dalam produksi turbin angin, membentuk struktur bilah dan kerangka utama, serta menyusun hingga 30% dari total bobot baterai kendaraan listrik (EV) dan komponen bodi mobil listrik.

    “MIND ID berkomitmen tidak hanya mengeksplorasi sumber daya alam, tetapi juga memastikan peningkatan nilai tambahnya hingga menjadi produk bernilai strategis. Kami percaya, industrialisasi yang berkelanjutan akan menjadi fondasi kemajuan peradaban masa depan Indonesia,” pungkasnya. 

  • Outlook Aluminium 2026: Harga Diprediksi Stabil, Produksi Menguat

    Outlook Aluminium 2026: Harga Diprediksi Stabil, Produksi Menguat

    Bisnis.com, JAKARTA — Harga aluminium diperkirakan stabil pada kisaran US$2.600–US$2.700 per ton pada 2026, setelah sempat mengalami kenaikan akibat sejumlah faktor eksternal.

    Direktur Pengembangan Usaha PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Arif Haendra mengatakan bahwa pergerakan harga aluminium tahun depan kemungkinan tidak akan jauh berbeda dengan kondisi saat ini karena adanya dinamika pasar global.

    “Aluminium tahun depan saya kira masih akan bertengger seperti saat ini karena kita kan enggak tahu kondisi eksternal,” ujar Arif saat ditemui disela-sela Outlook Industri Aluminium 2025, Sabtu (15/11/2025). 

    Menurut dia, kenaikan harga yang terjadi belakangan ini dipengaruhi oleh anomali pasar, termasuk lonjakan harga tembaga yang berdampak pada substitusi kebutuhan ke aluminium. 

    Dengan kondisi kenaikan harga tersebut diprediksi menaikkan laba perusahaan hingga 5% pada akhir tahun ini. Terlebih, tak ada kenaikan biaya produksi dalam operasional smelter. 

    “Kalau sudah normal, harga akan kembali ke sekitar US$2.600–US$2.700 per ton. Sekarang US$2.800 per ton karena harga tembaga lagi melonjak tinggi,” ujarnya.

    Arif menjelaskan bahwa kenaikan harga tembaga terjadi karena gangguan produksi, termasuk penghentian operasi oleh Freeport serta beberapa tambang tembaga di Chile. Kondisi ini mendorong pasar beralih menggunakan aluminium sebagai bahan substitusi.

    “Pada saat harga tembaga naik, berpindahlah ke aluminium. Kabel-kabel listrik tegangan tinggi sekarang banyak yang menggunakan aluminium karena lebih ringan. Konduktivitas listriknya juga mirip,” jelasnya.

    Dia menambahkan bahwa meskipun suplai aluminium turut meningkat, jumlahnya tidak signifikan sehingga tetap mendorong kenaikan harga.

    Sejalan dengan tren harga global, industri aluminium Indonesia juga menunjukkan penguatan yang signifikan. Peningkatan kapasitas produksi dalam negeri, surplus neraca perdagangan, dan bertambahnya investasi pada proyek refinery baru mempertegas peran penting aluminium sebagai backbone industri Indonesia, terutama di sektor kemasan, konstruksi, otomotif, dan energi terbarukan.

    Direktur Industri Logam, Ditjen Ilmate Kemenperin, Dodiet Prasetyo, menyampaikan bahwa outlook industri aluminium pada 2026 mengindikasikan tren yang semakin positif.

    “Indonesia bergerak menjadi produsen alumina dan aluminium yang semakin kuat. Peningkatan kapasitas aluminium primer serta bertambahnya fasilitas refinery menunjukkan ketahanan pasokan dalam negeri makin kokoh,” ujar Dodiet.

    Data Kementerian Perindustrian mencatat bahwa pada Januari–Agustus 2025, ekspor alumina mencapai 3,66 juta ton, mendekati capaian tahun sebelumnya. 

    Sementara itu, impor turun menjadi 816.000 ton, seiring mulai beroperasinya PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) untuk pasokan bahan baku alumina untuk Inalum.

    Peningkatan kapasitas produksi nasional juga terlihat dari kinerja smelter aluminium dan refinery alumina. Hingga pertengahan 2025, total output refinery mencapai 2,01 juta ton alumina, sementara smelter aluminium menghasilkan 352 ribu ton aluminium primer, dengan utilisasi mendekati 91% untuk smelter aluminium dan 64% untuk refinery alumina.

    “Dengan adanya rencana perluasan PT Inalum, optimalisasi produksi PT Hua Chin Aluminum Indonesia, dan beroperasinya PT Kalimantan Aluminium Industry, pasokan aluminium primer kita diperkirakan dapat menembus lebih dari 1 juta ton pada 2027,” terangnya.

    Kondisi tersebut akan memperkuat pasokan bahan baku industri hilir seperti kabel listrik, aluminium plate/sheet/foil, pengecoran logam aluminium, hingga industri aluminium ekstrusi yang membutuhkan bahan setidaknya 1 juta ton aluminium per tahun.

    Perkiraan global dari lembaga internasional menunjukkan bahwa harga aluminium pada 2026 relatif stabil, berada di kisaran US$2.200–2.625 per ton. 

    Hal ini ditopang meningkatnya permintaan dari sektor kendaraan listrik (EV), energi terbarukan, dan otomotif global. Stabilitas harga ini memberikan ruang bagi industri nasional untuk memperluas kapasitas dan investasi hilirisasi.

    Menurut Dodiet, harga yang kompetitif dan pasokan domestik yang semakin kuat merupakan kombinasi ideal untuk mempercepat pertumbuhan industri hilir Indonesia. 

    “Ini momentum besar bagi pengembangan produk turunan seperti panel surya, komponen otomotif, hingga berbagai aplikasi industri maju,” pungkasnya. 

  • Inalum Bangun SGAR Mempawah Fase 2 Rp13 Triliun, Mulai Produksi 2028

    Inalum Bangun SGAR Mempawah Fase 2 Rp13 Triliun, Mulai Produksi 2028

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) akan segera memulai ekspansi produksi Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Mempawah Fase II yang ditargetkan mulai produksi akhir 2028. 

    Direktur Pengembangan Usaha Inalum Arif Haendra mengatakan proyek dengan nilai investasi mencapai US$800 juta atau setara Rp13 triliun itu akan memproduksi 1 juta – 2 juta ton alumina. 

    “[Final Investment Decision] Desember [2025] karena kajiannya bankable FS-nya akan selesai November,” kata Arif saat ditemui disela-sela agenda Diskusi Outlook Industri Aluminium 2026, dikutip Sabtu (15/11/2025). 

    Arif menerangkan bahwa ada beberapa fasilitas dalam kawasan pemurnian tersebut yang perlu dilengkapi, salah satunya terkait pembangunan fasilitas logistik. 

    Penambahan kapasitas produksi 1-2 juta ton alumina ini akan mendukung kebutuhan bahan baku untuk smelter aluminium baru yang membutuhkan 1,2 juta ton untuk menghasilkan 600.000 ton aluminium. 

    Proyek smelter aluminium baru ini diproyeksi akan berproduksi atau commercial operation date (COD) pada 2028. Saat ini Inalum tengah membukan mitra strategis untuk membangun proyek tersebut. 

    “2 juta ton itu 1,2 juta ton dipakai di situ oleh Smelter 2 [New Aluminium Smelter], dan sisa 800.000 ton dikirim ke Kuala Tanjung [smelter aluminium], jadi habis,” tuturnya. 

    Adapun, dia menyebutkan bahwa kapasitas produksi di smelter aluminium Kuala Tanjung akan meningkat dari 275.000 ton saat ini menjadi 400.000 ton. 

    Arif menyebut modal investasi hilirisasi bauksit ini akan didukung oleh pendanaan dari Danantara. Namun, secara porsi pendanaan tersebut masih dalam pembahasan. 

    “Kita usahakan, kalau Danantara cukup, kalau kurang ya pasti ada pinjaman supaya leverage kita naik karena kita akan bangun smelter juga,” pungkasnya. 

  • Bahlil Minta Freeport Beli Konsentrat Tembaga dari Amman Mineral

    Bahlil Minta Freeport Beli Konsentrat Tembaga dari Amman Mineral

    Jakarta

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia meminta PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Tbk melakukan perundingan business to business (B2B) terkait pengolahan konsentrat tembaga.

    Bahlil sudah meminta Presiden Direktur PTFI, Tony Wenas untuk memasok konsentrat di smelter mereka dari Amman. Diketahui smelter sedang dalam kondisi kahar sehingga belum bisa beroperasi.

    Sementara tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC) Freeport belum beroperasi sejak September lalu.

    “Saya kemarin minta Pak Tony, kemarin kan ketemu sama saya, saya minta untuk Amman dan Freeport melakukan komunikasi B2B agar material mereka bisa dibeli oleh Freeport untuk diolah di smelter Freeport dengan harga keekonomiannya. Artinya itu persoalan B2B, pemerintah itu hanya regulator,” ujar Bahlil di Kementerian ESDM, Jumat (14/11/2025).

    Meski begitu, Bahlil tidak menjelaskan secara rinci kondisi kahar apa yang dimaksud. Tapi yang pasti, kondisi tersebut membuat Amman mendapat relaksasi untuk bisa mengekspor konsentratnya selama 6 bulan.

    “Kita mengecek, rapat kita laporkan dan terbukti bahwa ada keadaan kondisi kahar. Izin ekspornya kita kasih 6 bulan sampai selesai itu rusaknya mereka,” tambah Bahlil.

    Diberitakan sebelumnya, Bahlil menyebut dalam peraturan terkini disebutkan bagi perusahaan yang sudah membangun smelter namun belum selesai karena keadaan kahar, maka bisa diberikan pelonggaran ekspor konsentrat.

    “Aturan di dalam Permen itu dinyatakan bahwa bagi perusahaan yang sudah membangun smelter namun belum selesai atau akibat kahar maka diberikan opsi untuk membuka ekspor melakukan ekspor. Namun dengan batas waktu tertentu sampai selesai perbaikan pabriknya dan dikenakan pajak itu agak tinggi,” ungkap Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (24/10/2025).

    (ily/hns)

  • Pengamat: Kenaikan Porsi DMO Batu Bara Perlu Perhitungan Matang

    Pengamat: Kenaikan Porsi DMO Batu Bara Perlu Perhitungan Matang

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai wacana menaikkan porsi kewajiban pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) lebih dari 25% dari total produksi, harus dilakukan dengan perhitungan matang.

    Adapun, wacana tersebut bakal diterapkan lantaran ada sejumlah perusahaan tambang batu bara yang tidak memenuhi kewajiban DMO 25%.

    Ketua Indonesian Mining Institute Irwandi Arif mengatakan, DMO merupakan kewajiban sesuai Undang-Undang yang berlaku. Oleh karena itu, kenaikan porsi DMO harus disesuaikan untuk kebutuhan PT PLN (Persero) dan industri lainnya.

    “Kenaikan DMO tentunya disesuaikan dengan kebutuhan PLN, dan industri lain seperti pupuk, semen, smelter, tekstil dan lain-lain,” kata Irwandi kepada Bisnis, Jumat (14/11/2025).

    Adapun, dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 399.K/MB.01/MEM.B/2023 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri ESDM Nomor 267.K/MB.01/MEM.B/2022 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri, pemerintah menetapkan persentase penjualan DMO batu bara sebesar 25% dari realisasi produksi pada tahun berjalan.

    Ketentuan itu berlaku bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) tahap kegiatan operasi produksi batu bara, izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tahap kegiatan operasi produksi batu bara, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara tahap operasi produksi, dan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian komoditas batu bara. 

    Kewajiban pasok tersebut untuk memenuhi kebutuhan penyediaan tenaga listrik dan bahan baku/bahan bakar untuk industri. Dalam beleid tersebut ketentuan harga jual batu bara DMO untuk penyediaan tenaga listrik atau pembangkit listrik PLN belum diubah atau masih sebesar US$70 per metrik ton.

    Di sisi lain, Kementerian ESDM menyebut wacana menaikkan porsi DMO juga demi menjaga harga batu-bara yang belakangan melemah. 

    Namun, Irwandi menilai harga batu bara tidak ditentukan oleh satu atau dua faktor saja. Menurutnya, harga emas hitam sangat tergantung supply demand di dunia.

    Hal ini khususnya bergantung pada konsumsi batu bara di China dan India, produksi negara-negara di dunia, dan perkembangan energi baru terbarukan.

    “Jadi kebijakan yang dimaksud [menaikkan porsi DMO] hanya satu dua faktor dari banyak faktor untuk perkembangan harga batu bara,” kata Irwandi.

    Rencana menaikkan porsi DMO batu bara lebuh dari 20% dari produksi pertam kali diungkapkan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.

    Hal itu ia sampaikan ketika merespons laporan Anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi Gerindra Ramson Siagian yang menyebut bahwa ada sejumlah perusahaan tambang batu bara yang tidak memenuhi kewajiban DMO 25%. 

    “Ke depan kita mau revisi RKAB, DMO-nya mungkin bukan hanya 25%, bisa lebih dari itu. Kepentingan negara di atas segala-galanya,” ujar Bahlil dalam rapat kerja bersama dengan Komisi XII DPR RI, Selasa (11/11/2025), dikutip dari siaran YouTube Komisi XII DPR RI, Rabu (12/11/2025).

    Bahlil tak memungkiri bahwa dalam pemenuhan DMO, sejumlah pelaku usaha batu bara ada yang ‘bermain-main’, tanpa menjelaskan lebih lanjut modus permainan yang dimaksud.

    “Di undang-undang yang baru ini, dia [pengusaha] penuhi DMO dulu baru ekspor. Abuleke [tukang tipu] juga sebagian ini. Aku tahu ini, ada main-main. Dirjen sudah saya kasih tahu, dirjen jangan main-main,” kata Bahlil.

    Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi Gerindra Ramson Siagian menyoroti adanya ketidakseimbangan pasokan DMO antara BUMN dengan perusahaan tambang swasta. 

    Dia menyebut bahwa porsi DMO yang disalurkan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) jauh lebih besar dari kewajiban DMO, sementara perusahaan lainnya tidak memenuhi ketentuan 25%. 

    “Kami dapat data dari PTBA mereka sampai sekitar 55% untuk DMO, tapi dari perusahaan tambang yang lain tidak penuhi 25%. Artinya, dari kebijakan pemerintah itu 25% untuk DMO, tetapi faktanya enggak seimbang,” kata Ramson.

  • Sudah Gelontorkan Insentif Rp 1.300 T, Pemerintah Tagih Ini ke Investor

    Sudah Gelontorkan Insentif Rp 1.300 T, Pemerintah Tagih Ini ke Investor

    Jakarta

    Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM Todotua Pasaribu mengingatkan bahwa pemerintah telah memberikan dukungan besar kepada dunia usaha melalui berbagai fasilitas insentif fiskal, mulai dari tax holiday hingga pembebasan bea masuk untuk barang modal.

    Insentif tersebut diberikan untuk membantu pelaku usaha memperkuat daya saingnya di tingkat global. Menurut Todotua, total insentif yang diberikan sejak Oktober 2024 hingga Oktober 2025 mencapai sekitar Rp 1.300 triliun.

    “Total fasilitas insentif yang telah dikonsolidasikan dari Oktober 2024 sampai Oktober 2025 mencapai sekitar Rp 1.300 triliun. Ini menunjukkan komitmen besar negara untuk menarik investasi berkualitas. Kita memberikan insentif bukan tanpa alasan. Itu semua adalah potensi penerimaan negara yang kita kembalikan demi tujuan strategis,” ungkap Todotua dalam keterangan tertulis, Jumat (14/11/2025).

    Lebih lanjut, Todotua menekankan bahwa strategi hilirisasi tidak bisa bertumpu pada insentif semata. Tanpa riset dan inovasi lokal, Indonesia akan terus bergantung pada teknologi impor.

    “Kita sudah punya lebih dari 50 smelter nikel di Morowali. Tapi berapa banyak karya riset anak bangsa yang benar-benar dipakai di sana? Ini yang harus kita benahi. Dunia usaha harus menjadi bagian dari ekosistem riset kita,” jelas Todotua.

    Ia juga menyampaikan bahwa Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM menargetkan mulai tahun 2026, perusahaan, khususnya yang menerima insentif investasi, ikut mengambil peran lebih besar dalam mendukung riset dan pengembangan talenta Indonesia. Dukungan itu mencakup penyediaan beasiswa hingga pendanaan riset terapan di sektor-sektor prioritas.

    “Mulai tahun depan, perusahaan yang sudah menikmati fasilitas insentif harus ikut memperkuat dunia akademik. Kita dorong adanya program beasiswa dan riset bersama. Kenyataannya, riset kita masih lemah. Akibatnya teknologi hilirisasi, teknologi smelter, sampai kecerdasan buatan, masih sangat bergantung pada luar negeri,” ujarnya.

    Todotua menjelaskan bahwa upaya tersebut merupakan tindak lanjut dari kesepakatan kerja sama antara Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dan Himpunan Kawasan Industri. Menurutnya, tahun ini dimanfaatkan sebagai masa penyusunan desain program sebelum implementasi penuh berjalan di 2026.

    “MoU-nya sudah kita tanda tangani, dan tahun ini kita siapkan mekanismenya. Tapi jangan berhenti di seremoni. Tahun depan, programnya harus berjalan. Harus ada manfaatnya untuk perguruan tinggi dan untuk industri,” tutupnya.

    (kil/kil)

  • Freeport Dapat Izin ESDM Operasikan Kembali Tambang DMLZ dan Big Gossan di Grasberg

    Freeport Dapat Izin ESDM Operasikan Kembali Tambang DMLZ dan Big Gossan di Grasberg

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan izin kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk membuka kembali dua tambang bawah tanah yang tidak terdampak longsor di tambang Grasberg Block Cave (GBC). Kedua tambang tersebut adalah Deep Mill Level Zone (DMLZ) dan Big Gossan.

    Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) ESDM, Tri Winarno, menjelaskan bahwa izin telah diberikan, namun saat ini PTFI masih belum mengoperasikan kedua tambang tersebut karena tengah mempersiapkan kembali proses produksi.

    “Sudah-sudah [diberi izin] untuk DMLZ dan Big Gossan, tapi belum produksi,” ujar Tri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (13/3/2025).

    Tri menambahkan, kapasitas produksi bijih dari kedua tambang milik Freeport tersebut sekitar 600.000 ton per tahun, atau sekitar 30% dari total kapasitas produksi seluruh tambang Freeport.

    Produksi bijih dari dua tambang ini rencananya akan dipasok ke smelter PTFI di Manyar, Gresik, yang sebelumnya sempat berhenti beroperasi karena kekurangan pasokan konsentrat tembaga.

    “Iya, dipasok ke smelter Manyar, karena memang kurang pasokan,” tegas Tri.

    PTFI sebelumnya berencana mengoperasikan kembali tambang Grasberg, Papua Tengah, yang tidak terdampak insiden luncuran material basah. Tri mengatakan pihaknya tengah mempertimbangkan izin operasi untuk area yang aman dari longsor.

    “Iya, sementara mereka mau mengajukan proposal. Itu kan tidak ada pengaruh dari situ, ya, jadi mereka ingin memulai produksi di sana,” ujar Tri kepada wartawan, dikutip Kamis (30/10/2025).

    Sementara itu, produksi tambang bawah tanah (underground) di area Grasberg Block Cave (GBC) masih terhenti akibat longsor pada 8 September 2025. Meskipun DMLZ dan Big Gossan tidak terdampak longsoran, kedua tambang ini juga belum berproduksi.

    “Freeport sudah melakukan evaluasi. Untuk sementara, daerah yang terdampak kecelakaan belum boleh beroperasi,” tambah Tri.

    Sebelumnya, induk PTFI, Freeport-McMoRan Inc (FCX), melaporkan bahwa insiden luncuran material basah dari bekas tambang terbuka Grasberg ke GBC pada 8 September 2025 menghentikan sementara operasi penambangan. Penghentian ini bertujuan memprioritaskan evakuasi tujuh korban serta penyelidikan penyebab utama insiden.

    PTFI menyatakan proses evakuasi selesai pada 5 Oktober 2025, dan proses investigasi hampir rampung. Kajian dampak kerusakan yang dilakukan bersamaan dengan pembersihan lumpur diperkirakan selesai akhir 2025.

    FCX dan PTFI, bersama ahli eksternal, menyelesaikan penyelidikan penyebab insiden luncuran lumpur serta menentukan langkah-langkah pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang.

    Bersamaan dengan itu, rencana produksi ke depan sedang dievaluasi bersama pemerintah, dan penilaian kerusakan sedang diselesaikan. Setelah itu, PTFI akan mengevaluasi nilai buku aset terdampak untuk menentukan kemungkinan penghapusan nilainya (write-off).

    Cebakan bijih GBC mewakili 50% cadangan terbukti dan terkira PTFI per 31 Desember 2024, serta sekitar 70% proyeksi produksi tembaga dan emas PTFI hingga 2029.

    PTFI memperkirakan tambang Big Gossan dan DMLZ, yang tidak terdampak longsor, dapat mulai beroperasi kembali pada kuartal IV/2025, diikuti pemulihan bertahap tambang bawah tanah GBC sepanjang 2026.

    Berdasarkan skenario pemulihan bertahap ini, yang masih bergantung pada banyak faktor, produksi PTFI pada 2026 diproyeksikan sekitar 35% lebih rendah dibanding estimasi sebelum insiden, dengan estimasi sebelumnya sekitar 1,7 miliar pound tembaga dan 1,6 juta ounce emas.

  • Banyak Bijih Nikel Tak Terserap, FINI: Larangan Ekspor Tak Boleh Kendur

    Banyak Bijih Nikel Tak Terserap, FINI: Larangan Ekspor Tak Boleh Kendur

    Bisnis.com, JAKARTA — Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menilai penumpukan bijih nikel di pertambangan maupun fasilitas pemurnian bukan merupakan tanda adanya gangguan serius dalam industri. 

    Hal ini merespons kabar terkait menumpuknya stok bijih nikel di beberapa tambang karena tak terserap smelter, yang turut dibenarkan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).

    Ketua Umum FINI Arif Perdanakusumah mengatakan, kondisi penumpukan stockpile merupakan bagian normal dari operasional penambangan dan pengolahan.

    “Itu bagian dari perencanaan tambang, proses pencampuran, keberlanjutan produksi, serta memastikan suplai tidak terputus dari tambang ke smelter atau refinery,” ujar Arif kepada Bisnis, dikutip Selasa (11/11/2025). 

    Menurut Arif, laporan mengenai penumpukan bijih nikel imbas penghentian atau pengurangan produksi smelter hanya terjadi di lokasi tertentu dan bukan gambaran umum industri.

    Terkait dampaknya terhadap hilirisasi, Arif menegaskan bahwa pasokan bijih nikel justru merupakan aspek paling krusial untuk menjaga keberlanjutan industri hilir, baik yang berbasis pirometalurgi maupun hidrometalurgi.

    “Kesulitan pasokan dan kelangkaan bijih nikel dapat sangat berdampak secara operasional dan memicu kenaikan biaya produksi,” katanya. 

    Dalam kondisi ini, menurut Arif, proses persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang sedang berjalan diharapkan mampu mencegah potensi kelangkaan bijih nikel ke depan sehingga kebutuhan smelter dapat tercukupi.

    Di samping itu, Arif juga menepis anggapan bahwa kondisi stockpile saat ini berpotensi membuka kembali keran ekspor bijih nikel. Dia menegaskan bahwa larangan ekspor yang berlaku sejak Januari 2020 merupakan kebijakan strategis yang harus dipertahankan.

    “Kebijakan larangan ekspor harus terus dilanjutkan. Keberhasilan program hilirisasi nikel sepenuhnya bergantung pada kestabilan regulasi,” tuturnya.

    Bagi pengusaha pemurnian, komitmen jangka panjang terhadap hilirisasi menjadi kunci untuk menjaga nilai tambah di dalam negeri serta memperkuat daya saing industri nikel nasional.

    “Kebijakan ini harus terus dilanjutkan oleh pemerintah, kelanjutan keberhasilan dari program hilirisasi nikel ini akan tergantung pada kestabilan regulasi yang dijalankan,” pungkasnya. 

    Sebelumnya, FINI memproyeksikan kondisi oversupply atau kelebihan pasokan nikel akan berlanjut hingga 2027. Hal ini seiring dengan pasar stainless steel yang diperkirakan baru akan pulih 2 tahun ke depan.

    Arif mengatakan, oversupply nikel ditandai dengan peningkatan kapasitas produksi hingga 5 kali lipat dalam 5 tahun terakhir. 

    Dalam catatannya, kapasitas produksi nikel saat ini mencapai 2,5 juta ton. Adapun, penggunaannya didominasi untuk stainless steel 70% dan baterai 15%. 

    Arif menyebut, oversupply nikel masih akan terjadi pada tahun depan lantaran kondisi perekonomian dunia yang membuat pasar masih lesu. Sementara itu, pada 2027, dia melihat oversupply mulai susut menyeimbangkan demand atau permintaan. 

    Dari 2027, pihaknya memperkirakan mulai terjadi defisit antara kebutuhan dan produksi eksisting untuk penggunaan stainless steel. 

    Terpisah, APNI mengungkapkan adanya kondisi penumpukan stok bijih nikel yang tak terserap oleh smelter. Hal ini diperparah dengan peningkatan impor bijih nikel dari Filipina, sementara sejumlah fasilitas pemurnian memangkas produksi. 

    Dewan Penasihat APNI Djoko Widajatno mengatakan, ketidakseimbangan produksi dan serapan bijih nikel dalam negeri tecerminkan dari kuota produksi yang disetujui pemerintah pada 2025 sebesar 364 juta ton, sementara penyerapan oleh industri, khususnya smelter, hingga pertengahan tahun ini lebih rendah dari kuota tersebut.

    Menurut Djoko, penyerapan aktual oleh smelter mungkin tidak cukup untuk menggunakan seluruh stockpile yang ada. Apalagi, belakangan beberapa perusahaan mengimpor bijih nikel Filipina. 

    Dalam catatannya, Indonesia mengimpor bijih nikel dari Filipina dengan jumlah yang cukup signifikan. Pada periode Januari hingga Mei 2025, impor bijih nikel dan konsentrat dari Filipina mencapai 2,77 juta ton dengan nilai sekitar US$122,71 juta. 

    “Secara keseluruhan, impor dari Filipina pada tahun sebelumnya mencapai 10,18 juta ton,” ucap Djoko kepada Bisnis.

    Di sisi lain, Djoko menyebutkan terdapat empat smelter yang menurunkan produksi sehingga penyerapan bijih nikel domestik hanya berkisar 120 juta ton hingga saat ini. 

  • Modal Menuju Keluar dari Zona 5.0

    Modal Menuju Keluar dari Zona 5.0

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan kinerja pertumbuhan ekonomi (PDB) selama kuartal III/2025 sebesar 5,04% (YoY) atau sebesar 5,01% (c-to-c) selama 9 bulan pertama 2025.

    Dengan kinerja selama 9 bulan tersebut, penulis memiliki keyakinan bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh setidaknya 5% selama 2025. Ini mengingat, pada kuartal IV/2025, ekonomi Indonesia memiliki peluang tumbuh lebih tinggi dibanding tiga kuartal sebelumnya. Bila ini terjadi, kinerja pertumbuhan ekonomi tersebut akan melampaui proyeksi sejumlah lembaga seperti IMF dan World Bank yang memperkirakan ekonomi Indonesia selama 2025 tumbuh di bawah 5%.

    Bagaimana potret pertumbuhan pada kuartal III/2025? Kemudian, bagaimana potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2025?

    Penulis menyebut kinerja pertumbuhan ekonomi kuartal III/2025 sebagai capaian yang “optimal”. Disebut demikian, mengingat belum seluruh mesin pertumbuhan bekerja. Konsumsi rumah tangga yang menjadi mesin pertumbuhan terbesar dari sisi pengeluaran hanya tumbuh 4,89% (YoY) terendah sejak kuartal I/2024. Kita memahami mengapa pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal III/2025 tersebut rendah.

    Selama kuartal III/2025, ekonomi kita dihadapkan pada kondisi sosial dan politik yang kurang kondusif. Berbagai indikator terkait daya beli konsumen cenderung lemah sebagaimana terlihat pada indikator indeks keyakinan konsumen (IKK), indeks penjualan riil (IPR), termasuk kinerja perkreditan yang terkait dengan konsumen.

    Selama kuartal III/2025, praktis hanya konsumsi pemerintah dan ekspor yang mencatatkan kinerja melebihi “optimal”. Konsumsi pemerintah tumbuh 5,49% (YoY) tertinggi sejak Q2/2024 serta mampu membalikan kurva yang sebelumnya negatif (kontraktif) selama dua kuartal. Demikian halnya ekspor. Di tengah berlakunya tarif impor di Amerika Serikat (AS) secara efektif sejak Agustus 2025, ekspor tetap tumbuh tinggi, sebesar 9,91% (YoY) meski lebih rendah dibanding kuartal II/2025 yang tumbuh 10,95% (YoY).

    Kinerja investasi meski kurang optimal masih relatif baik, tumbuh 5,04% (YoY). Dari sisi sektoral ekonomi, mesin pertumbuhan juga belum banyak mengalami perubahan. Sumber pertumbuhan masih mengandalkan pada sektor-sektor yang kemampuan serapannya terhadap tenaga kerja relatif terbatas. Pada kuartal III/2025, industri pengolahan tumbuh 5,54% (YoY) lebih rendah dibandingkan kuartal II/2025 yang tumbuh 5,68% (YoY), di mana sumber pertumbuhannya masih ditopang oleh industri makanan dan minuman serta industri logam dasar (smelter).

    PURBAYA EFFECT

    Memasuki kuartal IV/2025, perubahan lingkungan eksternal dan internal terjadi. Dari sisi eksternal, optimisme terhadap kinerja ekonomi global mulai membaik. Hal itu antara lain tecermin dari sejumlah proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang lebih baik. Pada Oktober 2025, IMF mengoreksi naik outlook pertumbuhan ekonomi global pada 2025 dari sebelumnya 3% (outlook Juli 2025) menjadi 3,2%.

    Sementara itu, dari sisi internal, terjadi perubahan arah kebijakan ekonomi seiring dengan pergantian tampuk kepemimpinan di sektor fiskal. Pergantian Menteri Keuangan kepada Purbaya Yudhi Sadewa telah mengu-bah konstelasi kebijakan fiskal yang turut memengaruhi arah kebijakan moneter dan industri keuangan.

    Tentunya, berbagai perubahan ini dapat memengaruhi kinerja ekonomi Indonesia pada kuartal IV/2025 dan selanjutnya. Kebijakan fiskal yang longgar, yang dimulai dengan penempatan dana pemerintah ke perbankan, diperkirakan akan mendorong kinerja ekonomi Indonesia khususnya pada sisi investasi dan konsumsi rumah tangga ke arah yang lebih kuat.

    Pada kuartal III/2025, “Pur baya Effect” sebenarnya telah memberikan dampak pada kinerja ekonomi Indonesia, meskipun sangat terbatas. “Purbaya Effect” tersebut khususnya terjadi pada sisi investasi. Hal ini antara lain terlihat dari kinerja pertumbuhan kredit perbankan. Pada September 2025, kredit perbankan tumbuh 7,18% (YoY) meningkat dibanding posisi Agustus 2025 yang tum buh 7,05% (YoY).

    Kenaikan pertumbuhan kredit tersebut praktis ditopang oleh kredit kepada debitur BUMN. Per September 2025, kredit kepada debitur BUMN tumbuh 9,72% (YoY) naik signifikan dibanding posisi Agustus 2025 yang baru tumbuh 1,69% (YoY). Hampir dapat dipastikan bahwa lonjakan pertumbuhan kredit kepada debitur BUMN ini berasal dari kredit yang disalurkan bank-bank BUMN.

    Yang perlu memperoleh perhatian adalah di tengah lonjakan pertumbuhan kredit kepada debitur BUMN, pertumbuhan kredit kepada debitur swasta justru turun. Pada September 2025, pertumbuhan kredit kepada debitur swasta tumbuh 7,01% (YoY) melambat dibanding Agustus 2025 yang tumbuh 7,23% (YoY). Kondisi ini menggambarkan bahwa sektor swasta masih struggle, tetapi sekaligus menjadi potensi bagi sumber pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2025 dan selanjutnya.

    Dengan catatan, yaitu apabila transmisi penempatan dana pemerintah ke perbankan dapat berlangsung meluas. Itu artinya, penempatan dana pemerintah ke bank-bank BUMN perlu didorong agar berpengaruh pada peningkatan dana murah yang dapat dirasakan perbankan secara menyeluruh. Nah, tantangannya adalah bagaimana menciptakan agar transmisi tersebut terjadi.

    Dalam konteks ini, penulis mengusulkan beberapa hal. Pertama, perlu dibangun pemahaman bahwa penempatan dana pemerintah di bank-bank BUMN tidaklah berhenti menjadi likuiditas bank BUMN. Mekanisme perpindahan likuiditas dari bank BUMN ke bank lainnya perlu diciptakan agar perbaikan struktur dana perbankan terjadi secara meluas.  Sehingga, pertumbuhan kredit bank swasta pun, yang biasanya menjadi tempat debitur swas-ta memperoleh kredit, ikut meningkat.

    Kedua, kebijakan dovish melalui peningkatan likuiditas, perlu diimbangi dengan penyelesaian hambatan teknis (debottlenecking) di sektor riil. Tujuannya, untuk mempercepat efektivitas kebijakan pelonggaran likuiditas. Dalam konteks ini, seyogyanya instrumen fiskal, moneter, dan sektor keuang-an (khususnya perbankan) dapat menjadi trigger bagi percepatan debottlenecking di sektor riil.

    PENGUATAN KOORDINASI

    Beberapa waktu yang lalu, Menkeu Purbaya turun menemui pelaku usaha industri rokok dalam rangka “belanja masalah” sekali-gus menunjukkan bukti dukungannya kepada industri.

    Seyogianya, langkah ini direplikasi lebih luas dan strategis ke sektor-sektor lainnya.

    Penguatan koordinasi dan kerja sama antara para pemegang otoritas di sektor keuangan dengan para pemangku kepentingan di sektoral seperti para menteri teknis serta pelaku usaha akan turut menentukan efektivitas transmisi kebijakan di sektor keuangan ke pertumbuhan sektor riil.

    Penulis berpendapat, bila berbagai langkah di atas dapat berjalan simultan, potensi tumbuh lebih tinggi pada kuartal IV/2025, katakanlah sebesar 5,2% (YoY), bukan sesuatu yang mustahil. Kita memiliki peluang untuk memperbaiki pertumbuhan sektoral ekonomi, Konsumsi Rumah Tangga dan Investasi.

    Sementara itu, pertumbuhan Konsumsi Pemerintah diperkirakan akan tetap tinggi pada kuartal IV/2025. Sedangkan pertumbuhan ekspor diperkirakan relatif sama dengan kuartal III/2025. Dengan berbagai perbaikan ini, bukan tidak mungkin, selama 2025, ekonomi Indonesia bisa tumbuh sekitar 5,1% dan keluar dari zona 5,0% (5.0).