Produk: smelter

  • Beban Dunia Usaha Kala Pemerintah Getol Tarik Penerimaan dari Minerba

    Beban Dunia Usaha Kala Pemerintah Getol Tarik Penerimaan dari Minerba

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah makin getol mencari tambahan penerimaan negara salah satunya dari industri pertambangan mineral dan batu bara. Mulai dari kebijakan kenaikan tarif royalti hingga pengenaan bea keluar untuk mendongkrak penerimaan. 

    Untuk diketahui pada tahun ini, pemerintah mengerek tarif royalti batu bara, nikel, tembaga, emas, hingga bauksit. Sementara itu, pada 2026, pemerintah juga berencana mengenakan tarif bea keluar terhadap batu bara dan emas.

    Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Watch Ferdy Hasiman mengatakan, kebijakan-kebijakan tersebut memang efektif dan potensial untuk menambah pundi-pundi penerimaan negara. Namun, implementasi kebijakan tersebut dipertanyakan karena dinilai tidak disusun secara sistematis.

    Menurut Ferdy, pola kebijakan yang ditempuh pemerintah cenderung reaktif. Ketika penerimaan negara menurun, pemerintah langsung menaikkan berbagai pungutan tanpa mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh. 

    “Dari sudut pandang korporasi, kebijakan seperti ini menjadi tidak menarik dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan,” kata Ferdy kepada Bisnis, dikutip Kamis (18/12/2025). 

    Apalagi selama ini perusahaan-perusahaan tambang sudah menanggung beban royalti yang cukup besar, ditambah lagi dengan pajak-pajak lain di luar royalti. 

    Di sisi lain, pemerintah juga mewajibkan perusahaan untuk membangun smelter, seperti pada komoditas tembaga, yang nilai investasinya bisa mencapai puluhan hingga lebih dari Rp60 triliun. Menurutnya, secara ekonomi pembangunan smelter tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya layak. Namun, tetap dijalankan karena merupakan kewajiban undang-undang.

    Padahal, pembangunan smelter memiliki dampak berganda (multiplier effect) yang besar, mulai dari peningkatan nilai tambah, pertumbuhan ekonomi lokal, hingga berkembangnya industri turunan. 

    Namun, Ferdy menilai setelah kewajiban pembangunan smelter dipenuhi, seharusnya pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan agar manfaat ekonomi tersebut dapat terus diperluas.

    “Kalau kewajiban sudah dijalankan, mestinya pemerintah kasih insentif. Jangan justru bebannya terus ditambah. Kalau bebannya makin berat, ini jadi tidak menarik bagi perusahaan,” tuturnya.

    Lebih lanjut, dia mendorong pemerintah untuk segera menyusun desain industrialisasi pertambangan yang lebih komprehensif. Menurut Ferdy, saat ini smelter yang dibangun sebagian besar masih menghasilkan produk antara, sementara industri hilir lanjutan belum siap. 

    “Jika diarahkan dengan benar, hilirisasi lanjutan justru bisa meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan,” jelasnya. 

    Ferdy menilai, sebagai jalan tengah, kenaikan royalti atau bea keluar seharusnya dilakukan secara proporsional dan melalui dialog dengan para produsen. 

    Dengan begitu, pemerintah dapat menentukan titik yang adil sehingga ketika perusahaan memperoleh keuntungan, penerimaan negara juga meningkat, tanpa mendorong perusahaan ke risiko kerugian atau kebangkrutan yang berujung pada berkurangnya lapangan kerja.

    “Perusahaan-perusahaan yang sudah menjalankan hilirisasi mestinya diberi insentif agar bisa masuk lebih jauh ke industri hilir. Dampak ekonominya besar, tapi ini sering tidak terlihat oleh pemerintah,” pungkasnya.

    Ferdy menegaskan bahwa kebijakan peningkatan penerimaan negara melalui kenaikan royalti memang memiliki tujuan baik. Namun, tanpa desain yang matang dan berimbang, kebijakan tersebut berisiko menekan dunia usaha dan justru melemahkan fondasi ekonomi jangka panjang.

    Senada, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan Bisman Bakhtiar mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menarik penerimaan negara dari perusahaan tambang kontras dengan upaya mengendalikan produksi. 

    “Pengendalian produksi bertujuan menjaga harga, keberlanjutan SDA [sumber daya alam], dan stabilitas pasar, sementara monetisasi agresif tersebut berorientasi pada optimalisasi penerimaan jangka pendek,” terangnya, dihubungi terpisah. 

    Oleh karena itu, Bisman menilai perlu rancangan kebijakan terpadu selaras dan tidak kontradiktif. Sebab, jika produksi ditekan, tetapi biaya usaha dinaikkan maka margin pelaku usaha berkurang sehingga akan pengaruh pada investasi. 

    Dalam jangka pendek, menurut dia, kebijakan ini relatif efektif menambah penerimaan negara, khususnya saat harga komoditas tinggi dan terdapat stockpile besar. Namun secara struktural, kontribusinya tidak berkelanjutan.

    “Potensi penerimaan bisa signifikan, tetapi sangat bergantung pada harga global, volume produksi, dan kepatuhan pelaku usaha. Tetapi sebaliknya jika beban keuangan pelaku usaha terlalu berat, justru berisiko menurunkan produksi,” tambahnya. 

    Alih-alih mengejar penerimaan negara dari monetisasi komoditas minerba, Bisman menyarankan pemerintah sebaiknya fokus pada perbaikan tata kelola dan pengawasan, seperti menekan kebocoran penerimaan, transfer pricing, dan tambang ilegal. 

    “Selain itu peningkatan nilai tambah hilirisasi dan pengembangan industri turunannya atau bisa juga menerapkan skema fiskal adaptif atau royalti progresif berbasis harga, artinya besarnya persentase royalti fluktuatif mengikuti harga komoditas. Ini akan lebih fair dan proporsional,” pungkasnya. 

    Respons Pelaku Usaha

    Industri pertambangan nasional diproyeksikan menghadapi tahun yang penuh tantangan pada 2026. Tak hanya gejolak harga komoditas, pengusaha juga dihadapkan pada tekanan kebijakan yang memicu penambahan biaya produksi. 

    Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai tahun 2026 bukanlah periode yang mudah bagi sektor ini karena ketidakpastian gejolak ekonomi global dan dinamika regulasi domestik yang terus bergerak.

    “Jadi uncertainty-nya masih menjadi tantangan, dan juga kita di domestiknya tentu saja banyak regulasi yang berubah dan juga ada tambahan kewajiban dari berbagai regulasi ini yang membuat perusahaan-perusahaan ini yang menjadi tantangan ya,” kata Hendra, belum lama ini. 

    Salah satu isu yang menjadi perhatian adalah wacana penerapan bea keluar untuk komoditas emas dan batu bara. Sebab, tak hanya meningkatkan biaya produksi, dia juga menilai kebijakan tersebut kurang tepat secara fungsi karena mestinya bea keluar digunakan untuk melindungi kebutuhan domestik.

    Hendra menyebut penerapan bea keluar emas dan batu bara ini akan berdampak signifikan pada ongkos produksi penambang yang memicu tekanan margin profit. 

    “Menurut kami bukan instrumen untuk penerimaan negara, tapi untuk melindungi industri domestiknya, sementara kan kebutuhan domestik batu bara kita kan masih sangat kecil ya, masih 30%, jadi harusnya sih itu nggak diterapkan,” ujarnya.

    IMA juga menyoroti kebijakan pemerintah yang tetap berkomitmen menerapkan bea keluar meski harga komoditas tengah melemah. Kondisi ini diperparah oleh potensi meluasnya aturan tersebut ke komoditas lain seperti nikel dan mineral strategis lainnya.

    “Itu yang ketidakpastian regulasi juga menjadi tantangan, dan belum tahu lagi nih ada cukai juga kan, bisa saja nanti diterapkan,” jelasnya.

    Dengan bertambahnya wacana pungutan dan kewajiban baru, ketidakpastian regulasi dipandang sebagai salah satu risiko terbesar yang harus diantisipasi perusahaan tambang pada tahun mendatang. 

    Penambang menilai dibutuhkan kejelasan dan konsistensi agar industri dapat merancang strategi jangka panjang dengan lebih pasti.

  • Antam Bidik Tambang Emas di Timur Tengah

    Antam Bidik Tambang Emas di Timur Tengah

    Sebelumnya, pemerintah menegaskan komitmen untuk memperkuat rantai pasok emas dan tembaga sebagai fondasi kedaulatan mineral nasional. Langkah ini sejalan dengan meningkatnya permintaan global terhadap emas sebagai aset lindung nilai di tengah ketidakpastian geopolitik, sekaligus membuka peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi pusat pemurnian logam mulia di kawasan.

    ‎Pengamat Energi Ali Ahmudi, menilai kebijakan DMO emas melalui sistem traceability domestik, dukungan sertifikasi internasional Good Delivery dari London Bullion Market Association, serta pembangunan Precious Metal Refinery (PMR) akan menjadi tonggak penting dalam mengurangi ketergantungan terhadap negara lain.

    ‎“DMO emas bukan hanya soal pasokan dalam negeri, tetapi juga strategi hilirisasi yang memastikan Indonesia tidak sekadar menambang, melainkan menjadi pemain industri global. Dengan smelter dan PMR, Indonesia akan mengekspor bullion, bukan lagi konsentrat mentah,” ujarnya, Sabtu (22/11/2025).

    ‎Selain emas, Ali menekankan bahwa hilirisasi tembaga tetap menjadi pilar transisi energi. Tembaga berperan sebagai tulang punggung kendaraan listrik, baterai, dan jaringan listrik hijau. Integrasi proyek Smelter Gresik dengan PMR akan memperkuat agenda downstreaming menuju green economy.

    ‎“Transformasi ini merupakan bagian dari visi Indonesia Emas 2045, dengan target menjadikan Indonesia sebagai regional refining and manufacturing hub pada 2025–2035. Kombinasi DMO emas, hilirisasi tembaga, dan kebijakan industri nasional akan memperkuat posisi Indonesia di rantai pasok logam strategis dunia,” tambahnya.

     

  • Pemerintah Akan Bina Pertambangan Ilegal, Celios: Itu Bukan Solusi

    Pemerintah Akan Bina Pertambangan Ilegal, Celios: Itu Bukan Solusi

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai rencana pemerintah untuk melakukan pembinaan terhadap pertambangan tanpa izin (PETI) bukan solusi.

    Menurutnya, rencana Kemenko Perekonomian untuk membina pertambangan ilegal yang selama ini marak terjadi di Tanah Air sama saja dengan melegalkan hal yang ilegal.

    “Legalisasi tambang ilegal jelas bukan solusi. Tambang yang legal saja pengawasan pemerintah masih lemah, apalagi mengurus tambang yang skala kecil tapi banyak,” kata Bhima kepada Bisnis, Senin (15/12/2025).

    Bhima juga menyebut biaya pengawasan untuk memperkecil dampak kerusakan lingkungan dengan pendapatan dari tambang skala kecil tidak sebanding.

    “Apakah tambang itu bisa memenuhi kewajiban reklamasi? Kan pasti tidak bisa,” imbuhnya.

    Dari segi ekonomi, kata Bhima, legalisasi tambang ilegal bisa memicu oversupply bijih mineral dengan kualitas yang berbeda-beda. Menurutnya, hal ini juga malah berpotensi membuat smelter merugi.

    Di sisi lain, pengusaha tambang RI juga rugi lantaran harga bisa anjlok. Bhima pun mengingatkan salah satu solusi memberantas tambang ilegal sebaiknya dengan konsep ekonomi restoratif.

    Konsep ekonomi restoratif adalah model ekonomi yang berfokus pada pemulihan ekosistem dan lingkungan yang rusak serta peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

    “Solusinya memang bukan dengan legalisasi, tapi mencari alternatif pendapatan para penambang ilegal itu, misalnya dengan konsep ekonomi restoratif, mendukung transisi pekerjanya ke sektor perkebunan dan perikanan dengan fasilitas yang lebih baik,” jelas Bhima.

    Sebelumnya, pemerintah berencana membina pertambangan ilegal yang selama ini marak terjadi di Indonesia. Terlebih, tambang emas ilegal dapat menghasilkan hingga 200 ton per tahun.

    Asisten Deputi Bidang Pengembangan Mineral dan Batu Bara Kemenko Perekonomian Herry Permana menjelaskan skema pembinaan tambang ilegal itu bisa mencontoh yang terjadi pada sumur minyak dan gas bumi (migas).

    Dia menyebut pemerintah kini telah menata sumur rakyat yang umumnya ilegal. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 14 Tahun 2025 tentang Kerja Sama Pengelolaan Bagian Wilayah Kerja untuk Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi.

    Melalui aturan baru tersebut, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dapat melakukan kerja sama pengolahan bagian wilayah kerja (WK), tata kelola, keamanan sosial, dan perlindungan investasi demi memberdayakan sumur ilegal tersebut. Alhasil, saat ini terdapat 45.095 sumur rakyat yang sudah diinventarisasi.

    “Kalau migas bisa, seharusnya minerba [mineral dan batu bara] bisa dong. Kita kasih waktu misalnya dari 20–38 provinsi terbit IPR [izin pertambangan rakyat], kita kasih waktu empat tahun,” ucap Herry dalam acara Bisnis Indonesia Forum di Jakarta, Rabu (10/12/2025).

    Dia menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) disebutkan bahwa jika ditemukan tambang rakyat yang belum memiliki IPR, maka menjadi prioritas.

    Menurutnya, pembinaan tambang rakyat ilegal menjadi penting. Sebab, di satu sisi, tambang ilegal itu menjadi lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Oleh karena itu, jika tambang ilegal itu langsung diberantas, maka lapangan kerja masyarakat juga terenggut.

    “Karena ini menyangkut rakyat, kalau untuk rakyat kan luasan IPR itu hanya 10 hektare maksimum, itu pun untuk koperasi. Kalau perorangan, 5 hektare,” kata Herry.

    Dia juga mencontohkan, jika negara mampu membina tambang emas ilegal saja, hasilnya cukup signifikan. Menurutnya, emas yang dihasilkan dari tambang ilegal sebesar 100 ton per tahun bisa menjadi milik negara.

    Karena itu, pihaknya bersama kementerian/lembaga terkait tengah menyusun Peraturan Presiden (Perpres) terkait pengelolaan mineral kritis dan strategis.

    “Oleh karena itu, tata kelola ini harus kita desain dengan baik. Saat ini, kami sedang menyusun Perpres terkait tata kelola mineral kritis dan strategis,” jelas Herry.

  • Perhapi Minta Perbaikan Aturan Royalti di Tengah Tekanan Harga Nikel & Batu Bara

    Perhapi Minta Perbaikan Aturan Royalti di Tengah Tekanan Harga Nikel & Batu Bara

    Bisnis.com, JAKARTA — Perhitungan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) meminta pemerintah untuk memperbaiki aturan pengenaan royalti terhadap mineral dan batu bara (minerba) di tengah penurunan harga nikel serta batu bara. 

    Pada diskusi publik bertajuk ‘Meneropong Tax Gap & Efektivitas Tata Kelola Fiskal Sektor Minerba’, Kamis (11/12/2025), Wakil Ketua Umum Perhapi Resvani menyampaikan bahwa kenaikan tarif royalti minerba sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.19/2025 memberatkan para pengusaha di sektor pertambangan. 

    Belum lagi, berdasarkan kajian yang dilakukan olehnya, Indonesia menjadi negara yang menerapkan tarif royalti paling tinggi di antara sejumlah negara. 

    “Tarif royalti Indonesia salah satu yang tertinggi, bedanya kita sama Queensland, Australia saja. Porsi TGT [total government tax] lebih besar pada saat kondisi yang sulit,” ungkapnya pada forum yang juga dihadiri oleh pejabat Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu, dikutip Minggu (14/12/2025). 

    Tekanan dari pengenaan royalti yang lebih tinggi itu, terangnya, berdampak khususnya kepada industri nikel dan batu bara yang harganya saat ini mengalami tren menurun. Tantangan yang dialami keduanya juga berbeda-beda. 

    Untuk batu bara, paparnya, keseluruhan pungutan negara atau TGT paling banyak berdampak kepada pengusaha dengan rezim izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Untuk diketahui, IUPK adalah izin yang diberikan pemerintah kepada badan usaha untuk mengelola pertambangan di wilayah tertentu seringkali berasal dari bekas kontrak karya (KK) atau PKP2B. 

    Pengenaan pungutan terhadap tambang dengan IUP lebih sedikit. Apabila dibandingkan antara IUPK dan IUP, IUPK memiliki tambahan pungutan yakni PHT dan BMN, serta PNBP dari keuntungan bersih yakni 10%. 

    “Dengan asumsi volume yang sama, cost yang sama, rezim fiskal kita menjadikan IUPK TGT jauh lebih tinggi dari IUP. Porsi TGT semakin tinggi pada kondisi sulit di mana harga turun, SR [stripping ratio] naik, jarak angkut jauh,” terang Resvani. 

    Adapun untuk nikel, pria yang juga menggeluti jasa konsultan pertambangan dan energi itu menyebut beban TGT lebih besar untuk IUP tambang nikel yang sekaligus terintegrasi dengan fasilitas pemurnian atau smelter.

    Dia menyebut perusahaan nikel yang memiliki izin pertambangan dan smelter itu bisa menanggung beban kenaikan royalti serta tambahan royalti apabila membeli pasokan dari luar pertambangan mereka.  

    “[Kemudian] tekanan pada saat sebagian ore [bijih nikel] yang dia beli tidak cukup untuk pabrik integrasi, dia akan kena double royalti dia. Belum ada aturan sampai dengan hari ini bagaimana menyelesaikan persoalan itu, dan itu terjadi pada dua PT di Indonesia yaitu Antam dan PT Wanatiara Persada,” ungkapnya. 

    Khusus nikel, yang kini menjadi prioritas hilirisasi pemerintah, tantangan yang dihadapi akibat penurunan harga adalah oversupply. Jumlah smelter nikel yang semakin menjamur di dalam negeri tidak diimbangi oleh peningkatan permintaan, di tengah banyak negara yang juga kini sudah beralih ke LFP untuk bahan baku baterai mobil listrik. “Berkurangnya demand itu sudah sangat memukul kebijakan yang kita buat untuk hilirisasi,” ujarnya. 

    Selain turunnya harga komoditas, lanjutnya, Resvani menyebut pengusaha tambang turut menghadapi tantangan dari kewajiban B40, maupun kebijakan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) yang wajib diparkirkan dalam negeri 100% selama 12 bulan. 

    Padahal, berdasarkan hitung-hitungannya, total valuasi dari tujuh mineral dan batu bara Indonesia bisa mencapai US$7 triliun berdasarkan harga terkini. “Kalau buy margin itu US$1 triliun sampai dengan US$2 triliun, jadi total government tax dari tujuh mineral ini saja US$1 triliun sampai dengan US$2 triliun,” pungkasnya. 

    Namun demikian, berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sampai dengan November 2025, penerimaan pajak dari minerba hanya sebesar Rp43,3 triliun. Sejalan dengan fluktuasi harga komoditas, kontribusinya terhadap seluruh penerimaan pajak yakni hanya 2,65% sampai dengan November 2025. 

  • Tambang di Konawe buat Ekonomi Turun dan Kesehatan Memburuk

    Tambang di Konawe buat Ekonomi Turun dan Kesehatan Memburuk

    Jakarta, Beritasatu.com –  Terjadi perubahan besar pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan tambang di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Para nelayan kini menghadapi sedimentasi serta pencemaran wilayah pesisir. Kondisi ini membuat area penangkapan ikan semakin jauh sehingga mereka harus melaut hingga 2–3 hari.

    Hal ini diungkapkan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari, Yani Taufik dalam diskusi yang digelar bersama Setara Institute, Kamis (11/12/2025). 

    “Di wilayah daratan, alih fungsi lahan pertanian menyebabkan luas sawah produktif merosot dari 5.000 hektare menjadi hanya 1.500 hektare, membuat banyak petani kehilangan mata pencaharian,” ujarnya dikutip dari Antara, Jumat (12/12/2025).

    Yani juga menuturkan kasus ISPA, iritasi kulit, hingga paparan debu merah meningkat, terutama di sekolah-sekolah yang berada di dekat area izin usaha pertambangan (IUP).

    Ia menambahkan perubahan struktur sosial akibat aktivitas pertambangan turut menggerus tradisi lokal, termasuk hilangnya praktik budaya seperti metanduale.

    “Penelitian ini juga menemukan adanya pekerja anak, lemahnya standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta kecelakaan kerja fatal yang tidak dilaporkan. Ketimpangan antara tenaga kerja lokal dan pekerja dari luar daerah sangat terlihat, di mana masyarakat lokal kebanyakan hanya menempati posisi buruh kasar,” katanya.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mengungkapkan hampir seluruh wilayah penelitian menunjukkan adanya pencemaran air dan laut, debu tambang yang berlebihan, sedimentasi yang tidak terkontrol, serta meningkatnya masalah kesehatan masyarakat.

    Ia menyampaikan berbagai fasilitas pengelolaan limbah seperti sediment pond banyak yang tidak berfungsi. Kegiatan reklamasi pascatambang juga tidak berjalan, meskipun tercantum dalam dokumen perusahaan.

    “OPD dan warga setempat juga melaporkan hilangnya tutupan vegetasi yang berdampak pada kenaikan suhu mikro. DLH Konawe bahkan menemukan kandungan berbahaya dalam sampel air di sekitar kawasan smelter,” tuturnya.

    Berdasarkan temuan tersebut, Halili memberikan sejumlah rekomendasi. Untuk pemerintah pusat, ia menyarankan harmonisasi kebijakan nasional melalui revisi regulasi dalam UU Minerba yang rentan disalahgunakan, penyelarasan aturan antar-kementerian, peningkatan transparansi industri ekstraktif dengan mewajibkan pengungkapan informasi minimum, serta penerapan uji tuntas HAM sesuai amanat Perpres 60/2023—yang akan digantikan oleh peraturan baru mengenai Penilaian Kepatuhan HAM untuk pelaku usaha.

    Untuk pemerintah daerah, rekomendasi mencakup penguatan koordinasi pengawasan antara provinsi, kabupaten, dan masyarakat; peninjauan ulang RTRW; percepatan penetapan regulasi LP2B; evaluasi ulang izin IUP berdasarkan prinsip pertambangan yang bertanggung jawab; serta pembentukan mekanisme pengaduan publik melalui kantor pengaduan lokal dan petugas penghubung desa.

    “Sedangkan bagi organisasi masyarakat sipil, riset ini mendorong perluasan pemantauan independen, advokasi, pendokumentasian kasus, serta program pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat. Untuk perguruan tinggi, diperlukan penelitian lanjutan mengenai dampak sosial-lingkungan serta penyusunan pedoman ilmiah untuk pengendalian sedimentasi, rehabilitasi pesisir, dan perumusan program PPM yang lebih partisipatif,” jelas Halili.

  • Kinerja Semakin Agresif, PTP Nonpetikemas Catatkan Pertumbuhan

    Kinerja Semakin Agresif, PTP Nonpetikemas Catatkan Pertumbuhan

    Bisnis.com, JAKARTA – PT Pelabuhan Tanjung Priok (PTP Nonpetikemas) mencatat pertumbuhan kinerja perusahaan Laba sebesar 46% hingga Oktober 2025 dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Capaian ini mencerminkan konsistensi perusahaan dalam menjalankan strategi transformasi layanan pelabuhan yang adaptif dan berkelanjutan.

    Selain itu, PTP Nonpetikemas juga memperluas bisnis jasa kepelabuhanan melalui pengelolaan kegiatan shorebase untuk mendukung operasi hulu migas (upstream). Ekspansi ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi operasional dan menekan biaya logistik bagi para pengguna jasa.

    PTP Nonpetikemas terus meningkatkan kualitas operasional melalui optimalisasi bongkar muat, penataan alur logistik, dan efisiensi waktu sandar kapal untuk memperkuat kepercayaan pengguna jasa, sekaligus melakukan standarisasi, sistemisasi, dan integrasi layanan di seluruh pelabuhan sejak 2023–2024 yang dibangun di atas enam pilar utama proses, teknologi, peralatan, HSSE, infrastruktur, dan penguatan SDM serta mengimplementasikan sistem PTOS-M yang memperlancar layanan tanpa antrian, meningkatkan efisiensi operasional, dan mendorong transparansi serta keselamatan kerja di seluruh proses penanganan kargo.

    Kinerja Cabang PTP Nonpetikemas Meningkat

    Hingga akhir Oktober 2025, total realisasi throughput PTP Nonpetikemas mencapai 37,67 juta ton/m³, tumbuh 2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Komposisi throughput didominasi oleh curah kering (45%), diikuti general cargo (26%), curah cair (23%), dan bag cargo (6%).

    Sejumlah cabang PTP Nonpetikemas mencatat realisasi throughput yang memuaskan hingga Oktober 2025. Cabang Tanjung Priok membukukan realisasi penanganan general cargo sebesar 7,7 juta ton, atau tumbuh 10,12% dari realisasi tahun lalu sebesar 6,9 juta ton. Cabang Teluk Bayur juga mencatat hasil positif pada curah cair dengan realisasi 2,6 juta ton, atau tumbuh 14,21% dari realisasi tahun lalu sebesar 2,3 juta ton. Sementara itu, Cabang Jambi menunjukkan pertumbuhan signifikan pada curah cair dengan realisasi 917 ribu ton, tumbuh 65,13% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 556 ribu ton. Pada kemasan bag cargo, Cabang Teluk Bayur tumbuh 10%, dengan realisasi 571 ribu ton terhadap realisasi tahun lalu sebesar 519 ribu ton.

    Peningkatan produktivitas kinerja operasional dalam satuan Ton/Ship/Day (T/S/D) di berbagai cabang Pelabuhan, terlihat dengan capaian tertinggi diraih Cabang Tanjung Priok pada segmen general cargo sebesar 3.558 T/S/D lebih tinggi 10% dari target RKAP sebesar 3.225 T/S/D, diikuti Teluk Bayur pada curah cair dengan realisasi sebesar 5.154 T/S/D atau lebih tinggi 39% dari RKAP sebesar 3.718 T/S/D, capaian ini juga diikuti di Cabang Banten dengan realisasi sebesar 3.560 T/S/D lebih tinggi 32% dari target RKAP sebesar 2.704 T/S/D. Bengkulu menorehkan hasil impresif pada curah kering sebesar 7.274 T/S/D atau lebih tinggi 63% dari target sebesar 4.472 T/S/D.

    Peningkatan Layanan Terminal Kijing Kalimantan Barat

    Sejak dikelola PTP Nonpetikemas pada 1 Agustus 2022, Terminal Kijing di Mempawah berkembang menjadi simpul logistik strategis dengan kapasitas hingga 15 kapal, fasilitas modern untuk menangani berbagai komoditas nonpetikemas, serta peran vital dalam mendukung rantai pasok Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Mempawah dan ekspor produk turunan CPO yang ditopang ekosistem sawit regional. Kinerjanya terus menanjak dengan throughput yang tumbuh dari 2,27 juta ton pada 2023 menjadi 3,09 juta ton pada 2024, diproyeksikan menembus 4 juta ton pada 2025 dimana hingga Oktober 2025 telah mencapai 3,9 juta ton, didominasi curah kering sebesar 2,049 juta ton dengan lonjakan pertumbuhan 342 persen dan produktivitas rata-rata 3.620 ton per ship per day.

    Fokus pada Penerapan HSSE dan GCG

    Tak hanya berfokus pada kinerja keuangan dan operasional, PTP Nonpetikemas juga berhasil mempertahankan predikat zero accident hingga Oktober 2025. Keberhasilan ini menjadi bukti nyata penerapan standar Health, Safety, Security, and Environment (HSSE) yang konsisten di seluruh cabang, melalui berbagai inisiatif peningkatan budaya keselamatan kerja, pelatihan rutin, serta pengawasan ketat terhadap prosedur operasi. Dalam implementasi Good Corporate Governance (GCG) konsisten menerapkan prinsip GCG untuk mewujudkan tata kelola perusahaan yang profesional, berintegritas, dan berdaya saing tinggi.

    Indra Hidayat Sani Direktur Utama PT Pelabuhan Tanjung Priok, menyampaikan bahwa capaian positif ini merupakan hasil sinergi seluruh insan perusahaan dalam menjalankan transformasi secara konsisten dan berintegritas.

    “Pencapaian hingga Oktober 2025 ini menunjukkan bahwa arah transformasi yang kami jalankan sudah berada di jalur yang tepat. Kami tidak hanya berfokus pada pertumbuhan volume, tetapi juga memastikan setiap proses bisnis berjalan dengan aman, efisien, dan sesuai prinsip tata kelola yang baik. Ke depan, PTP Nonpetikemas akan terus memperkuat kapabilitas operasional dan inovasi layanan untuk memberikan nilai tambah bagi pelanggan dan pemangku kepentingan,” ujar Indra

    Dengan kombinasi kinerja operasional yang solid, komitmen terhadap keselamatan kerja, serta penerapan tata kelola perusahaan yang baik, PTP Nonpetikemas optimistis dapat mempertahankan tren pertumbuhan positif hingga akhir 2025.

    Peduli PTP Nonpetikemas Lewat TJSL

    Sebagai wujud komitmen terhadap Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), PTP Nonpetikemas merealisasikan sejumlah program di bidang Pengembangan Usaha Kecil Menengah (UMK), pendidikan, lingkungan dan sosial. Sejumlah inisiatif juga dijalankan sebagai bagian dari creating shared value (CSV), di antaranya melalui program TJSL PTP EduPort: Magang Berkarya & Inovasi Bersama di Terminal Kijing serta program Bantuan Pendidikan, Pelatihan, dan Sertifikasi Pekerja Harian. Selain itu, PTP Nonpetikemas turut menyalurkan bantuan berupa Alat Pelindung Diri (APD) serta melaksanakan pelatihan HSSE melalui program PTP Peduli K3 di seluruh cabang, guna meningkatkan keselamatan dan awareness bagi tenaga kerja bongkar muat di lingkungan perusahaan.

  • KBRI Astana Jajaki Kolaborasi dengan ERG Kazakhstan untuk Penghiliran Mineral

    KBRI Astana Jajaki Kolaborasi dengan ERG Kazakhstan untuk Penghiliran Mineral

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia dan Kazakhstan berkomitmen untuk meningkatkan kerja sama bidang penghiliran mineral melalui penjajakan dengan Eurasian Resources Group (ERG) Kazakhstan.

    ERG merupakan salah satu perusahaan pertambangan dan energi yang berpusat di Kazakhstan dan Luxembourg. Investasi perusahaan ERG di Kazakhstan sekitar US$15 miliar dan pemerintah Kazakhstan memiliki 40% saham di ERG.  ERG juga beroperasi di Kongo (Afrika) dan Brasil.

    Duta Besar RI untuk Kazakhstan dan Tajikistan M. Fadjroel Rachman memimpin langsung kunjungan delegasi ERG di Indonesia pada 19—30 November 2025. Sejumlah perusahaan yang dikunjungi delegasi ERG yakni PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum di Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, PT BAI Smelter-Grade Alumina Refinery di Mempawah, Kalimantan Barat, dan PT Aneka Tambang Tbk. di Tayan, Kalimantan Barat.

    “Kami sangat kagum dengan profesionalitas dan prestasi kerja ketiga Badan Usaha Milik Negara [BUMN] yang semuanya dikerjakan putera-puteri Indonesia,” ujar Fadjroel dalam keterangan resmi, Jumat (5/11/2025).

    Dubes Fadjroel menegaskan bahwa kunjungan delegasi ERG merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo dan Menlu Sugiono dalam rangka diplomasi ekonomi Indonesia di KBRI Astana guna mendukung penghiliran dan investasi hijau sesuai Asta Cita.

    “Arahan prioritas kerja Menteri Luar Negeri, Sugiono untuk mendorong diplomasi ketahanan nasional serta diplomasi ekonomi Pancasila,” ujar mantan Komisaris Utama Adhi Karya dan komisaris Waskita tersebut.

    Wakil Direktur Utama (Deputy CEO) Bidang Keuangan ERG Daniyar Ravshanovich Rakhmatullayev mengapresiasi pelayanan dan berbagai informasi terkait dengan peluang kerja sama di Indonesia.

    Dalam menunjukkan keseriusan ERG dalam membangun kerja sama strategis di Indonesia, Daniyar membawa tim lengkap di antaranya Gulnur Kanybekovna Abienova sebagai Direktur Jenderal JSC Aluminium Kazakhstan, Vladimir Nikolaevich Krasnoyarskiy sebagai Kepala Riset dan Rekayasa, Petr Petrovich Gorovoy sebagai Kepala Hidrometalurgi, dan Murat Bakhtybekovich Zhumabayef sebagai Direktur Produksi.

    “Semoga rencana kerja sama strategis antara ERG dengan MIND ID, PT Inalum, PT BAI, dan PT Antam dapat terwujud dalam waktu dekat,” ujar Daniyar.

    Kunjungan ERG di ini sekaligus untuk memperkuat finalisasi Nota Kesepahaman (MoU) kerja sama bilateral di bidang mineral antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia (ESDM) dengan Kementerian Perindustrian dan Konstruksi Kazakhstan.

    Dirjen Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan bahwa kebijakan dan prioritas pemerintah Indonesia saat ini adalah penghiliran pada sektor mineral, serta membuka luas peluang investasi dan kolaborasi antara Indonesia dan Kazakhstan.

    Sementara itu, Direktur Utama PT Inalum Melati Sarnita meyakini bahwa ERG sebagai sebuah grup sumber daya alam global mempunyai potensi besar memperkuat industri mineral Indonesia serta meningkatkan nilai tambah dan daya saing industri mineral Indonesia di pasar dunia.

    Sejumlah anggota legislatif juga mendukung adanya penjajakan kerja sama dengan ERG. Dalam pertemuan di Kalimantan Barat, turut hadir Anggota DPR RI Komisi XII Gulam Muhammad Sharon dari Fraksi Nasdem, Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Syarief Abdullah Alkadrie dari Fraksi Nasdem,  Wakil Ketua Komisi II DPR RI Bahtra Banong dari Fraksi Gerindra, serta Anggota Komisi II DPR RI Ujang Bey dari Fraksi Nasdem.

    Sharon menyampaikan dukungan peningkatan diplomasi ekonomi antara Indonesia dengan Kazakhstan dan Tajikistan. “Sebagai anggota DPR RI daerah pemilihan Kalimantan Barat yang membidani urusan Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM], lingkungan hidup, dan investasi, saya akan mendukung penuh penguatan kerja sama ekonomi antara Indonesia dengan Kazakhstan dan Tajikistan,” ucap politisi muda Kalbar tersebut.

  • Harga Patokan Ekspor Tembaga Naik Jadi USD 5.462 per Ton, Apa Pemicunya?

    Harga Patokan Ekspor Tembaga Naik Jadi USD 5.462 per Ton, Apa Pemicunya?

    Upaya hilirisasi yang tengah dijalankan pemerintah dinilai sudah menunjukkan kemajuan, terutama pada sektor tembaga dan nikel. Namun, proses tersebut perlu dijalankan dengan hati-hati dan berorientasi pada kualitas agar tidak sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

    Hingga kuartal III/2025, kebijakan hilirisasi kembali menjadi penyokong utama pencapaian target investasi nasional.

    Data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat total realisasi investasi di sektor hilirisasi mencapai Rp150,6 triliun atau 30,6% dari total investasi.

    Angka tersebut mengalami lonjakan sebesar 64,6% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal ini menegaskan bahwa strategi hilirisasi sebagai fondasi penting dalam membangun nilai tambah di dalam negeri.

    Di samping itu, sektor mineral menjadi penyumbang investasi terbesar dengan capaian Rp 97,8 triliun, diikuti sektor perkebunan dan kehutanan Rp35,9 triliun, minyak dan gas bumi Rp15,4 triliun, serta perikanan dan kelautan Rp1,5 triliun.

    ”Dalam pencapaian target itu yang paling penting tidak hanya dari segi angka tapi juga dari segi investasi yang berkualitas,” ujar Menteri Investasi dan Hilirisasi/BKPM Rosan Roeslani, dikutip Rabu (22/10/2025).

    Rosan menambahkan bahwa pemerintah akan terus memastikan setiap investasi yang masuk memberikan dampak positif, terutama dalam penciptaan lapangan kerja, serta merupakan investasi berkelanjutan yang berkontribusi pada pengembangan sumber daya manusia di Indonesia.

    Langkah ini sejalan dengan mandat yang diemban oleh Holding Industri Pertambangan, MIND ID, yang berperan vital dalam menjaga kualitas dan keberlanjutan proses hilirisasi nasional.

    MIND ID yang memiliki peran sentral untuk memastikan integrasi rantai pasok hilirisasi seluruh mineral strategis Indonesia dari hulu ke hilir, melalui anggota holding, tidak hanya berfokus pada produksi bahan baku mentah, tetapi juga berinvestasi pada pembangunan infrastruktur pengolahan lanjutan.

    Sebut saja seperti smelter tembaga dan fasilitas Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, guna mengintegrasikan pengolahan mineral dari hulu ke hilir di dalam negeri dan menjadi fondasi untuk industrialisasi guna meningkatkan nilai tambah dalam negeri.

  • Izin Smelter Nikel Baru Dimoratorium, Pengusaha Pede Hilirisasi Makin Ngebut

    Izin Smelter Nikel Baru Dimoratorium, Pengusaha Pede Hilirisasi Makin Ngebut

    Bisnis.com, JAKARTA — Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menyebut kebijakan moratorium atau penangguhan smelter nikel khususnya yang menghasilkan ferronickel, nickel matte, nickel pig iron (NPI), hingga mixed hydroxide precipitate (MHP) akan memperluas arah hilirisasi.

    Kebijakan yang tertuang lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko itu mendorong pelaku usaha untuk membangun smelter dengan produksi pengolahan nikel lainnya. 

    Ketua Umum FINI Arif Perdanakusumah mengatakan, kebijakan tersebut tak hanya memperdalam hilirisasi, tetapi juga menjaga stabilitas kapasitas produksi smelter saat ini yang mengalami oversupply atau kelebihan pasokan. 

    “Tapi yang menjadi isu dari PP 28/2025 ini adalah ada beberapa perusahaan yang memang sudah melakukan investasi, makanya diperlukanlah kebijakan dari pemerintah,” kata Arif saat ditemui Bisnis, Kamis (27/11/2025) 

    FINI mencatat terdapat investasi smelter nikel mencapai US$56 miliar atau setara Rp932 triliun pada periode 2026-2029 yang akan menciptakan lapangan pekerjaan hingga 50.000 pekerja. 

    Untuk itu, pengusaha menantikan penyesuaian dan kepastian hukum untuk keberlanjutan investasi yang telah masuk dan sedang dalam tahap konstruksi tersebut. 

    Arif mengungkapkan FINI telah melakukan koordinasi dengan berbagai kementerian terkait untuk mencari solusi. Pemerintah pun disebut memberi sinyal positif terhadap penanganan masalah tersebut.

    “Nah, terkait itu kami sudah berkoordinasi dengan Kemenko Ekonomi, Kemenperin, juga BKPM dan ya ada kabar gembira tentunya terkait dengan ini ya,” jelasnya. 

    Namun, Arif tak membeberkan kabar tersebut lebih lanjut. Dalam hal ini, pemerintah berupaya bersikap adil dengan tetap menjaga arah kebijakan hilirisasi, tetapi juga memastikan kepastian hukum bagi investor yang sedang membangun fasilitas pengolahan.

    Terkait minat investor baru, Arif menjelaskan bahwa arah investasi global di sektor nikel kini cenderung bergerak ke rantai produksi yang lebih hilir. Dia menyebut, tren tersebut sejalan dengan tujuan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah.

    “Iya sebetulnya kan kalau kita lihat tren investor terkait dengan investasi ini, di industri nikel ini mereka melihatnya sudah lebih jauh lagi yaitu rantai produksinya itu sampai ke advanced material gitu kan,” ujarnya.

    Menurut Arif, kebijakan penghentian sementara smelter produk antara dapat menjadi langkah tepat untuk membuka peluang industri hilir tumbuh di dalam negeri. 

    Apalagi, selama ini Indonesia masih mengekspor produk intermediate atau barang setengah jadi dan kembali mengimpor barang jadi dengan harga lebih tinggi.

    “Negara lain mengolah itu jadi barang jadi masuk ke Indonesia dengan harga lebih tinggi. Karena memang nilai tambahnya di situ. Nah, dengan kebijakan ini ya itu yang akan dicapai oleh pemerintah sebetulnya,” pungkasnya.

  • Izin Smelter Nikel Baru Dimoratorium, Pengusaha Pede Hilirisasi Makin Ngebut

    Izin Smelter Nikel Baru Dimoratorium, Pengusaha Pede Hilirisasi Makin Ngebut

    Bisnis.com, JAKARTA — Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menyebut kebijakan moratorium atau penangguhan smelter nikel khususnya yang menghasilkan ferronickel, nickel matte, nickel pig iron (NPI), hingga mixed hydroxide precipitate (MHP) akan memperluas arah hilirisasi.

    Kebijakan yang tertuang lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko itu mendorong pelaku usaha untuk membangun smelter dengan produksi pengolahan nikel lainnya. 

    Ketua Umum FINI Arif Perdanakusumah mengatakan, kebijakan tersebut tak hanya memperdalam hilirisasi, tetapi juga menjaga stabilitas kapasitas produksi smelter saat ini yang mengalami oversupply atau kelebihan pasokan. 

    “Tapi yang menjadi isu dari PP 28/2025 ini adalah ada beberapa perusahaan yang memang sudah melakukan investasi, makanya diperlukanlah kebijakan dari pemerintah,” kata Arif saat ditemui Bisnis, Kamis (27/11/2025) 

    FINI mencatat terdapat investasi smelter nikel mencapai US$56 miliar atau setara Rp932 triliun pada periode 2026-2029 yang akan menciptakan lapangan pekerjaan hingga 50.000 pekerja. 

    Untuk itu, pengusaha menantikan penyesuaian dan kepastian hukum untuk keberlanjutan investasi yang telah masuk dan sedang dalam tahap konstruksi tersebut. 

    Arif mengungkapkan FINI telah melakukan koordinasi dengan berbagai kementerian terkait untuk mencari solusi. Pemerintah pun disebut memberi sinyal positif terhadap penanganan masalah tersebut.

    “Nah, terkait itu kami sudah berkoordinasi dengan Kemenko Ekonomi, Kemenperin, juga BKPM dan ya ada kabar gembira tentunya terkait dengan ini ya,” jelasnya. 

    Namun, Arif tak membeberkan kabar tersebut lebih lanjut. Dalam hal ini, pemerintah berupaya bersikap adil dengan tetap menjaga arah kebijakan hilirisasi, tetapi juga memastikan kepastian hukum bagi investor yang sedang membangun fasilitas pengolahan.

    Terkait minat investor baru, Arif menjelaskan bahwa arah investasi global di sektor nikel kini cenderung bergerak ke rantai produksi yang lebih hilir. Dia menyebut, tren tersebut sejalan dengan tujuan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah.

    “Iya sebetulnya kan kalau kita lihat tren investor terkait dengan investasi ini, di industri nikel ini mereka melihatnya sudah lebih jauh lagi yaitu rantai produksinya itu sampai ke advanced material gitu kan,” ujarnya.

    Menurut Arif, kebijakan penghentian sementara smelter produk antara dapat menjadi langkah tepat untuk membuka peluang industri hilir tumbuh di dalam negeri. 

    Apalagi, selama ini Indonesia masih mengekspor produk intermediate atau barang setengah jadi dan kembali mengimpor barang jadi dengan harga lebih tinggi.

    “Negara lain mengolah itu jadi barang jadi masuk ke Indonesia dengan harga lebih tinggi. Karena memang nilai tambahnya di situ. Nah, dengan kebijakan ini ya itu yang akan dicapai oleh pemerintah sebetulnya,” pungkasnya.