Produk: SBSN

  • Makin Cuan! Investasi SR023T3 dan SR023T5 Dapatkan Kupon hingga 5,95 persen Per Tahun dan Cashback Belasan Juta Rupiah dengan Pemesanan Lewat BRImo

    Makin Cuan! Investasi SR023T3 dan SR023T5 Dapatkan Kupon hingga 5,95 persen Per Tahun dan Cashback Belasan Juta Rupiah dengan Pemesanan Lewat BRImo

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk kembali dipercaya sebagai mitra distribusi Sukuk Ritel Seri SR023T3 dan SR023T5, instrumen investasi syariah yang diterbitkan pemerintah untuk masyarakat Indonesia. Sebagai bagian dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) ritel, SR023T3 dan SR023T5menjadi pilihan investasi aman dan menguntungkan sesuai dengan prinsip syariah. Terlebih, khusus bagi investor tersedia program hadiah langsung berupa cashback hingga Rp17 juta.

    Pada tahun ini, pemerintah menawarkan dua seri Sukuk Ritel, yakni SR023T3 dengan tenor 3 tahun berkupon tetap 5,80% per tahun, serta SR023T5 dengan tenor 5 tahun berkupon 5,95% per tahun. Masa pemesanan berlangsung mulai 22 Agustus hingga 15 September 2025.

    SBSN Ritel pun memiliki kredibilitas tinggi karena kupon dan pokok dijamin penuh oleh Undang-Undang. Ditambah lagi, kupon yang bersifat tetap (fixed coupon) akan dibayarkan setiap bulan hingga jatuh tempo, dengan tingkat imbal hasil yang attraktif.

    Menariknya, khusus di periode penawaran ini, tersedia program direct gift cashback hingga Rp17 juta bagi investor yang melakukan pembelian melalui BRIMO dengan fresh fund maupun reinvestasi. Skema reward ini berlaku secara bertingkat sesuai nominal investasi, mulai dari Rp100 juta hingga Rp10 miliar. Program berlangsung sepanjang masa pemesanan, yakni dari 22 Agustus hingga 15 September 2025.

    Corporate Secretary BRI Dhanny mengatakan bahwa peran BRI sebagai mitra pemerintah dalam memasarkan produk sukuk tak terlepas dari komitmen perseroan menghadirkan peluang investasi yang kompetitif sekaligus berkontribusi langsung pada pembangunan negara. Adapun sesuai ketentuan pemerintah, masyarakat dapat berinvestasi mulai dari Rp1 juta dan kelipatannya. Melalui peran tersebut, BRI juga berupaya terus mendorong pertumbuhan inklusi keuangan di Indonesia. “Ke depan, BRI akan terus berkomitmen menyediakan alternatif investasi yang sangat menarik dan aman bagi masyarakat”, ujar Dhanny.

  • Rupiah Masih Lesu terhadap Dolar AS, Investor Antisipasi Pidato Ketua The Fed – Page 3

    Rupiah Masih Lesu terhadap Dolar AS, Investor Antisipasi Pidato Ketua The Fed – Page 3

    Pemerintah berencana menarik utang baru senilai Rp 781,87 triliun pada 2026. Hal ini terungkap dalam Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN 2026. Dalam RAPBN tahun anggaran 2026, pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp 781,868 miliar yang akan dipenuhi melalui penerbitan SBN dan penarikan pinjaman.

    Adapun, pembiayaan utang berasal dari SBN a.l. Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)/Sukuk Negara. Sementara itu, pinjaman pemerintah terdiri dari pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri. Pemerintah mengklaim pengelolaan utang dipastikan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, mengutamakan pembiayaan inovatif dan berkelanjutan.

    Dalam RAPBN 2026, pembiayaan utang dari SBN mencapai Rp 749,19 triliun atau naik jika dibandingkan outlook 2025. Kemudian, pembiayaan pinjaman (neto) pada 2026 direncanakan sebesar Rp 32,67 triliun atau turun 74,9% dibandingkan outlook 2025.

     

  • Rupiah ditutup melemah di tengah pasar cermati arah kebijakan The Fed

    Rupiah ditutup melemah di tengah pasar cermati arah kebijakan The Fed

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Rupiah ditutup melemah di tengah pasar cermati arah kebijakan The Fed
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 19 Agustus 2025 – 18:57 WIB

    Elshinta.com – Pengamat mata uang sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi menilai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS seiring pelaku pasar mencermati arah kebijakan suku bunga acuan The Fed.

    Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan Selasa sore, melemah sebesar 47,50 poin atau 0,29 persen menjadi Rp16.245 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.198 per dolar AS.

    “Fokus pasar minggu ini adalah risalah rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang akan dirilis pada Rabu (20/8/2025), dan pidato Ketua Fed Jerome Powell di simposium Jackson Hole pada Jumat (22/8/2025), yang keduanya dapat memberikan petunjuk baru tentang prospek kebijakan moneter The Fed,” ujar Ibrahim dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa.

    Dari mancanegara, pidato Ketua The Fed Jerome Powell akan menjadi perhatian pelaku pasar dalam pertemuan para pejabat bank sentral dunia pada Simposium Jackson Hole di AS tanggal 21-23 Agustus 2025.

    Selanjutnya, pelaku pasar juga akan memperhatikan pidato Jerome Powell pada pertemuan The Federal Open Market Committee (FOMC) Minutes pada Kamis (21/08) pekan ini.

    Berdasarkan laporan FedWatch CME, ada kemungkinan sebesar 83 persen The Fed akan memangkas suku bunga.

    Di sisi lain, pelaku pasar mencermati Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menjamu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy di Gedung Putih pada Senin (18/8/2025), didampingi oleh para pemimpin dari negara-negara besar Eropa dalam sebuah pertemuan puncak berisiko tinggi yang bertujuan untuk merintis jalan menuju berakhirnya perang Rusia di Ukraina.

    Dalam pernyataan publik, Trump berjanji bahwa AS akan membantu menjamin keamanan Ukraina sebagai bagian dari penyelesaian damai apa pun, meskipun tidak merinci bentuk atau cakupan jaminan tersebut.

    Trump mengatakan telah mulai mengatur pertemuan antara Volodymyr Zelenskiy dari Ukraina dan Vladimir Putin dari Rusia, dan mengusulkan diskusi tiga arah berikutnya, menjaga harapan tetap hidup untuk jalur menuju negosiasi.

    Para pemimpin Eropa di Washington mendesak gencatan senjata terlebih dahulu, sementara Trump mengisyaratkan dukungan untuk jaminan keamanan yang dipimpin Eropa bagi Kyiv.

    Dari dalam negeri, pemerintah berencana menarik utang baru senilai Rp781,87 triliun pada 2026, yang terungkap dalam Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN 2026.

    Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)Tahun Anggaran (TA) 2026, pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp781,868 miliar yang akan dipenuhi melalui penerbitan SBN dan penarikan pinjaman.

    Adapun pembiayaan utang berasal dari Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)/Sukuk Negara.

    Dalam RAPBN 2026, pembiayaan utang dari SBN mencapai Rp749,19 triliun atau naik apabila dibandingkan outlook 2025. Kemudian, pembiayaan pinjaman (neto) pada 2026 direncanakan sebesar Rp 32,67 triliun atau turun 74,9 persen dibandingkan outlook 2025.

    Pada hari ini, digelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang akan memberikan asesmen terhadap kondisi perekonomian global serta domestik, termasuk setelah data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 mengejutkan pasar dengan capaian laju PDB 5,12 persen.

    Konsensus memperkirakan BI akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level saat ini yaitu 5,25 persen.

    Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada hari ini, juga melemah ke level Rp16.241 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.162 per dolar AS.

    Sumber : Antara

  • Pemerintah Bakal Tarik Utang Baru Rp 781,87 Triliun di 2026

    Pemerintah Bakal Tarik Utang Baru Rp 781,87 Triliun di 2026

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berencana menarik utang baru senilai Rp 781,87 triliun pada 2026. Hal ini terungkap dalam Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN 2026.

    “Dalam RAPBN tahun anggaran 2026, pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp 781,868 miliar yang akan dipenuhi melalui penerbitan SBN dan penarikan pinjaman,” tulis pemerintah dalam buku tersebut, dikutip Selasa (19/8/2025).

    Adapun, pembiayaan utang berasal dari SBN a.l. Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)/Sukuk Negara. Sementara itu, pinjaman pemerintah terdiri dari pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri.

    Pemerintah mengklaim pengelolaan utang dipastikan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, mengutamakan pembiayaan inovatif dan berkelanjutan.

    Dalam RAPBN 2026, pembiayaan utang dari SBN mencapai Rp 749,19 triliun atau naik jika dibandingkan outlook 2025.

    Kemudian, pembiayaan pinjaman (neto) pada 2026 direncanakan sebesar Rp 32,67 triliun atau turun 74,9% dibandingkan outlook 2025.

    “Pinjaman neto tersebut akan dipenuhi melalui pinjaman dalam negeri neto sebesar negatif Rp 6.535,5 miliar (Rp 6,53 triliun) dan pinjaman luar negeri neto sebesar Rp 39.210,6 miliar (Rp 39,21 triliun),” tulis pemerintah.

    Data pembiayaan utang dalam lima tahun terakhir (2021-2026):

    2021: Rp 870,5 triliun
    2022: Rp 696 triliun
    2023: Rp 404 triliun
    2024: Rp 558,1 triliun
    2025 (outlook): Rp 715,5 triliun
    RAPBN 2026: Rp 781,9 triliun

    Foto: (Dok. Buku II Nota Keuangan)
    (Dok. Buku II Nota Keuangan)

    (arj/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ini 4 Catatan Ekonom ke Sri Mulyani Sebelum Lanjutkan Efisiensi APBN Lagi

    Ini 4 Catatan Ekonom ke Sri Mulyani Sebelum Lanjutkan Efisiensi APBN Lagi

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan melanjutkan efisiensi belanja seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN. Terdapat beberapa catatan yang harus diperhatikan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto guna memastikan efisiensi berjalan pada jalur yang benar. 

    Untuk diketahui, PMK tersebut mengatur ihwal efisiensi belanja yang ditujukan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah. 

    Menariknya di dalam beleid itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos yang diefisiensi kalau membandingkannya dengan jumlah yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Adapun kalau merujuk beleid baru tersebut, pos-pos anggaran yang kena efisiensi antara lain alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan.

    Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede memberikan empat poin catatan bagi pemerintah untuk melaksanakan efisiensi belanja ke depannya. Pertama, penerapan efisiensi jangan diberlakukan secara keseluruhan di seluruh pos anggaran atau across-the-board. 

    Sebab, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/2025 yang menjadi acuan efisiensi belanja pemerintah pada awal tahun ini memasukkan pembangunan infrastruktur dan pengadaan peralatan/mesin ke dalam area identifikasi.

    “Sehingga ada risiko salah sasaran bila pemangkasan tak berbasis output,” jelas Josua kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).

    Kedua, percepatan realokasi dan lelang agar pergeseran ke belanja modal atau capital expenditure (capex) tidak menimbulkan pengeluaran yang rendah (low disbursement) pada paruh kedua. Josua mewanti-wanti pemerintah agar menggunakan mekanisme ‘blokir-buka’ anggaran yang cepat, bukan penahanan berkepanjangan.

    Ketiga, layanan dasar yang meliputi pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, serta proyek yang didanai skema khusus seperti pinjaman/hibah/BLU/SBSN sesuai koridor Inpres/PMK. 

    Keempat, penguatan terhadap reviu belanja secara kuartalan berbasis kinerja. Hal itu termasuk koordinasi dengan daerah saat penyesuaian transfer ke daerah (TKD). 

    “Agar efisiensi benar-benar menekan biaya input seremonial/operasional, bukan mengorbankan output pelayanan publik atau serapan capex yang menopang investasi,” ujar Josua.

    Menurut pengamatan Josua, arah kebijakan efisiensi yang diatur pada PMK No.56/2025 dalam melanjutkan mandat Inpres No.1/2025 itu relatif tepat sasaran. Sebab, PMK yang baru diterbitkan Sri Mulyani pada akhir Juli lalu itu secara eksplisit menyasar pos-pos dengan efek berganda atau multiplier effect rendah di belanja barang/jasa dan sebagian belanja modal (perjalanan dinas, rapat/semiloka, sewa, jasa profesional, iklan/publikasi, pengadaan kendaraan, percetakan/souvenir, dan lain-lain).

    Di sisi lain, efisiensi yang dicanangkan pemerintah itu dinilai sambil tetap melindungi belanja pegawai dan bantuan sosial. 

    Sebagai informasi, Inpres No.1/2025 yang diterbitkan Presiden Prabowo sebelumnya menargetkan efisiensi total Rp306,7 triliun, yang meliputi anggaran kementerian/lembaga Rp256,1 triliun, serta Rp50,6 triliun pada TKD. 

    Efisiensi pada PMK itu juga, lanjut Josua, memprioritaskan agar pemangkasan tidak berasal dari pinjaman/hibah, Rupiah Murni Pendamping, PNBP-BLU yang disetor ke kas negara, maupun proyek yang menjadi underlying SBSN—sehingga ruang fiskal dialihkan ke program prioritas Presiden tanpa menurunkan layanan dasar.

    Di sisi lain, PMK baru itu juga merinci 15 jenis belanja sebagai objek efisiensi yang dinilai teknisnya untuk mendorong “value for money”.

    Belum Ada Penjelasan Rinci Efisiensi Anggaran Lanjutan

    Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara masih enggan menjelaskan lebih lanjut perincian efisiensi APBN yang dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto setelah pelaksanaan pertama di awal tahun ini. 

    Namun demikian, Suahasil menjelaskan bahwa kementeriannya bakal mengumumkan lebih lanjut soal implementasi PMK tersebut. Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu menuturkan, efisiensi akan terus dilakukan karena merupakan keinginan setiap lembaga. 

    “Kalau efisiensi kan memang sudah menjadi keinginan kita setiap lembaga. Terus mencari efisiensi dalam anggaran. Jadi lanjut terus aja, dalam pelaksanaan, dalam perencanaan,” tuturnya di Istana Kepresidenan. 

    Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, PMK Nomor 56/2025 itu mengatur bahwa anggaran belanja yang terdampak efisiensi antara lain anggaran belanja kementerian atau lembaga, dan efisiensi transfer ke daerah. 

    “Hasil efisiensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) utamanya digunakan untuk kegiatan prioritas Presiden yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” tertulis dalam beleid itu, dikutip pada Rabu (6/8/2025).

    Menariknya di dalam beleid itu, Sri Mulyani tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos yang terkena efisiensi kalau membandingkannya dengan jumlah yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Meski demikian, aturan baru tersebut belum menyebut secara spesifik berapa nilai besaran anggaran yang terdampak efisiensi. PMK itu hanya menekankan bahwa Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menyesuaikan item anggaran yang terkena efisiensi sesuai arahan presiden. 

    Selain itu, meski tetap merujuk kepada kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh presiden, Menteri Keuangan berhak menetapkan besaran efisiensi anggaran dan menyampaikannya kepada masing-masing kementerian dan lembaga.

  • Kurva Terbalik Efisiensi Anggaran, Defisit APBN Justru Membengkak

    Kurva Terbalik Efisiensi Anggaran, Defisit APBN Justru Membengkak

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara agresif melakukan efisiensi belanja untuk mendukung program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Ironisnya, aksi gencar efisiensi belanja itu dilakukan ketika outlook defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 terkerek naik dari 2,53% menjadi 2,78% dari produk domestik bruto (PDB).

    Pelebaran ruang fiskal di tengah beban anggaran yang cukup besar dan penerimaan pajak yang terkontraksi hingga 7% pada semester 1/2025, tentu berisiko. Outlook defisit anggaran yang mencapai 2,78% dari PDB juga tercatat tertinggi dalam tiga tahun terakhir.

    Risiko lainnya, pemerintah harus menambah utang yang diperkirakan mencapai Rp772,9 triliun sampai akhir tahun. Meski lebih rendah dari target senilai Rp775,9 triliun, outlook utang pemerintah 2025 diperkirakan mengerek rasio utang terhadap PDB hingga 41,6%. Alhasil, sebagai jalan pintas, pemerintah kemudian menggunakan sisa anggaran lebih alias SAL tahun 2024 senilai Rp85,6 triliun untuk meminimalkan risiko fiskal akibat pembengkakan utang dan menjaga defisit di bawah 3% dari PDB.

    Di sisi lain, melalui implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 yang mengatur efisiensi belanja, pemerintah sejatinya telah memberikan sinyal bahwa efisiensi anggaran kemungkinan terjadi lebih radikal atau sebaliknya, karena dalam Pasal 4 ayat 6 PMK tersebut, pelaksanaan efisiensi akan memperhitungkan penerimaan pajak secara keseluruhan.

    “PMK ini menegaskan bahwa pelaksanaan kebijakan efisiensi harus mempertimbangkan pencapaian target penerimaan perpajakan secara keseluruhan,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro kepada Bisnis belum lama ini.

    Aturan PMK Efisiensi

    Sekadar informasi bahwa pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN.

    Lewat aturan tersebut, Kemenkeu menekankan bahwa efisiensi belanja dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah. Cakupan anggaran belanja yang terdampak efisiensi antara lain anggaran belanja kementerian atau lembaga, dan efisiensi transfer ke daerah. 

    Menariknya di dalam beleid itu, Sri Mulyani tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan item belanja kena efisiensi dari 16 menjadi 15 pos dibandingkan yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Adapun kalau merujuk beleid baru tersebut, pos-pos anggaran yang kena efisiensi antara lain, alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan. Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

    Meski demikian, aturan baru tersebut juga tidak menyebut secara spesifik berapa nilai besaran anggaran yang terdampak efisiensi. PMK itu hanya menekankan bahwa Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menyesuaikan item anggaran yang terkena efisiensi sesuai arahan presiden. 

    Selain itu, meski tetap merujuk kepada kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh presiden, aturan itu memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan besaran efisiensi anggaran dan menyampaikannya kepada masing-masing kementerian atau lembaga. 

    Catatan Ekonom Soal Efisiensi

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede memberikan empat poin catatan bagi pemerintah untuk melaksanakan efisiensi belanja ke depannya. Pertama, penerapan efisiensi jangan diberlakukan secara keseluruhan di seluruh pos anggaran atau across-the-board. 

    Sebab, Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 yang menjadi acuan efisiensi belanja pemerintah pada awal tahun ini memasukkan pembangunan infrastruktur dan pengadaan peralatan/mesin ke dalam area identifikasi. “Sehingga ada risiko salah sasaran bila pemangkasan tak berbasis output,” jelas Josua.

    Kedua, percepatan realokasi dan lelang agar pergeseran ke belanja modal atau capital expenditure (capex) tidak menimbulkan pengeluaran yang rendah (low disbursement) di paruh kedua. Josua mewanti-wanti pemerintah agar menggunakan mekanisme ‘blokir-buka’ anggaran yang  yang cepat, bukan penahanan berkepanjangan. 

    Ilustrasi pembangunan

    Ketiga, layanan dasar yang meliputi pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, serta proyek yang didanai skema khusus seperti pinjaman/hibah/BLU/SBSN sesuai koridor Inpres/PMK. Keempat, penguatan terhadap reviu belanja secara kuartalan berbasis kinerja. Hal itu termasuk koordinasi dengan daerah saat penyesuaian transfer ke daerah (TKD). 

    “Agar efisiensi benar-benar menekan biaya input seremonial/operasional, bukan mengorbankan output pelayanan publik atau serapan capex yang menopang investasi,” ujar Josua.

    Menurut pengamatan Josua, arah kebijakan efisiensi yang diatur pada PMK No.56/2025 dalam melanjutkan mandat Inpres No.1/2025 itu relatif tepat sasaran. Sebab, PMK yang baru diterbitkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhir Juli lalu itu secara eksplisit menyasar pos-pos dengan efek berganda atau multiplier effect rendah di belanja barang/jasa dan sebagian belanja modal (perjalanan dinas, rapat/semiloka, sewa, jasa profesional, iklan/publikasi, pengadaan kendaraan, percetakan/souvenir, dan lain-lain).

    Penerimaan Pajak Jadi Kunci

    Sementara itu, peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan bahwa defisit anggaran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tahun depan, pemerintah akan melanjutkan sejumlah program unggulan atau prioritas yang mulai dijalankan tahun ini.

    Program tersebut menurutnya juga akan mengalami penyesuaian target penerima, yang berpotensi bertambah. Peningkatan jumlah penerima ini akan mendorong kebutuhan anggaran lebih besar untuk belanja prioritas.

    Di sisi lain, tantangan pada pos penerimaan pajak diperkirakan masih akan berlanjut tahun depan. Indikator tax buoyancy yang rendah menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB belum mampu secara signifikan meningkatkan penerimaan pajak. Kondisi ini dipengaruhi antara lain oleh tingginya tingkat informalitas di sektor usaha serta kebutuhan pemberian insentif pajak.

    Terkait efisiensi, pemerintah akan mengarahkannya pada pos-pos yang tidak berhubungan langsung dengan program prioritas, seperti perjalanan dinas, rapat, seminar, dan belanja barang.

    “Namun, porsi pos-pos ini relatif kecil terhadap total anggaran, sehingga dampak efisiensinya terhadap penurunan belanja secara keseluruhan tidak signifikan. Hal ini karena belanja terbesar tetap dialokasikan untuk program-program utama yang tidak termasuk dalam kebijakan efisiensi.”

  • Syarat dan Daftar 15 Item Belanja yang Kena Sasaran Efisiensi Sri Mulyani

    Syarat dan Daftar 15 Item Belanja yang Kena Sasaran Efisiensi Sri Mulyani

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN.

    Lewat aturan tersebut, Kemenkeu menekankan bahwa efisiensi belanja dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah. Cakupan anggaran belanja yang terdampak efisiensi antara lain anggaran belanja kementerian atau lembaga, dan efisiensi transfer ke daerah. 

    “Hasil efisiensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) utamanya digunakan untuk kegiatan prioritas Presiden yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi beleid yang dikutip, Rabu (6/8/2025).

    Menariknya di dalam beleid itu, Sri Mulyani tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos dibandingkan yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Adapun kalau merujuk beleid baru tersebut, pos-pos anggaran yang kena efisiensi antara lain, alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan.

    Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.

    Meski demikian, aturan baru tersebut juga tidak menyebut secara spesifik berapa nilai besaran anggaran yang terdampak efisiensi. PMK itu hanya menekankan bahwa Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menyesuaikan item anggaran yang terkena efisiensi sesuai arahan presiden. 

    Selain itu, meski tetap merujuk kepada kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh presiden, Menteri Keuangan berhak menetapkan besaran efisiensi anggaran dan menyampaikannya kepada masing-masing kementerian dan lembaga. 

    Beleid efisiensi itu juga memerintahkan kepada kementerian dan lembaga untuk mengidentifikasi rencana efisiensi belanja. Identifikasi rencana efisiensi anggaran belanja dilakukan melalui identifikasi jenis belanja, item belanja, atau sumber dana. Sumber dana yang dimaksud beleid ini bisa dari pinjaman hibah, rumah murni pendamping, PNBP BLU dan SBSN.

    Namun yang jelas dalam beleid baru tersebut, Sri Mulyani menekankan bahwa apabila hasil identifikasi jenis belanja, item belanja, atau sumber dana tidak dapat memenuhi besaran efisiensi, kementerian atau lembaga dapat melakukan penyesuaian.

    Penyesuaian itu dapat dilakukan dengan ketentuan besaran efisiensi anggaran belanja kementerian atau lembaga tidak berubah, memastikan ketersediaan anggaran untuk pemenuhan Belanja Pegawai, Penyelenggaraan Operasional Kantor, Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Dasar, dan pelaksanaan Pelayanan Publik, efisiensi dilakukan pada seluruh item belanja, dan menghindari adanya pengurangan pegawai non aparatur sipil negara yang telah bekerja kecuali karena berakhirnya perikatan kontrak.

    “Rencana efisiensi anggaran belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 disampaikan kepada mitra Komisi Dewan Perwakilan Rakyat terkait untuk mendapat persetujuan, sepanjang dipersyaratkan sesuai dengan kebijakan dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.”

    Selain itu, efisiensi tersebut juga perlu mempertimbangkan pencapaian target penerimaan perpajakan.

  • Sri Mulyani teken aturan baru kebijakan efisiensi anggaran

    Sri Mulyani teken aturan baru kebijakan efisiensi anggaran

    Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjawab pertanyaan wartawan saat ditemui selepas acara Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Rabu (6/8/2025). ANTARA/Genta Tenri Mawangi.

    Sri Mulyani teken aturan baru kebijakan efisiensi anggaran
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 08 Agustus 2025 – 19:08 WIB

    Elshinta.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meneken aturan baru tentang pelaksanaan efisiensi anggaran yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025.

    Pemerintah telah menerapkan kebijakan efisiensi anggaran pada tahun ini sebagaimana arahan Instruksi Presiden (Inpres) 1 Tahun 2025. Kebijakan ini direncanakan berlanjut pada tahun anggaran 2026. Maka, perlu ada aturan untuk mengatur tata cara pelaksanaan efisiensi anggaran.

    “Bahwa untuk pelaksanaan anggaran yang efektif, efisien, dan tepat sasaran, perlu mengambil langkah-langkah pelaksanaan efisiensi belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan tetap memperhatikan prioritas penganggaran berdasarkan arahan Presiden,” demikian bunyi pertimbangan PMK 56/2025 di Jakarta, Jumat.

    Dalam Pasal 2, dijelaskan bahwa efisiensi anggaran itu dilakukan terhadap belanja kementerian/lembaga (K/L) serta transfer ke daerah (TKD).

    Hasil efisiensi anggaran utamanya digunakan untuk kegiatan prioritas Presiden Prabowo Subianto yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh menteri keuangan selaku bendahara umum negara.

    Jenis belanja yang menjadi sasaran efisiensi meliputi belanja barang, belanja modal, atau belanja lainnya sesuai arahan presiden. Sedangkan dari jenis barang, efisiensi dilakukan terhadap:

    Alat tulis kantor
    Kegiatan seremonial
    Rapat, seminar, dan sejenisnya
    Kajian dan analisis
    Diklat dan bimtek
    Honor output kegiatan dan jasa profesi
    Percetakan dan souvenir
    Sewa gedung, kendaraan, dan peralatan
    Lisensi aplikasi
    Jasa konsultan
    Bantuan pemerintah
    Pemeliharaan dan perawatan
    Perjalanan dinas
    Peralatan dan mesin
    Infrastruktur

    Sumber efisiensi anggaran diutamakan yang berasal dari rupiah murni. Bila kebutuhan efisiensi belum terpenuhi dari rupiah murni, maka efisiensi bisa dilakukan terhadap anggaran yang berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), pinjaman dan hibah, rupiah murni pendamping, PNBP badan layanan umum (BLU), dan surat berharga syariah negara (SBSN).

    PMK 56/2025 menegaskan bahwa penyesuaian jenis belanja harus dengan tetap memastikan anggaran untuk kebutuhan belanja pegawai, operasional kantor, pelaksanaan tugas dan fungsi dasar, dan pelayanan publik tetap terpenuhi.

    Selain itu, penyesuaian efisiensi belanja juga diminta untuk menghindari pengurangan pegawai non-aparatur sipil negara (ASN), kecuali karena berakhirnya kontrak atau hasil evaluasi kerja pegawai yang bersangkutan.

    Sedangkan untuk TKD, Pasal 17 PMK 5/2025 menyebutkan efisiensi dilakukan terhadap infrastruktur atau yang diperkirakan untuk infrastruktur, pelaksanaan otonomi khusus dan keistimewaan daerah, transfer yang belum dilakukan perincian alokasi per daerah, transfer yang tidak digunakan untuk layanan pendidikan dan kesehatan, serta transfer lain yang ditentukan.

    TKD yang menjadi anggaran efisiensi dilakukan pencadangan dan tidak disalurkan ke daerah, kecuali ada arahan dari presiden.

    Rincian alokasi TKD dilakukan per provinsi/kabupaten/kota dan/atau per bidang oleh menteri keuangan.

    Sumber : Antara

  • Serapan Anggaran Kemenhub Baru Capai 32% di Semester I-2025

    Serapan Anggaran Kemenhub Baru Capai 32% di Semester I-2025

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Perhubungan mencatatkan realisasi anggaran Rp 8,5 triliun pada semester I 2025. Hal ini disampaikan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi saat menghadiri Rapat Kerja Bersama Komisi V DPR RI di Senayan, Jakarta, Selasa (8/7).

    “Realisasi anggaran Kemenhub hingga tanggal 2 Juli 2025 sebesar Rp 8,5 triliun atau 32,36% dari pagu efektif tahun 2025 sebesar Rp 26,29 triliun,” ujar Dudy.

    Dudy menyampaikan, realisasi anggaran Kemenhub 2025 berasal dari berbagai sumber, yakni Rupiah Murni sebesar Rp 5,58 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 1,09 triliun, Surat Berharga Syariah Negara Rp 682,88 miliar, Badan Layanan Umum (BLU) Rp 658,15 miliar dan Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN) Rp 489,75 miliar.

    Sementara itu per 2 Juli 2025, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Badan Layanan Umum (BLU) Kemenhub mencapai Rp 6,76 triliun atau 60,20% dari target tahun 2025 sebesar Rp 12 triliun.

    Pada kesempatan ini, dia juga menyampaikan realisasi anggaran 2024 sebesar Rp 39,1 triliun dengan realisasi PNBP Rp 12,9 triliun.

    Selanjutnya di tahun anggaran 2026, Kemenhub telah mendapat pagu indikatif sebesar Rp 24,4 triliun.

    “Kementerian Perhubungan mempersiapkan berbagai program strategis untuk mendukung aksesbilitas nasional dan menjamin pelayanan transportasi yang profesional serta berkelanjutan,” lanjut Menhub.

    Dudy menambahkan, dalam upaya menjamin ketersediaan layanan transportasi yang terjangkau dan memastikan keselamatan transportasi di seluruh wilayah Indonesia, Kemenhub mengusulkan kebutuhan tambahan anggaran sebesar Rp 13,25 triliun sehingga total pagu menjadi Rp 37,66 triliun atau 77,02% dari kebutuhan pagu 2026 sebesar Rp 48,88 triliun.

    (haa/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Kemenkeu Cairkan Utang Baru Rp349,3 Triliun untuk Biayai Proyek APBN 2025

    Kemenkeu Cairkan Utang Baru Rp349,3 Triliun untuk Biayai Proyek APBN 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono melaporkan pemerintah telah melakukan penarikan utang baru senilai Rp349,3 triliun hingga Mei 2025.  untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. 

    Realisasi tersebut telah mencapai 45% dari total target pembiayaan utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) neto dan pinjaman yang senilai Rp775,9 triliun. 

    Dalam periode ini, pemerintah juga melakukan pembiayaan non-utang senilai Rp24,5 triliun. 

    “Pembiayaan non-utang di sini minus Rp24,5 triliun artinya kita beirnvestasi ke hal-hal khusus. Ini tidak menambah utang,” ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (17/6/2025).

    Dengan demikian, pembiayaan anggaran hingga Mei 2025 mencapai 324,8 triliun atau 52,7% dari target APBN senilai Rp616,2 triliun. 

    Thomas menuturkan bahwa pemenuhan pembiayaan utang berjalan secara on track dengan berbagai langkah mitigasi risiko. 

    Mulai dari pengadaan pembiayaan utang secara pruden, fleksibel, oportunistik, terukur, mencakup aspek timing sizing, instrumen, maupun currency mix. Sebagaimana pemerintah menerbitkan obligasi dengan denominasi yen Jepang pada bulan lalu. 

    Langkah mitigasi lainnya, yakni pemerintah telah melakukan prefunding, cash buffer yang memadai, dan active cash dan debt management.

    Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa pendapatan negara sepanjang Januari—Mei 2025 mencapai Rp995,3 triliun. 

    Penerimaan pajak mencapai Rp683,3 triliun atau 31,2% dari target APBN 2025 senilai Rp2.189,2 triliun. Kinerja penerimaan pajak itu turun 11,28% (year on year/YoY) dari Mei 2024 senilai Rp760,38 triliun.

    Realisasi belanja negara hingga Mei 2025 tercatat senilai Rp1.016,3 triliun. Pengeluaran itu terdiri dari belanja pemerintah pusat senilai Rp694,2 triliun dan transfer ke daerah (TKD) senilai Rp322 triliun.

    Alhasil, APBN 2025 mencatatkan defisit senilai Rp21 triliun atau 0,09%erhadpa produk domestik bruto (PDB). Realisasi tersebut masih jauh dari ketentuan defisit 2,53%. “Jadi ini Rp21 triliun masih sangat kecil, tapi kita terus akan memantau perkembangan pelaksanaan APBN,” tuturnya. 

    Secara bruto per 3 Juni 2025, melihat dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, pemerintah telah menerbitkan SBN senilai Rp593 triliun. 

    Terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) senilai Rp414,11 triliun yang didominasi rupiah senilai Rp346,56 triliun. Sementara penerbitan melalui Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) mencapai Rp178,89 triliun dan didinominasi denominasi rupiah senilai Rp134,46 triliun.