Produk: SBN

  • Gaduh IHSG Amblas, Benarkah Ekonomi Indonesia Baik-baik Saja?

    Gaduh IHSG Amblas, Benarkah Ekonomi Indonesia Baik-baik Saja?

    Bisnis.com, JAKARTA – Pasar terus merespons negatif kebijakan pemerintah. Hal itu terbukti dengan runtuhnya sejumlah sektor perekonomian selama beberapa waktu terakhir. Yang terbaru, otoritas bursa sampai harus membekukan sementara perdagangan alias trading halt imbas kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) yang turun lebih dari 5% pada Selasa lalu.

    Ekonomi Indonesia belakangan ini memang sedang dalam kondisi tidak stabil. Badai pemutusan hubungan kerja (PHK), indikasi penurunan daya beli, rupiah jeblok, tren deindustrialisasi, hingga ruang fiskal yang menyempit telah memicu ketidakpastian. Berbagai persoalan tersebut semakin rumit dengan kebijakan efisiensi anggaran yang sejauh ini belum berimbas secara positif ke perekonomian negara. 

    Di sisi lain, pembentukan Badan Pengelola Investasi alias BPI Danantara, yang digadang-gadang akan mengerek perekonomian dan tetek bengeknya, juga masih memicu ketidakpastian. Investor di pasar saham wait and see. Saham-saham bank milik negara, justru kompak turun. Tidak jelas alasannya. Namun banyak analis menyinggung tentang peran Danantara.

    Pasar sepertinya belum yakin betul Danantara mampu mengelola BUMN-BUMN jumbo yang selama ini menjadi backbone perekonomian. Apalagi komposisi di level elite Danantara, sebagian terafiliasi dengan kelompok politik dan korporasi tertentu.

    Semua kerumitan itu semakin kompleks dengan proyeksi terbaru Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang sampai harus merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hanya di angka 4,9%. Padahal sebelumnya, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 bisa mencapai angka 5,2%.

    Pemangkasan proyeksi ini tentu menjadi ‘peringatan’ bagi pemerintah. Ada indikasi tentang ketidakpastian bahkan ketidakpercayaan terhadap langkah-langkah kebijakan yang ditempuh saat ini. Apalagi, di level global, tantangan begitu besar. Perang tarif yang berkecamuk antara Amerika Serikat di bawah Donald Trump dengan China, dua negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia, bisa kembali memicu pasang surut ekonomi global.

    Publik tentu masih ingat dengan dampak besar perang dagang jilid 1 pada tahun 2018-2019 lalu. Saat itu Trump menjadi presiden Amerika Serikat pada periode pertama. Ekonomi dunia nyaris morat-marit. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global dipangkas oleh hampir semua lembaga. Akibatnya, terjadi banyak goncangan, meski Vietnam bisa menjadi pengecualian.

    Vietnam, yang sistem politiknya masih totaliter, cukup menjanjikan pada waktu itu. Aliran modal mengalir cukup deras. Negeri Paman Ho itu menjadi tujuan relokasi besar-besaran industri dari China. Pada tahun 2018-2019 lalu, ekonomi Vietnam mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup mentereng. Kisarannya di angka 7,4%-7,5%.

    Sementara itu, pada 2018-2019, Indonesia benar-benar harus berjibaku untuk mempertahankan supaya ekonomi tetap stabil. Belum lagi pemerintah harus memutar otak serta harap-harap cemas subsidi jebol karena harga minyak yang meroket. Perang tarif atau perang dagang benar-benar memukul ekonomi dan ancaman itu kemungkinan berulang saat ini. 

    Investor jelas tidak ingin momen tahun 2018-2019 terulang. Mereka berharap besar dengan langkah pemerintah. Mereka menunggu kebijakan-kebijakan yang pro pasar. Kebijakan yang pro dunia usaha. Tidak perlu intervensi langsung. Tetapi kebijakan yang memiliki dampak alias multiplier effect yang besar bagi semua kalangan. Tidak lagi terkonsentrasi ke kelompok-kelompok tertentu, sehingga distribusi pendapatan semakin luas.

    Kalau pendapatan terdistribusi dengan adil, pemerintah akan menikmatinya, karena bisa menarik pajak secara optimal. Pada akhirnya tax ratio akan naik, beban utang berkurang, APBN jauh lebih sehat, tak perlu repot-repot minta BI beli surat berharga negara, dan kalau itu terjadi, upaya pemerintah untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan bisa terealisasi. 

  • Misbakhun Minta Investor di BEI Tidak Terpengaruh Rumor dan Persepsi – Halaman all

    Misbakhun Minta Investor di BEI Tidak Terpengaruh Rumor dan Persepsi – Halaman all

    Hasiolan EP/Tribunnews.com

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengajak para pelaku pasar modal di Bursa Efek Indonesia (BEI) tetap optimistis terhadap perekonomian nasional di bawah Presiden Prabowo Subianto.

    Legislator Partai Golkar itu menyatakan tidak ada indikasi yang membuat  investor di bursa harus bersikap pesimistis.

    Misbakhun menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara pada Capital Market Forum 2025 bertema ‘Optimisme Pasar Modal RI di Tengah Perang Dagang Jilid II’ yang diselenggarakan CNBC Indonesia di BEI, Jakarta, Jumat (21/3/2025).

    Menurut Misbakhun, penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga 5 persen yang memicu pembekuan sementara perdagangan (trading halt) di BEI pada Selasa lalu (18/3/2025) lebih disebabkan sentimen dan persepsi yang jauh dari fundamental ekonomi nasional.

    “Apakah pantas negara sebesar Indonesia, di-drive (disetir) dari satu isu ke isu yang lain yang ditopang isu dan rumor, tidak ditopang oleh fundamental ekonomi itu sendiri?” ujar Misbakhun.

    Peraih gelar doktor ilmu ekonomi itu pun membeber data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Bank Indonesia (BI). Data tersebut sudah dibedah dalam rapat kerja Komisi XI DPR dengan LPS dan BI pada Rabu (19/3/2025) dan Kamis (20/3/2025). 

    Mengutip hasil survei LPS pada Februari 2025, Misbakhun menyebut kepercayaan konsumen kembali ke level optimistis. Indeks kepercayaan konsumen pada angka 107,1.

    Adapun indeks situasi saat ini pada angka 84,8, sedangkan indeks ekspektasi di angka 123,9. Menurut Misbakhun, data LPS itu menunjukkan optimisme yang jelas dan terukur. 

    “Retail memang masih mengalami konstraksi terbatas, tetapi penjualan semen mulai pulih, penjualan otomotif mengalami pemulihan, PMI (Purchasing Managers Index, red) manufaktur melanjutkan ekspansi, bahkan neraca perdagangan kita naik,” tutur Misbakhun.

    Selain itu, Misbakhun juga membeber data dari BI. Menurut dia, sektor konsumsi rumah tangga memang terganggu.

    Namun, produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih terjaga di tengah ketidakpastian yang tinggi. “Sektor padat karya juga memberikan arah kepada kita menuju optimisme,” imbuhnya.

    Misbakhun juga memperlihatkan data lain dari BI, yakni stabilitas sistem keuangan dan sistem pembayaran yang terjaga. Selain itu, aliran masuk (inflow) ke Surat Berharga Negara (SBN) dan  Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang menunjukkan pergeseran angka positif. 

    Per Kamis (20/3/2025), cadangan devisa Indonesia juga sangat tinggi karena mencapai USD 156 miliar. “The highest, tertinggi dalam sejarah devisa yang dimiliki Indonesia,” ucapnya.

    Angka inflasi, tambah Misbakhun, juga terkendali. “Dijaga tetap rendah,” katanya.

    Data lain dari BI yang menunjukkan hal positif ialah kredit perbankan tetap tumbuh. Mengutip data BI, Misbakhun mengatakan Kredit Likuiditas Makroprudensial (KLM) tetap tinggi.

    KLM merupakan kebijakan BI untuk mendorong perbankan menyalurkan kredit kepada sektor-sektor prioritas. BI akan meningkatkan insentif KLM dana pihak ketiga (DPK) menjadi 5 persen per 1 April 2025.

    “Likuiditas perbankan memadai, NPL (non-performing loan, red ) tetap rendah. Kecukupan modal perbankan tinggi,” tambah Misbakhun. 

    Data BI juga memperlihatkan tren penggunaan transaksi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). “Walaupun situasinya mengalami penurunan, volume transaksi QRIS tetap tumbuh tinggi,” katanya.

    Soal APBN 2025, Misbakhun menegaskan angkanya tetap meski Presiden Prabowo melakukan penajaman pada beberapa pos anggaran. Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu menegaskan APBN 2025 tetap pada volume yang sama, Rp 3.621,3 triliun.

    Misbakhun menambahkan DPR akan mengawal defisit APBN 2025 tetap di angka 2,53 persen dari PDB. Menurut dia, data makroekonomi Indonesia, baik dari sisi kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal, tidak semestinya disikapi secara pesimistis. 

    “Pesan ini harus sampai ke pelaku pasar di bursa saham kita,” katanya. (/*)

  • Heboh Trading Halt, IHSG Sepekan Ambrol Nyaris 4 Persen

    Heboh Trading Halt, IHSG Sepekan Ambrol Nyaris 4 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Indeks harga saham gabungan (IHSG) sepekan mengalami pelemahan selama periode perdagangan 17-21 Maret 2025. Pekan ini diwarnai dengan penerapan penghentian sementara perdagangan atau trading halt akibat IHSG merosot lebih dari 5% pada sesi Selasa (18/3/2025). Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG tercatat mengalami koreksi sebesar 3,95% dalam sepekan.

    “IHSG sepekan mengalami perubahan sebesar 3,95%, turun ke level 6.258,179 dari 6.515,631 pada pekan sebelumnya,” ujar Sekretaris Perusahaan BEI, Kautsar Primadi Nurahmad, dalam keterangannya pada Sabtu (22/3/2025).

    Selain IHSG sepekan yang turun, kapitalisasi pasar juga mengalami penurunan sebesar 3,68%, menjadi Rp 10.822 triliun dibandingkan dengan Rp 11.235 triliun pada pekan sebelumnya.

    Di sisi lain, nilai rata-rata transaksi harian di bursa mengalami lonjakan tertinggi dalam sepekan, meningkat 61,83% menjadi Rp 15,21 triliun dari Rp 9,40 triliun.

    Kenaikan juga terjadi pada rata-rata volume transaksi harian, yang bertambah 18,63% menjadi 20,53 miliar lembar saham dibandingkan dengan 17,31 miliar lembar saham pada pekan sebelumnya.

    “Frekuensi transaksi harian di bursa juga mengalami peningkatan sebesar 11,15 persen menjadi 1,20 juta kali transaksi dari 1,08 juta kali transaksi pada pekan sebelumnya,” tambahnya.

    Sementara itu, pada perdagangan Jumat (21/3/2025), investor asing mencatatkan aksi jual bersih senilai Rp 2,35 triliun. Sepanjang tahun 2025, total nilai jual bersih investor asing telah mencapai Rp 33,18 triliun.

    Di sektor obligasi dan sukuk, sepanjang tahun ini BEI telah mencatatkan 25 emisi dari 18 emiten dengan nilai total Rp30,92 triliun. Dengan demikian, jumlah obligasi dan sukuk yang tercatat di BEI mencapai 604 emisi dengan nilai nominal outstanding sebesar Rp486,20 triliun serta 105,75 juta dolar AS, yang diterbitkan oleh 134 emiten.

    Selain itu saat IHSG sepekan turun, Surat Berharga Negara (SBN) yang terdaftar di BEI terdiri dari 192 seri dengan nilai nominal Rp 6.190,33 triliun dan US$ 502,10 juta. Hingga saat ini, terdapat 8 emisi Efek Beragun Aset (EBA) dengan nilai mencapai Rp 2,41 triliun.

  • Aksi Jual Saham Blue Chip Tekan IHSG, Sektor Perbankan Jadi Beban

    Aksi Jual Saham Blue Chip Tekan IHSG, Sektor Perbankan Jadi Beban

    Jakarta, Beritasatu.com – Indeks harga saham gabungan (IHSG) kembali anjlok pada Jumat (21/3/2025) setelah dua hari berturut-turut menguat. Pada penutupan perdagangan akhir pekan, IHSG melemah 1,94% atau turun 123,49 poin ke level 6.258,18.

    Eastspring Investments dalam risetnya menyampaikan, tekanan utama pada IHSG yang kembali anjlok berasal dari aksi jual saham blue chip, terutama di sektor perbankan. Indeks LQ45 juga melemah sebesar 2,56%, mencerminkan tekanan jual pada saham-saham berkapitalisasi besar.

    Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mencatat penurunan signifikan sebesar 5,67%, menjadi penekan terbesar terhadap IHSG. Pelemahan BBCA terjadi bertepatan dengan ex-date dividen. Harga saham umumnya turun seiring dengan besaran dividen yang dibagikan.

    Selain BBCA, saham DCII (-8,82%), BMRI (-4,55%), AMMN (-6%), dan BBNI (-7,60%) juga turut menyeret IHSG ke zona merah.

    Tekanan jual juga dipicu oleh kekhawatiran menjelang rapat umum pemegangsaham (RUPS) bank-bank BUMN pekan depan. Pelaku pasar mencermati kemungkinan perubahan manajemen, yang berpotensi memengaruhi arah strategi bisnis dan tingkat kepercayaan investor.

    Dari sisi eksternal, pasar masih dibayangi oleh ketidakpastian kebijakan tarif timbal balik Amerika Serikat (AS) yang akan berlaku mulai 2 April 2025. Presiden AS Donald Trump juga mengumumkan rencana tarif tambahan pada beberapa sektor, yang dapat berdampak pada prospek pertumbuhan ekonomi global.

    Pelemahan IHSG juga diikuti oleh depresiasi nilai tukar rupiah yang turun 0,10% ke level Rp 16.502 per dolar AS. Arus keluar investor asing turut menekan pasar obligasi, dengan imbal hasil SBN tenor 10 tahun naik 6 basis poin ke level 7,17%.

    Eastspring Investments menyampaikan, di tengah volatilitas pasar, investor cenderung bersikap wait and see menjelang libur panjang Idulfitri dan pelaksanaan RUPS bank-bank BUMN. Ke depan, apabila  ketidakpastian global mereda dan sentimen domestik membaik, IHSG yang anjlok berpotensi kembali menguat.

  • Ekonom: Kepercayaan investor asing tinggi terhadap ekonomi Indonesia

    Ekonom: Kepercayaan investor asing tinggi terhadap ekonomi Indonesia

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Ekonom PermataBank Josua Pardede menyampaikan kepercayaan investor internasional masih tinggi terhadap kondisi stabilitas ekonomi dan fiskal Indonesia.

    Menurut dia, hal itu tercermin dari Indonesia yang secara keseluruhan berhasil menarik investasi dari asing secara signifikan sekitar 875 juta dolar Amerika Serikat (AS) dari awal tahun 2025 hingga pertengahan Maret 2025.

    “Secara keseluruhan, Indonesia masih berhasil menarik investor asing secara signifikan sekitar 875 juta dolar AS dari awal tahun 2025 hingga pertengahan Maret 2025, menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap pengelolaan fiskal Indonesia,” ujar Josua di Jakarta, Kamis.

    Josua sependapat dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa Indonesia memiliki daya tarik surat utang negara (SUN) yang kompetitif dan mencerminkan kepercayaan terhadap pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

    Menurutnya, hal itu dapat dijelaskan melalui beberapa indikator kunci, pertama, yield Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia tetap stabil dan kompetitif meskipun menghadapi volatilitas global, dengan yield SUN tenor 10 tahun yang tetap kompetitif dan mencerminkan bahwa pasar memandang risiko investasi di Indonesia relatif terjaga di tengah dinamika pasar keuangan global.

    “Terutama dibandingkan dengan kondisi yield obligasi negara emerging markets lainnya,” ujar Josua.

    Kedua, stabilitas yield itu didukung oleh kepercayaan investor terhadap fundamental ekonomi domestik yang relatif solid, tercermin dari pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03 persen year on year (yoy) pada 2024.

    Adapun pertumbuhan itu didukung oleh konsumsi domestik yang kuat dan inflasi yang terkendali meskipun mengalami deflasi sebesar 0,09 persen (yoy), serta kinerja positif pada sektor manufaktur dan perdagangan.

    “Kondisi ekonomi domestik yang resilien ini menjadi fondasi bagi investor dalam menilai risiko dan potensi investasi di Indonesia,” ujar Josua.

    Ketiga, lanjutnya, minat investor global terhadap SUN juga tercermin dalam surplus neraca pembayaran tahun 2024 yang mencapai 7,2 miliar dolar AS, terutama didorong oleh peningkatan aliran modal masuk (capital inflow) ke SBN yang mencapai 3,18 miliar olar AS sepanjang 2024.

    Kemudian, tingginya minat investor terhadap SUN diperkuat dengan hasil lelang SBN terbaru pada 18 Maret 2025, yang berhasil menarik penawaran sebesar Rp61,76 triliun dengan bid-to-cover ratio yang cukup baik.

    “Menunjukkan tingginya kepercayaan investor domestik maupun internasional terhadap pengelolaan fiskal dan prospek ekonomi Indonesia,” ujar Josua.

    Menurutnya, yield yang dimenangkan pada lelang juga menunjukkan tingkat kompetitif, mengindikasikan bahwa pasar secara umum percaya terhadap stabilitas dan kredibilitas pengelolaan fiskal Indonesia.

    Lebih lanjut, pengelolaan APBN yang prudent tercermin dari kondisi keseimbangan primer yang surplus sebesar Rp48,1 triliun pada awal 2025, serta efisiensi belanja pemerintah yang dilakukan secara selektif tanpa mengorbankan belanja prioritas seperti perlindungan sosial, pendidikan, dan kesehatan.

    “Hal ini mencerminkan disiplin fiskal yang kuat dan menjadi sinyal positif bagi investor, memperkuat persepsi bahwa Indonesia memiliki tata kelola keuangan negara yang baik,” ujar Josua.

    Dengan mempertimbangkan berbagai indikator itu, pihaknya menyimpulkan bahwa pernyataan Sri Mulyani tentang daya tarik SUN Indonesia yang kompetitif dan mencerminkan kepercayaan terhadap pengelolaan APBN adalah valid dan dapat didukung secara jelas oleh kondisi ekonomi serta fiskal terkini.

    Sebelumnya, Sri Mulyani menyatakan kinerja SUN pada lelang 18 Maret 2025 menunjukkan hasil yang sangat baik di tengah dinamika pasar saham.

    Untuk lelang kali ini, pemerintah menetapkan target indikatif senilai Rp26 triliun, artinya, nilai penawaran yang masuk itu setara dengan 2,38 kali dari target indikatif.

    “Penawaran yang masuk atau incoming bid sangat kuat, yang menggambarkan kepercayaan investor kepada pemerintah dan APBN, yaitu Rp61,75 triliun,” kata Sri Mulyani.

    Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani juga melaporkan adanya perkembangan perolehan pajak pada Maret 2025, setelah terkontraksi selama dua bulan beruntun.

    “Pertumbuhan (penerimaan pajak) 6,6 persen positif lebih baik dibandingkan yang kami sampaikan Februari per akhir posisi yaitu negatif 3,8 persen. Pada 1-17 Maret 2025, terjadi turn around dari penerimaan bruto yang tadinya negatif 3,8 persen akhir Februari pada 17 Maret, posisi sudah positif 6,6 persen,” ujar Sri Mulyani,.

    Dalam kesempatan lain, Presiden Prabowo Subianto bertemu dengan para anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) termasuk Luhut Binsar Panjaditan, serta Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Koordiantor Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Rabu (19/3/2025).

    Seperti dinyatakan oleh Airlangga dan Luhut usai pertemuan, Prabowo meminta kementerian dan DEN menyiapkan deregulasi sektor padat karya untuk industri dalam negeri termasuk tekstil.

    Pewarta: Muhammad Heriyanto
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Bos BI Ungkap Investor Global Pilih Timbun Emas Gara-Gara Ini

    Bos BI Ungkap Investor Global Pilih Timbun Emas Gara-Gara Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan pergerakan investasi global kini mulai mengalami pergeseran. Dahulu mayoritas investasi surat utang atau obligasi mengalir ke Amerika Serikat (AS), kini mulai bergeser ke pasar negara berkembang (emerging markets).

    Namun, menurut Perry, pergeseran yang paling signifikan adalah investasi emas.

    “Untuk SBN, obligasi yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta sudah mulai ada pergeseran ini mulai baik ke emerging market, sebagian ya, belum kuat ya, tapi yang besar adalah pergeseran ke emas investasi ke emas,” ujar Perry dalam RDG BI, dikutip Kamis (20/3/2025).

    Hal ini didorong oleh ketidakpastian global itu tetap tinggi yang dipicu oleh pengenaan tarif impor oleh Amerika Serikat.

    “Nah dampaknya tentu saja ya satu pertumbuhan ekonomi global yang memang kami perkenalkan 3,2%. Tapi juga karena dampaknya terus juga kepada sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dunia yang kelihatan sekali bahwa di Amerika sendiri juga ini daya dukung dari kebijakan tarif impor itu dampak negatifnya terhadap stimulus fiskal domestik,” katanya.

    Patut diketahui, pengenaan tarif impor yang tinggi ini harapannya untuk menekan impor dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

    “Kami lihat dampak keduanya terhadap pertumbuhan ekonomi itu berdampak pada perlambatan laju pertumbuhannya di Amerika. Sehingga muncul sekarang ada diskusi pandangan pasar kemungkinan kemungkinan risiko resesi di Amerika Serikat,” ungkapnya.

    Hal ini yang membuat harga emas meningkat. Harga emas terus menerus mencetak rekor tertinggi baru. Harga emas kembali melonjak di tengah keputusan The Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat (AS) mempertahankan suku bunga dan mengisyaratkan dua kali pemangkasan pada 2025.

    Pada perdagangan Rabu (19/3/2025), harga emas dunia di pasar spot menguat 0,44% di level US$3.047,18 per troy ons. Harga penutupan tersebut menjadi harga tertinggi sepanjang masa perdagangan emas dan menjadi kenaikan tiga hari beruntun.

    Harga sang logam mulia sudah menguat selama tiga hari beruntun dengan penguatan mencapai 2,1%. Pada perdagangan hari ini Kamis (20/3/2025) hingga pukul 06.21 WIB, harga emas dunia di pasar spot menguat 0,09% di posisi US$3.050,02 per troy ons.

    (haa/haa)

  • Bukan Burden Sharing, BI Klaim Beli SBN Demi Ekspansi Likuiditas

    Bukan Burden Sharing, BI Klaim Beli SBN Demi Ekspansi Likuiditas

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia melaporkan bahwa sepanjang tahun ini hingga 18 Maret 2025, total Surat Berharga Negara/SBN yang telah bank sentral beli senilai Rp70,7 triliun. 

    Belum rampung kuartal I/2025, Bank Indonesia (BI) artinya telah membeli 47,13% surat utang pemerintah dari rencana awal pembelian sepanjang tahun ini yang senilai Rp150 triliun. 

    Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa pembelian tersebut sesuai dengan kebijakan moneter dan kebutuhan bank sentral untuk ekspansi likuiditas. 

    “Kenapa perlu ekspansi likuiditas? [BI] Perlu melakukan intervensi dengan jual devisa, kalau jual devisa berarti rupiah kan kesedot. Kalau intervensi berarti kami menjual devisa, rupiahnya kan terkontraksi,” tuturnya dalam konferensi pers, Rabu (19/3/2025). 

    Oleh karena itu, pembelian SBN dimaksudkan untuk menyuplai rupiah kembali lagi ke sistem keuangan. 

    “Jadi enggak usah gundah gulana, memang kami pembelian SBN dalam rangka supaya kebiajkan moneter kami pro-stability dan pro-growth,” lanjut Perry.  

    Perry lebih memilih langkah ini untuk tetap menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi karena dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) kemarin, diputuskan untuk menahan suku bunga acuan atau BI Rate di level 5,75%. 

    Meski pemangkasan suku bunga dapat menjadi alat pro-growth, namun kondisi global belum memungkinkan Bank Indonesia untuk memangkasnya. 

    “[Pemangkasan] suku bunga kami ruang masih ada, kami akan lakukan, tapi sabar dulu, karena global memang belum memungkinkan. Sementara itu kami lakukan ekspansi likuiditas, caranya bagaimana? yaitu membeli SBN dari pasar sekunder,” ungkapnya. 

    Adapun secara perinci, pembelian SBN senilai Rp70,7 triliun tersebut terdiri dari pembelian melalui pasar sekunder senilai Rp47,3 triliun dan Rp23,4 triliun melalui pasar primer berupa Surat Perbendaharaan Negara (SPN). 

    Untuk diketahui, BI boleh membeli surat utang di pasar perdana berupa SPN, yakni yaitu SUN berjangka waktu sampai dengan 12 bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. 

    Menurut catatan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, kepemilikan SBN neto oleh Bank Indonesia per 18 Maret 2025 senilai Rp1.588,26 triliun atau naik dari posisi awal Januari 2025 yang senilai Rp1.441,19 triliun. 

    Meski secara nominal mengalami kenaikan dalam beberapa bulan terakhir, namun secara persentase justru mengalami penurunan pada periode yang sama, dari 29,41% menjadi 25,59% dari total outstanding SBN. 

    Dengan demikian, ‘jatah’ BI untuk membeli SBN pada tahun ini hanya tersisa Rp79,3 triliun lagi. 

    Di sisi lain, Perry sebelumnya sudah memberikan sinyal adanya potensi pembelian SBN lebih banyak dari rencana awal tersebut. 

    Hal tersebut diungkapkan pada RDG Desember 2024, di mana Perry menuturkan rencananya pembelian tersebut menjadi salah satu jurus untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.

    “Bisa jadi sampai Rp150 triliun bahkan kemungkinan bisa lebih tinggi. Nanti kami akan bicarakan,” ujarnya, Rabu (18/12/2024). 

    Dalam rencana tersebut, bank sentral akan memantau berbagai perkembangan dinamika pasar keuangan, uang primer, serta kebutuhan likuiditas sebelum membeli SBN di pasar sekunder. 

  • Ikut Menguat, Nilai Tukar Rupiah Hari Ini Jadi Rp 16.480 Per Dolar AS

    Ikut Menguat, Nilai Tukar Rupiah Hari Ini Jadi Rp 16.480 Per Dolar AS

    Jakarta, Beritasatu.com – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pagi hari ini, Kamis (20/3/2025), ikut menguat seperti pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG).

    Dikutip dari data Bloomberg pada pukul 09.37 WIB di pasar spot exchange, rupiah pagi ini berada pada level Rp 16.480 per dolar AS atau menguat 50,5 poin (0,31%).

    Sehari sebelumnya, nilai tukar rupiah melemah sebesar 0,63% menjadi Rp 16.531 per dolar AS. Pasar obligasi juga cenderung melemah, dengan indeks obligasi turun 0,10% dan imbal hasil SBN tenor 10 tahun naik 7 bps menjadi 7,10%.

    Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam rapat dewan gubernur (RDG) BI menyampaikan, BI akan terus memperkuat strategi stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai fundamental ekonomi melalui intervensi di pasar valas, surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder, dan transaksi spot, domestic non-deliverable forward (DNDF).

    Pada saat nilai tukar rupiah pagi ini menguat, IHSG hari ini pada pukul 09.26 WIB kembali menguat 1,70 persen atau 107,5 poin ke level 6.419,2.

  • Utang Pemerintah Hampir Rp9.000 Triliun, Indef Wanti-Wanti Tarif Pajak Naik

    Utang Pemerintah Hampir Rp9.000 Triliun, Indef Wanti-Wanti Tarif Pajak Naik

    Bisnis.com, JAKARTA — Indef mengkhawatirkan tarif pajak akan naik ketika utang pemerintah terus meningkat. Data Januari 2025, posisi utang pemerintah mencapai Rp8.909,14 triliun.

    Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama melihat pemerintah seakan bergantung kepada utang untuk pembiayaan berbagai programnya. Masalahnya, pertumbuhan utang pemerintah tersebut sejalan dengan yield alias imbal hasil yang juga tinggi.

    Riza mencontohkan, pemerintah menargetkan yield surat berharga negara (SBN) tenor 10 tahun mencapai 7% berdasarkan asumsi makro APBN 2025. Target tersebut bertambah 0,2% dari tahun sebelumnya.

    “Jadi bisa dibayangkan yield SBN kita itu terus meningkat setiap tahunnya. Jadi beban dari meminjam utang itu semakin memberatkan APBN. Di 2025 saja, porsinya dari belanja pemerintah pusat itu sudah sekitar 20%,” jelas Riza dalam diskusi Indef secara daring, Rabu (19/3/2025).

    Masalahnya, secara historis pertumbuhan penerimaan pajak tidak sebanding dengan pertumbuhan utang pemerintah. Akibatnya, pemerintah perlu harus mencari sumber dana tambahan.

    “Bisa jadi nanti solusi singkatnya adalah meningkatkan tarif pajak lagi, di mana itu semakin memberatkan generasi mendatang,” ujar Riza.

    Di sisi lain, lembaga pemeringkatan Fitch Ratings menilai rasio utang pemerintah sebesar 39,6% terhadap produk domestik bruto (PDB) per Januari 2025 masih berada dalam posisi yang rendah.

    Besaran utang ini membuat Fitch mempertahankan peringkat kredit Indonesia berada pada level BBB dengan outlook stabil.

    Mengacu laporan terbarunya, Fitch memprediksikan rasio utang pemerintah akan mengalami penurunan dalam 3 tahun mendatang.

    “Fitch memperkirakan penurunan moderat pada utang pemerintah secara umum menjadi 39,1% dari PDB pada 2028 dari 40,4% pada 2025,” tulisnya, dikutip pada Selasa (11/3/2025).

    Rasio utang pemerintah Indonesia tersebut lebih rendah dari rata-rata negara dengan kategori BBB yang sebesar 58%.

    Lembaga asal Amerika Serikat (AS) tersebut memperkirakan meski rasio utang tetap terjaga rendah, akan ada sedikit peningkatan defisit anggaran di tahun-tahun mendatang untuk mengakomodasi tambahan belanja sosial pemerintah dan investasi infrastruktur. 

  • Gejolak di Pasar Saham Bersifat Temporer

    Gejolak di Pasar Saham Bersifat Temporer

    Jakarta, Beritasatu.com – Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti menilai, gejolak yang terjadi di pasar saham saat ini disebabkan oleh tekanan perekonomian global, terutama yang berkaitan dengan kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS)

    Destry mengungkapkan, secara kumulatif, dari Januari hingga Maret, modal asing yang keluar dari pasar saham mencapai Rp 22 triliun. Namun, pada saat yang sama, modal asing masuk melalui Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp 25 triliun.

    Ekspektasi pelaku pasar terhadap SBN dan SRBI tetap berdasarkan fundamental perekonomian nasional.

    “Kami berharap bahwa apa yang terjadi kemarin bersifat sementara, karena tentunya ada faktor kejutan dari kebijakan-kebijakan global,” ujar Destry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan BI pada Maret 2025 di Gedung Thamrin, Jakarta, Rabu (19/3/2025).

    Sebagai informasi, Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat melakukan pembekuan sementara perdagangan (trading halt) pada pukul 11.19.31 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS) setelah indeks harga saham gabungan (IHSG) turun hingga 5%.

    Keputusan untuk pasar saham tersebut dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Direksi BEI Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 tanggal 10 Maret 2020 mengenai Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Darurat.

    Destry menambahkan bahwa koreksi di pasar saham telah terjadi sejak akhir 2024. Ia menjelaskan, kondisi pasar saham sangat erat kaitannya dengan ekspektasi pelaku pasar terhadap perekonomian.

    “Saham sangat sensitif terhadap sentimen ekonomi, baik global maupun domestik. Berbagai kebijakan dari Presiden AS Donald Trump, misalnya, dapat memberikan dampak besar terhadap perekonomian secara keseluruhan,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Destry menegaskan bahwa BI tetap konsisten menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. BI memperkuat strategi stabilisasi nilai tukar yang sesuai dengan fundamental ekonomi melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), serta SBN di pasar sekunder.

    “Bank Indonesia akan terus hadir di pasar untuk menunjukkan bahwa koreksi rupiah ini bersifat sementara. Oleh karena itu, BI melakukan intervensi melalui transaksi spot, DNDF, dan jika diperlukan, juga di SBN,” pungkasnya terkait pergerakan pasar saham domestik.