Produk: SBN

  • Utang Luar Negeri Indonesia Tembus USD 433,3 Miliar – Page 3

    Utang Luar Negeri Indonesia Tembus USD 433,3 Miliar – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia tumbuh melambat pada kuartal II 2025. Posisi ULN Indonesia tercatat sebesar USD 433,3 miliar atau secara tahunan tumbuh 6,1% (yoy).

    Posisi utang luar negeri ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal I 2025 sebesar 6,4% (yoy). Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh ULN swasta yang melanjutkan kontraksi pertumbuhan dari kuartal sebelumnya.

    Adapun ULN pemerintah pada kuartal II 2025 sebesar USD 210,1 miliar, atau tumbuh sebesar 10,0% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal I 2025 sebesar 7,6% (yoy).

    “Perkembangan ULN tersebut terutama dipengaruhi oleh peningkatan aliran masuk modal asing pada Surat Berharga Negara (SBN) domestik, seiring tetap terjaganya kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang tinggi. Pemerintah terus berkomitmen untuk mengelola ULN secara cermat, terukur, dan akuntabel untuk mencapai pembiayaan yang efisien dan optimal,” ujar Direktur Eksekutif​ Departemen Komunikasi Ramdan Denny Prakoso dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (15/8/2025).

    Sebagai salah satu instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemanfaatan ULN diarahkan untuk memperkuat fondasi perekonomian nasional dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan pengelolaan ULN.

    Berdasarkan sektor ekonomi, ULN pemerintah dimanfaatkan antara lain untuk mendukung Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (22,3% dari total ULN pemerintah); Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (19,0%); Jasa Pendidikan (16,4%); Konstruksi (11,9%); serta Transportasi dan Pergudangan (8,6%). Posisi ULN pemerintah tersebut tetap terjaga karena didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN pemerintah.

  • Rupiah menguat didukung potensi BI tahan suku bunga acuan

    Rupiah menguat didukung potensi BI tahan suku bunga acuan

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Rupiah menguat didukung potensi BI tahan suku bunga acuan
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Rabu, 13 Agustus 2025 – 18:10 WIB

    Elshinta.com – Research and Development Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) Taufan Dimas mengatakan penguatan nilai tukar (kurs) didukung antisipasi pasar terkait potensi Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan.

    “Pasar mengantisipasi Bank Indonesia akan mempertahankan suku bunga acuan di level 6,25 persen pada RDG (Rapat Dewan Gubernur) 19–20 Agustus 2025 pekan depan,” katanya kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

    Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari Rabu di Jakarta menguat sebesar 88 poin atau 0,54 persen menjadi Rp16.202 per dolar Amerika Serikat (AS) dari sebelumnya Rp16.290 per dolar AS.

    Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada hari ini juga menguat ke level Rp16.237 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.298 per dolar AS.

    Ekspektasi ini dinilai menjaga daya tarik imbal hasil rupiah, dan mendorong aliran dana asing ke pasar obligasi pemerintah.

    Optimisme tersebut turut diperkuat persepsi stabilitas kebijakan moneter BI di tengah ketidakpastian global.

    Melihat dari faktor global, kinerja rupiah diuntungkan pelemahan dolar AS pasca rilis data Consumer Price Index (CPI) dan Producer Price Index (PPI) AS pada Juli 2025 yang melambat, yakni inflasi di angka 2,7 persen year on year (yoy) dari perkiraan 2,8 persen. Hal ini memicu ekspektasi pasar atas kemungkinan pemangkasan suku bunga The Fed pada kuartal IV-2025.

    “Melemahnya CPI menandakan tekanan harga di AS mulai mereda, sehingga mengurangi tekanan terhadap mata uang negara berkembang,” ujar Taufan.

    Sentimen risk-on global juga meningkat setelah data manufaktur Tiongkok menunjukkan perbaikan, lanjutnya, sehingga mendorong arus modal masuk ke emerging markets.

    Kombinasi ekspektasi kebijakan moneter BI, pelemahan dolar, dan optimisme global ini dianggap menjadi katalis utama yang mengangkat kurs rupiah di tengah dinamika fluktuasi pasar.

    Senada, Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menilai penguatan rupiah karena faktor CPI AS. Berdasarkan angka tersebut, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyebutkan bahwa pemotongan 50 basis points (bps) oleh The Fed perlu dipertimbangkan, sejalan dengan tekanan Presiden AS Donald Trump agar pelonggaran lebih agresif.

    Efeknya, lanjut Josua, Asia-Pacific Currencies (Asia FX) serempak menguat dengan Rupiah dan Baht memimpin, sementara imbal hasil UST 10Y cenderung turun.

    Melihat dari sisi domestik, minat asing ke Surat Berharga Negara (SBN) meningkat. Lelang SBN terbaru membukukan penawaran Rp162 triliun, tertinggi sejak tahun 2016. Selain itu, yield Indo 10Y stabil turun, sehingga menambah pasokan valas dan menopang rupiah.

    Arus pada SBN pasca lelang dan antisipasi Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2026 disebut menjadi penentu tambahan. “Dampaknya ke rupiah akan terbatas selama disiplin fiskal (lebih kecil dari 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto/PDB) terjaga,” ungkap Josua. 

    Sumber : Antara

  • Asosiasi Pinjol Sebut Bunga 0,3% per Hari Paling Ideal

    Asosiasi Pinjol Sebut Bunga 0,3% per Hari Paling Ideal

    Jakarta

    Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memandang bahwa bunga pinjaman daring (pindar) atau pinjol untuk sektor konsumtif sebesar 0,3% merupakan persentase yang paling ideal. Apabila turun di bawah itu, ada kemungkinan jumlah penyalurannya ikut menurun.

    Berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SE OJK) Nomor 19/SEOJK.05/2023, ditetapkan bahwa pinjaman konsumtif untuk tenor kurang dari 6 bulan berada di angka 0,3% per hari. Sedangkan untuk tenor lebih dari 6 bulan ditetapkan sebesar 0,2% per hari. Bisa jadi di tahun depan angkanya kembali disesuaikan.

    Ketua Umum AFPI Entjik S Djafar mengatakan, penyesuaian suku bunga pinjol sepenuhnya merupakan kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Angka ini turun cukup signifikan dibandingkan dengan awal AFPI berdiri yakni sebesar 0,8% per hari.

    Secara bertahap, suku bunga pinjol telah beberapa kali mengalami penurunan. Setelah sebelumnya ditetapkan sebesar 0,8% per hari sebagai acuan awal, bunga pinjol telah turun menjadi 0,4% per hari pada tahun 2023. Lalu angkanya kembali turun menjadi 0,3% di 2024, dan mengalami penyesuaian kembali di tahun ini.

    “Nah saat ini 0,3% (per hari) itu kita rasakan sudah pas. Sudah benar,” kata Entjik dalam Diskusi Publik di Kantor Celios, Jakarta, Senin (11/8/2025).

    Menurutnya, persentase 0,3% per hari merupakan titik keseimbangan yang pas antara kebutuhan lender, borrower, serta penyelenggara. Ketiga pihak tersebut memperoleh keuntungan serta manfaat yang pas.

    Hal ini juga terlihat dari angka disbursement atau penyalurannya yang justru mengalami peningkatan, meski bunga pinjol berangsur mengalami penurunan. Namun apabila angka ini diturunkan lagi pada tahun depan ke posisi 0,2% per hari, bisa jadi keseimbangan itu terganggu.

    “0,3% ini kita rasakan cukup karena resiko juga masih bisa ter-cover. Kalau diturunkan bagaimana pak ke 0,2%? Maka saya yakin 1.000% disburse pasti turun. Kenapa? Pasti penyelenggaraannya mikir-mikir untuk memberi pinjaman kepada masyarakat yang berisiko,” jelasnya.

    Secara keseluruhan, per Juni 2025 ini pokok pembiayaan atau outstanding pinjaman dari pindar mencapai Rp 83,52 triliun. Angka ini masih cukup jauh tertinggal dari outstanding pinjol ilegal yang diproyeksikan mencapai Rp 260 triliun.

    Entjik mengatakan, angka ini sudah menurun dibandingkan dengan masa lampau. Kondisi naiknya angka penyaluran pindar juga didukung dengan peralihan dari sejumlah konsumen pinjol ilegal ke pindar.

    Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Hudamenilai, besaran bunga pinjol untuk tahun depan perlu disesuaikan dengan kondisi yang akan datang. Menurutnya, angka yang ideal sekarang belum tentu tepat di tahun depan.

    Hal ini mengingat besaran bunga merupakan hal yang sensitif bagi berbagai pihak. Selain dari pinjaman itu sendiri, Nailul melihat bahwa bunga fintech P2P Lending juga mesti dipertimbangkan dari sisi investor, baik dari lokal maupun asing.

    “Lender itu pasti akan mempertimbangkan investasi lainnya untuk menjadi tempat dia berinvestasi atau portfolio mereka investasi. Jadi memang sangat kritis sekali. Kalau boleh saya katakan 0,3% itu sudah ideal, tapi belum tentu tahun depan seperti apa,” ujar Nailul.

    “Karena tahun depan bisa jadi untuk suku bunga Bank Indonesia itu naik tinggi sekali, sehingga orang akan lebih cenderung untuk menanamkan investasinya di SBN ataupun di deposito dan sebagainya. Di sini sangat-sangat kritis sekali untuk bisa menyeimbangkan antara keinginan dari lender dan juga keinginan dari borrower,” sambungnya.

    Apabila tidak ada pendanaan, lanjut Nailul, maka likuiditas platform pinjol akan berkurang, hingga dapat menyebabkan penyaluran kepada peminjam juga turun. Kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk rentenir masuk menawarkan opsi pinjamannya.

    (acd/acd)

  • Setumpuk PR Dirjen Pajak Baru Kejar Kekurangan Target Pajak Rp1.245,5 Triliun

    Setumpuk PR Dirjen Pajak Baru Kejar Kekurangan Target Pajak Rp1.245,5 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja penerimaan pajak yang masih belum sesuai ekspektasi menjadi pekerjaan utama Direktur Jenderal alias Dirjen Pajak Baru, Bimo Wijayanto. Apalagi realisasi penerimaan pajak pada semester 1/2025 lalu mencapai Rp831,27 triliun atau kurang dari Rp1.2456,3 triliun dari outlook yang tercatat sebesar Rp2.076,9 triliun. 

    Tidak tercapainya penerimaan pajak akan berimbas ke kinerja APBN secara keseluruhan, termasuk kemungkinan pelebaran defisit yang tahun ini memang sudah di-setting melebar ke angka 2,78%. 

    Namun demikian, untuk memenuhi kekurangan penerimaan pajak sebesar Rp1.245,63 triliun, bukan pekerjaan mudah. Tingginya restitusi telah memicu kontraksi penerimaan di jenis-jenis utama penerimaan pajak seperti PPN dan PPh.

    Sekadar ilustrasi, kalau merujuk kepada data Kementerian Keuangan, angka restitusi itu bisa ditelusuri melalui besaran jumlah pajak bruto dan pajak neto. Penerimaan PPN Bruto pada semester 1/2025 tercatat sebesar Rp443,93 triliun, sementara itu neto Rp267,27 triliun. Artinya jika selisih antara PPN bruto dan neto itu dianggap sebagai restitusi, maka nilainya akan mencapai Rp176,6 triliun. 

    Selain itu, ada kecenderungan ketidakelastisan antara penerimaan pajak dengan sektor-sektor produk domestik bruto (PDB). Sebagai contoh, pemerintah mengkaim bahwa daya beli pemerintah masih cukup terjaga. Klaim ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa sepanjang semester 1/2025 lalu pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 4,96% atau lebih tinggi dibandingkan dengan semester II/2024 yang tercatat sebesar 4,92%.

    Namun demikian, tren pertumbuhan konsumsi ini tidak sejalan dengan kinerja penerimaan pajak pertambahan nilai atau PPN. Data penerimaan pajak pada Semester 1/2025 mencatat realisasi PPN sebanyak Rp267,27 triliun atau terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi tahun lalu yang tercatat sebesar Rp332,81 triliun.

    Artinya ada ketidakelastisan antara kinerja konsumsi rumah tangga yang merepresentasikan daya beli masyarakat dengan penerimaan PPN. Kalau merujuk data BPS, secara kumulatif konsumsi rumah tangga mencapai Rp6.317,2 triliun pada semester 1/2025. Menariknya, jumlah PPN yang dipungut otoritas pajak hanya di angka Rp267,27 triliun atau sekitar 4,2% dari total aktivitas konsumsi masyarakat.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Rosmauli menekankan bahwa linerja penerimaan pajak tidak semata-mata dipengaruhi oleh konsumsi dan sektor manufaktur, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor lain secara keseluruhan. Meski demikian, Rosmauli mengakui bahwa penerimaan pajak tahun ini menghadapi banyak tantangan.

    “Saat ini, pengumpulan penerimaan pajak menghadapi sejumlah tantangan, antara lain penurunan harga komoditas yang disebabkan oleh gejolak perekonomian global dan ketidakstabilan geopolitik yang terjadi di sejumlah negara,” ujar Rosmauli kepada Bisnis, dikutip Senin (11/8/2025). 

    Rasio Pajak Stagnan, Rasio Utang Melonjak

    Realisasi penerimaan pajak semester 1/2025 tercatat di angka Rp831,3 triliun atau terkontraksi sebesar 7% dari realisasi semester 1/2024 yang tembus di angka Rp893,8 triliun. 

    Tren pelemahan dari sisi penerimaan pajak ini berisiko bagi stabilitas pengelolaan anggaran. Apalagi, pemerintah juga harus menghadapi potensi lonjakan utang untuk menutup celah fiskal yang ditimbulkan akibat shortfall penerimaan pajak.

    Dalam catatan Bisnis, pada tahun 2024 lalu total outstanding utang pemerintah mencapai Rp8.909,13 triliun atau 39,6% dari produk domestik bruto (PDB). Artinya jika mengacu data realisasi pembiayaan utang semester 1/2025, total utang pemerintah pusat telah menembus angka Rp9.224,5 triliun.

    Sementara itu, jika dihitung menggunakan outlook APBN 2025 yang mencapai Rp772,9 triliun, posisi utang pemerintah pusat (SBN dan pinjaman) kemungkinan menembus Rp9.682 triliun atau tumbuh 8,67% year on year (yoy). Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 2025 di angka 5% atau sekitar Rp23.245,9 triliun, maka proyeksi rasio utang terhadap PDB pada 2025 berada di angka 41,6%. 

    Perbandingan Rasio Pajak Vs Rasio Utang

    Angka 41,6% menjadi yang tertinggi selama 9 tahun terakhir. Proyeksi ini bahkan melampaui realisasi rasio utang pada masa pandemi Covid-19 (2020-2021) yang bila berdasarkan data Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024 berada di angka 39,4% – 41,1%.

    Persoalannya, tren lonjakan rasio utang yang nyaris mencetak rekor selama 9 tahun terakhir berbanding terbalik dengan kinerja rasio pajak yang justru stagnan bahkan cenderung menurun.

    Tahun ini, misalnya, pemerintah telah menetapkan bahwa outlook penerimaan pajak sebesar Rp2.076,9 triliun. Artinya dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5%, maka rasio pajak pada tahun 2025 kemungkinan akan berada di angka 8,9%.

    Proyeksi tersebut menunjukkan bahwa rasio pajak, khususnya penerimaan pajak pusat yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak, tidak pernah melonjak signifikan. Angka rasio pajak selalu terjebak di kisaran 8% selama 9 tahun terakhir. Angka pastinya di 7,5% – 8,9%. 

  • Bank Indonesia Mau Guyur Insentif Rp80 Triliun di Program 3 Juta Rumah

    Bank Indonesia Mau Guyur Insentif Rp80 Triliun di Program 3 Juta Rumah

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) mengungkap kelanjutan kerja sama dengan Bank Indonesia (BI) dalam mendorong realisasi penyaluran perumahan untuk program 3 juta rumah.

    Dalam laporannya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menuturkan bahwa pihaknya saat ini telah menyiapkan insentif senilai Rp80 triliun untuk penyaluran Giro Wajib Minimum (GWM) kepada industri perbankan yang melakukan penyaluran kredit perumahan.

    Untuk diketahui, insentif Giro Wajib Minimum (GWM) adalah kebijakan Bank Indonesia yang memberikan kelonggaran atau pengecualian dalam pemenuhan kewajiban GWM kepada bank-bank yang mendukung penyaluran kredit pada sektor tertentu, di mana dalam kasus ini yakni sektor properti.

    Dengan injeksi tersebut, diharapkan akses pembiayaan perumahan atau Kredit Pemilikan Rumah (KPR) masyarakat dapat lebih terakselerasi.

    Tak hanya itu, Perry juga menyebut tengah menyiapkan pemberian insentif Surat Berharga Negara (SBN) kepada sektor properti.

    “Selama setahun ini kami sudah membeli SBN dari pemerintah Rp 155 triliun. Dari Rp 155 triliun sekitar Rp 45 triliun oleh Menteri Keuangan disalurkan untuk pendanaan perumahan rakyat,” jelasnya dalam keterangan resmi, Minggu (10/8/2025).

    Gubernur BI menjelaskan, terdapat tiga alasan penting mengapa sektor perumahan rakyat perlu menjadi prioritas tidak hanya pemerintah tapi juga Bank Indonesia. Pertama, sektor perumahan rakyat jelas akan menyejahterakan rakyat karena mampu menyediakan rumah bagi rakyat.

    Kedua, sektor perumahan termasuk perumahan rakyat juga mendukung pertumbuhan ekonomi. Serta ketiga, sektor perumahan khususnya perumahan rakyat menciptakan lapangan kerja banyak. 

    “Kalau perumahan maju, pasirnya, beli pasirnya nambah, batu batanya nambah, semennya nambah, besinya nambah, gentengnya nambah, sehingga itu mendorong sektor-sektor yang lain di pertumbuhan ekonomi,” terangnya.

    Menanggapi hal itu, Menteri PKP Maruarar Sirait (Ara) menjelaskan dukungan Bank Indonesia merupakan bentuk sinergi yang baik untuk Program 3 Juta Rumah Presiden Prabowo Subianto. 

    Apalagi, tambah Ara, dari data yang ada pelaksanaan pembangunan perumahan bisa mendorong sektor industri dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

    “Hingga hari ini pembangunan perumahan masih menunjukkan tren kenaikan positif untuk rumah subsidi. Jadi Program 3 Juta Rumah sebagaimana arahan Presiden Prabowo juga perlu melibatkan berbagai pihak dan bersinergi termasuk BI,” pungkasnya.

  • Modal asing masuk bersih Rp9,24 triliun pada pekan pertama Agustus

    Modal asing masuk bersih Rp9,24 triliun pada pekan pertama Agustus

    Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso usai menghadiri acara Taklimat Media di Kantor Pusat BI, Jakarta, Senin (26/5/2025). (ANTARA/Rizka Khaerunissa)

    BI: Modal asing masuk bersih Rp9,24 triliun pada pekan pertama Agustus
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 08 Agustus 2025 – 23:15 WIB

    Elshinta.com – Bank Indonesia (BI) mencatat aliran modal asing masuk bersih ke pasar keuangan domestik sebesar Rp9,24 triliun pada pekan pertama bulan ini yakni periode transaksi 4-7 Agustus 2025.

    Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso melalui keterangannya di Jakarta, Jumat (8/8), merinci bahwa jumlah tersebut terdiri dari modal asing masuk bersih di pasar saham, Surat Berharga Negara (SBN), dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) masing-masing sebesar Rp0,64 triliun, Rp6,27 triliun dan Rp2,33 triliun.

    Sejak awal tahun ini hingga 7 Agustus 2025, modal asing keluar bersih di pasar saham dan SRBI masing-masing sebesar Rp61,13 triliun dan Rp98,77 triliun. Sedangkan modal asing masuk bersih di pasar SBN sebesar Rp58,73 triliun.

    Premi risiko investasi (credit default swaps/CDS) Indonesia 5 tahun tercatat naik dari 73,68 basis poin (bps) per 1 Agustus 2025 menjadi 74,21 bps per 7 Agustus 2025.

    Nilai tukar rupiah dibuka melemah tipis di level Rp16.300 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat (8/8), dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan Kamis (7/8) di level Rp16.285 per dolar AS.

    Adapun indeks dolar AS (DXY) tercatat melemah ke level 98,40 pada akhir perdagangan Kamis (7/8).

    DXY merupakan indeks yang menunjukkan pergerakan dolar AS terhadap enam mata uang negara utama antara lain euro, yen Jepang, pound Inggris, dolar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss.

    Imbal hasil atau yield SBN 10 tahun tercatat stabil di level 6,44 persen pada Jumat (8/8) pagi, sama seperti pada akhir perdagangan Kamis (7/8).

    Sementara imbal hasil US Treasury Note 10 tahun naik ke level 4,250 persen pada akhir perdagangan Kamis (7/8).

    Bank Indonesia pun terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia.

    Sumber : Antara

  • Daftar Lengkap 15 Anggaran Belanja K/L yang Bakal Dipangkas 2026 – Page 3

    Daftar Lengkap 15 Anggaran Belanja K/L yang Bakal Dipangkas 2026 – Page 3

    Sebelumnya, Badan Anggaran (Banggar) DPR RI menyetujui langkah pemerintah yang ingin memanfaatkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) 2024 sebesar Rp 85,6 triliun.

    Persetujuan ini disepakati dalam rapat pembahasan realisasi APBN semester I dan prognosis semester II tahun 2025 bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan jajaran pemerintah, di DPR, Jakarta, Kamis (3/7/2025).

    Pemanfaatan SAL tersebut dilakukan untuk membantu menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang diproyeksikan melebar. Pemerintah berharap langkah ini dapat mengurangi ketergantungan terhadap utang melalui penerbitan surat berharga negara (SBN).

    Wakil Ketua Banggar DPR RI Wihadi Wiyanto menyebut, dengan memanfaatkan sebagian dari total SAL sebesar Rp 457,5 triliun, pemerintah bisa menekan beban pembiayaan yang sebelumnya diperkirakan membengkak.

    Adapun realisasi pembiayaan anggaran tahun 2025 diprediksi mencapai Rp 662 triliun, naik dari proyeksi awal sebesar Rp 616,2 triliun.

    “Pemanfaatan SAL sebesar Rp 85,6 triliun yang akan digunakan untuk penurunan penerbitan SBN, pemenuhan kewajiban pemerintah atas belanja prioritas dan pembiayaan defisit,” kata Wihadi.

    Kesimpulan tersebut kemudian disetujui oleh forum rapat. Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah pun memastikan tidak ada penolakan dari pemerintah maupun dari fraksi-fraksi terhadap rencana tersebut.

    “Sudah disampaikan secara lengkap mohon izin minta persetujuan apakah kesimpulan yang disampaikan pimpinan disetujui? Pemerintah setuju?,” ujarnya.

     

     

  • Cadangan Devisa RI Dibayangi Utang Luar Negeri dan Efek Tarif Trump 19%

    Cadangan Devisa RI Dibayangi Utang Luar Negeri dan Efek Tarif Trump 19%

    Bisnis.com, JAKARTA — Cadangan devisa Indonesia dibayangi oleh pembayaran utang luar negeri dan kemungkinan efek penerapan tarif 19% terhadap barang asal Indonesia oleh pemerintahan Donald Trump. 

    Tarif Trump belum berdampak terhadap kinerja ekspor yang merupakan salah satu sumber devisa negara. Namun demikian, pemberlakuan tarif 19% yang efektif pada 7 Agustus 2025, diproyeksikan akan menekan kinerja ekspor barang Indonesia ke AS. Apalagi AS adalah salah pangsa pasar ekspor terbesar kedua Indonesia setelah China.

    Adapun rilis terbaru Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa pada Juli 2025 posisi cadangan devisa berada di angka US$152,0 miliar pada Juli 2025 atau turun dari bulan sebelumnya yang mencapai US$152,6 miliar.

    Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), cadangan devisa sempat mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada Maret 2025, yakni senilai US$157,1 miliar. Namun, setelahnya turun.

    Cadangan devisa relatif stabil posisinya sejak April 2025, yakni sebesar US$152,5 miliar. Posisinya kemudian turun pada Juli 2025, salah satunya untuk keperluan pembayaran utang luar negeri.

    “Perkembangan tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai respons Bank Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi,” ujar Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso, Kamis (7/8/2025).

    Grafik Cadangan Devisa Januari – Juli 2025

    Sumber: Bank Indonesia, miliar US$

    BI melaporkan posisi terakhir utang luar negeri Indonesia per Mei 2025 adalah senilai US$435,6 miliar, setara Rp7.100,28 triliun (asumsi kurs JISDOR BI Rp16.300 per dolar AS pada akhir Mei 2025). Jumlah utang itu naik US$4,05 miliar atau sekitar Rp66 triliun dari bulan sebelumnya.

    Jumlah utang luar negeri per Mei 2025 naik dalam nominal dolar, tetapi menjadi turun saat dikonversi ke dalam rupiah karena terjadi penguatan kurs pada Mei 2025 dari bulan sebelumnya.

    Utang luar negeri Indonesia Mei 2025 mengalami kenaikan 6,8% secara tahunan (year on year/YoY), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada April 2025 sebesar 8,2% (YoY).

    “Perkembangan tersebut disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ULN [utang luar negeri] di sektor publik dan kontraksi pertumbuhan ULN swasta,” ujar Denny.

    Dibayangi Tarif Donald Trump

    Ramdan menyampaikan bahwa BI juga melakukan intervensi di pasar keuangan demi menjaga stabilitas rupiah, terutama di tengah dinamika ekonomi global setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menetapkan tarif resiprokal ke banyak negara menjelang pemberlakuan.

    “Posisi cadangan devisa pada akhir Juli 2025 setara dengan pembiayaan 6,3 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor,” ujar Denny.

    BI, sambungnya, menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

    Oleh sebab itu, cadangan devisa sebesar US$152 miliar itu diyakini memadai untuk mendukung ketahanan sektor eksternal sejalan dengan tetap terjaganya prospek ekspor, neraca transaksi modal dan finansial yang diprakirakan tetap mencatatkan surplus.

    Sejalan dengan itu, BI berharap cadangan devisa tersebut meningkat persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional dan imbal hasil investasi yang menarik.

    “Bank Indonesia terus meningkatkan sinergi dengan pemerintah dalam memperkuat ketahanan eksternal guna menjaga stabilitas perekonomian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tutup Ramdan.

    Neraca Dagang RI-AS 

    Adapun tarif Trump 19% mulai berlaku pada 7 Agustus 2025. Alasan Trump mengenakan tarif impor barang sebesar 19% ke Indonesia untuk menyeimbangkan neraca perdagangan. Seperti diketahui, neraca perdagangan AS dengan Indonesia selalu defisit. Hal itu sudah berlangsung bertahun-tahun. 

    Bisnis telah merangkum data neraca perdagangan Indonesia-AS selama tahun 2020 – Semester 1/2025 versi otoritas statistik AS, yang menunjukkan nilai sebesar US$101,7 miliar. Angka defisit bagi AS merupakan surplus bagi neraca perdagangan Indonesia.

    Adapun kebijakan tarif Trump telah memicu kekhawatiran baik pemerintah maupun kalangan pengusaha mengenai turunnya permintaan dari AS akibat tarif yang mencapai 19%. Lonjakan ekspor ke AS dan masih terjaganya surplus perdagangan ke negeri Paman Sam itu dinilai tidak akan bertahan lama dan ada potensi kemungkinan tergerus pasca penerapan tarif Trump. 

    BPS mencatat bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan AS masih tercatat surplus di angka US$9,9 miliar pada semester 1/2025. Angka versi BPS itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan versi AS yang mencatatkan bahwa surplus perdagangan Indonesia ke AS mencapai US$11,7 miliar. 

    Apa Kata Ekonom?

    Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA (BBCA) David Sumual mengamini data BI tersebut. Dia menyebut utang luar negeri (ULN) pemerintah serta Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang jatuh tempo pada bulan lalu memang memakan porsi yang besar dari cadangan devisa Tanah Air. 

    Meski demikian, David masih menilai bahwa eksternal Indonesia masih terkendali karena kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) sejauh ini masih positif. 

    “Tapi sejauh ini asing masih positif ytd [year-to-date] di SBN mengimbangi net flow asing di saham yang negatif,” terang David kepada Bisnis, Kamis (7/8/2025). 

    Ke depan, David memperkirakan cadangan devisa Indonesia sampai akhir 2025 berada di kisaran US$150 miliar sampai dengan US$155 miliar. Perkiraan itu dengan asumsi SBN pemerintah dengan denominasi dolar Australia dan yuan China, Kangaroo dan Dimsum Bond, jadi terbit. 

    “Proyeksi antara US$150 miliar sampai dengan US$155 miliar. Ada rencana  penerbitan Kangaroo dan Dimsum Bonds. Kalau jadi bisa tambah devisa,” terangnya. 

    Tidak hanya itu, David turut memperkirakan nilai tukar rupiah juga bakal berada di rentang antara Rp16.300 sampai dengan Rp16.600 per dolar Amerika Serikat (AS). 

  • Indef: Investor Belum Pede Investasi meski Data Ekonomi Tumbuh Tinggi

    Indef: Investor Belum Pede Investasi meski Data Ekonomi Tumbuh Tinggi

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai bahwa investor belum menunjukkan kepercayaan diri penuh untuk menggenjot investasi di Indonesia meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia melampaui konsensus proyeksi, yakni mencapai 5,12% pada kuartal II/2025.

    Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menjelaskan bahwa respons pasar bisa menjadi cerminan bagaimana investor menyikapi data pertumbuhan ekonomi.

    Pada hari pengumuman pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025, Selasa (5/6/2025), IHSG ditutup menguat ke level 7.515,18 atau 0,68%. Namun, pada Rabu (6/8/2025) kembali melemah ke level 7.503,75 atau turun 0,15%.

    “Kalau dalam jangka pendek, kita sebenarnya bisa melihat kemarin IHSG masih relatif hijau, rupiah juga menguat, menggambarkan masih ada kepercayaan pasar. Namun, masalahnya, angka yang dirilis oleh BPS itu melawan puluhan leading indicator [indikator ekonomi], sehingga jika data-data ini tidak terefleksikan di real economy, investor jadi akan mencermati lagi perkembangannya,” ujar Eko kepada Bisnis, Rabu (6/8/2025).

    Menurut Eko, Agustus ini akan menjadi bulan penting bagi investor untuk mencermati bagaimana perbandingan data ekonomi per Juni 2025 dengan kondisi riil, seperti peningkatan kredit dan Purchasing Manager’s Index atau PMI Manufaktur. Investor juga akan mencermati indikator yang bersifat bulanan seperti Mandiri Spending Index.

    “Jika memang tidak menunjukkan peningkatan [seperti yang tergambar dalam ekonomi kuartal II/2025], respons paling cepat nanti di pasar itu, di IHSG dan nilai tukar rupiah,” ujarnya.

    Eko menilai bahwa pihak-pihak yang mengantongi dana jumbo, seperti industri asuransi dan investor asing, masih akan menunggu alias wait and see untuk melakukan investasi. Data ekonomi kuartal II/2025 yang tumbuh tinggi 5,12% tidak akan serta merta menarik investasi.

    Industri asuransi maupun investor asing, menurutnya, akan membandingkan data primer dan sekunder. Data primer yang dia maksud adalah informasi produk domestik bruto (PDB) dari pemerintah, dalam hal ini Badan Pusat Statistik (BPS), sedangkan informasi sekundernya adalah data pembanding dari berbagai indikator ekonomi.

    “Ketika data-data itu tidak match, dalam jangka menengah mereka akan wait and see. Artinya, misalkan 6 bulan ke depan, dunia usaha belum tentu akan ekspansi, investor juga harus diyakinkan dulu,” ujarnya.

    Berikut daftar 12 indikator utama yang menurut Indef tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025:

    Penjualan mobil dan motor turun: indikator langsung konsumsi masyarakat menengah-atas menurun
    PMI Manufaktur dalam fase kontraksi: industri lesu, permintaan domestik dan ekspor lemah
    Konsumsi rumah tangga turun: padahal konsumsi menyumbang >50% PDB, sinyal pelemahan ekonomi
    Penurunan investasi asing (foreign direct investment): menandakan kepercayaan investor melemah, berdampak ke investasi riil
    Inflasi naik pada Juli 2025: menggerus daya beli, menaikkan angka pengangguran terselubung
    Peningkatan PHK: memperburuk daya beli, menaikkan angka pengangguran terselubung
    Kredit perbankan melemah: mengindikasikan kehati-hatian pelaku usaha dan rumah tangga
    Indeks kepercayaan konsumen menurun: ekspektasi masa depan negatif
    Warga pesimistis terhadap penghasilan: mendukung hipotesis konsumsi lemah dan peningkatan ketimpangan
    Tekanan eksternal meningkat: adanya tarif Trump menekan pertumbuhan ekonomi global. Ekspor turun, suku bunga global tinggi, ketidakpastian geopolitik—memperburuk situasi perdagangan dan investasi
    Pasar keuangan Indonesia tidak terlalu menarik lagi: Capital outflow pasar saham Rp59 triliun, SRBI Rp77,4 triliun, nett buy SBN Rp59 triliun
    Penerimaan pajak turun: PPN dan PPnBM turun pada semester I/2025 sekitar 19,7%, pajak yang lemah tetapi PDB tumbuh tinggi membuat rasio pajak (tax ratio) akan turun.

  • IHSG Bisa Tembus 7.800 di Tengah Net Sell Asing dan Pelemahan Rupiah

    IHSG Bisa Tembus 7.800 di Tengah Net Sell Asing dan Pelemahan Rupiah

    Jakarta, Beritasatu.com – Indeks harga saham gabungan (IHSG) masih memiliki peluang untuk menembus level 7.800 di akhir tahun meski sempat terkoreksi cukup dalam akibat aksi jual asing. Pada perdagangan Senin (4/8/2025), IHSG turun 0,88% ke level 7.464,64, terseret tekanan dari arus keluar dana asing yang cukup besar.

    Pendiri Republik Investor Hendra Wardana mencatat, selama pekan terakhir Juli 2025, investor asing menarik dana sekitar Rp 16,24 triliun dari pasar keuangan Indonesia. Penarikan ini tidak hanya terjadi di pasar saham, tetapi juga di Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

    “Penyebab utama capital outflow ini adalah meningkatnya ketidakpastian global, mulai dari negosiasi tarif antara AS dan China hingga spekulasi kebijakan suku bunga The Fed setelah data tenaga kerja AS yang melemah,” ujar Hendra.

    Ia menambahkan, pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh Rp 16.385 per dolar AS turut memperburuk persepsi risiko terhadap aset dalam negeri.

    “Ketika kurs rupiah melemah tajam, maka imbal hasil riil dalam mata uang asing menjadi kurang menarik bagi investor global,” jelasnya.

    Namun, Hendra menilai sentimen domestik tidak sepenuhnya negatif. Ia melihat beberapa katalis positif, seperti kinerja emiten yang tetap solid di semester I 2025 dan ekspektasi pemangkasan suku bunga Bank Indonesia di paruh kedua tahun ini, berpotensi menopang pergerakan IHSG.

    Sementara, VP Marketing, Strategy & Planning Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi mengungkapkan, hingga awal Agustus 2025, investor asing mencatat net sell sebesar Rp 62 triliun, dengan sebagian besar berasal dari saham perbankan besar.

    “Net sell terbesar ada di BBCA Rp 18,7 triliun, disusul BMRI Rp 13,6 triliun, BBRI Rp 4,47 triliun, dan BBNI Rp 3,5 triliun,” ujarnya.

    Menurut dia, tekanan pada sektor perbankan disebabkan oleh perlambatan kinerja akibat suku bunga tinggi, rebalancing indeks global, serta kebijakan pemerintah terhadap bank Himbara yang dinilai membatasi profitabilitas seperti pembatasan dividen dan penugasan sosial.

    Namun, Oktavianus tetap optimistis tekanan ini hanya bersifat sementara. “Kami melihat outlook lebih stabil di semester II 2025, seiring rencana pelonggaran moneter oleh BI sebesar 25-50 basis poin dan membaiknya situasi global, termasuk meredanya ketegangan dagang AS-China,” paparnya.

    Kiwoom Sekuritas mempertahankan target konservatif IHSG di kisaran 7.700–7.800 pada akhir tahun, dengan asumsi pemangkasan suku bunga terjadi dan kondisi makroekonomi domestik membaik.