SBN Rp 700 Triliun Dikembalikan, Tak Masuk Kategori Barang Bukti Kasus Uang Palsu UIN Alauddin Makassar
Tim Redaksi
GOWA, KOMPAS.com
– Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, mengembalikan lembaran Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 700 triliun kepada terdakwa Annar Salahuddin Sampetoding.
Dalam sidang yang digelar Jumat (12/9/2025) pukul 14.30 Wita, hakim memerintahkan sejumlah barang buktim seperti mesin cetak, kertas, tinta, dan water mark disita, untuk dimusnahkan.
Namun, lembaran SBN Rp 700 triliun dikembalikan kepada terdakwa karena majelis hakim menilai tidak termasuk kategori barang bukti uang palsu.
“Lembaran surat berharga negara dikembalikan kepada terdakwa karena lembaran kertas berharga tersebut tidak termasuk kategori barang bukti uang palsu,” kata Ketua Majelis Hakim Dian Martha Budhinugraeny saat membacakan putusan.
Barang bukti SBN Rp 700 triliun yang belum diketahui keasliannya tersebut sempat jadi sorotan saat diperlihatkan dalam sidang beberapa waktu lalu.
Bripka Adrianto, personel Reskrim Polsek Pallangga, yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU), menjelaskan bahwa SBN senilai Rp 700 triliun itu ditemukan saat penggerebekan di rumah Annar.
“Surat berharga negara ini juga kami amankan di rumah Annar, dan kalau saya tidak salah ingat, itu diamankan di ruang pribadi Annar,” ujar Adrianto saat menjawab pertanyaan dari kuasa hukum terdakwa Syahruna.
Meski demikian, Annar membantah sebagai pemilik SBN itu dan merasa difitnah.
“Semua ini adalah fitnah apalagi SBN 700 triliun yang dijadikan barang bukti, saya sama sekali tidak tahu perihal SBN tersebut” kaya Annar.
Kuasa hukum terdakwa sendiri dikonfirmasi setelah sidang ini mempertanyakan barang bukti SBN tersebut sebagai rekayasa.
“SBN 700 triliun dari mana, kalau klien kami punya harta sekian, maka klien kami tidak pernah berencana jadi gubernur, tetapi jadi presiden,” kata Bethel Andi Kamaruddin, kuasa hukum terdakwa, yang dikonfirmasi Kompas.com usai sidang.
Persidangan dipimpin Ketua Majelis Hakim Dian Martha Budhinugraeny, dengan hakim anggota Sihabudin dan Yeni Wahyuni.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) terdiri dari Basri Bacho dan Aria Perkasa Utama.
Sidang digelar secara maraton setiap Rabu dan Jumat dengan total 15 terdakwa yang berbeda, termasuk pejabat dan staf UIN Alauddin Makassar, pegawai bank, ASN, serta guru.
Kasus ini terungkap pada Desember 2024 dan menggegerkan masyarakat. Uang palsu diproduksi di Kampus 2 UIN Alauddin Makassar, Jalan Yasin Limpo, Kabupaten Gowa, menggunakan mesin canggih impor dari China.
Hasil cetakan nyaris sempurna, lolos dari mesin hitung uang dan sulit terdeteksi dengan X-ray.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Produk: SBN
-
/data/photo/2025/07/23/6880a94e9314c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 SBN Rp 700 Triliun Dikembalikan, Tak Masuk Kategori Barang Bukti Kasus Uang Palsu UIN Alauddin Makassar Makassar
-

BNI Sambut Positif Penempatan Dana Cadangan Pemerintah Rp200 Triliun
JAKARTA – PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI menyambut positif rencana Pemerintah untuk menarik dana cadangan berlebih (excess reserve) sebesar Rp200 triliun dan menempatkannya di perbankan nasional.
Adapun langkah tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang dinilai akan memberikan stimulus positif bagi perekonomian, khususnya dalam memperkuat likuiditas dan mendorong penyaluran kredit ke sektor riil.
Corporate Secretary BNI Okki Rushartomo, menyampaikan kebijakan strategis ini berpotensi menambah kapasitas likuiditas perbankan.
Dengan demikian, ia menyampaikan perbankan dapat lebih optimal dalam menjalankan fungsi intermediasi untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor produktif yang menjadi fokus pembangunan nasional.
“BNI menyambut baik setiap kebijakan pemerintah yang bertujuan memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional. Penempatan dana di perbankan tentu akan menambah ruang likuiditas dan menjadi stimulus positif dalam mendukung pembiayaan di sektor riil,” ujar Okki dalam keterangan tertulis, Jumat, 12 September.
Ia juga menegaskan BNI berkomitmen untuk menyalurkan kredit secara sehat dan produktif, sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan
“BNI berkomitmen untuk tetap menyalurkan kredit secara sehat dan produktif, sejalan dengan prioritas pemerintah,” tegasnya.
Meski demikian, Okky menyampaikan efektivitas kebijakan ini tetap sangat bergantung pada perumusan teknis dan implementasi dari pihak regulator.
Menurutnya, terdapat beberapa hal yang perlu diperjelas antara lain adalah skema penempatan, tata kelola, jangka waktu, pengelolaan risiko, serta sektor-sektor prioritas penerima dana.
“Kebijakan penarikan dana excess reserve ini dipandang sebagai langkah tepat untuk memperkuat intermediasi perbankan dan mendukung akselerasi pemulihan ekonomi nasional. Dengan likuiditas yang lebih kuat, bank diharapkan dapat lebih agresif dalam mendanai proyek-proyek strategis yang mendorong pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan dana simpanan negara sebesar Rp200 triliun yang akan dipindahkan dari Bank Indonesia (BI) ke perbankan nasional tidak boleh digunakan untuk membeli Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) maupun Surat Berharga Negara (SBN).
“Kita udah bicara dengan pihak bank jangan beli SRBI atau SBN,” ujarnya kepada awak media usai Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XI DPR RI, Kamis, 11 September.
Dia menekankan, penggunaannya sepenuhnya diserahkan kepada pihak bank, selama tujuannya untuk memperkuat likuiditas dalam sistem keuangan nasional.
“(Peruntukannya) suka-suka banknya. Yang penting kan kita likuiditasnya masuk ke sistem,” tuturnya.
Dana tersebut berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) yang sebelumnya ditempatkan di BI.
Penempatan awal dana ini ditujukan untuk memperkuat basis likuiditas, termasuk mendorong peredaran uang primer (M0) di perekonomian.
Dia menambahkan, dana ini diharapkan dapat segera disalurkan oleh bank dalam bentuk kredit atau pembiayaan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
“Kalau ditaruh di brankas, rugi dia. Misalnya enggak ditaruh di BI lagi ya, Rugi dia kan? Dia akan terpaksa menyalurkan dalam bentuk kredit,” ujarnya.
Purbaya menjelaskan, kebijakan ini bertujuan mendorong mekanisme pasar agar berjalan dalam mendorong perekonomian.
“Jadi yang kita paksa adalah diberi bahan bakar supaya market mechanism berjalan sehingga mereka terpaksa menyalurkan, bukan terpaksa, yang biasanya tadi santai-santai, terpaksa berpikir lebih keras sedikit,” tegasnya.
Ia juga memastikan akan memantau langsung perkembangan penempatan dana tersebut, yang mulai dilakukan mulai besok melalui skema penjaminan.
“Yang jelas itu kan percobaan pertama. Taruh segitu dulu dan kita lihat dalam waktu seminggu, dua minggu, tiga minggu, seperti apa dampaknya ke ekonomi. Kalau kurang, tambah lagi,” tuturnya.
Menurut Purbaya, hingga saat ini, total dana kas negara yang masih tersimpan di BI mencapai sekitar Rp440 triliun dan akan terus dimanfaatkan secara bertahap untuk mendukung likuiditas dan menjaga stabilitas sistem keuangan.
“Daripada nongkrong aja. Tapi nanti kalau kurang kita bisa tambah lagi, kan uang kita tambah terus kan, masuk ada pajak segala macem masuk lagi ke sistem. Tapi yang kita jaga adalah jangan sampai kalau kita terbitin bond, kalau kita menarik pajak, sistemnya kering,” ujarnya.
-

Beri Kesempatan Menteri Keuangan Baru
Jakarta –
Pergantian pucuk pimpinan di Kementerian Keuangan selalu menjadi sorotan publik. Dinamika perdebatan publik mengenai pergantian Menteri Keuangan ini langsung meningkat ketika hari pertama pengumuman adanya reshuffle Kabinet Merah Putih. Bahkan di hari pertama pengangkatan Menteri Keuangan yang baru, pasar sempat merespon negatif.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat tertekan dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat melemah. Namun untungnya respon negatif ini hanya bersifat reaksioner sesaat karena di hari kedua IHSG dan nilai tukar rupiah sudah mulai mengalami “reborn”.
Tantangan Menteri Keuangan Baru
Dinamika perdebatan publik mengenai pergantian Menteri Keuangan ini cukup dapat dipahami. Menteri Keuangan bukan sekadar pejabat teknokratis, tetapi juga aktor politik-ekonomi yang menentukan arah kebijakan fiskal, stabilitas makro, dan persepsi pasar.
Dalam waktu bersamaan, terdapat tantangan yang tidak ringan yang akan dihadapi Menteri Keuangan salah satunya adalah mengurangi anomali pertumbuhan ekonomi yang terjadi di era pemerintahan Prabowo-Gibran.
Fenomena “anomali pertumbuhan” ini harus menjadi prioritas menteri keuangan baru. Pertumbuhan ekonomi yang sehat bukan sekadar angka statistik, melainkan harus mampu menciptakan lapangan kerja layak, meningkatkan kesejahteraan masyarakat menengah bawah, serta memperkuat daya tahan ekonomi domestik.
Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terjaga relatif tinggi, di atas lima persen. Namun di sisi lain, berbagai anomali justru dirasa mulai muncul di lapangan, menimbulkan pertanyaan apakah pertumbuhan itu benar-benar berkualitas.
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang positif, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) justru dirasa mulai meningkat. Banyak perusahaan, khususnya di sektor manufaktur dan tekstil, mengurangi kapasitas produksi karena melemahnya permintaan global maupun domestik yang disebabkan oleh membanjirnya impor pakaian bekas.
Hal ini memunculkan pengangguran baru baik yang sifatnya pengangguran terbuka maupun yang terselubung (setengah menganggur).
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang terjadi di setengah tahun ini malah menggeser pekerja sektor formal ke sektor informal. Lebih dari separuh angkatan kerja Indonesia masih berada di sektor informal.
Data ini memperlihatkan rapuhnya struktur ekonomi. Alih-alih menyerap tenaga kerja ke industri modern dengan produktivitas tinggi, pertumbuhan yang terjadi dalam enam bulan terakhir justru mendorong banyak orang ke sektor perdagangan kecil atau jasa informal yang rentan terhadap perubahan.
Indikator lain yang harus diperhatikan oleh Menteri Keuangan yang baru adalah turunnya jumlah tabungan masyarakat kelas menengah bawah, khususnya dengan saldo di bawah Rp100 juta. Fenomena ini populer disebut “mantab” (makan tabungan).
Artinya, pertumbuhan ekonomi belum benar-benar meningkatkan daya beli masyarakat terutama masyarakat menengah bawah. Pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah atas yang menjadikan ketimpangan pendapatan di tengah masyarakat masih cenderung tinggi.
Kredit perbankan, yang biasanya menjadi motor pertumbuhan dan penggerak roda industri, justru mulai memperlihatkan perlambatan. Penyaluran kredit bank di akhir pertengahan tahun 2025 hanya tumbuh di sekitaran tujuh persen.
Penurunan ini bukan hanya karena kehati-hatian bank, tetapi lebih karena melemahnya permintaan kredit dari dunia usaha. Bahkan risiko dunia usaha juga meningkat yang diperlihatkan dengan naiknya angka Non-Performing Loan (NPL) kredit perbankan. Kondisi ini menjadikan bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya.
Di waktu bersamaan, sektor UMKM juga mengalami tekanan. Kredit UMKM di beberapa sektor mengalami penurunan. Padahal selama ini UMKM menjadi penyedia lapangan kerja terbanyak. Kondisi ini menggambarkan naiknya risiko ekonomi dan menurunnya kepercayaan perbankan terhadap keberlanjutan usaha kecil dan menengah.
Apa yang Harus Dilakukan Menteri Keuangan Baru?
Menghadapi situasi ini, Menteri Keuangan baru tidak bisa hanya berfokus pada target angka pertumbuhan. Yang lebih penting adalah kualitas dari pertumbuhan itu sendiri.
Menteri Keuangan yang baru harus mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yaitu pertumbuhan ekonomi yang mampu menciptakan decent job (pekerjaan layak), mendorong UMKM naik kelas, memperluas kelas menengah, dan memperkuat struktur ekonomi daerah.
Program mengguyur likuiditas perbankan dengan dana milik pemerintah yang mencapai RP200 triliun demi mendorong pertumbuhan ekonomi cukup dapat dipahami. Namun langkah ini adalah resep generik jangka pendek.
Program ini juga harus dijalankan ekstra hati-hati. Jika likuiditas di lembaga perbankan terlalu berlebih maka hasilnya bisa kontraproduktif dengan tujuan semula, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dengan mendorong UMKM dan industri padat karya.
Saat ini likuditas di sektor perbankan sudah cukup ample. Lembaga perbankan memiliki dana yang sangat cukup untuk disalurkan menjadi kredit. Namun permasalahan utama yang dihadapi sektor perbankan saat ini adalah rendahnya permintaan (demand) kredit.
Pertumbuhn kredit yang hanya sekitar tujuh persen bukan disebabkan karena rendahnya likuiditas, namun karena permintaan pasar tidak banyak. Sektor riil terutama industri pengolahan dan UMKM tidak bergerak cepat seperti yang diharapkan sehingga ekspansi usaha juga tidak berjalan cepat.
Menambah likuiditas di tengah permintaan yang rendah dan risiko yang meningkat dikhawatirkan malah akan menjadi racun bagi lembaga perbankan.
Apalagi lembaga perbankan tidak boleh menyalurkan dana berlebihnya ke portofolio keuangan seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan juga Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Jika dipaksakan disalurkan ke dalam kredit maka besar kemungkinan akan terpilih kreditor-kreditor yang tidak berkualitas yang akan berpotensi meningkatkan NPL. Jika tetap dibiarkan mengendap maka bank akan mengalami kenaikan biaya modal karena menanggung biaya simpanan.
Bisa saja bank mensiasati dengan mengganti dana yang disalurkan dimana dana yang disalurkan menjadi dana pemerintah dan dana yang mengendap menjadi dana milik umum.
Namun hal itu tidak menyelesaikan masalah karena ibarat mengganti kantong, dari kantong kiri menjadi kantong kanan. Langkah ini hanya menyelesaikan permasalahan politis saja alih-alih masalah ekonomi dan tata kelola penyaluran kredit.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Oleh karena itu, kebijakan mengguyur likuiditas harus disertai dengan kebijakan lain yang dapat menciptakan permintaan di pasar kredit. Salah satunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Program MBG dapat menjadi instrumen kebijakan fiskal yang tidak hanya berorientasi pada gizi anak sekolah, tetapi juga sebagai sumber permintaan bagi produk-produk berbasis kearifan lokal. Program MBG bisa diarahkan untuk menjadi faktor pendorong perekonomian daerah berbasis produk-produk pangan lokal.
Agar program MBG dapat berfungsi sebagai penggerak ekonomi, dibutuhkan lembaga produksi dan distribusi yang kuat dalam hal ini program Koperasi Merah Putih yang ada di setiap desa bisa menjadi program pendukung yang sangat kuat.
Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dari program Menteri Keuangan baru ini terletak pada integrasi kedua program ini. Program MBG menciptakan permintaan, sementara koperasi menjadi penyedia pasokan. Program MBG dan Koperasi Merah Putih harus menjadi satu kesatuan ekosistem yang utuh sehingga bisa saling menguatkan.
Langkah Menteri Keuangan baru yang meminta laporan real time pelaksanaan dan realisasi anggaran dari Badan Gizi Nasional (BGN) merupakan langkah tepat yang bisa mendorong program MBG menjadi motor penggerak perekonomian.
Jika program MBG bisa menjadi motor penggerak perekonomian maka konsep pertumbuhan ekonomi “desa mengepung kota” akan berhasil lebih cepat. Pertumbuhan ekonomi desa mengepung kota akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan lebih adil.
Indonesia pernah mengenal program “desa mengepung kota” yang digagas salah satu bank BUMN di awal tahun 2000-an. Program ini menekankan pentingnya membangun ekonomi desa sebagai basis pertumbuhan.
Program yang digagas bank milik pemerintah ini bisa dikatakan berhasil dan saat ini menjadikan bank plat merah tersebut sebagai salah satu bank dengan aset terbesar di Indonesia.
Meski konsepnya menjanjikan, implementasi tentu penuh tantangan, mulai dari koordinasi antar kementerian, masalah tata kelola, kapasitas koperasi, hingga monitoring dan evaluasi. Belanja untuk MBG dan penguatan koperasi tentu membutuhkan dana besar. Namun, jika dirancang sebagai investasi sosial-ekonomi jangka panjang, program ini justru bisa memperkuat basis pajak di masa depan yang tentunya berujung pada penambahan pendapatan negara yang berkelanjutan.
Penulis:
Agus Herta Sumarto
Ekonom INDEF dan Dosen FEB UMB(hns/hns)
-

Kalau Kurang Kita Tambah Lagi
GELORA.CO – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa akan mengguyur dana Rp200 triliun ke enam bank nasional untuk mendorong perekonomian. Bahkan, dirinya akan menambah jumlah tersebut jika dirasa kurang.
Purbaya menegaskan, keputusan untuk mengguyur Rp200 triliun didasarkan pada jumlah uang pemerintah yang saat ini berada di Bank Indonesia (BI), yaitu Rp440 triliun.
“Karena uang saya sekarang ada di BI ada Rp440 triliun. Saya kurang separuh, itu saja. Daripada nongkrong saja. Tapi nanti kalau kurang kita bisa tambah lagi, kan uang kita tambah terus kan, masuk ada pajak segala macem masuk lagi ke sistem,” kata Purbaya kepada awak media di DPR, Kamis (11/9/2025).
Purbaya menekankan pentingnya menjaga agar sistem perekonomian tidak kering saat pemerintah menerbitkan obligasi atau menarik pajak.
Adapun Purbaya menegaskan bahwa ia telah meminta perbankan untuk tidak menggunakan dana tersebut untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) atau Surat Berharga Bank Indonesia (SRBI).
Menurutnya, peruntukan dana sepenuhnya diserahkan kepada bank, yang terpenting adalah likuiditas mengalir ke sistem.
“Suka-suka bank. Yang penting kan kita likuiditas masuk ke sistem,” ucapnya.
Purbaya percaya bahwa injeksi dana ini akan memaksa bank-bank untuk menyalurkan kredit. Ia menyebut, bank akan berpikir lebih keras untuk mencari proyek-proyek yang menguntungkan guna menghindari kerugian.
Dengan cara ini, Purbaya yakin uang akan menyebar di sistem ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi dan kredit lebih cepat.
Meskipun belum ada hitungan pasti mengenai dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan kredit, Purbaya mengatakan bahwa ini adalah percobaan pertama.
“Taruh segitu dulu dan kita lihat dalam waktu seminggu, dua minggu, tiga minggu, seperti apa dampaknya ke ekonomi. Kalau kurang, tambah lagi,” pungkasnya
-

Menkeu Mau Suntik Perbankan Rp200 Triliun pakai Skema Penempatan SAL
Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut dana pemerintah yang rencananya dipindahkan dari Bank Indonesia (BI) ke perbankan sebesar Rp200 triliun berdasarkan dari Saldo Anggaran Lebih (SAL).
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan, pihaknya saat ini masih menyiapkan skema penempatan dana pemerintah itu ke perbankan guna meningkatkan likuiditas. Belum ada perbankan maupun industri keuangan yang ditentukan bakal menerima guyuran likuiditas tersebut.
Namun, skema penempatan dana itu rencananya bakal mengikuti skema penempatan SAL sebesar Rp83 triliun dari kas di BI untuk disalurkan ke perbankan guna pembiayaan program Koperasi Desa Merah Putih.
“Seperti misalnya kan kami sedang menyiapkan penempatan dana untuk KDMP [Koperasi Desa Merah Putih], nah itu peraturannya kan sedang difinalisasi. Jadi itu nanti akan mirip tata kelolanya, tetapi intinya kan kami ingin mempercepat penambahan likuiditas di perekonomian, sehingga itu nanti bisa menjadi kredit yang disalurkan untuk menggerakkan perekonomian,” jelasnya saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Febrio menyebut, penempatan dana pemerintah yang disimpan di BI ke perbankan adalah keputusan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Bendahara Negara baru itu disebut memandang pemerintah masih memiliki likuiditas yang bisa disalurkan ke perbankan untuk program-program kebijakan fiskal lainnya.
Kemenkeu pun berencana untuk membuat aturan lebih lanjut agar dana tersebut disalurkan menjadi kredit, bukan ditempatkan perbankan kepada instrumen SBN.
“Itu nanti kami pastikan, tapi memang betul bahwa kalau kami melakukan penempatan dana, dalam hal ini kan kami ingin supaya itu digunakan untuk menciptakan kredit. Tentunya kami enggak mau perbankannya nanti menggunakan untuk beli SBN, itu tentunya counter productive. kami siapkan peraturannya,” tegas pria yang dulu memegang jabatan sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu.
Saat ditanya apabila Rp200 triliun dimaksud sama dengan Rp83 triliun untuk Kopdes, Febrio menyebut semuanya adalah untuk program pemerintah. Nantinya, penggunaan dana-dana yang ditempatkan itu bakal dilakukan secara pooling.
“Nanti kami detailkan. Tapi ini intinya adalah kami punya SAL dan juga SILPA yang kami simpan di Bank Indonesia, tadi diarahkan agar dialirkan ke perbankan agar bisa menciptakan kredit,” tuturnya.
Sebelumnya, Menkeu Purbaya Sadewa menyebut pemerintah akan menyuntik sistem keuangan Tanah Air dengan dana pemerintah yang disimpan di Bank Indonesia (BI).
“Saya sudah lapor ke Presiden, ‘Pak saya akan taruh uang ke sistem perekonomian. Berapa? Saya sekarang punya Rp425 triliun di BI, cash besok saya taruh Rp200 triliun’,” ungkapnya.
Ke depan, uang yang disuntikkan ke perbankan itu diminta agar BI tidak menyerapnya lagi. Harapannya, kebijakan fiskal untuk menghidupkan sektor swasta itu bisa menghidupkan perekonomian lagi. Lalu, dia juga akan mendorong belanja pemerintah agar bisa berjalan lebih baik.
-

Ekonom ingatkan kehati-hatian dalam penerapan skema burden sharing
Ini (risiko) adalah sesuatu yang saya rasa pemerintah harus antisipasi. Apakah burden sharing ini harus diakhiri? Tidak. Kita jalankan, tapi dengan hati-hati. Gradual.
Jakarta (ANTARA) – Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam penerapan skema burden sharing oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI), guna mendukung program-program prioritas Presiden Prabowo Subianto.
“Ini (risiko) adalah sesuatu yang saya rasa pemerintah harus antisipasi. Apakah burden sharing ini harus diakhiri? Tidak. Kita jalankan, tapi dengan hati-hati. Gradual,” kata Wijayanto dalam diskusi yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu.
Adapun kesepakatan antara Kemenkeu dan BI tersebut bertujuan menekan beban fiskal pemerintah, agar pendanaan program perumahan rakyat dan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih dapat terealisasi.
Skema tersebut sebagai bagian dari kebijakan moneter ekspansif, dengan BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Dana dari pembelian itu kemudian dialokasikan Kemenkeu untuk mendanai program ekonomi kerakyatan.
Beban bunga SBN ditanggung bersama oleh BI dan Kemenkeu melalui mekanisme burden sharing, masing-masing separuh.
Lebih lanjut, Wijayanto mengatakan pemerintah juga harus melihat apakah skema burden sharing ini merupakan langkah strategis yang sudah dipikirkan sejak lama atau karena “terpojok” untuk mencari solusi tercepat.
Untuk itu, melakukannya secara bertahap pada program strategis perlu dilakukan perlahan dan tidak terburu-buru.
“Program 3 Juta Rumah juga dilakukan gradual, mulai dari kecil dulu nanti ramp up naik. Kemudian Koperasi Desa Merah Putih juga begitu,” ujar dia lagi.
Sependapat, Direktur Program Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini juga menekankan independensi dan mencermati risiko dalam penerapan skema burden sharing.
“Selain memegang independensi, juga harus mencermati beberapa risiko terkait stimulus dari kebijakan moneter ini,” kata Eisha.
Eisha menilai, kebijakan moneter modern ini memang dapat membantu dalam percepatan target pertumbuhan ekonomi, tapi juga ada sejumlah risiko seperti potensi inflasi hingga antisipasi jika ada program yang tidak berhasil implementasinya.
“Risiko yang perlu dicermati, apakah stimulus dari kebijakan moneter ini bisa mendorong produktivitas pada Kopdes Merah Putih dan perumahan rakyat. Kalau programnya berjalan dan targetnya tepat sasaran, idealnya sesuai dengan yang tadi diharapkan bahwa kebijakan moneter bisa mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Eisha pula.
“Namun, jika pada pelaksanaannya, misalnya risiko kegagalan seperti proyek mangkrak di perumahan rakyat, itu (dampak buruk) tidak dapat dihindari. Jika pengelolaannya tidak baik, maka ini bisa menimbulkan efek yang berlawanan,” katanya lagi.
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Soal Reshuffle Menkeu, Ekonom Pastikan Fundamental Ekonomi RI Sehat
Jakarta, CNBC Indonesia – Purbaya Yudhi Sadewa telah resmi dilantik menjadi Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada Senin (8/9/2025). Serah terima jabatan antara keduanya pun juga telah dilakukan pada Selasa (9/9/2025).
Pergantian yang terjadi di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian dan tekanan pasar keuangan, sejumlah ekonom menilai fondasi makroekonomi Indonesia masih cukup kuat. Namun para ekonom mengingatkan bahwa momen reshuffle dapat menimbulkan risiko baru, terutama terkait kredibilitas fiskal dan kepercayaan investor.
Kepala Departemen Makroekonomi Indef, Muhammad Rizal Taufikurrahman menilai kondisi fundamental Indonesia relatif sehat. Pertumbuhan moderat, inflasi terkendali, dan sistem perbankan solid. Namun dirinya menyoroti kenaikan risk premium akibat ketidakpastian arah kebijakan pasca pergantian Menteri Keuangan.
“Artinya, keseimbangan risiko saat ini lebih ditentukan oleh kredibilitas jangkar kebijakan yakni disiplin defisit kurang dari 3% terhadap PDB, konsistensi APBN, dan koordinatif fiskal-moneter ketimbang sekadar narasi optimism,” ujar Rizal kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/9/2025).
Rizal mengatakan, bila respons kebijakan cepat, terukur, dan berbasis aturan akan menurunkan persepsi risiko. Tetapi jika sinyal pemerintah tidak jelas arahnya, volatilitas rupiah maupun yield obligasi akan cepat menekan ruang fiskal.
Maka dari itu, menurutnya, dari sudut stabilitas pasar, pergantian Menteri Keuangan ini tidak ideal. Pasalnya menambah ketidakpastian kebijakan saat volatilitas tinggi.
“Namun dampaknya bisa dinetralisir apabila dalam hitungan hari Menkeu baru menegaskan 3% sebagai hard ceiling, mempublikasikan peta jalan pembiayaan program yang kredibel, dan memperlihatkan rencana eksekusi APBN yang sequenced dan doable. Dengan demikian, penting kiranya, bahwa kredibilitas ditentukan oleh aturan dan eksekusi, bukan figur semata,” ujarnya.
Namun Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai tren fiskal Indonesia justru mengkhawatirkan. Penerimaan negara terbatas, sementara belanja terus melejit karena program prioritas dan pembayaran bunga utang yang membengkak.
“Burden sharing SBN memperburuk situasi dengan meningkatkan ketergantungan kita terhadap utang,” ujar Wijayanto kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/9/2025).
Wijayanto menilai pergantian Menteri Keuangan di periode krusial ini justru memperbesar risiko. Menurutnya, kinerja Sri Mulyani sebenarnya relatif memuaskan, sehingga pergantian seharusnya dilakukan setelah 2026, bukan saat memasuki masa berat pembiayaan.
“Tahun 2026 adalah tahun terberat dimana kita perlu refinancing utang dan menerbitkan utang baru senilai Rp 1.400 T; investor confidence sangat diperlukan. Jika memang harus mengganti, idealnya pasca 2026. Saya pribadi menilai sesungguhnya kinerja bu Sri Mulyani relatif memuaskan,” ujarnya.
Di sisi lain Ekonom Center for strategic and international Studies (CSIS), Riandy Laksono menilai masalah ekonomi Indonesia tidak hanya soal stabilitas makro, tetapi juga lemahnya sektor riil dan ketenagakerjaan. Industri manufaktur belum kompetitif dibandingkan negara pesaing, sehingga penciptaan lapangan kerja tidak maksimal.
“Dampaknya sektor industri yang lemah adalah penciptaan lapangan kerja juga jadinya tidak bisa terlalu masif, apalagi pekerjaan yang berkualitas. Sekarang ini masyarakat banyak bekerja di sektor jasa yang tidak terlalu produktif, termasuk gig economy seperti ojol. Ini yang harus menjadi concern,” ujar Riandy kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/9/2025).
Terkait pergantian Menteri Keuangan, Riandy melihat faktor politik ikut berperan. Dirinya menyebut langkah Presiden sebagai bagian dari meredam protes publik, sekaligus momentum berpisahnya jalan Presiden Prabowo Subianto dengan Sri Mulyani.
“Tidak ada waktu yang benar-benar tepat, saya melihat ini sebagai upaya presiden meredam protes yang beredar termasuk untuk statement yang dirasa oleh publik tone deaf yang juga sempat dilontarkan oleh menteri keuangan, walau dengan level yang jauh lebih mild daripada statement anggota DPR yang bermasalah,” ujarnya.
Sementara itu, Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menjelaskan meskipun fundamental ekonomi masih stabil, pasar finansial sangat sensitif terhadap sinyal kebijakan. Seperti pelemahan rupiah pasca pengumuman reshuffle, kenaikan imbal hasil SBN, serta koreksi IHSG menunjukkan bahwa transmisi dari sisi kepercayaan pasar dapat cepat menekan variabel makro keuangan bila komunikasi kebijakan tidak solid.
“Dengan kata lain, fondasi makro masih memadai, tetapi penyangga kepercayaan pasar harus segera diperkuat agar volatilitas jangka pendek tidak berubah menjadi pelemahan yang berkepanjangan,” ujar Josua kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/9/2025).
Menurutnya, langkah kunci pemerintah adalah mempercepat komunikasi kebijakan. Kejelasan outlook defisit fiskal, rencana pembiayaan utang, serta pola komunikasi yang konsisten akan menentukan apakah pasar kembali percaya atau justru semakin meragukan stabilitas ekonomi.
“Jika sinyal ini cepat keluar, dampak negatif dari penentuan waktu dapat ditekan dan kepercayaan segera pulih,” ujarnya.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
-

Purbaya Tegaskan Burden Sharing BI & Kemenkeu Tak Picu Inflasi
Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan skema burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, tidak akan memicu lonjakan laju inflasi dalam negeri.
Hal ini disampaikan Purbaya setelah rapat dengan Presiden Prabowo Subianto kemarin, Selasa (9/9/2025).
Purbaya menilai inflasi lebih disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang cepat, bukan dipicu dari burden sharing BI dan pemerintah.
“Kalau ekonomi tumbuh cepat baru bisa inflasi. Kalau pertumbuhannya di atas laju pertumbuhan ekonomi potensial. (Ekonomi) Kita (bisa) 6,5% sampai 6,7%. Jadi masih jauh kalau kita bilang demand pull inflasi akan terjadi,” ungkapnya
“Artinya pertumbuhan yang terlalu cepat menyebabkan inflasi. Jadi nggak otomatis defisit APBN menyebabkan inflasi atau belanja menyebabkan inflasi,” paparnya.
Sebelumnya, BI telah menjelaskan skema burden sharing atau berbagi beban terbaru yang dilakukan antara BI dengan Kementerian Keuangan adalah untuk mendanai program-program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melalui Asta Cita.
Burden sharing kali ini dilakukan melalui pembelian surat berharga negara (SBN) dalam jumlah besar, namun tetap di pasar sekunder, bukan primer seperti era Covid-19.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso menjelaskan, burden sharing ini dilakukan antara BI dengan Kementerian Keuangan dengan cara pembagian beban bunga dengan membagi rata biaya bunga atas penerbitan SBN untuk program Pemerintah terkait Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih, setelah dikurangi penerimaan atas penempatan dana Pemerintah untuk kedua program tersebut di lembaga keuangan domestik.
Dalam pelaksanaannya, pembagian beban kata Denny dilakukan dalam bentuk pemberian tambahan bunga terhadap rekening Pemerintah yang ada di Bank Indonesia sejalan dengan peran Bank Indonesia sebagai pemegang kas Pemerintah sebagaimana Pasal 52 Undang Undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 4 Tahun 2023 tentang P2SK juncto Pasal 22 serta selaras dengan Pasal 23 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
“Selain itu, besaran tambahan beban bunga oleh Bank Indonesia kepada Pemerintah tetap konsisten dengan program moneter untuk menjaga stabilitas perekonomian dan bersinergi untuk memberikan ruang fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan meringankan beban rakyat,” kata Denny dikutip dari keterangan resmi, Kamis (4/9/2025).
Besaran pembelian SBN yang dilakukan BI sejak awal tahun ini hingga Agustus 2025 untuk membantu pembiayaan program-program Asta Cita mencapai Rp 200 triliun, termasuk pembelian di pasar sekunder dan program debt switching dengan Pemerintah sebesar Rp150 triliun.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]

