Produk: RUU Pemilu

  • Dulu Kenapa Diganti RUU ASN?

    Dulu Kenapa Diganti RUU ASN?

    GELORA.CO – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia mempertanyakan sikap Komisi II DPR yang meributkan soal pembahasan revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu. Adapun RUU Pemilu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang akan dibahas Baleg.

    Hal itu merespons sikap Komisi II DPR yang ingin mengambil alih pembahasan RUU Pemilu. Padahal Komisi II sempat menarik RUU Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2025.

    “Sekarang mereka tiba-tiba minta, pertanyaannya kenapa dulu di drop?” kata Doli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/4/2025).

    Dia mengatakan, RUU Pemilu tak serta merta diambil alih oleh Baleg. Ada hal yang melatar belakanginya.

    Pada DPR Periode 2019-2024, Doli mengaku menjadikan RUU Pemilu sebagai usulan Komisi II. Saat itu, dia menjabat sebagai ketua Komisi II.

    Memasuki periode 2024-2029, Komisi II DPR yang diketuai oleh Rifqinizamy Karsayuda , juga masih memasukan RUU Pemilu sebagai usulan. Namun, menjelang Baleg menetapkan daftar Prolegnas Prioritas dan Prolegnas jangka panjang, Komisi II justru menggantinya dengan revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN).

    “Di awal periode (DPR 2024-2029), Baleg minta lagi ke masing-masing pimpinan komisi mana (RUU) prioritas. Pimpinan komisi yang baru waktu itu mengirimkan hal yang sama dengan apa yang saya kirim di akhir periode (DPR 2019-2024),” kata Doli.

    “Tapi, pada saat mau menjelang pembahasan di prolegnas, mereka (Komisi II) drop (RUU Pemilu). Mereka drop, ganti UU ASN,” sambungnya.

    Politisi Partai Golkar itu menilai, RUU Pemilu mendesak untuk segera dibahas. Oleh karena itu, dia berinisiatif tetap memasukannya ke dalam daftar Prolegnas Prioritas, namun diambil alih oleh Baleg.

    “Karena saya merasa itu undang-undang yang penting dan urgen, supaya masuk tetap di prioritas 2025, akhirnya saya usulkan jadi usulan Baleg, supaya enggak hilang,” ucap Doli.

    Baleg Tak Masalah RUU Pemilu Diambil Komisi II

    Prihal tarik menarik pembahasan RUU Pemilu, Doli menegaskan tak masalah jika tak lagi jadi usulan Baleg, dan dikembalikan ke Komisi II. Asalkan revisi segera dilakukan.

    “Buat saya enggak ada soal. Mau Komisi II, toh saya juga (anggota) Komisi II, mau di Baleg, mau di Pansus (Panitia Khusus), enggak ada soal. Yang penting buat saya ini udang-undang segera dibahas,” katanya.

    Namun, apabila ingin menyerahkan pembahasan RUU Pemilu ke Komisi II, ada mekanisme yang harus ditempuh. Sebab, RUU Pemilu sudah terlanjur tercatat dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025 yang dibahas Baleg.

    Proses pergantiannya pun harus melalui rapat antara Baleg DPR dengan pemerintah untuk mengubah daftar prolegnas.

    “Kalaupun nanti misalnya mau diubah ke Komisi II, harus rapat dulu dengan pemerintah perubahanan prolegnas. Karena di dalam prolegnas sekarang kecantumnya di Baleg,” kata Doli.

    “Kenapa di Baleg? Karena tadi Komisi II nge-drop, (RUU) ASN yang dimasukan. Makanya saya heran, kok mereka protes terhadap keputusan yang mereka ambil sendiri,” sambungnya.

    RUU Pemilu Mendesak Segera Dibahas

    RUU Pemilu dinilai mendesak untuk segera dibahas, terlepas siapa nantinya yang ditugaskan untuk membahas. Salah satu alasannya untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

    Doli mengatakan, MK mengeluarkan sejumlah putusan yang bakal mengubah sejumlah substansi dalam UU Pemilu.

    “Yang penting segera dibahas. Karena apa? Putusan MK banyak sekali yang menyuruh kita untuk melakukan revisi undang-undang,” ucapnya.

    Dia membeberkan salah satu putusan MK yang mempengaruhi adanya RUU Pemilu yaitu syarat ambang batas parlemen atau parlementary threshold, dan ambang batas calon presiden atau presidential threshold.

    Selain itu, putusan MK juga meminta agar Pilkada dijadikan satu dengan pemilu. Karena itu tengah digodok rencana RUU Omnibus Law Poitik yang menggabungkan UU Pemilu, UU Plkada, dan UU Partai Politik

    “Artinya undang-undangnya harus satu, enggak boleh dua lagi,” kata Doli.

    Di sisi lain, tahapan pemilu selanjutnya akan dimulai 20 bulan sebelum hari pemilihan. Artinya, satu tahun sebelum tahapan pemilu dimulai proses pemilihan, penetapaan penyelenggaran pemilu.

    “Jadi kalau ditarik itu semua, artinya bulan Juli 2026 undang-undang ini harus selesai. Nah, dari sekarang itu kan tinggal satu tahun dua bulan lagi,” ucap Doli.

    Dia juga menyinggung komitmen Presiden Prabowo untuk perbaikan sistem politik. Hal itu juga menjadi salah satu alasan urgensi pembahasan RUU Pemilu.

    Doli berharap pemerintah bisa menyampaikan komitmen Prabowo kepada pimpinan partai-partai politik.

    “Pak Prabowo yang selama ini sering menyampaikan bahwa kita perlu perbaikan sistem politik, ya kan. Nah, pemerintah harus mendorong ini,” pungkasnya. 

  • Berebut Revisi UU Pemilu, Baleg DPR Bilang Komisi II Lebih Pilih UU ASN 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 April 2025

    Berebut Revisi UU Pemilu, Baleg DPR Bilang Komisi II Lebih Pilih UU ASN Nasional 17 April 2025

    Berebut Revisi UU Pemilu, Baleg DPR Bilang Komisi II Lebih Pilih UU ASN
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Saat ini tengah terjadi rebutan pekerjaan pembuatan undang-undang.
    Komisi II DPR
    dan Badan
    Legislasi
    (Baleg)
    DPR
    sama-sama ingin membahas
    Revisi UU Pemilu
    . Baleg bilang Komisi II sendiri yang dulu menghapus
    revisi UU Pemilu
    dari daftar prioritas kerjanya.
    Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Doli Kurnia menjelaskan bahwa revisi paket Undang-Undang (UU) politik, termasuk UU Pemilu, masuk dalam Program Legislasi Nasional (
    Prolegnas
    ) 2025 atas inisiatif Baleg.
    Hal tersebut terjadi lantaran Komisi II memutuskan untuk mengganti prioritas usulan mereka menjadi RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) menjelang penetapan Prolegnas 2025.
    “Di ujung periode 2019-2024 kemarin, Baleg waktu itu minta surat masing-masing komisi kira-kira undang-undang apa saja yang belum terbahas yang menjadi prioritas. Saya waktu itu kirim lagi, nomor satunya Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Pilkada, dan lain-lain,” ujar Doli kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Kamis (17/4/2025).
    Menurut Doli, usulan yang sama kembali dikirim oleh pimpinan Komisi II di awal periode DPR 2024-2029. Namun, menjelang penetapan Prolegnas, Komisi II justru mengganti RUU prioritas yang diajukan.
    “Pas penetapan (Prolegnas), mereka (Komisi II) drop (membatalkan UU Pemilu jadi usulan prioritas), ganti Undang-Undang ASN. Karena saya merasa itu undang-undang yang penting dan urgen, supaya tetap masuk prioritas 2025, akhirnya saya usulkan jadi usulan Baleg. Supaya enggak hilang,” ungkap Doli.
    Doli menegaskan, baginya tidak menjadi soal apakah pembahasan revisi UU Pemilu dilakukan di Komisi II, Baleg, atau lewat pembentukan panitia khusus (pansus).
    Politikus Golkar itu berpandangan bahwa yang terpenting proses pembahasan segera dimulai, mengingat tenggat waktu yang semakin sempit.
    Sebab, revisi paket UU politik harus sudah selesai paling lambat Juli 2026, agar bisa digunakan untuk persiapan tahapan Pemilu 2029.

    “Sebelum tahapan dimulai, satu tahun sebelumnya itu sudah harus ada proses pemilihan penetapan penyelenggara pemilu. Kalau ditarik itu semua, artinya bulan Juli 2026 undang-undang ini harus selesai. Nah, dari sekarang itu tinggal satu tahun dua bulan lagi,” tutur Doli.
    Lebih lanjut, Doli mengungkapkan bahwa Baleg sudah memasukkan pembahasan paket UU politik dalam jadwal kerja, dan berencana menggelar rapat dengar pendapat umum waktu dekat.
    “Sudah dimasukkan ke jadwalnya, mungkin ya dalam seminggu-dua minggu inilah. Karena di dalam
    prolegnas
    sekarang tercantumnya di Baleg. Kenapa di baleg? Ya karena tadi komisi II nge-drop. ASN yang dimasukin,” jelas Doli.
    “Makanya saya heran kok mereka protes terhadap keputusan yang mereka ambil sendiri,” ucap Doli.
    Meski demikian, Doli menegaskan bahwa penentuan lokasi pembahasan -apakah di Komisi II, Baleg, atau pansus- akan diputuskan dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR bersama pimpinan fraksi.
    “Jadi jangan diadu-adu nih antara Baleg sama Komisi II. Kami melaksanakan itu karena memang di dalam Prolegnas
    RUU Pemilu
    , Pilkada, dan Partai Politik masuk di Baleg. Kalau mau dikeluarin dari Baleg, harus ada rapat Prolegnas lagi bersama pemerintah untuk mengubah itu,” pungkasnya.

    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pimpinan Komisi II DPR Tolak Lepaskan RUU Pemilu: Baleg Bukan Pabrik UU!
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 April 2025

    Pimpinan Komisi II DPR Tolak Lepaskan RUU Pemilu: Baleg Bukan Pabrik UU! Nasional 17 April 2025

    Pimpinan Komisi II DPR Tolak Lepaskan RUU Pemilu: Baleg Bukan Pabrik UU!
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua Komisi II
    DPR
    RI
    Aria Bima
    seolah memegang erat
    RUU Pemilu
    yang berpotensi lepas dari tangan komisinya. Dia tak mau menyerahkan pembahasan RUU itu ke Badan Legislasi (Baleg) DPR.
    Dia mengatakan, komisinya akan tetap memprioritaskan pembahasan revisi paket Undang-Undang (UU) politik, termasuk di dalamnya RUU Pemilu.
    Hal itu disampaikan Aria Bima saat merespons kabar
    Komisi II DPR RI
    ditugaskan membahas RUU Aparatur Sipil Negara (ASN), sementara paket UU Politik dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
    “Prioritas kami
    UU Pemilu
    , karena kita sudah menjalankan, mengundang berbagai stakeholder, termasuk pengamat-pengamat mengenai masalah politik, di dalam dan luar kampus,” ujar Aria Bima saat ditemui di Gedung DPR RI, Kamis (17/4/2025).
    “Serta beberapa NGO yang sudah kita undang beberapa kali untuk mengevaluasi pelaksanaan pemilu, baik itu Pilpres, Pileg, dan Pilkada,” sambungnya.
     
    Politikus PDI-P itu berpandangan bahwa sudah sepatutnya revisi paket UU Politik dibahas oleh Komisi II yang memang membidanginya.
    Dia pun menilai
    Baleg DPR
    RI bukanlah alat kelengkapan dewan (AKD) yang bertugas menyusun UU, tetapi lebih berfungsi sebagai tempat sinkronisasi.
    “Alangkah tepatnya, baiknya, kalau UU Pemilu itu ya di
    leading sector
    , mitra kerja, di Komisi II. Apa sih fungsi Baleg itu? Fungsi Baleg bukan membuat undang-undang,” kata Aria Bima.
    “Fungsi Baleg itu adalah sinkronisasi. Jangan sekarang ini dibalik. Ada cara pandang yang salah kaprah. Baleg bukan pabrik pembuat UU,” sambungnya.
    Aria Bima menambahkan bahwa dirinya sebagai pimpinan Komisi II akan bersurat ke pimpinan DPR untuk meminta agar pembahasan revisi paket UU Politik tak ditugaskan ke AKD lain.
    “Saya akan mengirim surat, baik itu Komisi II maupun pimpinan komisi, dan juga lewat fraksi untuk meminta mengembalikan supaya Undang-Undang Pemilu selama sejarah Republik ini ada, itu dibahas di Komisi II,” ungkap Aria Bima.
    “Akan menjadi bahan pertanyaan, kenapa baru era sekarang Undang-Undang Pemilu dibahas di Baleg? Kenapa? Ya memang bukan kompetensi Baleg,” pungkasnya.

    Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menyebutkan bahwa revisi UU Pemilu bakal dibahas oleh Baleg DPR, bukan Komisi II.
    “Yang menyiapkan perubahan Undang-Undang Pemilu itu Baleg,” kata Zulfikar dalam acara HUT Ke-17 Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Selasa (15/4) lalu.
    Politikus Partai Golkar ini menyebutkan, Komisi II tidak ditugaskan merevisi UU Pemilu karena sudah ditugaskan untuk merevisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
    Meski demikian, Komisi II berusaha agar revisi UU Pemilu tersebut bisa kembali ke ruang pembahasan mereka.
    Zulfikar mengatakan, pimpinan Komisi II sedang melakukan negosiasi agar pimpinan DPR RI bisa menyerahkan kembali kewenangan revisi UU Pemilu. “Kita udah lobi kepada pimpinan, dan terakhir saya bincang-bincang sama Wakil Ketua DPR dari Golkar, sudah ada arah untuk mengembalikan ke Komisi II Undang-Undang Pemilih tersebut,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komnas HAM segera komunikasi dengan DPR untuk beri masukan RUU Pemilu

    Komnas HAM segera komunikasi dengan DPR untuk beri masukan RUU Pemilu

    Agar kebijakan yang dibuat DPR itu selaras dengan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya Undang-Undang Pemilu.

    Jakarta (ANTARA) – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera berkomunikasi dengan DPR RI untuk memberikan masukan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).

    “Kami akan melakukan komunikasi dengan DPR untuk memberikan masukan juga terkait dengan beberapa undang-undang yang kami nilai memang penting,” kata anggota Komnas HAM Anis Hidayah di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis.

    Anis menyampaikan pernyataan tersebut ketika ditanya kemungkinan Komnas HAM akan memberikan masukan terhadap RUU Pemilu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II DPR RI, terlebih komisi yang membidangi pemerintah dalam negeri, pertanahan, dan pemberdayaan aparatur ini telah mengadakan RDPU untuk menerima masukan pada tanggal 26 Februari 2025 dan 5 Maret 2025.

    Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa Komnas HAM dalam memberikan masukan terhadap RUU Pemilu akan mengutamakan perspektif HAM.

    “Agar kebijakan yang dibuat DPR itu selaras dengan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya Undang-Undang Pemilu,” ujarnya.

    Apabila nanti Komnas HAM memberikan masukan, menurut dia, tidak sebatas pada RUU Pemilu. Akan tetapi, turut memberikan masukan pada UU lainnya yang berkaitan dengan pemilihan umum.

    Sebelumnya, Komnas HAM di Jakarta, Rabu (15/1), telah meluncurkan kertas kebijakan perlindungan dan pemenuhan HAM petugas pemilu yang berisi lima rekomendasi bagi pemangku kepentingan terkait.

    Salah satu rekomendasinya adalah mendorong adanya desain ulang keserentakan pemilu dan pilkada serta menambah jumlah petugas pemilu.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Komisi II DPR: RUU Pemilu libatkan partisipasi publik secara luas

    Komisi II DPR: RUU Pemilu libatkan partisipasi publik secara luas

    Tidak hanya membahas, tetapi menyusun pun kami akan melibatkan partisipasi publik yang seluas-luasnya.

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin memastikan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) akan melibatkan partisipasi publik secara luas.

    “Kami pastikan, kami akan mengikuti putusan MK (Mahkamah Konstitusi), tidak hanya membahas, tetapi menyusun pun kami akan melibatkan partisipasi publik yang seluas-luasnya,” ucap Zulfikar saat Seminar Urgensi Revisi UU Pemilu dalam Upaya Perbaikan Sistem Pemilu yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.

    Menurut dia, perubahan UU Pemilu ke depan harus tetap menjaga sekaligus memperkuat kedaulatan rakyat sebab hakikat demokrasi sejatinya meletakkan rakyat di posisi sentral dalam bernegara, bukan penguasa maupun elite.

    “Mudah-mudahan teman-teman (organisasi masyarakat sipil) setuju kalau arah perubahan dari UU Pemilu nanti ke sana. Kalau memang sama-sama ke sana, ayo kita kawal,” ucap Zulfikar.

    Pada kesempatan yang sama, Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Abdul Gaffar Karim mengatakan bahwa penataan pemilu di Indonesia sudah menjangkau aspek manajemen dan teknis, tetapi belum dengan partisipasi bermakna.

    Abdul Gaffar berpendapat bahwa perubahan UU Pemilu seharusnya melibatkan partisipasi riil demi menghasilkan kebijakan yang nyata dari pendapat masyarakat.

    Dijelaskan bahwa partisipasi bermakna tersebut dapat dilakukan dalam penyusunan RUU Pemilu kali ini.

    Ia juga menyebut penataan sistem pemilu memerlukan mekanisme yang dapat mengetahui keinginan sebenarnya (true demand) masyarakat. Hal itu penting karena munculnya kecenderungan keinginan palsu masyarakat yang direkayasa oleh kekuatan politik.

    “Penataan ke depan itu harus memastikan sistem pemilu kita itu bisa mendorong meaningful participation (partisipasi bermakna), bisa mendorong true demand: rakyat benar-benar tahu apa yang dia inginkan,” ujar Abdul Gaffar.

    RUU Pemilu diketahui masuk sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. RUU Pemilu diusulkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

    Sebelumnya, Kamis (6/2), Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan bahwa penyusunan RUU Pemilu akan dibahas dari awal dan bukan bersifat RUU operan atau carry over dari periode sebelumnya.

    Doli menjelaskan bahwa situasi politik dan materi yang akan dibahas meliputi sejumlah putusan MK, termasuk di antaranya putusan terkait ambang batas persyaratan pencalonan dan syarat usia.

    Selain itu, dia pun mengusulkan aturan tentang partai politik juga dibahas sekaligus dalam RUU tersebut.

    Maka dari itu, menurut Doli, RUU tersebut diusulkan untuk bersifat paket atau kodifikasi.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Perludem Sebut Pembahasan RUU Pemilu Harus Segera Dimulai

    Perludem Sebut Pembahasan RUU Pemilu Harus Segera Dimulai

    JAKARTA – Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu harus segera dimulai agar memungkinkan pembahasan substansi secara komprehensif dan mendalam secara akademik maupun konsekuensi praktisnya ke depan.

    Menurutnya, pembahasan dengan waktu yang cukup diperlukan untuk memastikan partisipasi semua pihak secara bermakna (meaningful participation), mengingat luasnya ruang lingkup materi muatan dalam UU Pemilu,

    “UU Pemilu instrumen penting, karena untuk rekayasa elektoral demi mewujudkan pemilu konstitusional, jujur, adil, demokratis,” kata Titi dilansir ANTARA, Minggu, 26 Januari.

    Dia menjelaskan, saat ini Indonesia tengah selesai melaksanakan tahun pemilu dan masuk ke dalam periode pascaelektoral.

    Dari berbagai studi, menurut dia, saat ini merupakan momen yang tepat untuk melakukan kajian, audit, atau evaluasi atas penyelenggaraan pemilu yang sudah selesai.

    Selain itu, dia mendorong agar dibentuk kodifikasi atas UU tentang Pemilu yang materi muatannya mengatur pemilu legislatif, pemilu presiden, pemilu kepala daerah, dan penyelenggara pemilu dalam satu naskah.

    Menurut dia, kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah UU tentang Pemilu akan lebih relevan dalam membangun koherensi dan konsistensi pengaturan serta dari lebih memudahkan penggunaannya sebagai instrumen pendidikan politik bagi publik untuk memahami pengaturan.

    Secara filosofis, sosiologis, dan yuridis, dia mengatakan kondisi saat ini telah memenuhi prasyarat objektif kemendesakan untuk mencabut/mengganti UU Pemilu dan UU Pilkada dengan UU baru melalui model kodifikasi pengaturan pemilu yang materi muatannya dikelompokkan menjadi: buku, bab, bagian, dan paragraf.

    Di samping itu, dia pun mengkritik DPR yang kerap tergesa-gesa dalam membahas RUU Pilkada.

    Menurutnya, ada dampak negatif dari pembahasan yang tergesa-gesa ini, di antaranya adalah tidak optimalnya partisipasi masyarakat.

    Sebagai contoh, kata dia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disahkan pada 16 Agustus 2017.

    Padahal, lanjut Titi, tahapan untuk Pemilu Serentak 2019 dimulai satu hari setelahnya yakni pada 17 Agustus 2017.

  • DPR Bakal Pastikan Keterlibatan Masyarakat dalam Pembahasan RUU Pemilu

    DPR Bakal Pastikan Keterlibatan Masyarakat dalam Pembahasan RUU Pemilu

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda berkomitmen penuh untuk membuka ruang partisipasi publik agar terlibat dalam memantau pembentukan norma baru UU Pemilu.

    Pria yang akrab disapa Rifqi ini memastikan bahwa seluruh rangkaian tahapan tersebut akan mempertimbangkan asas transparansi dan akuntabilitas.

    “Meaningful participation saya jamin. Sekarang seluruh rapat di Komisi II DPR itu live dan disiarkan langsung melalui media sosial dan direkam. Jadi, kami bisa pertanggungjawabkan akuntabilitas dan transparansi seluruh forum yang ada di Komisi II DPR RI,” katanya dalam keterangan tertulis yang dikutip Minggu (19/1/2025).

    Rifqi mengatakan, DPR dan pemerintah berkewajiban merespons putusan MK soal penghapusan ambang batas pencalonan presiden minimal 20%, yang akhirnya memerintahkan pembentuk UU untuk melakukan rekayasa konstitusi.

    Menurutnya, rekayasa konstitusi yang akan dilakukan DPR dan pemerintah ditujukan untuk mengantisipasi pasangan capres dan cawapres yang terlalu banyak. 

    Dia melanjutkan, DPR tak pernah mengeluarkan pernyataan soal jangan terlalu banyak paslon. Namun, pernyataan ini muncul dari pertimbangan hukum putusan MK No. 62 Tahun 2024 yang kurang lebih berbunyi jika partai politik peserta pemilu ada 30, maka sangat memungkinkan jumlah pasangan capres-cawapres juga 30.

    “Karena itu, pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan pemerintah diberikan tugas oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan apa yang mereka sebut sebagai constitusional engineering atau rekayasa konstitusional dengan lima order atau lima guidance,” jelas legislator NasDem tersebut.

    Dengan demikian, Rifqi mengemukakan pihaknya telah menjadwalkan rapat bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan lembaga penyelenggaraan pemilu guna merumuskan norma yang diamanatkan dalam putusan MK.

    Tak hanya itu, lanjutnya, rapat itu juga akan melibatkan pegiat kepemiluan dan akademisi dalam memformulasikan norma baru dalam UU Pemilu. 

    Adapun, dia menyebut rapat itu rencananya dijadwalkan saat masa sidang berlangsung atau setelah tanggal 21 Januari rapat paripurna pembukaan masa sidang, karena saat ini Komisi II DPR masih reses.

    “Kendati demikian, komitmen Komisi II yang diamanahkan kepada saya untuk memimpin, kami akan sangat serius. Pertama, melakukan evaluasi pemilu baik pileg, pilpres, maupun pilkada, dan kami akan mengundang seluruh stakeholders kepemiluan, baik itu yang berasal dari society maupun akademisi,” pungkasnya.

  • Respons Pemerintahan Prabowo soal MK Hapus Presidential Threshold

    Respons Pemerintahan Prabowo soal MK Hapus Presidential Threshold

    loading…

    Menteri Hukum Supratman Andi Agtas (kanan) menyatakan, pemerintah akan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ketentuan presidential threshold melalui putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Foto/Achmad Al Fiqri

    JAKARTA – Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan, pemerintah akan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ketentuan presidential threshold melalui putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Ia menyatakan, pemerintah akan mematuhi putusan tersebut.

    “Prinsipnya kita hormati dan patuh terhadap putusan MK. Karena putusan MK itu kan final and binding. Jadi tidak ada upaya hukum berikut,” ujar Supratman saat ditemui Graha Pengayoman, Kementerian Hukum, Jakarta Selatan, Selasa (7/1/2025).

    Politikus Partai Gerindra ini pun telah menugaskan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Dhahana Putra untuk mengkaji putusan tersebut. Langkah itu ditujukan Supratman sebagai bentuk persiapan pemerintah dalam mematuhi putusan tersebut.

    Baca Juga: Presidential Threshold Dihapus, Capres Tunggal Pupus

    “Walaupun inisiatif untuk membuat perubahan undang-undang tentang pemilu dan pilkada itu saat ini diinisiasi oleh DPR, namun demikian pemerintah harus siap-siap juga,” katanya.

    Lebih lanjut, Supratman menilai, putusan MK berpeluang untuk menimbulkan banyak calon presiden (capres) yang mendaftar. Ia pun mengatakan, MK telah memberi wewenang pada DPR dan Pemerintah untuk melakukan rekayasa konstitusi.

    “Karena itu MK memberi ruang kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR bersama dengan pemerintah, presiden maksud saya, untuk melakukan rekayasa konstitusional dengan mempedomani lima hal. Yang satu tidak boleh rekayasa konstitusional itu disahkan kepada perolehan suara ataupun kursi. Kan itu intinya tuh. Nah karena itu pasti ini akan dipenuhi,” kata Supratman.

    Meski demikian, Supratman belum mengetahui pasti peluang semua partai politik bisa mengajukan paslon. Menurutnya, keputusan itu menunggu hasil pembahasan RUU Pemilu.

    “Apakah nanti semua partai politik akan masing-masing boleh mencalonkan? Nah nanti akan dibahas di Revisi Undang-Undang tentang Pemilu, Partai Politik, maupun Pilkada,” pungkasnya.

    (rca)

  • DPR Tunggu Pembahasan RUU Pemilu Terkait Usul KPU Jadi Ad Hoc – Page 3

    DPR Tunggu Pembahasan RUU Pemilu Terkait Usul KPU Jadi Ad Hoc – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menyebut bakal menunggu terlebih dahulu momentum pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu terkait adanya usulan agar KPU diubah menjadi lembaga ad hoc.

    Dia pun menghargai adanya usulan tersebut dan berbagai aspirasi lainnya yang berkembang. Menurut dia, Komisi II DPR RI berencana untuk membuat Omnibus Law tentang Politik yang di dalamnya juga memuat RUU Pemilu.

    “Di dalamnya terdapat beberapa Undang-Undang (UU) yang sekarang dijadikan satu UU Politik, yaitu UU Pemilu, UU Partai Politik, UU Pilkada, UU terkait dengan Hukum Acara sengketa Pemilu dan beberapa ketentuan-ketentuan lain terkait dengan Pemilu,” kata Rifqi di Jakarta, Sabtu (23/11/2024) seperti dilansir Antara.

    Namun, dia mengatakan Komisi II DPR belum menjadwalkan pembahasan terhadap kedudukan KPU dan Bawaslu, terutama di tingkat provinsi, kabupaten, kota, sampai di tingkat TPS, KPPS, dan pengawas.

    Pasalnya, menurut dia, sejauh ini Komisi II DPR RI masih akan fokus terhadap RUU tentang perubahan atas UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dia mengatakan bahwa RUU itu masuk ke dalam daftar Program Leguslasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang diusulkan Komisi II DPR RI.

    Walaupun begitu, RUU tentang Pilkada dan RUU tentang Pemilu juga masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 yang diusulkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

  • Titi mendorong penyatuan UU Pemilu dan UU Pilkada dalam satu naskah

    Titi mendorong penyatuan UU Pemilu dan UU Pilkada dalam satu naskah

    Semarang (ANTARA) – ​​​Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini mendorong penyatuan Undang-Undang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dalam satu naskah undang-undang meski putusan Mahkamah Konstitusi tidak secara eksplisit menyebutkan hal itu.

    “Namun, dalam banyak putusan MK, Mahkamah tidak lagi membedakan antara norma pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada),” kata dosen Fakultas Hukum UI Titi Anggraini menjawab pertanyaan ANTARA dari Semarang, Jumat.

    Apakah Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 terkait dengan keserentakan pemilu dan pilkada bisa menjadi konsiderans penyatuan UU Pemilu dan UU Pilkada dalam satu naskah UU, Titi menjawab bahwa penyatuan dasarnya merujuk pada Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022 meski tidak secara gamblang.

    Karena tidak membedakan antara norma pemilu dan pilkada, menurut dia, untuk koherensi dan harmonisasi serta sinkronisasi pengaturan sudah semestinya pemilu dan pilkada diatur dalam satu naskah undang-undang yang sama, yaitu UU Pemilu.

    “Khususnya karena Putusan MK No.85/PUU-XX/2022 tidak lagi membedakan rezim pilkada dan pemilu, MK menegaskan bahwa pilkada adalah pemilu,” kata pegiat kepemiluan ini.

    Penegasan tentang urgensi kodifikasi, kata Titi, juga secara eksplisit disampaikan Wakil Ketua MK Saldi Isra saat persidangan Perkara No. 101/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Oktober 2024.

    Disebutkan bahwa MK sudah secara eksplisit menyatakan bahwa tidak ada perbedaan rezim antara pemilu dan pilkada, artinya ke depan DPR harus menyatukannya dalam satu undang-undang.

    Selain itu, penataan aturan juga diperlukan sebab beberapa putusan MK telah mengamanatkan untuk melakukan perbaikan atau perubahan di dalam undang-undang atau yang sering disebut sebagai judicial order (perintah pengadilan).

    Saldi Isra juga berharap semua yang terkait dengan pengaturan pemilu sudah selesai dibahas DPR sebelum tahapan dimulai.

    “Disebutkan pula mengapa itu penting? Karena setelah tahapan dimulai, hal-hal yang prinsipil semestinya tidak lagi diutak-atik, baik oleh DPR maupun MK, misalnya soal persyaratan dan sebagainya,” kata dia.

    Sebelumnya, pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR RI dan pemerintah, telah menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu), yang menyatukan UU Pemilu dan UU Pilkada.

    Salah satu pertimbangan dalam draf RUU Pemilu pemutakhiran pada tanggal 26 November 2020, antara lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (UU Pilkada) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum perlu disatukan, disederhanakan, dan disesuaikan dengan perkembangan demokrasi dan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Sesuai dengan pertimbangan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, alternatif ke-4: “Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota.”

    Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2024