Produk: RUU Pemilu

  • Koalisi Permanen, Begini Ketakutan Ahmad Doli Kurnia

    Koalisi Permanen, Begini Ketakutan Ahmad Doli Kurnia

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Usul pembentukan koalisi permanen pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang disuarakan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia masih terus menjadi perdebatan.

    Ide itu bahkan belakangan menuai dukungan dari Waketum PAN, Viva Yoga Mauladi. Malah, dia menyarankan agar koalisi permanen masuk pembahasan di RUU Pemilu.

    “Jika koalisi permanen menjadi keputusan politik seluruh partai, harus masuk di pasal di UU Pemilu,” ujar Viva Yoga.

    Merespons wacana yang berkembang itu, Wakil Ketua Umum (Waketum) Golkar, Ahmad Doli Kurnia menyebutkan perlu pengkajian secara matang ketika berencana memasukkan ketentuan koalisi permanen dalam Undang-Undang Pemilu.

    “Menurut saya, harus hati-hati kemudian memasukkan itu secara formal,” kata Doli menjawab awak media seperti dikutip Jumat (12/12).

    Legislator Komisi II DPR RI itu mengatakan komunikasi antarpartai menjadi tak fleksibel ketika koalisi permanen terbentuk.

    Sebab, kata Doli, koalisi biasanya terbentuk sebelum pelaksanaan pemilu. Setelah kontestasi, partai masih perlu berkomunikasi dengan kubu seberang.

    Itu nanti bisa mengarah kepada terjadi kekakuan politik, tidak adanya kelenturan di dalam menyusun visi dan program bersama itu,” ujarnya.

    Toh, kata anggota Baleg DPR RI itu, Indonesia selama ini tidak pernah menerapkan koalisi permanen, karena kerja sama politik biasanya temporer.

    Doli mengatakan dinamisnya perpolitikan di Indonesia yang membuat koalisi tidak pernah permanan, melainkan temporer.

    “Partai politik itu juga tentu akan mengikuti perkembangan tentang cara memulai visi, misi, cara program yang harus dia sampaikan kepada publik dalam perode tertentu,” kata dia.

  • PAN Sepakat Usulan Bahlil soal Koalisi Permanen: Harus Masuk UU Pemilu

    PAN Sepakat Usulan Bahlil soal Koalisi Permanen: Harus Masuk UU Pemilu

    Jakarta

    PAN turut merespons usulan Ketum Golkar Bahlil Lahadalia terkait koalisi permanen. PAN sepakat dengan usulan tersebut namun perlu dimasukkan dalam UU Pemilu.

    “Pernyataan ketua umum Golkar, Mas Bahlil Lahadalia, patut diapresiasi dalam meletakkan fondasi membangun sistem presidensial Indonesia ke depan dengan multi partai. Jika koalisi permanen menjadi keputusan politik seluruh partai, maka harus masuk di pasal di UU Pemilu. Jika itu terjadi, maka PAN satu pemikiran dengan Golkar,” kata Waketum PAN Viva Yoga Mauladi, Sabtu (6/12/2025).

    “Kita tunggu jadwal revisi UU Pemilu (kodifikasi dari tiga UU, yakni UU Pilpres; UU Penyelenggara Pemilu; UU Pemilihan Anggota DPR, DPD; DPRD Provinsi, Kabupaten/ Kota),” lanjutnya.

    Di sisi lain, Viva menyebut usulan koalisi permanen memang kerap muncul di setiap pembahasan revisi UU Pemilu. Di UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu sebagai dasar hukum penyelenggaraan pemilu 2019 dan 2024, tidak ada pasal yang mengatur tentang pembentukan koalisi permanen, baik sebelum atau setelah Pemilu Presiden dilaksanakan.

    “Sewaktu di DPR (2009-2019), saya pernah dua kali menjadi anggota Pansus RUU Pemilu. Isu koalisi permanen selalu muncul dalam setiap pembahasan Undang-Undang tentang Pemilu,” ujarnya.

    “Besar kemungkinan presiden terpilih akan mengalami sandera politik oleh DPR karena hanya memiliki kekuatan minoritas. Jika hal itu terjadi maka pemerintah tidak akan dapat bekerja maksimal untuk merealisasikan visi dan janji-janji politik saat kampanye,” lanjut Viva.

    Wakil Menteri Transmigrasi ini menambahkan, konfigurasi kekuatan politik di DPR sangat menentukan stabilitas pemerintahan. Karena itu, menurut Viva, meski koalisi permanen dapat menjadi salah satu opsi penguatan sistem presidensial, tetap dibutuhkan desain regulasi yang cermat agar tidak justru menimbulkan persoalan baru dalam praktik pemerintahan.

    Sebelumnya, Ketum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan koalisi permanen di acara puncak HUT ke-61 Partai Golkar, Istora Senayan, Jakarta. Bahlil mengusulkan koalisi permanen di hadapan Presiden Prabowo Subianto.

    “Partai Golkar berpandangan Bapak Presiden, bahwa pemerintahan yang kuat dibutuhkan stabilitas. Lewat mimbar yang terhormat ini izinkan kami memberikan saran perlu dibuatkan koalisi permanen,” kata Bahlil, Jumat (5/12/2025).

    Diketahui, Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka turut hadir di puncak HUT Golkar ini. Kembali ke Bahlil, ia tak ingin partai-partai yang ada di koalisi saat ini keluar-masuk.

    Menurutnya, koalisi yang mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran harus solid. “Jangan koalisi in-out, jangan koalisi di sana senang di sini senang di mana-mana hatiku senang,” tutur Bahlil.

    (eva/idh)

  • DPR RI Diminta Tidak Menunda Pembahasan Revisi UU Pemilu

    DPR RI Diminta Tidak Menunda Pembahasan Revisi UU Pemilu

    JAKARTA – Ketua Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini meminta DPR RI tidak menunda pembahasan revisi atau Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu untuk menghindari proses yang lebih rumit dan ancaman deadlock.

    Dia menilai, dinamika politik antarfraksi membuat penyusunan regulasi pemilu menjadi tantangan tersendiri. Karena itu, bila DPR baru mulai membahas RUU Pemilu pada awal 2026 seperti wacana yang berkembang, dia mengaku pesimis aturan baru itu dapat rampung tepat waktu untuk menjadi dasar seleksi Komisioner KPU yang berikutnya.

    “Bisa jadi malah deadlock dan tetap mempertahankan status quo,” tukas Titi, Minggu 23 November.

    Menurutnya, pembahasan yang dilakukan terlalu mepet jadwal, berpotensi mengorbankan kualitas penyusunan aturan serta mengurangi ruang partisipasi publik. Apalagi, revisi UU Pemilu tidak bisa dilakukan secara parsial mengingat kompleksitas materinya menuntut penataan yang menyeluruh, bukan sekadar tambal sulam.

    Titi menjelaskan, setidaknya ada enam isu krusial yang harus dibenahi dalam revisi UU Pemilu karena sifatnya fundamental dan berdampak luas yakni sistem pemilu, perbaikan rekrutmen penyelenggara pemilu, dan digitalisasi pemilu.

    Selanjutnya penguatan pengawasan dan penegakan hukum pemilu, penataan jadwal pemilu, termasuk kemungkinan pemisahan pemilu nasional dan daerah, demokrasi internal partai, termasuk pembiayaan politik, kaderisasi, dan inklusivitas.

    “Dengan cakupan sebesar itu, revisi UU Pemilu bukan pekerjaan yang bisa dilakukan tergesa-gesa. Karena itu pembahasannya tidak bisa ditunda-tunda, apalagi injury time. Sebab pembahasan yang mepet waktu pasti akan mengorbankan substansi dan partisipasi publik,” tutup Titi.

  • Litbang Kompas: Mayoritas Publik Tak Yakin RUU Pemilu Dibahas dengan Libatkan Masyarakat

    Litbang Kompas: Mayoritas Publik Tak Yakin RUU Pemilu Dibahas dengan Libatkan Masyarakat

    Litbang Kompas: Mayoritas Publik Tak Yakin RUU Pemilu Dibahas dengan Libatkan Masyarakat
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Litbang Kompas merilis hasil jajak pendapat yang menunjukkan 50,5 persen masyarakat tidak yakin bahwa pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu akan dilakukan dengan terbuka dan melibatkan partisipasi masyarakat.
    Sedangkan 45,6 persen responden mengaku yakin bahwa pembahasan revisi
    UU Pemilu
    dilakukan dengan terbuka dan melibatkan partisipasi masyarakat. Sedangkan 3,9 persen lainnya menjawab “Tidak Tahu”.
    “Terbelahnya sikap publik ini menjadi cerminan keraguan masyarakat terhadap kemauan
    DPR
    untuk melibatkan masukan publik dalam pembahasan
    revisi UU Pemilu
    ,” dikutip dari
    Kompas.id
    , Senin (17/11/2025).
    “Tentu, ini juga menjadi beban tersendiri bagi DPR. Tidak hanya untuk membuktikan kepada publik bahwa
    pembahasan revisi UU Pemilu
    akan selesai sebelum tahapan awal
    Pemilu 2029
    dimulai, tetapi juga harus memastikan masyarakat punya hak terlibat menentukan yang terbaik untuk pelaksanaan Pemilu 2029,” sambungnya.
    Di samping itu, 60,5 persen masyarakat berharap pembahasan revisi UU Pemilu dilakukan pada 2025 atau tahun ini.
    Sedangkan 30,5 persen responden berharap revisi UU Pemilu dilakukan pada 2026. Lalu, 6,2 persen publik menyatakan “Terserah”. Kemudian, 2,8 persen lainnya menjawab “Tidak Tahu”.
    “Sikap responden ini mencerminkan adanya keinginan agar DPR dan pemerintah segera membahas revisi UU Pemilu. Hal ini juga tidak lepas dari sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemilu yang menunggu untuk ditindaklanjuti,” mengutip dari
    Kompas.id.
    Sebagai informasi,
    Litbang Kompas
    mengumpulkan pendapat melalui telepon pada 6 sampai 9 Oktober 2025. Adapun jumlah responden sebanyak 514 yang berasal dari 70 kota di 38 provinsi.
    Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di setiap daerah.
    Tingkat kepercayaan berada di 95 persen, dengan margin of error penelitian ± 4,23 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
    Meskipun demikian, kesalahan di luar pengambilan sampel dimungkinkan terjadi. Jajak pendapat sepenuhnya dibiayai oleh Harian Kompas (PT Kompas Media Nusantara).
    Berita ini dilansir dari
    Kompas.id
    dengan judul ”
    Asa Publik Segerakan Revisi UU Pemil
    u”
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
    Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
    melalui donasi.
    Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama
    akun kamu.

  • Fraksi Golkar terima audiensi KAMMI bahas pemilu dan ketahanan energi

    Fraksi Golkar terima audiensi KAMMI bahas pemilu dan ketahanan energi

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI Muhammad Sarmuji menerima audiensi Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/11) untuk membahas sejumlah isu strategis.

    Adapun, isu yang dibahas mulai dari ideologi partai politik, sistem pemilu hingga kebijakan energi nasional.

    Ketua Umum KAMMI Ahmad Jundi dalam keterangan diterima di Jakarta, Jumat mengapresiasi atas keterbukaan Partai Golkar terhadap generasi muda dan aktivis.

    Menurutnya, tidak banyak partai politik yang memberi ruang bagi kader muda untuk tumbuh, seraya menyoroti pentingnya mengembalikan orientasi partai pada ideologi dan pendidikan politik.

    Menanggapi hal tersebut, Sarmuji menegaskan Partai Golkar konsisten memperkuat kapasitas kader melalui lembaga pendidikan politik.

    “Golkar memiliki Golkar Institute dan akan segera mendirikan Golkar Academy. Ini lembaga untuk meningkatkan kapasitas pejabat publik agar tidak hanya piawai menggalang suara tetapi juga memiliki kemampuan teknokratis,” kata Sarmuji.

    KAMMI mengharapkan agar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135 Tahun 2024 yang memerintahkan pemisahan pemilu nasional dengan pemilu daerah pada 2029 dapat disahkan menjadi Undang-Undang. Kebijakan itu untuk memberikan kepastian hukum dan waktu persiapan bagi partai maupun masyarakat.

    KAMMI juga mendukung langkah Partai Golkar dalam pembahasan RUU Pilkada, RUU Pemilu, dan RUU Partai Politik yang dinilai saling berkaitan. Selain itu, KAMMI mendorong penerapan sistem pemilu campuran karena sistem pemilu yang berlaku sekarang lebih banyak mudaratnya.

    Mengenai sistem pemilu, Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu menyebut setiap sistem memiliki sisi positif dan negatif. Sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini, menurutnya, merupakan koreksi dari sistem proporsional tertutup yang dahulu membuat caleg nomor satu hampir pasti terpilih tanpa perlu turun ke rakyat.

    “Seburuk-buruknya sistem sekarang, caleg atau anggota DPR dipaksa untuk turun ke lapangan. Tapi ya setiap solusi pasti disertai problem baru, Today’s problem comes from yesterday’s solution, masalah hari ini adalah hasil solusi masa lalu. Tugas kita meminimalkan problem barunya,” ujarnya.

    Sarmuji juga menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus presidential threshold atau ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden yang masih sering menjadi perdebatan publik.

    “Kita harus patuh pada putusan MK tetapi MK juga memandang perlu ada rekayasa konstitusional agar tidak terlalu banyak calon presiden. Misalnya, hanya partai yang punya kursi di parlemen yang bisa mencalonkan. Ini untuk menjaga keseimbangan sistem presidensial,” katanya.

    Ia melanjutkan “Ini untuk mencegah terjadinya calon tunggal atau sedikit calon sehingga tidak kompatibel dengan sistem presidensial yang kita anut. Karena kalau terlalu banyak calon, tidak baik juga bagi sistem ketatanegaraan kita.”

    Audiensi tersebut juga membahas soal ketahanan energi nasional, termasuk kebijakan kebijakan bahan bakar dengan etanol yang digagas Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. KAMMI menyatakan dukungannya terhadap kebijakan tersebut.

    Anggota Komisi VI DPR RI itu menilai isu energi merupakan pilar strategis kedaulatan bangsa.

    “Siapa yang punya kedaulatan energi, dia akan menjadi negara besar. Kebijakan etanol ini energi bersih, energi terbarukan, dan bisa menghidupkan pertanian, petani singkong, petani tebu, dan sebagainya,” kata Sarmuji.

    Namun, ia mengakui setiap kebijakan baik kerap menghadapi resistensi, seperti penolakan sebagian kalangan terhadap etanol, padahal manfaatnya jelas.

    “Bukan hanya energi bersih yang dihasilkan tetapi juga memakmurkan petani karena permintaan singkong, tebu dan bahan etanol lainnya meningkat,” tutur Sarmuji.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Benardy Ferdiansyah
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • PSI Jakarta sebut RUU Pemilu harus menjawab masalah biaya politik

    PSI Jakarta sebut RUU Pemilu harus menjawab masalah biaya politik

    Jakarta (ANTARA) – Sekretaris Wilayah DPW PSI DKI Jakarta Geraldi Ryan Wibinata menyatakan dukungannya terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) agar segera dibahas dan disahkan.

    Dia pun berharap agar RUU tersebut dapat menjadi jawaban terkait permasalahan biaya politik yang dinilainya mahal.

    “Ada dua masalah besar yang sedang kita hadapi dalam perpolitikan. Pertama, biaya politik mahal. Kedua, anak muda itu juga berhadapan dengan lembaga-lembaga politik yang sudah membutuhkan perbaikan lagi,” kata Geraldi dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

    Pernyataan tersebut dia sampaikan sebagai delegasi PSI dalam Indonesia Youth Democracy Forum bertajuk “Aspirasi untuk Reformasi Pemilu: Representasi Akuntabel dan Kepemimpinan Kompeten.”

    Dia mengungkapkan pihaknya selaku partai ekstra-parlementer atau belum masuk parlemen, mendukung RUU Pemilu agar segera dibahas dan disahkan sebelum proses elektoral menuju Pemilu 2029 dimulai.

    “Dengan mempertimbangkan bahwa kita akan segera memulai rangkaian menuju Pemilu 2029, kami mendukung agar RUU Pemilu dibahas segera dan disahkan sebagai dasar-dasar penyelenggaraannya,” ujar Geraldi.

    Menurut dia, saat ini terdapat dua permasalahan besar yang dihadapi dalam dunia politik, terutama bagi anak-anak muda ketika ingin berkiprah di dunia politik, yaitu biaya politik yang tinggi dan kelelahan kelembagaan.

    Dia pun menegaskan pihaknya berkomitmen memperjuangkan dan mendorong agar RUU Pemilu dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

    “Menanggapi adanya tuntutan dari masyarakat secara luas dan anak muda secara khusus, kami akan memperjuangkan agar RUU Pemilu berikutnya dapat menjadi solusi terhadap biaya politik yang mahal,” tutur Geraldi.

    Dia mengatakan salah satu caranya, yaitu dengan membatasi pengeluaran kampanye dari calon legislatif atau eksekutif yang akan mencalonkan diri.

    Pihaknya juga mendorong agar RUU Pemilu dapat menyegarkan kembali sejumlah lembaga, baik penyelenggara pemilu, pemerintahan, dan partai politik untuk beradaptasi.

    Dia menilai perumusan RUU Pemilu harus mempertimbangkan aspirasi-aspirasi anak muda yang mendambakan sistem politik di Indonesia menjadi lebih baik secara keseluruhan.

    “Kita harus menyadari bahwa anak muda menginginkan perbaikan dalam sistem dan kehidupan politiknya,” tegas Geraldi.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Perludem dan FISIP Unair Dorong Kodifikasi UU Pemilu untuk Wujudkan Demokrasi yang Lebih Representatif

    Perludem dan FISIP Unair Dorong Kodifikasi UU Pemilu untuk Wujudkan Demokrasi yang Lebih Representatif

    Surabaya (beritajatim.com) – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga mendorong lahirnya Kodifikasi Undang-Undang Pemilu untuk memperkuat sistem demokrasi yang lebih representatif dan efisien.

    Seminar bertajuk “Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan UU Pemilu” digelar di kampus FISIP Unair, Rabu (8/10/2025), menghadirkan perwakilan akademisi, aktivis, dan pembuat kebijakan.

    Direktur Eksekutif Perludem, Heroik Mutaqin Pratama, menegaskan bahwa kodifikasi UU Pemilu merupakan kebutuhan mendesak untuk memperbaiki tata kelola demokrasi dan memperkuat representasi rakyat. Menurutnya, partai politik perlu menjadi institusi yang kuat dan terstruktur agar tidak sekadar menjadi kendaraan politik pragmatis.

    “Partai politik yang kuat adalah partai yang memiliki kendali terhadap calon yang diusung dan konsisten antara janji politik serta pelaksanaannya di lapangan,” ujar Heroik.

    “Reformasi sistem kepartaian dan pemilu perlu diarahkan agar fungsi representasi tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga substantif,” tambah dia.

    Heroik menambahkan, kodifikasi UU Pemilu versi masyarakat sipil mencakup tiga aspek utama yak i sistem, aktor, dan manajemen pemilu. Dia menjelaskan, penyederhanaan regulasi diperlukan untuk menghindari tumpang tindih antara UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU Pilkada.

    “Kodifikasi bukan hanya soal penyatuan aturan, tetapi juga tentang memperbaiki cara kita memaknai pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat,” tegas Heroik.

    Ketua Komisi II DPR RI, Dr. Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, yang hadir secara daring, menilai bahwa proses kodifikasi UU Pemilu harus menjamin keseimbangan antara kepastian hukum dan fleksibilitas pelaksanaan. Dia menyebut, DPR membuka ruang dialog konstruktif dengan masyarakat sipil agar revisi undang-undang tidak sekadar menjadi produk politik, melainkan memperkuat integritas demokrasi .

    “Kodifikasi adalah langkah penting untuk menata ulang sistem elektoral kita agar lebih sederhana, efisien, dan selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat,” ujarnya.

    Dari kalangan akademisi, Drs. Kris Nugroho, M.A., mengungkap lemahnya hubungan antara pemilih dan calon legislatif di Indonesia. Berdasarkan hasil survei FISIP Unair, sebagian besar pemilih tidak memiliki kedekatan langsung dengan calon yang mereka pilih.

    “Kondisi ini menunjukkan adanya krisis legitimasi dalam sistem representasi kita. Karena itu, kodifikasi UU Pemilu perlu mengatur mekanisme yang memperkuat akuntabilitas wakil rakyat terhadap pemilih,” jelas Kris.

    Sementara itu, Dr. Mohammad Syaiful Aris mengusulkan agar sistem pemilu ke depan mempertimbangkan model Mixed Member Proportional (MMP) kombinasi antara sistem proporsional tertutup dan distrik tunggal. Dia menilai, model ini bisa memperkuat hubungan pemilih dengan wakilnya tanpa mengorbankan stabilitas pemerintahan.

    “Model ini bisa memperkuat hubungan pemilih dengan wakilnya, sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan dalam sistem presidensial,” ujarnya.

    Melalui seminar ini, Perludem dan FISIP Unair berharap proses kodifikasi RUU Pemilu dapat dilakukan secara inklusif, berbasis riset, dan melibatkan partisipasi publik luas.

    “Semoga upaya ini mampu melahirkan sistem pemilu yang sederhana, transparan, dan benar-benar mencerminkan kehendak rakyat dalam memperkuat demokrasi Indonesia,” pungkas Heroik.[asg/kun]

  • Pernah Ada Larangan Politik Dinasti di Pilkada, tapi Gugur di MK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Oktober 2025

    Pernah Ada Larangan Politik Dinasti di Pilkada, tapi Gugur di MK Nasional 2 Oktober 2025

    Pernah Ada Larangan Politik Dinasti di Pilkada, tapi Gugur di MK
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Suami menjabat kepala daerah, istri duduk di bangku parlemen Senayan.
    Anak menjadi wakil wali kota, ipar memerintah di daerah tetangga.
    Penguasaan politik di daerah oleh satu garis keturunan atau keluarga tertentu semakin lazim ditemukan di khazanah politik Indonesia.
    Mirisnya, pemandangan ini bukan hanya terjadi dalam satu atau dua periode kepemimpinan.
    Namun, sudah muncul ketika rakyat diberikan kedaulatan untuk memilih pemimpinnya sendiri pasca Orde Baru tumbang pada tahun 1998.
    Politik dinasti yang begitu kental di beberapa daerah membuat sejumlah pihak cemas dan gerah.
    Indonesia pernah memiliki aturan untuk melarang merebaknya politik dinasti.
    Namun, larangan ini tumbang sebelum bisa memberikan jalan bagi rakyat untuk berpolitik dengan lebih sehat.
    Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) periode 2010–2014, Djohermansyah Djohan, merupakan salah satu tokoh yang menggagas larangan politik dinasti.
    Prof Djo, panggilan akrabnya, menceritakan bahwa aturan ini berangkat dari kecemasan akan situasi di Indonesia pada tahun 2011.
    Saat itu, Djo yang masih menjabat sebagai Dirjen Otda Kemendagri mendapatkan paparan data sebaran politik dinasti di Indonesia.
    “Ketika pada tahun 2011, kita ingin menyusun UU Pilkada, maka kita menemukan data lapangan, 61 orang kepala daerah dari 524 kepala daerah atau sama dengan 11 persen itu terindikasi menerapkan politik dinasti yang tidak sehat,” kata Djo, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (30/9/2025).
    Berdasarkan data yang dimilikinya, Djo menemukan banyak daerah yang pemimpinnya berputar di satu keluarga.
    Misalnya, setelah suami menjabat kepala daerah selama dua periode, istrinya naik untuk mengisi posisi kepala daerah.
    Hal ini menjadi bermasalah ketika kepala daerah yang naik tidak memiliki latar belakang pendidikan dan kemampuan yang cukup.
     
    Dalam contoh yang disebutkan Djo, istri mantan kepala daerah ini hanya lulusan SLTA dan tidak memiliki pengalaman berorganisasi atau berpolitik.
    “Suaminya dua periode, kemudian (digantikan), istrinya itu cuma Ketua Tim Penggerak PKK, pendidikannya juga terbatas, cuma SLTA. Nah, banyak kasus itu banyak Ketua PKK jadi wali kota,” imbuh Djo.
    Jika bukan sang istri, justru anak kepala daerah yang baru lulus kuliah yang diatur untuk maju pilkada dan menggantikan ayahnya.
    Anak-anak ‘
    fresh graduate
    ’ ini kebanyakan tidak memahami birokrasi dan tata kelola pemerintahan.
    Akhirnya, ayahnya yang sudah menjabat dua periode ikut campur lagi dan menggerakkan roda kemudi di balik nama anaknya.
    Djo mengatakan, politik dinasti ini menjadi ladang subur untuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
    Sebab, ketika tidak ada pergantian kekuasaan, pihak-pihak penyokong dan yang dekat dengan pemerintah juga tidak berubah.
    “Semua pejabat itu yang diangkat bapaknya tetap bertahan, hubungan kontraktor bapaknya tetap bertahan. Jadi, anaknya itu hanya namanya saja sebagai kepala daerah, tapi yang menjalankan pemerintahan tetap bapaknya,” kata Djo.
    Atas temuan yang ada, Djo dan sejumlah tokoh berusaha untuk menyusun pembatasan politik dinasti saat merancang undang-undang Pilkada.
    RUU Pilkada ini melarang anggota keluarga aktif untuk estafet tongkat kepemimpinan.
    Mereka boleh kembali mencalonkan diri, tetapi perlu ada jeda satu periode setelah kerabatnya aktif di pemerintahan.
    “Larangan bahwa kalau mau maju pilkada, (kandidat) dari kerabat kepala daerah yang sedang menjabat itu harus dijeda dulu satu periode. Jadi, ketika bapaknya tidak lagi menjadi kepala daerah, boleh silakan maju,” kata Djo.
    Ia menegaskan, jika ada kerabat yang maju Pilkada ketika saudaranya masih memerintah, dapat dipastikan akan terjadi keberpihakan.
    “(Kalau) anaknya maju, bapaknya (yang masih menjabat) kan tolongin anaknya. Mana ada bapak yang enggak nolong anak sama istri di dunia, kecuali hari kiamat,” kata Djo.
    Larangan ini sempat masuk dalam tatanan hukum Indonesia lewat Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.
    Disebutkan pada Pasal 7 huruf r, calon pemimpin daerah dapat mengikuti suatu pemilihan apabila tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.
    Aturan yang sudah dirancang sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat presiden, akhirnya diteken oleh Joko Widodo (Jokowi) di periode pertamanya menduduki kursi RI 1, tepatnya tanggal 18 Maret 2015.
     
    Di hari pengesahannya, pasal ini langsung digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Adnan Purictha Ishan, anak kandung dari Ichsan Yasin Limpo yang saat itu menjabat sebagai Bupati Gowa, Sulawesi Selatan.
    Ketika mengajukan gugatan ke MK, Adnan tengah menjabat sebagai Anggota DPRD Sulawesi Selatan.
    Adnan berdalih, Pasal 7 huruf r ini melanggar hak asasi manusia (HAM).
    Pandangan ini pun diperkuat hakim MK yang mengabulkan permohonan Adnan.
    Menurut Hakim MK Arief Hidayat, Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
    Tak hanya itu, Arief juga menyebutkan, pasal tersebut menimbulkan rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum.
    “Pasal 7 huruf r soal syarat pencalonan bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 yang bebas diskriminatif serta bertentangan dengan hak konstitusional dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan,” ujar dia, dikutip dari laman resmi MK.
    Hakim MK lainnya, Patrialis Akbar, berpendapat, pembatasan terhadap anggota keluarga untuk menggunakan hak konstitusionalnya untuk dipilih atau mencalonkan diri merupakan bentuk nyata untuk membatasi kelompok orang tertentu.
    MK menyadari, dengan dilegalkannya calon kepala daerah maju dalam Pilkada tanpa adanya larangan memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan petahana, berpotensi melahirkan dinasti politik.
    Namun, hal ini dinilai tidak dapat digunakan sebagai alasan karena UUD mengatur agar tidak terjadi diskriminasi dan menjadi inkonstitusional bila dipaksakan.
    Usai dikabulkannya gugatan Adnan, aturan larangan politik dinasti resmi tidak bisa digunakan.
    Adnan selaku penggugat berhasil memenangkan Pilkada 2016 dan menggantikan ayahnya untuk menjadi Bupati Gowa.
     
    Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengatakan, politik dinasti marak terjadi karena lahir dari fenomena yang ada.
    Ia menilai, orang yang mau maju dan eksis di dunia politik di Indonesia perlu dua modal, yaitu modal politik dan modal ekonomi.
    “Kalau kita bicara dinasti, dia itu punya dua modalitas itu, modalitas politik dan juga modalitas ekonomi,” ujar Armand, saat dihubungi, Selasa (30/9/2025).
    Modal politik adalah relasi atau jaringan yang dimiliki seseorang agar bisa mulus masuk ke dunia politik.
    Sementara, modal ekonomi merujuk pada kemampuan untuk membayar biaya politik.
    “Yang maju sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah itu adalah kalau dia enggak punya relasi politik, pasti dia juga punya modal ekonomi yang cukup,” kata Armand.
    Masih maraknya politik dinasti, menurut Armand, akan membatasi akses bagi orang di luar dinasti untuk masuk dan terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
    Armand mengatakan, politik dinasti itu seperti membangun sebuah tembok dan hanya sebagian kalangan yang bisa masuk ke dalam.
    “Dinasti politik kan sebetulnya itu dia membangun tembok ya. Membangun tembok terhadap partisipasi non-dinasti terhadap proses perencanaan, proses penganggaran, bahkan dalam proses penyusunan kebijakan di daerah gitu,” ujar dia.
    Armand menegaskan, meski secara aturan politik dinasti sudah tidak dilarang, keberadaannya kontraproduktif dengan apa yang hendak dicapai Indonesia.
    Terutama, dalam upaya penguatan demokrasi lokal dan upaya peningkatan efektivitas serta efisiensi pelayanan publik.
    Keberadaan politik dinasti juga dinilai dapat menghilangkan fungsi pengawasan atau
    check and balance
    antar lembaga.
    “(Misalnya), salah satu pasangan di (lembaga) eksekutif, pasangannya yang lainnya di DPRD. Itu akan menghambat
    check and balance
    di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan itu,” kata dia.
    Armand menilai, akan lebih efektif untuk meningkatkan literasi politik masyarakat demi meminimalkan dampak politik dinasti.
    “Sekarang, dengan diberi peluangnya dinasti itu, sebetulnya yang jadi alat kontrol kita sekarang itu adalah literasi ke publik,” kata Armand.
    Semakin masyarakat lebih mengenal calon pemimpinnya, peluang untuk memperbaiki kualitas politik juga akan meningkat.
    Di sisi lain, Armand mendorong adanya reformasi di internal partai politik, yaitu melalui perbaikan sistem kaderisasi.
    “Bagaimanapun, kalau misalnya sistem kaderisasi atau rekrutmen di politik itu juga berbasis pada kepentingan keluarga tertentu, itu juga kan menyuburkan politik dinasti,” ujar dia.
    Armand menegaskan, jika orientasi partai masih sebatas mendorong sanak keluarga atau kerabatnya untuk terpilih, sebatas untuk melanjutkan kekuasaan, politik dinasti tak ayal akan terus ada.
    Namun, jika yang diprioritaskan adalah kualitas individu, mau berasal dari dinasti atau tidak, semisal ia terpilih, tentu tidak dipersoalkan.
    “Kemudian, yang ketiga (yang perlu diperbaiki) ya terkait dengan pembiayaan politik,” kata Armand.
     
    Ia menilai, salah satu alasan politik dinasti muncul karena mahalnya biaya politik di Indonesia.
    Jika politik dinasti ingin dikurangi, biaya politik ini juga harus turun.
    Mahalanya biaya politik di Indonesia juga menjadi sorotan dari Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati.
    Neni menilai, tingginya biaya politik membuat aksesibilitas politik menjadi sangat terbatas.
    “Politik mahal hanya dapat diakses oleh mereka yang sedang berkuasa. Ini sangat bertentangan dengan nilai demokrasi yang sejatinya mendorong aspek inklusivitas,” ujar Neni, saat dihubungi, Selasa (30/9/2025).
    Selain memperkuat literasi publik hingga menurunkan biaya politik, Neni berharap aturan untuk membatasi politik dinasti bisa dibahas lagi oleh pemerintah.
    “Sebetulnya, saya punya harapan besar RUU Partai Politik masuk juga di prolegnas 2026 bersama dengan RUU Pemilu dan Pilkada,” kata dia.
    Ia menilai, politik dinasti bisa dikurangi jika ada syarat dan ketentuan pencalonan yang diperketat.
    Misalnya, seseorang baru bisa maju setelah tiga tahun menjalani kaderisasi dalam sebuah partai politik.
    Menurut dia, butuh pembekalan yang cukup agar kepala daerah memiliki kapasitas yang baik agar tidak dipertanyakan di muka publik.
    Lebih lanjut, pembatasan masa jabatan di lembaga legislatif juga perlu diatur.
    Terlebih, karena jabatan di lembaga eksekutif juga telah dibatasi hanya bisa dua periode.
    Pembatasan masa jabatan ini dinilai dapat mendorong regenerasi di tubuh partai.
    Sebab, selama ini, tokoh yang masuk ke DPR atau DPRD bisa menjabat hingga 20-30 tahun.
    “Selama ini, batasan periodisasi itu tidak ada sehingga partai menjadi institusi bisnis yang menumbuhsuburkan lahirnya politisi, tapi defisit negarawan,” tegas Neni.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Politik kemarin, DPR terima surpres hingga Ketua DPR tanggapi MBG

    Politik kemarin, DPR terima surpres hingga Ketua DPR tanggapi MBG

    Jakarta (ANTARA) – Sejumlah peristiwa politik telah diwartakan oleh pewarta Kantor Berita ANTARA pada Selasa (23/9). Berikut beberapa berita pilihan yang masih menarik dibaca pagi ini.

    1. DPR terima Surpres tentang RUU Perubahan Keempat atas UU BUMN

    Ketua DPR RI Puan Maharani mengumumkan dalam Rapat Paripurna Ke-5 DPR RI Masa Sidang I Tahun Sidang 2025-2025 bahwa pihaknya telah menerima Surat Presiden (Surpres) tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

    “Pimpinan dewan telah menerima surat-surat dari Presiden Republik Indonesia,” kata Puan di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa.

    Baca selengkapnya di sini.

    2. Mensesneg: Ada kemungkinan status Kementerian BUMN turun menjadi badan

    Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan bahwa ada kemungkinan status Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) turun menjadi badan, seiring bergulirnya revisi undang-undang tentang perubahan keempat atas Undang-Undang BUMN di DPR RI.

    Sejauh ini, Prasetyo mengatakan bahwa fungsi operasional atas berbagai BUMN sudah lebih banyak dikerjakan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), sedangkan Kementerian BUMN saat ini lebih banyak sebagai regulator.

    Baca selengkapnya di sini.

    3. Mensesneg: Mahfud MD bersedia gabung Komite Reformasi Polri

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengungkapkan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD bersedia untuk bergabung dalam tim Komite Reformasi Polri yang dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto.

    “Alhamdulillah, beliau menyampaikan kesediaan untuk ikut bergabung,” kata Prasetyo di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa.

    Baca selengkapnya di sini.

    4. Rapat Paripurna DPR setujui perubahan RUU Prolegnas dan prioritas 2025

    Rapat Paripurna Ke-5 DPR RI Masa Sidang I Tahun Sidang 2025-2026 menyetujui perubahan atas daftar rancangan undang-undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2025-2029 dan menyetujui daftar RUU prioritas untuk tahun 2025 dan 2026.

    Adapun perubahan itu disetujui oleh seluruh fraksi partai politik dan para Anggota DPR RI yang hadir dalam rapat paripurna. Sejumlah RUU baru dalam perubahan Prolegnas prioritas yang menjadi sorotan di antaranya RUU Perampasan Aset, RUU Pemilu, RUU BUMN, hingga RUU Danantara.

    Baca selengkapnya di sini.

    5. Ketua DPR minta MBG dievaluasi tanpa saling menyalahkan

    Ketua DPR RI Puan Maharani meminta agar program Makan Bergizi Gratis (MBG) dievaluasi tanpa saling menyalahkan antara satu pihak dengan pihak lainnya, saat merespons pembentukan tim investigasi terkait kasus keracunan akibat MBG.

    Dia mengatakan bahwa DPR RI juga bakal mengawasi secara langsung dapur-dapur program MBG yang bermasalah untuk mengevaluasi penyebab keracunan. Dengan begitu, menurut dia, DPR juga bisa mendapatkan gambaran atas permasalahan yang terjadi.

    Baca selengkapnya di sini.

    Pewarta: Nadia Putri Rahmani
    Editor: Imam Budilaksono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Perludem Ungkap Sederet Urgensi Pembahasan RUU Pemilu – Page 3

    Perludem Ungkap Sederet Urgensi Pembahasan RUU Pemilu – Page 3

    Perludem menyakini apabila RUU Pemilu menjadi usulan pemerintah maka prosesnya akan lebih cepat lewat pembentukan tim khusus yang bersifat independen sekaligus bertugas menyiapkan naskah akademik.

    “Saya rasa tim khusus ini akan lebih objektif, karena kita tahu Undang-Undang Pemilu ini dekat sekali dengan kompetisi,” kata dia.

    Yang tidak kalah penting adalah pembahasan RUU Pemilu harus melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya, sebab tujuan akhir dari RUU ini untuk meningkatkan kualitas demokrasi atau tidak hanya sebatas kepentingan partai politik.

    “Warga berhak tahu apa yang kemudian diusulkan dalam desain Pemilu ke depannya,” ujar Direktur Eksekutif Perludem.