Kontrakan Rp 300.000 di Jakarta, Bukti Nyata Ketimpangan Sosial dan Persoalan HAM
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di tengah gencarnya pembangunan gedung-gedung pencakar langit, kontrakan semi permanen dengan harga murah meriah tetap eksis berdiri di Ibu Kota Jakarta.
Biasanya, kontrakan semi permanen tersebut dibangun di lokasi-lokasi terpencil, yakni di pinggir sungai, bantaran kali, hingga di sepanjang rel kereta api.
Meski keberadaannya terpencil dan cenderung kumuh,
kontrakan murah
meriah ini kerap menjadi penyelamat bagi warga dengan keterbatasan ekonomi agar tetap memiliki tempat berlindung di tengah kerasnya kehidupan Kota Jakarta.
Pinggir rel kereta api di Kampung Muara Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara, menjadi salah satu lokasi yang dipenuhi puluhan kontrakan semi permanen dan dihuni oleh ratusan orang.
“Di sepanjang rel ini kontrakan semua, harganya beda-beda, ada yang Rp 400.000, Rp 500.000, yang membedakan biasanya kamar mandinya di dalam. Terus agak lebih bagusan dikit, kalau gubuk kayak gini paling Rp 350.000, kamar mandinya bareng-bareng,” ucap salah satu penghuni kontrakan bernama Nur (25) ketika diwawancarai
Kompas.com
di lokasi, Kamis (18/12/2025).
Biaya Rp 350.000 tersebut sudah termasuk biaya listrik. Namun, untuk kebutuhan air, Nur harus membeli dari tetangganya dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 10.000.
Sesak, gelap, dan lembap menjadi gambaran yang tepat untuk kondisi kamar kontrakan Nur yang hanya seluas 3 x 3 meter. Dengan ukuran sekecil itu, kontrakan tersebut ia tempati bersama suami dan anaknya yang masih bayi.
Selain sempit, atap kontrakannya kerap bocor dan membuat kasur lantai yang sudah lusuh menjadi basah. Saat kondisi itu terjadi, Nur dan keluarganya terpaksa tidur di lantai beralaskan kain sarung.
Nur mengaku terpaksa membawa buah hatinya yang masih bayi tinggal di kontrakan tersebut karena keterbatasan ekonomi. Pendapatan suaminya yang bekerja sebagai juru parkir sering kali hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
“Penginnya mengontrak yang layak, siapa sih yang enggak mau punya kehidupan enak, tapi kan Tuhan berkehendak lain, nasib juga beda, kalau kita enggak usaha mau gimana lagi, jalanin dan syukuri saja,” kata Nur.
Penghuni kontrakan lainnya, Diah (60), juga menyimpan harapan serupa. Ia berharap suatu hari nanti dapat memiliki tempat tinggal yang lebih layak.
“Kepingin banget, setiap malam suka berdoa kapan ya punya tempat tinggal yang lebih layak buat anak dan cucu,” tutur Diah.
Diah mengaku terpaksa tinggal di kontrakan semi permanen di pinggir rel kereta api karena tidak lagi mampu menyewa kontrakan yang layak.
Sebelumnya, ia dan keluarganya mengontrak rumah di wilayah Warakas, Tanjung Priok, dengan harga Rp 1.000.000 per bulan. Namun, tarif tersebut tidak terjangkau dengan pendapatan suaminya yang hanya bekerja sebagai juru parkir.
Akhirnya, Diah dan keluarga memilih pindah ke kontrakan di pinggir rel kereta Kampung Bahari dengan biaya sewa Rp 300.000 per bulan.
Enam tahun tinggal di kontrakan kecil tersebut membuat Diah dan keluarganya tidak pernah benar-benar merasa nyaman.
Pasalnya, kontrakan itu kerap dimasuki berbagai binatang, di antaranya tikus hingga ular yang berasal dari lahan kosong di belakang bangunan.
“Dukanya itu banyak binatang, suka ada tikus, ular gitu sering masuk ke rumah pas tidur,” ungkap Diah.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, memandang kemunculan kontrakan murah meriah di kawasan kumuh sebagai bagian dari krisis perumahan yang banyak dibahas di berbagai belahan dunia.
Krisis perumahan merupakan bentuk ketidakadilan bagi masyarakat kurang mampu di perkotaan dalam mengakses tempat tinggal yang layak.
“Mereka yang tinggal di kontrakan kumuh, padat, penghuninya banyak, itu bagian atau manifestasi dari mereka yang mengalami krisis dari ketidakadilan dalam akses terhadap
housing
tersebut,” ungkap Rakhmat.
Dalam banyak kajian perkotaan, krisis perumahan yang memicu ketidakadilan sosial ini bahkan dikaitkan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut Rakhmat, memiliki rumah merupakan hak setiap warga negara. Namun, masyarakat miskin kerap terpinggirkan dalam struktur kebijakan perumahan di perkotaan sehingga tidak mampu mengakses hak tersebut.
Salah satu kebijakan pemerintah yang dinilai membuat warga sulit memiliki rumah adalah keberpihakan yang terlalu besar terhadap pemilik modal.
“Pemerintah terlalu akomodatif atau pro terhadap pemilik modal dengan membangun mal, apartemen, pusat perkantoran, ruko, tapi malah meminggirkan akses terhadap
housing
itu, bukan hanya sebuah kegagalan tapi pelanggaran HAM,” tegas Rakhmat.
Akhirnya, banyak dari masyarakat berjuang semampunya dan hanya bisa menyewa kontrakan dengan harga murah yang jauh dari kata layak huni dan sehat.
Bahkan, dalam kondisi yang lebih ekstrem, sebagian orang tidak mampu menyewa rumah sama sekali dan memilih menjadi gelandangan atau manusia gerobak.
Tak heran jika krisis perumahan kini menjadi isu global yang hangat dibicarakan dan diperjuangkan para peneliti agar masyarakat kelas menengah bawah dapat mengakses hunian layak.
Jika pemerintah tidak mengambil tindakan dan membiarkan warganya tinggal di kontrakan di samping rel kereta api, kondisi tersebut akan berdampak buruk terhadap kesehatan.
“Dampaknya secara kesehatan tidak layak karena kita kan hidup butuh udara yang sehat, sirkulasi yang sehat, soal MCK bagaimana, higienitasnya bagaimana,” jelas Rakhmat.
Ia menekankan bahwa rumah tidak hanya dipahami sebagai bangunan fisik berdasarkan ukuran, tetapi juga sebagai ruang untuk berinteraksi.
Setiap orang berhak memiliki ruang di rumah untuk bersosialisasi dan mengaktualisasikan diri bersama keluarga, pasangan, dan anak-anaknya.
Oleh karena itu, dalam standar global, luas rumah ideal harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya.
Misalnya, satu orang setidaknya membutuhkan ruang sekitar sembilan meter persegi. Jika terdapat empat penghuni, maka luas rumah ideal sekitar 36 meter persegi.
Namun, standar tersebut sulit dipenuhi oleh masyarakat dengan keterbatasan ekonomi. Bagi mereka, memiliki tempat berteduh untuk melepas lelah saja sudah merupakan sebuah keberuntungan.
“Karena mereka enggak mampu untuk mengakses
housing
tersebut sehingga mereka tidak ada interaksinya, tidak sehat secara sosial karena interkasi mereka tidak berlangsung secara lancar, harmonis,” ucap Rakhmat.
Dampak buruk selanjutnya adalah hilangnya rasa nyaman untuk setiap anggota keluarga yang terpaksa tinggal satu ruangan di kontrakan berukuran 3 x 3 meter.
Mereka harus tidur berhimpitan sehingga tidak memiliki ruang untuk berdialog atau mengekspresikan dirinya masing-masing.
Sempitnya kontrakan tentu akan membuat mereka sering berebut ruang sehingga mudah sekali mengalami gesekan satu sama lain.
Rakhmat mengatakan, para peneliti global meminta agar pemerintah tidak lepas tanggung jawab terhadap warganya yang tinggal di rumah tak layak.
Jika pemerintah mengabaikan persoalan ini, maka secara tidak langsung telah melakukan pelanggaran HAM.
“Kalau lepas tangan itu pelanggaran HAM karena
housing
adalah hak dasar manusia, hak sosial ekonomi, dan terjadi di kota-kota dunia ketiga, terutama di Afrika dan Asia kayak Indonesia dan India,” tutur Rakhmat.
Untuk mengatasi persoalan
housing
di Indonesia, pemerintah bisa membangun perumahan yang layak dan terjangkau untuk warga miskin kota.
Di Jakarta yang lahannya terbatas, pemerintah bisa memperbanyak pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) atau rumah susun sederhana milik (rusunami), seperti yang telah dilakukan sebelumnya.
Dengan menyediakan rusunawa dan rusunami, pemerintah diharapkan dapat hadir bagi masyarakat miskin kota agar mereka memiliki tempat tinggal yang layak dan manusiawi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Produk: Rusunawa
-
/data/photo/2025/12/19/6944374d3215d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Kontrakan Rp 300.000 di Jakarta, Bukti Nyata Ketimpangan Sosial dan Persoalan HAM Megapolitan
-
/data/photo/2025/07/31/688af01a9dc2b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Warga Tinggal di TPU Kebon Nanas Belum Kena SP1 Terkait Pengosongan Lahan Megapolitan 18 Desember 2025
Warga Tinggal di TPU Kebon Nanas Belum Kena SP1 Terkait Pengosongan Lahan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Timur memastikan belum menerbitkan surat peringatan pertama (SP1) kepada warga yang menetap di kawasan Taman Pemakaman Umum (TPU) Kebon Nanas, Jatinegara, Jakarta Timur.
Saat ini, pemerintah masih melakukan pendataan menyeluruh sebelum mengambil langkah penertiban.
Pendataan tersebut disampaikan Wakil Wali Kota Administrasi Jakarta Timur, Kusmanto, saat ditemui di TPU Rawa Bunga, Kamis (18/12/2025).
“Belum, kami masih melakukan pendataan. Karena menyangkut masyarakat yang cukup banyak di sana, jadi kami harus hati-hati,” ucap Wakil Wali Kota Administrasi Jakarta Timur Kusmanto.
Kusmanto menjelaskan, Pemkot Jakarta Timur masih menginventarisasi berbagai permasalahan di
TPU Kebon Nanas
.
Menurut dia, kondisi di lokasi tersebut berbeda dengan yang terjadi di TPU Rawa Bunga.
“Permasalahannya berbeda dengan Rawa Bunga. Kalau di Rawa Bunga, masyarakat mengokupasi lahan untuk kegiatan usaha. Sementara di Kebon Nanas, warga sudah menempatinya sebagai tempat tinggal,” jelas Kusmanto.
Ia menyebutkan, apabila seluruh lahan TPU Kebon Nanas dikembalikan sesuai fungsi awalnya sebagai area pemakaman, kawasan tersebut berpotensi menambah kapasitas makam dalam jumlah signifikan.
“Kalau luas, jelas di sana kurang lebih 3.700 sekian (meter persegi). Kalau bisa nanti dikembalikan fungsinya, itu bisa menghasilkan kurang lebih 1.000 petak untuk makam,” ungkap Kusmanto.
Terkait penanganan warga yang menetap di TPU Kebon Nanas, Kusmanto memastikan pemerintah telah menyiapkan skema
relokasi
.
Warga ber-KTP DKI Jakarta akan diarahkan ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang telah disiapkan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta.
“Untuk masyarakat yang ber-KTP DKI, sesuai dengan mekanisme Pergub, kita relokasi ke dalam Rusun. Untuk masyarakat yang memiliki usaha dengan KTP DKI, kita tempatkan di pasar-pasar milik Pemda atau juga Pasar Binaan (Lokbin) yang ada di wilayah Jakarta Timur,” ujar Kusmanto.
Selain relokasi tempat tinggal, Pemkot Jakarta Timur juga menyiapkan langkah lanjutan bagi anak-anak warga terdampak yang masih bersekolah.
“Untuk anak sekolah yang mungkin terdampak, kita akan pindahkan ke sekolah yang lebih dekat. Jadi kami sedang melakukan pendataan seperti itu,” ungkap Kusmanto.
Sebelumnya, Pemkot Jakarta Timur juga melakukan penertiban bangunan liar di TPU Kober Rawa Bunga, Jatinegara.
Penertiban tersebut diklaim berpotensi menambah kapasitas makam hingga ratusan petak.
Kusmanto menjelaskan, lahan yang selama ini dimanfaatkan warga secara tidak semestinya di TPU Rawa Bunga dapat dikembalikan ke fungsi awal sebagai area pemakaman.
“Jadi, di sini hampir yang dimanfaatkan oleh masyarakat kurang lebih 1.576 meter. Jadi, kalau nanti dimanfaatkan dan dikembalikan fungsinya, akan menghasilkan perpetakan kurang lebih 420 petak. Alhamdulillah,” ungkap Kusmanto.
Ia menambahkan, total luas TPU Rawa Bunga mencapai sekitar 71.000 meter persegi. Di kawasan tersebut ditemukan belasan bangunan liar yang berdiri di atas lahan makam.
“Ini kalau jumlah bangunan, tanah yang dimanfaatkan kurang lebih 1.576 meter, bangunannya kurang lebih ada 14 bangunan, jadi macam-macam usahanya,” ungkap Kusmanto.
Menurut dia, proses penertiban di TPU Rawa Bunga berjalan tanpa penolakan dari warga.
Pemkot Jakarta Timur telah melakukan pendekatan persuasif melalui edukasi dan sosialisasi sebelum penertiban dilakukan.
“Dan di sini kebetulan dipakai untuk tempat usaha, macam-macam ada yang bengkel, ada yang usaha-usaha yang lain, yang sudah jelas ini melanggar daripada ketentuan,” jelas Kusmanto.
“Alhamdulillah, kami lakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat yang menggunakan lahan makam ini, dan mereka memahami, mengerti, dan mereka dengan sukarela mau memindahkan,” imbuhnya.
Kusmanto menegaskan, tidak ada skema relokasi khusus bagi penghuni bangunan liar di TPU Rawa Bunga. Penanganan berbeda diterapkan untuk warga yang tinggal di TPU Kebon Nanas.
“Enggak, enggak ada relokasi (TPU Rawa Bunga) Tapi kalau di sana (Kebon Nanas) kalau mereka punya KTP DKI, kita arahkan ke Rusun. Kalau tidak punya, terpaksa pulang kampung. Kita tidak bisa nampung.” jelasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/16/6940feec44bd1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kali Mookervart: Sumber Air Warga Rusun Pesakih yang Terancam Sampah dan Limbah Megapolitan 16 Desember 2025
Kali Mookervart: Sumber Air Warga Rusun Pesakih yang Terancam Sampah dan Limbah
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kali Mookervart yang membentang di sepanjang Jalan Raya Daan Mogot, Jakarta Barat, menjadi salah satu sumber utama kebutuhan air bersih bagi warga Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Pesakih.
Pantauan
Kompas.com
di lokasi pada Selasa (16/12/2025), air yang mengalir di sepanjang kawasan Kota Tangerang hingga
Jakarta Barat
terlihat berwarna hitam.
Saat diamati lebih dekat, tercium bau tak sedap yang menyebar di sekitar aliran kali.
Sampah plastik dan limbah rumah tangga tampak mengambang mengikuti arus, sementara di beberapa titik, seperti di sekitar Halte Transjakarta Rawa Buaya, sampah menumpuk di tepi kali.
Petugas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta kemudian mengumpulkan sampah dari tengah aliran menggunakan perahu.
Menurut warga sekitar, beberapa pabrik di sepanjang sisi Jalan Daan Mogot membuang limbahnya ke kali.
Aliran
Kali Mookervart
di dekat Rumah Pompa Green Garden juga beberapa kali dilaporkan berbusa akibat pencemaran limbah.
Tak jauh dari aliran kali, terdapat Waduk Mookervart yang dibangun untuk menampung air hujan.
Di waduk itu, terdapat mesin dan pipa yang mengalirkan sebagian air dari kali ke dalam waduk.
Meski berwarna kehijauan dan terdapat sampah dedaunan dari pohon sekitar, air di waduk tetap dimanfaatkan untuk kebutuhan warga.
Di depan waduk, terdapat Instalasi Pengolahan Air (IPA) PAM Jaya berwarna biru.
Air dari waduk dan Kali Mookervart diolah menggunakan Water Treatment Plant (WTP) agar bisa digunakan sebagai air bersih bagi warga rusun.
Setelah melalui proses pengolahan, air dialirkan ke Ground Water Tank (GWT) di tower-tower dan blok Rusunawa Pesakih, termasuk ke Masjid Raya KH Hasyim Asy’ari.
Kepala Unit Pengelola Rumah Susun (UPRS) Pesakih, Muhammad Ali, menjelaskan pemanfaatan air Kali Mookervart didasari kebutuhan mendesak akan air bersih dan larangan penggunaan air tanah di Jakarta.
“Mengingat kebutuhan air akan masyarakat, kebutuhan air bersih, Rusun ini mulai menggali potensi-potensi. Dari hasil analisis PAM Jaya, melihat bahwa ada potensi untuk penggunaan air di sekitar rusun, yaitu air dari Kali Mookervart,” ujar Ali saat diwawancarai
Kompas.com
di lokasi, Selasa (16/12/2025).
Warga Rusunawa Pesakih mengaku tidak mempermasalahkan sumber air yang digunakan sehari-hari.
Meskipun air berawal dari kali yang hitam, air yang keluar dari kran rumah mereka sudah jernih, tidak berbau, dan layak dikonsumsi.
“Alhamdulillah bagus sih, enggak ada keluhan, bersih airnya. Jernih, jernih,” ujar Novi saat ditemui
Kompas.com
di lokasi, Selasa (16/12/2025).
Ia menambahkan, selama lima tahun pemakaian, air tersebut tidak pernah mengeluarkan aroma tak sedap layaknya air kali atau air tanah yang kadang berbau besi.
“Enggak sih, bau mah enggak, enggak pernah. Aman sih selama ini, bau gitu juga enggak,” ucap Novi.
Hal senada disampaikan Teti (42), penghuni lain, yang menilai air aman untuk kebutuhan sanitasi keluarga, termasuk anak-anak.
“Aman, enggak pernah ada keluhan. Saya punya anak kecil berdua, alhamdulillah enggak pernah kenapa-kenapa,” kata Teti.
Ali menambahkan, sejak Rusunawa Pesakih berdiri, suplai air bersih warga memang mengandalkan Kali Mookervart.
Bahkan pada kunjungan Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, pada 9 Mei 2025, ia sempat meminum langsung air hasil olahan tersebut.
“Waktu kunjungan Pak Gubernur ke sini, itu dari olahan itu langsung diminum. Karena standarnya air bisa didistribusikan adalah tidak ada bakteri atau apapun dan memang itu harus layak untuk diminum,” tutur Ali.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pemkot Jaktim beri surat peringatan pertama bagi warga TPU Rawa Bunga
Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Timur (Jaktim) memberikan Surat Peringatan Pertama (SP1) kepada 39 warga yang menempati Taman Pemakaman Umum (TPU) Kober Rawa Bunga, Jatinegara.
“Kami telah melayangkan SP1 kepada warga yang menempati TPU Kober Rawa Bunga,” kata Asisten Pemerintahan Kota Jakarta Timur Bambang Pangestu saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.
Dia pun berharap warga segera mengosongkan lahan TPU tersebut karena akan dikembalikan sesuai fungsinya.
Selama ini, warga yang menempati TPU Kober Rawa Bunga memanfaatkan lahan itu untuk membuka usaha, seperti cat duco, bengkel, atau warung makan.
“Diharapkan warga segera mengosongkan lahan TPU secepatnya,” tegas Bambang.
Menurut dia, pemberian surat peringatan pertama bagi warga di TPU Kober Rawa Bunga itu berlangsung tertib dan kondusif.
“Karena warga yang menempati lahan TPU Kober Rawa Bunga memanfaatkannya sebagai tempat usaha, bukan hunian, sehingga pendekatan yang dilakukan lebih mudah,” jelas Bambang.
Sementara itu, Kepala Seksi Jalur Hijau dan Pemakaman Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Timur Made Widhi mengatakan pemberian SP1 itu dilakukan pada Kamis (4/12) dengan melibatkan unsur Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
“Semua yang terkait terlibat, seperti kelurahan, kecamatan, Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja), dibantu Babinsa (Bintara Pembina Desa) dan Bimaspol (Bimbingan Masyarakat Polisi). Pemberian SP1 berjalan lancar dan kondusif,” ucap Made.
Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana mengembalikan fungsi lahan di TPU Kebon Nanas dan TPU Kober Rawa Bunga yang sudah puluhan tahun digunakan sebagai permukiman warga.
Nantinya, lahan yang digunakan warga untuk permukiman itu akan dimanfaatkan untuk membuka petak makam baru sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah krisis lahan makam di Jakarta.
Berdasarkan keterangan warga Kebon Nanas, Pemkot Jakarta Timur telah menyiapkan dua rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sebagai lokasi relokasi, yakni Pulo Jahe dan Rawa Bebek.
Penertiban permukiman warga itu juga dilakukan mengingat 69 TPU yang merupakan aset Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta sudah penuh, atau hanya melayani pemakaman dengan metode tumpang.
Berdasarkan data awal, tercatat 280 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari 517 jiwa yang mendirikan bangunan di atas lahan TPU Kebon Nanas dan TPU Kober Rawa Bunga.
Pewarta: Siti Nurhaliza
Editor: Rr. Cornea Khairany
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
/data/photo/2025/12/09/6937d6a4ccb69.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pemkot Jaktim Terbitkan SP1 untuk Penghuni TPU Kober Rawa Bunga Megapolitan 9 Desember 2025
Pemkot Jaktim Terbitkan SP1 untuk Penghuni TPU Kober Rawa Bunga
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com —
Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Timur mulai menertibkan permukiman yang berdiri di atas lahan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kober Rawa Bunga, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur.
Langkah awal berupa pemberian Surat Peringatan 1 (SP1) kepada para penghuni dilakukan untuk mengembalikan fungsi lahan sebagai area pemakaman.
Asisten Pemerintahan Pemkot Jakarta Timur, Bambang Pangestu, mengatakan SP1 telah dilayangkan kepada 39 penghuni
TPU Kober Rawa Bunga
empat hari lalu.
“Itu sudah empat hari yang lalu, hari Kamis yang lalu itu sudah kita sampaikan. Kita sudah monitor juga. SP1 di Kober, di Rawa Bunga itu sekitar kurang lebih 39,” ucap Bambang saat ditemui di Kantor Kelurahan Ceger, Selasa (9/12/2025).
Bambang berharap pemberian SP1 dapat mempercepat pengosongan lahan. Para penghuni rencananya akan direlokasi ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Pemerintah Provinsi Jakarta menyiapkan Rusun Rawa Bebek dan Rusun Pulo Jahe di Kecamatan Cakung sebagai lokasi relokasi.
“Kami jamin semuanya, perumahannya kita arahkan ke Rusun. Mereka yang memang sekolahnya nanti mau pindah, sekolah negeri, kita pindahkan juga ke negeri yang ada dekat Rusun-nya di situ,” ujarnya.
Pemkot Jakarta Timur menyiapkan langkah penertiban terhadap permukiman warga di TPU Kebon Nanas dan TPU Kober Rawa Bunga. Langkah ini diambil untuk mengembalikan fungsi asli lahan pemakaman yang selama bertahun-tahun berubah menjadi kawasan hunian padat.
Pemkot menegaskan, proses yang dilakukan bukan penggusuran, melainkan pengembalian fungsi lahan makam.
“Kami tidak bilang menggusur tapi kami minta dikembalikan. Minta dikembalikan lahan (TPU) yang digunakan mereka,” kata Sekretaris Kota Jakarta Timur, Eka Darmawan, Jumat (21/11/2025).
Berdasarkan pendataan, terdapat 280 keluarga atau 517 jiwa yang tinggal di atas dua TPU tersebut. Pemkot akan memulai sosialisasi sebelum pelaksanaan pengosongan dengan mekanisme SP1, SP2, dan SP3.
”
Deadline
-nya untuk pengosongan ini kira tahapannya dalam waktu dua minggu. Kita kasih SP 1, SP 2, dan SP 3 terlebih dahulu,” jelas Eka.
Eka menjelaskan bahwa kebutuhan lahan pemakaman di Jakarta Timur berada dalam kondisi krisis.
“Karena selama ini kan mereka (warga) menempati lahan, dan belum memahami bahwa kebutuhan lahan (makam) yang ada di Provinsi DKI itu krisis. Terutama di Jakarta Timur,” ujarnya.
Fenomena permukiman di TPU Kebon Nanas dan sekitarnya sudah berlangsung lama. Ketua RT 015/RW 002 Cipinang Besar Selatan, Sumiati, menyebut wilayah ini mulai dihuni sejak dekade 1980-an.
“Tahun 1980-an itu yang tinggal di atas pemakaman itu hanya satu kepala keluarga, tapi mulai banyak yang pindah ketika adanya penggusuran,” ujar Sumiati.
Menurut Sumiati, banyak warga sebelumnya tinggal di bantaran kali dan lahan yang sempat direncanakan menjadi kantor Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
“Dulu sebelum ada KLH itu kan lapangan gitu, terus warga itu ada yang tinggal di pinggir kali di belakang kantor KLH tahun 1997 kena gusur gitu,” jelas Sumiati.
Warga terdampak penggusuran pada 1997 hanya menerima uang kerohiman sebesar Rp 600.000.
“Sementara kan uang segitu untuk ngontrak paling juga bertahan beberapa bulan gitu. Akhirnya mereka pindah lah tuh ke atas pemakaman Cina ini tahun 1997,” tuturnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

55 KK Terdampak Penertiban di Bantaran Kali Padek Serang Direlokasi ke Rusunawa
JAKARTA – Pemerintah Kota (Pemkot) Serang di Provinsi Banten, merelokasi warga yang terdampak penertiban bangunan liar di bantaran Kali Padek, Kelurahan Margaluyu, ke Rumah Susun Sewa (Rusunawa) Margaluyu, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, usai langkah normalisasi sungai dijalankan.
Kepala UPTD Rusunawa Kota Serang, Zedi Bachmi, mengatakan dari total 142 Kepala Keluarga (KK) yang terdampak penertiban, sebanyak 55 KK tercatat sudah resmi masuk dan menempati unit di rusunawa.
“Jadi yang sudah masuk ke rusunawa baru 55 KK. Tapi kita belum tahu hari ini kemungkinan bisa bertambah,” ujar Zedi di Serang, Jumat, disitat Antara.
Zedi menjelaskan, kapasitas awal Rusunawa Margaluyu tersedia sekitar 73 kamar, namun dengan terisinya 55 unit oleh warga relokasi baru, ketersediaan ruang menjadi semakin terbatas.
“Kamar yang tersedia dari awal ada sekitar 73 kamar. Yang sudah terisi 55, jadi sisa sekitar 18 kamar lagi. Kalau lihat perkembangan tidak terlalu banyak lagi yang masuk, karena sebagian warga juga ada yang pindah ke rumah sodaranya,” katanya.
Pihaknya juga menyediakan opsi alternatif di Rusunawa Kaujon, namun hingga kini belum ada warga yang berminat pindah ke sana yang kemungkinan disebabkan oleh akses yang dianggap terlalu jauh dari lokasi awal mereka.
“Di Kaujon ada empat kamar yang kita ready untuk masyarakat yang mau pindah. Sampai saat ini belum ada yang berminat,” tuturnya.
Terkait antisipasi jika kapasitas rusunawa tidak mencukupi, Zedi mengaku telah berkoordinasi dengan Dinas Sosial (Dinsos) Kota Serang untuk strategi penanganan lebih lanjut.
Zedi juga memastikan fasilitas di dalam rusunawa dalam kondisi layak huni dan setiap keluhan penghuni langsung ditindaklanjuti oleh petugas.
“Fasilitas Alhamdulillah tidak ada keluhan, mungkin ada keluhan kecil seperti keran patah, kita segera tangani. Tidak ada kerusakan parah,” tambahnya.
Sementara itu, Camat Kasemen, Sugiri, menjelaskan pembongkaran bangunan di sempadan Kali Padek dilakukan karena kondisi sungai tersumbat bangunan liar yang berimplikasi negatif terhadap pengairan persawahan.
“Selain itu, disini juga sering terjadi banjir. Sehingga normalisasi Kali Padek ini juga menjadi keinginan warga,” ujarnya.
Sugiri menyebutkan total bangunan yang ditertibkan mencapai 175 unit, di mana proses eksekusi pada Kamis 4 Desember, berjalan kondusif karena didahului sosialisasi. Hingga ini proses pembongkaran masih terus dilakukan.
“Jumlah rumah yang dibongkar totalnya 175, tapi yang tempat tinggal itu 142. Sisanya bangunan tempat usaha. Warga yang terdampak direlokasi ke Rusunawa Margaluyu dan semuanya tidak dikenakan biaya,” katanya.
-
/data/photo/2025/07/31/688aa90eb819a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Mayoritas Jadi Pemulung, Warga TPU Kebon Nanas Menolak Direlokasi ke Rusun Megapolitan 1 Desember 2025
Mayoritas Jadi Pemulung, Warga TPU Kebon Nanas Menolak Direlokasi ke Rusun
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Warga yang tinggal di lahan Taman Pemakaman Umum (TPU) Kebon Nanas, Jakarta Timur, mengaku keberatan direlokasi ke Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa).
“Bagi kami kalau untuk tinggal di rusun, bukan solusi kalau bagi warga kami nih. Karena apa? Kami ini pemulung. Hampir 100 persen warga di situ pemulung,” ucap Emo, salah satu warga
TPU Kebon Nanas
, di kantor Kecamatan Jatinegara, Senin (1/12/2025).
Emo mengatakan, pekerjaan sebagai pemulung akan menyulitkan jika mereka dipindahkan ke rusunawa yang disiapkan pemerintah.
Pemerintah Kota (Pemkot)
Jakarta
Timur telah menyiapkan dua rusunawa sebagai lokasi relokasi, yakni Pulo Jahe dan Rawa Bebek.
“Pemulung kan perlu tempat untuk memilih dan memilah barang, pakai gerobak, enggak mungkin disediakan dari pihak rumah susun kalau kami dipindahkan ke rumah susun,” tegas Emo.
Emo juga mengaku mendapat izin tinggal dari pihak yayasan secara lisan beberapa tahun lalu.
“Setahu kami itu milik yayasan dulu, dan kami diizinkan secara lisan untuk tinggal di situ. Kami pun sudah istilahnya ada perjanjian secara lisan, kalau memang yayasan mau pakai itu tanah, kami bersedia mengosongkan tanah itu,” ucap Emo
Pemerintah Kota Jakarta Timur menyiapkan langkah penertiban terhadap pemukiman warga yang berdiri di atas TPU Kebon Nanas dan TPU Kober Rawa Bunga.
Langkah ini diambil untuk mengembalikan fungsi asli lahan pemakaman yang selama bertahun-tahun berubah menjadi kawasan hunian padat.
Pemkot menegaskan bahwa proses yang dilakukan bukan penggusuran, melainkan pengembalian fungsi lahan makam.
“Kami tidak bilang menggusur tapi kita minta dikembalikan. Minta dikembalikan lahan (TPU) yang digunakan mereka,” kata Sekretaris Kota Jakarta Timur Eka Darmawan melalui keterangan, Jumat (21/11/2025).
Berdasarkan pendataan, terdapat 280 keluarga atau 517 orang yang tinggal dan membangun rumah di atas dua TPU tersebut.
Pemkot akan memulai sosialisasi sebelum pelaksanaan pengosongan.
”
Deadline
-nya untuk pengosongan ini kira tahapannya dalam waktu dua minggu. Kita kasih SP 1, SP 2, dan SP 3 terlebih dahulu,” kata Eka.
Eka menjelaskan bahwa kebutuhan lahan pemakaman di DKI Jakarta, khususnya wilayah Jakarta Timur, berada dalam kondisi krisis.
“Karena selama ini kan mereka (warga) menempati lahan, dan belum memahami bahwa kebutuhan lahan (makam) yang ada di Provinsi DKI itu krisis. Terutama di Jakarta Timur,” ujar Eka.
Permukiman liar di TPU Kebon Nanas dan sekitarnya bukanlah fenomena baru. Wilayah ini disebut telah dihuni sejak dekade 1980-an.
“Tahun 1980-an itu yang tinggal di atas pemakaman itu hanya satu kepala keluarga, tapi mulai banyak yang pindah ketika adanya penggusuran,” kata Ketua RT 015/RW 002 Cipinang Besar Selatan, Sumiati.
Banyak warga kala itu tinggal di bantaran kali dan lahan yang sempat direncanakan menjadi kantor Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
“Dulu sebelum ada KLH itu kan lapangan gitu, terus warga itu ada yang tinggal di pinggir kali di belakang kantor KLH tahun 1997 kena gusur gitu,” ujar dia.
Warga terdampak penggusuran pada 1997 hanya menerima uang kerohiman sebesar Rp 600.000.
“Sementara kan uang segitu untuk ngontrak paling juga bertahan beberapa bulan gitu. Akhirnya mereka pindah lah tuh ke atas pemakaman Cina ini tahun 1997,” kata Sumiati.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/31/688af06cde921.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Warga Penghuni TPU Kebon Nanas Akan Direlokasi ke Rusun Terdekat Megapolitan 29 November 2025
Warga Penghuni TPU Kebon Nanas Akan Direlokasi ke Rusun Terdekat
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemerintah Kota Jakarta Timur sedang berupaya mencari rumah susun (rusun) terdekat sebagai hunian alternatif bagi warga yang akan direlokasi dari Taman Pemakaman Umum (TPU) Kebon Nanas, Jatinegara, Jakarta Timur.
“Kita berusaha semaksimal mungkin untuk mencari rusun yang paling dekat dengan lokasi tersebut,” kata Wali Kota
Jakarta
Timur Munjirin di Kantor Wali Kota Jakarta Timur, Jumat (28/11/2025).
Meski pemerintah daerah telah menyiapkan sejumlah rusun, sebagian warga mengeluhkan lokasi rusun yang ditawarkan, seperti Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Pulo Jahe dan Rawa Bebek.
Keluhan tersebut muncul karena dinilai terlalu jauh dari tempat tinggal dan aktivitas sehari-hari mereka saat ini.
Menanggapi keluhan tersebut, Munjirin menegaskan bahwa pihaknya terus berupaya mencari pilihan rumah susun yang paling dekat dengan area
TPU Kebon Nanas
agar proses relokasi tidak memberatkan warga.
“Semua orang pasti ingin yang paling dekat, tapi pemerintah daerah sudah menyiapkan sebaik mungkin,” tegas Munjirin.
Munjirin memastikan, proses penataan akan terus berjalan dengan mempertimbangkan kebutuhan warga serta kepentingan publik yang lebih luas, terutama terkait kebutuhan lahan pemakaman di Jakarta.
Sebelumnya, warga yang tinggal di TPU
Kebon Nanas
berharap dapat direlokasi ke rusun yang tak jauh dari tempat tinggalnya sekarang.
“Warga meminta direlokasi ke rusun terdekat. Apabila terjadi relokasi warga pasti minta di rusun yang tidak terlalu jauh,” kata Ketua RW 05 Cipinang Besar Selatan, Hesti Raharjo di Jakarta, Rabu (26/11/2026).
Warga yang sudah puluhan tahun bermukim di TPU Kebon Nanas tak ingin menempuh perjalanan jauh dari tempat tinggal barunya ke tempat kerja, sekolah ataupun kampus.
Sedangkan letak kedua rusun milik Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta itu dinilai jauh dari wilayah Kecamatan Jatinegara.
“Karena terkait dengan lokasi kerja orang tua, kemudian sekolah anak-anak. Tapi kita tidak tahu ke depannya untuk warga RW 05 apakah direlokasi ke rusun yang kosong,” ujar Hesti.
Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Timur memang sudah menyatakan akan membantu proses pemindahan sekolah anak-anak warga RW 05 yang terdampak penertiban TPU Kebon Nanas.
Namun, pihaknya belum mendapatkan informasi lebih lanjut terkait nasib warga yang memiliki pekerjaan di wilayah sekitar Kecamatan Jatinegara bila harus direlokasi ke Cakung.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana mengembalikan fungsi lahan di TPU Kebon Nanas dan TPU Kober Rawa Bunga yang sudah puluhan tahun digunakan untuk permukiman warga.
Lahan yang digunakan warga untuk permukiman itu akan dimanfaatkan untuk membuka petak makam baru sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah krisis lahan makam di Jakarta.
Berdasarkan keterangan warga Kebon Nanas, Pemkot Jakarta Timur telah menyiapkan dua rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sebagai lokasi relokasi, yakni Pulo Jahe dan Rawa Bebek.
Penertiban permukiman warga itu dilakukan mengingat 69 TPU yang merupakan aset Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Tamhut) DKI Jakarta sudah penuh atau hanya melayani pemakaman dengan metode tumpang.
Berdasarkan data awal, tercatat 280 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari 517 jiwa yang mendirikan bangunan pada lahan TPU Kebon Nanas dan TPU Kober Rawa Bunga.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/31/688af05aab5bd.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kebingungan Warga TPU Kebon Nanas: Dapat Surat Pengosongan Rumah, tapi Ogah Direlokasi Megapolitan 24 November 2025
Kebingungan Warga TPU Kebon Nanas: Dapat Surat Pengosongan Rumah, tapi Ogah Direlokasi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sejumlah warga RT 015/RW 002 Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur, mengaku bingung setelah menerima surat pengosongan rumah pada 19 November 2025.
Rumah-rumah mereka itu diketahui berdiri di atas lahan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kebon Nanas.
Sehari setelah menerima surat tersebut, warga langsung mengikuti sosialisasi dari Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Timur.
“Kalau dari RT sendiri sih sudah diinfokan (soal pengosongan rumah). Tanggapan warga, mereka dengan adanya sosialisasi itu ya sudah pasti kaget ya, karena itu tiba-tiba mendadak tanggal 19 (November) dapat surat, tanggal 20-nya ada sosialisasi,” ungkap Ketua RT 015/RW 002, Sumiati, saat dikonfirmasi, Minggu (23/11/2025).
Sebagai solusi,
Pemkot Jakarta Timur
menyiapkan dua Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) untuk relokasi, yakni di Pulo Jahe dan Rawa Bebek.
Namun sebagian besar warga menolak dengan alasan lokasi kedua rusunawa itu terlalu jauh dan harus membayar sewa bulanan yang dianggap memberatkan.
“Warga minta sebenarnya tidak mau dipindah ke rusun yang pertama itu kan jauh dan yang kedua juga mereka nanti akan selamanya sewa, bayar tiap bulan,” jelas Sumiati.
Ia menambahkan, warga justru menginginkan hunian dengan skema DP 0 persen agar bisa mencicil dan memiliki tempat tinggal secara permanen.
“Menurut mereka kalau yang DP 0 persen walaupun tiap bulan bayar dengan jangka waktu misalnya 15 tahun atau 20 tahun, nanti akan menjadi milik mereka, kalau rusun awal kan mereka akan bayar terus selamanya gitu dan mereka tidak bisa memiliki,” jelasnya.
Selain masalah biaya dan kepemilikan, warga juga memikirkan nasib anak-anak mereka yang selama ini sekolah di sekitar
TPU Kebon Nanas
.
“Mereka juga pasti punya anak-anak yang sekolah SD, SMP, SMA gitu di sekitaran (TPU Kebon Nanas) tempat tinggal mereka gitu, kalau misalnya dipindah kan udah pasti anak sekolahnya ini gimana,” jelas Sumiati.
Ia menuturkan, beberapa orangtua merasa resah jika pindah ke rusun yang jauh karena anak-anak mereka harus berangkat pukul 05.00 WIB untuk mengejar jam masuk sekolah pukul 06.30 WIB.
“Terus juga kalau misalnya jauh kan dipikir juga soal transportasi kalau anak-anak ini berangkat sementara kan mereka jauh, jadi kalau, masuk sekolahnya jam setengah tujuh paling tidak mereka jam lima harus sudah berangkat,” tuturnya.
Warga berharap Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mendengar keluhan mereka terkait rencana relokasi.
Sumiati menyebut sebagian besar warga di lingkungannya memilih Pramono pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2024.
“Iya, memilih dan mereka itu 80 persen atau 90 persen itu memilih Pak Pramono Anung. Nah, kalau dengan adanya penggusuran ini saya harapkan juga sampai ke telinga gubernur ya,”
Di sisi lain, Ketua RW 002, Muhammad Yusuf, mengatakan warga bingung karena sebagian dari mereka mengaku memiliki bukti legalitas atas lahan yang ditempati meski berada di area makam.
Ia menyebut beberapa warga membeli lahan tersebut dari yayasan yang dahulu mengelola TPU.
“Di warga kami ada beberapa yang sudah terjadi transaksi jual beli yang sah pak, atas nama yayasan dan tanda tangan dari ahli waris (makam),” kata Yusuf saat dikonfirmasi, Minggu.
Menurut dia, pada 2018 warga juga mengikuti program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Beberapa bidang lahan bahkan disebut sudah memiliki Akta Jual Beli (AJB) dan sertifikat.
“Karena sudah terdaftar di BPN. Pengurusan PTSL teregister 2018, Kasi Pemerintah (Kelurahan) saat itu pun mengiyakan kalau itu bukan lahan Pemda,” ujar Yusuf.
Sekretaris Kota Jakarta Timur, Eka Darmawan, menegaskan bahwa langkah yang diambil Pemkot Jakarta Timur bukanlah penggusuran, melainkan pengembalian fungsi lahan pemakaman yang selama bertahun-tahun berubah menjadi kawasan hunian padat penduduk.
“Kami tidak bilang menggusur tapi kita minta dikembalikan. Minta dikembalikan lahan (TPU) yang digunakan mereka,” kata Sekretaris Kota Jakarta Timur, Eka Darmawan, dalam keterangannya pada Jumat (21/11/2025).
Berdasarkan pendataan, terdapat 280 kepala keluarga atau 517 jiwa yang tinggal di atas dua TPU, yakni Kebon Nanas dan Kober Rawa Bunga.
Proses pengosongan dilakukan secara berjenjang melalui SP1, SP2, dan SP3, dengan target dua minggu.
”
Deadline
-nya untuk pengosongan ini kira tahapannya dalam waktu dua minggu. Kita kasih SP 1, SP 2, dan SP 3 terlebih dahulu,” kata Eka.
Eka menjelaskan penertiban dilakukan karena kebutuhan lahan pemakaman di DKI Jakarta dalam kondisi kritis, terutama di Jakarta Timur.
“Karena selama ini kan mereka (warga) menempati lahan, dan belum memahami bahwa kebutuhan lahan (makam) yang ada di Provinsi DKI itu krisis. Terutama di Jakarta Timur,” ujar Eka.
(Penulis: Febryan Kevin Candra Kurniawan, Ruby Rachmadina)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/31/688af06cde921.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Warga TPU Kebon Nanas Kaget Diminta Kosongkan Rumah dalam Dua Minggu Megapolitan
Warga TPU Kebon Nanas Kaget Diminta Kosongkan Rumah dalam Dua Minggu
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sejumlah warga RT 015/RW 002 Cipinang Besar Selatan, Jatinegara yang menempati Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kebon Nanas kaget diminta mengosongkan rumah dalam dua minggu.
“Kalau dari RT sendiri sih sudah diinfokan. Tanggapan warga, mereka dengan adanya sosialisasi itu ya sudah pasti kaget ya, karena itu tiba-tiba mendadak tanggal 19 (November) dapat surat, tanggal 20-nya ada sosialisasi,” ucap Ketua RT 015/RW 002 Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Sumiati saat dikonfirmasi, Minggu (23/11/2025).
Sumiati menjelaskan warga sudah menerima surat dari Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Timur terkait pengosongan rumah tersebut.
“Setelah sosialisasi mereka dapat kabar lewat media kalau kasih waktu dua minggu, mereka belum ada persiapan untuk pindah bahasanya,” jelas Sumiati.
Menurut Sumiati,
Pemkot Jakarta Timur
telah menyiapkan dua Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa), yakni Pulo Jahe dan Rawa Bebek, sebagai lokasi relokasi.
Namun warga tidak mau pindah karena lokasinya terlalu jauh dan membayar sewa.
“Warga minta sebenarnya tidak mau dipindah ke rusun yang pertama itu kan jauh dan yang kedua juga mereka nanti akan selamanya sewa, bayar tiap bulan,” jelas Sumiati.
Ia menambahkan, sebagian besar warga bersedia dipindahkan jika ditempatkan di rumah dengan skema down payment (DP) 0 persen.
“Menurut mereka kalau yang DP 0 persen walaupun tiap bulan bayar dengan jangka waktu misalnya 15 tahun atau 20 tahun, nanti akan menjadi milik mereka, kalau rusun awal kan mereka akan bayar terus selamanya gitu dan mereka tidak bisa memiliki,” jelasnya.
Pemerintah Kota Jakarta Timur menyiapkan langkah penertiban terhadap permukiman warga yang berdiri di atas Taman Pemakaman Umum (TPU) Kebon Nanas dan TPU Kober Rawa Bunga, Jatinegara.
Langkah ini diambil untuk mengembalikan fungsi asli lahan pemakaman yang selama bertahun-tahun berubah menjadi kawasan hunian padat.
Pemkot menegaskan bahwa proses yang dilakukan bukan penggusuran, melainkan pengembalian fungsi lahan makam.
“Kami tidak bilang menggusur tapi kita minta dikembalikan. Minta dikembalikan lahan (TPU) yang digunakan mereka,” kata Sekretaris Kota Jakarta Timur, Eka Darmawan melalui keterangan, Jumat (21/11/2025).
Berdasarkan pendataan, terdapat 280 kepala keluarga (517 jiwa) yang tinggal dan membangun rumah di atas dua TPU tersebut.
Pemkot akan memulai sosialisasi sebelum pelaksanaan pengosongan. “Deadline-nya untuk pengosongan ini kira tahapannya dalam waktu dua minggu. Kita kasih SP 1, SP 2, dan SP 3 terlebih dahulu,” kata Eka.
Eka menjelaskan bahwa kebutuhan lahan pemakaman di DKI Jakarta, khususnya wilayah Jakarta Timur, berada dalam kondisi krisis.
“Karena selama ini kan mereka (warga) menempati lahan, dan belum memahami bahwa kebutuhan lahan (makam) yang ada di Provinsi DKI itu krisis. Terutama di Jakarta Timur,” ujar Eka.
Pemukiman di TPU Sejak 1980 Permukiman liar di
TPU Kebon Nanas
dan sekitarnya bukanlah fenomena baru. Wilayah ini disebut telah dihuni sejak dekade 1980-an.
“Tahun 1980-an itu yang tinggal di atas pemakaman itu hanya satu kepala keluarga, tapi mulai banyak yang pindah ketika adanya penggusuran,” kata Sumiati.
Menurut Sumiati, banyak warga kala itu tinggal di bantaran kali dan lahan yang sempat direncanakan menjadi kantor Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
“Dulu sebelum ada KLH itu kan lapangan gitu, terus warga itu ada yang tinggal di pinggir kali di belakang kantor KLH tahun 1997 kena gusur gitu,” ungkapnya.
Warga terdampak penggusuran pada 1997 hanya menerima uang kerohiman sebesar Rp 600.000.
“Sementara kan uang segitu untuk ngontrak paling juga bertahan beberapa bulan gitu. Akhirnya mereka pindah lah tuh ke atas pemakaman Cina ini tahun 1997,” kata Sumiati.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.