Produk: Presidential threshold

  • Satpam SMPN 3 Kota Bogor Meninggal Dunia saat Sujud Salat Zuhur

    Satpam SMPN 3 Kota Bogor Meninggal Dunia saat Sujud Salat Zuhur

    loading…

    Satpam SMPN 3 Kota Bogor Nurdin ditemukan meninggal dunia saat sujud salat zuhur. Foto/Ilustrasi/SINDOnews

    BOGOR – Satpam SMPN 3 Kota Bogor Nurdin ditemukan meninggal dunia. Almarhum ditemukan tidak bernyawa ketika sujud salat zuhur di musala.

    Kapolsek Bogor Tengah AKP Agustinus Manurung mengatakan peristiwa itu terjadi sekitar pukul 13.30 WIB pada Selasa, 7 Januari 2024. Berawal ketika terdapat saksi melihat Nurdin yang sedang salat di musala tidak kunjung bangun dari sujudnya.

    “Dibangunkan ternyata yang bersangkutan tidak bangun,” kata Agustinus dalam keterangannya, Rabu (8/1/2025).

    Baca Juga

    Selanjutnya, Nurdin dibawa ke IGD Rumah Sakit (RS) PMI Kota Bogor. Oleh dokter rumah sakit, Nurdin dinyatakan sudah dalam kondisi meninggal dunia.

    “Dinyatakan sudah meninggal,” jelasnya.

    Baca Juga: Presidential Threshold Dihapus, Capres Tunggal Pupus

    Jenazah Nurdin dibawa keluarga ke rumah duka beralamat di Ceremai Ujung, Kecamatan Bogor Utara. Diduga, almarhum meninggal dunia karena sakit.

    “Dugaan sakit jantung,” pungkasnya.

    (rca)

  • Yusril Sebut Aturan Presidential Threshold pada UU Pemilu Bakal Berubah

    Yusril Sebut Aturan Presidential Threshold pada UU Pemilu Bakal Berubah

    Yusril Sebut Aturan Presidential Threshold pada UU Pemilu Bakal Berubah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan
    Yusril Ihza Mahendra
    menilai bakal ada perubahan atas Pasal 222 Undang-Undang Pemilu yang mengatur
    presidential threshold 
    meski telah dihapus oleh
    Mahkamah Konstitusi
    (MK).
    Yusril menyatakan, menteri-menteri terkait masih melakukan konsolidasi dan membahas bagaimana perubahan terhadap pasal terkait
    presidential threshold
    akan dilaksanakan.
    “Saya berkeyakinan tentu akan ada perubahan terhadap Pasal 222 UU Pemilu dan ini bisa muncul sebagai inisiatif dari pemerintah, bisa juga muncul dari Dewan Perwakilan Rakyat,” kata Yusril dalam keterangan tertulis, Rabu (8/1/2025).
    Kendati demikian, Yusril menegaskan bahwa perubahan tersebut bakal tetap mengikuti pedoman rekayasa konstitusional yang dicantumkan MK dalam pertimbangan putusan menghapus
    presidential threshold
    .
    Ia juga memastikan, pemerintah dan DPR akan mendengar semua masukan dan pertimbangan yang disampaikan semua pihak dan pemangku kepentingan yang ada, termasuk dari partai politik peserta pemilu dan partai politik non peserta pemilu, para akademisi, hingga tokoh-tokoh masyarakat.
    “Bagaimana sebaiknya kita merumuskan satu norma baru pengganti Pasal 222 UU Pemilu dengan rumusan-rumusan yang sesuai dengan perkembangan zaman ke depan dan pula sesuai dengan lima rekayasa konstitusional atau constitutional engineering dalam pertimbangan hukum putusan MK,” kata Yusril.
    Pakar hukum tata negara ini menekankan, pemerintah menghormati putusan MK yang menyatakan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bertentangan dengan UUD 1945.
    “Apapun putusan yang diambil mahkamah, pemerintah akan patuh pada Mahkamah Konstitusi, dan kita tahu putusan MK adalah final dan
    binding
    dan tidak ada upaya hukum apa pun yang dapat dilakukan,” ujar Yusril.
    Lebih lanjut, Yusril berpandangan, ambang batas pencalonan presiden sejatinya memang tidak ada dan tidak mungkin akan ada jika dihubungkan dengan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 dan pasal pengaturan tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A, ambang batas pencalonan presiden 
    Pasal 6A UUD NRI 1945 menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum dilaksanakannya pemilihan umum (anggota DPR dan DPRD), sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD NRI 1945.
    Namun, menurut Yusril, ada rekayasa konstitusional yang dilakukan pembentuk undang-undang untuk membatasi capres-cawapres sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu, yakni ambang batas pencalonan presiden.
    Ia mengatakan, rekayasa sebelumnya itu dibenarkan MK dengan alasan untuk memperkuat sistem presidensial.
    Namun, Putusan MK No 62/PUU-XII/2024 pada 2 Januari 2025 yang lalu justru mengubah pendirian MK selama ini.
    “Setelah 32 kali diuji, baru pada pengujian yang ke-33 MK mengabulkannya. Jadi ada qaul qadim atau pendapat lama dan qaul jadid atau pendapat baru di MK,” ujarnya.
    Yusril tidak memungkiri, keinginan untuk kembali menghidupkan
    presidential threshold
    setelah adanya putusan MK, bisa saja disahkan oleh DPR.
    Namun, ia yakin MK bakal kembali membatalkan
    presidential threshold
    apabila aturan itu diterapkan lagi.
    “Kalau ada pihak yang kembali mengajukan pengujian kepada MK, saya dapat membayangkan atau meramalkan bahwa kemungkinan besar MK akan membatalkan kembali norma UU yang mengandung presidential threshold itu,” ucap Yusril.
    Diketahui, MK telah megnhapus ambang batas pencalonan presiden karena ketentuan itu dinilai membatasi hak masyarakat untuk memilih calon pemimpin.
    Lewat putusan ini, MK membuka pintu bagi partai politik peserta pemilu untuk dapat mencalonkan presiden tanpa harus memenuhi syarat 
    presidential threshold
    .
    Akan tetapi, MK juga memberikan lima poin pedoman rekayasa konstitusional untuk merevisi UU Pemilu guna menghindari terlalu banyaknya pasangan calon presiden dan wakil presiden.
    Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menjelaskan bahwa meskipun berpotensi menciptakan keramaian dalam kontestasi, jumlah pasangan calon yang terlalu banyak tidak menjamin dampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses demokrasi presidensial di Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dasco: DPR akan Kaji Putusan MK Soal Penghapusan Presidential Threshold 20%

    Dasco: DPR akan Kaji Putusan MK Soal Penghapusan Presidential Threshold 20%

    Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut akan mengkaji putusan MK soal penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) minimal 20%.

    Kendati demikian, dia belum bisa memastikan secara pasti apakah memang betul putusan itu bisa dimasukkan dalam revisi UU Pemilu atau bahkan penyusunan Omnibus Law tentang politik.

    “Saya belum tahu. Bahwa itu kemudian akan dimasukkan dalam revisi undang-undang atau kemudian ada undang-undang yang diomnibuskan itu nanti belum kita putuskan,” katanya di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Selasa (7/1/2025).

    Dilanjutkan Dasco, putusan MK pada 2 Januari 2025 kemarin nantinya pasti akan disikapi lebih lanjut oleh DPR dengan melakukan kajian-kajian.

    Ketua Harian Gerindra ini turut mengemukakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Oleh sebab itu, putusannya wajib untuk ditaati

    Menurut dia, dengan adanya putusan itu maka diketahui MK membuka ruang untuk pencalonan presiden dan wakil presiden, tetapi juga ada keinginan agar jangan sampai calonnya terlalu banyak ataupun sedikit.

    “Sehingga kita akan coba kaji dengan teman-teman di parlemen untuk mengupas dan juga kemudian membahas bagaimana sih itu yang namanya rekayasa konstitusi yang diputuskan oleh MK itu akan dijalankan oleh DPR, supaya kemudian tidak menyalahi lagi aturan yang ada,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda turut mengamini bahwa pemerintah dan DPR akan menindaklanjuti putusan MK dalam pembentukan norma baru di UU Pemilu terkait dengan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. 

    Lebih lanjut, Rifqi memandang bahwa putusan MK ini sebagai babak baru bagi demokrasi konstitusional Indonesia, karena peluang mencalonkan presiden dan wakil presiden bisa lebih terbuka dan diikuti oleh banyak pasangan calon. 

    “Apapun itu, MK keputusannya adalah final and binding [mengikat] karena itu kita menghormati dan kita berkewajiban untuk menindaklanjutinya,” pungkasnya.

  • Sandi Butar Butar Bingung Dipecat: Kesalahan Saya Apa Gitu?

    Sandi Butar Butar Bingung Dipecat: Kesalahan Saya Apa Gitu?

    loading…

    Eks Juru Padam Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Depok Sandi Butar Butar mempertanyakan kesalahan apa yang membuat kontrak kerjanya tidak diperpanjang. Foto/Refi Sandi

    DEPOK – Eks Juru Padam Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Depok Sandi Butar Butar mempertanyakan kesalahan apa yang membuat kontrak kerjanya tidak diperpanjang. Diketahui kontrak kerjanya berakhir pada 31 Desember 2024 setelah kurang lebih mengabdi 10 tahun sebagai juru padam.

    “Ya, saya enggak tahu. Kesalahan saya apa gitu? Apakah mungkin dari dendam pribadi mereka? Atau seperti apa dari Bu Tessy? Apa mungkin dia, apa ya, kuncinya ada di saya? Mungkin saya menyerang dia secara pekerjaan ya,” kata Sandi saat jumpa pers di sebuah restoran kawasan Pancoran Mas, Depok, Selasa (7/1/2025).

    Sandi juga mempertanyakan faktor apa dan standarisasi seperti apa yang menjadi landasan dirinya dipecat. “Saya juga bingung juga, saya dipecat. Faktor apa, standarisasinya seperti apa? Kalau dibilang masuk, saya masuk terus. Apa yang dikomandokan mereka, saya selalu menyelesaikan tugas saya. Sampai saya kena luka bakar, saya patah tulang dan lain-lain, saya selalu seperti itu,” ujarnya.

    Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Kabid Pengendalian dan Operasional Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Kota Depok Tessy Haryati buka suara terkait viral surat keterangan tidak diperpanjangnya kontrak kerja juru padam Sandi Butar Butar di media sosial. Ia membenarkan surat itu.

    “Terkait dengan kontraknya Sandi ada dokumen yang beredar itu saya nyatakan benar bahwa dokumen tersebut dikeluarkan oleh Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Kota Depok yang ditandatangani oleh pejabat pembuat komitmen bidang PO,” kata Tessy di Mako Damkar Grand Depok City (GDC), Sukmajaya, Depok pada Selasa (7/1/2025).

    Dia mengklaim ada surat pemberitahuan terlebih dahulu sebelum adanya pemutusan kontrak kerja tersebut. “Kemudian paklaring yaitu surat pernyataan kerja dari yang bersangkutan karena memang ada tiga orang yang memang tidak diperpanjang kontraknya,” ujarnya.

    Baca Juga: Presidential Threshold Dihapus, Capres Tunggal Pupus

    “Kenapa enggak diperpanjang? Karena ini tidak diperpanjang kontrak kerja karena habis massa kontraknya dan itu ada dalam surat pernyataan surat kontrak pada Pasal 3 yang sudah ditandatangani yang bersangkutan di atas materai yang cukup. Bahwa kontrak kerja mereka berakhir sampai dengan 31 Desember 2024,” sambungnya.

    Tessy menyebut juga ada evaluasi internal yang dilakukan oleh Dinas PKP Depok. Diketahui ada tiga orang yang tidak diperpanjang termasuk Sandi dari total 140 juru padam kontrak.

    “Hal lain adalah ada evaluasi internal yang kami lakukan di Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Kota Depok,” ucapnya.

    (rca)

  • Semburat Keberpihakan MK dalam Putusan Presidential Threshold

    Semburat Keberpihakan MK dalam Putusan Presidential Threshold

    Jakarta

    Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Kamis (2/1) menunjukkan “semburat keberpihakan” terhadap pemilu yang adil dan demokratis. Meskipun pengabulan suatu uji materiil oleh MK adalah hal yang lumrah, namun kali ini terasa berbeda dan perlu disambut dengan suka cita. Lantaran MK dalam putusan tersebut menyatakan Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) bertentangan dengan UUD NRI 1945.

    Putusan ini tidak hanya monumental, tetapi turut menjadi kulminasi atas berbagai upaya yang menghendaki hapusnya monopoli kandidasi presiden oleh segelintir (baca: koalisi) partai di parlemen. Sebab, sebelumnya pencalonan presiden wajib mendapat dukungan minimal 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Politik hukum semacam ini hanya meminimalkan opsi calon presiden bagi rakyat. Pun lebih mengarah pada dekonsolidasi demokrasi (Foa dan Mounk, 2016), di mana rakyat tidak hanya pesimis terhadap partai politik, tetapi juga terhadap demokrasi.

    Runtuhnya Pendirian MK

    Pembacaan terhadap Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 membawa kita pada hal menarik dalam dalil permohonan. Empat mahasiswa—Enika, Rizki, Faisal, dan Tsalis—sebagai pemohon berhasil memandu Hakim MK untuk mempertimbangkan norma-norma yang bersifat meta-yuridis.

    Setidaknya terdapat tiga norma meta-yuridis yang didalilkan. Pertama, adanya presidential threshold hanya menggerus ‘moralitas’ demokrasi. Alih-alih menguatkan fungsi partai sebagai agregator aspirasi rakyat atas calon presiden potensial, pembatasan ini justru membuat Pemilu dikooptasi oleh partai besar dan koalisi gemuk.

    Kedua, ‘rasionalitas’ keterkaitan antara pengaturan ambang batas dengan penguatan sistem presidensial. Nyatanya dengan mengambil fakta Pemilu 2019, pemohon dapat membuktikan keduanya tidak memiliki korelasi yang kuat. Bahkan hal ini telah diamini lebih dahulu oleh Abdul Ghoffar (2018: 498). Menurutnya, meski tidak ada ambang batas pencalonan, sistem pemerintahan presidensial tetap dapat stabil dan efektif. Simpulan ini ia peroleh dari kajian komparatif terhadap best practice di negara lain, di antaranya Amerika Serikat, Brazil, dan Kyrgyzstan.

    Ketiga, menyebabkan ‘ketidakadilan yang intolerable’. Ambang batas calon presiden didalilkan pemohon hanya menguatkan ketidakadilan struktural. Oleh karena menutup kesempatan bagi partai kecil untuk mencalonkan kandidat terbaik yang dimiliki tanpa harus berkoalisi. Pada saat yang sama, rakyat ‘dipaksa’ memilih kandidat yang ditentukan partai yang memenuhi ambang batas pencalonan sekalipun bukan preferensi yang dikehendaki rakyat.

    Tidak sulit melacak perpaduan kedua paradigma ini dalam putusan a quo. Pada bagian ratio decidendi contohnya, hakim MK berpendirian yang sama dengan argumen para pemohon. Tegasnya, MK berpandangan presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable (Putusan 62/PUU-XXII/2024).

    Walau tidak mudah mengatakan putusan ini bernuansa hukum alam. Nyatanya pandangan MK sejurus dengan tesis mendasar mengenai hukum alam yakni adanya hubungan yang esensial antara hukum dan moral (Murphy dan Coleman, 1990). Kendatipun pendapat MK lebih bersesuaian dengan rangkaian ‘moralitas kedua’ dalam pandangan Fuller (1969) yang menawarkan modernisasi atas paham hukum alam.

    Terlepas nuansa yang terkandung dalam putusan tersebut, putusan kali ini membuka prospek lebih jauh atas dalil-dalil uji materiil yang menyandarkan pada constitutional morality. Artinya, ukuran konstitusionalitas tidak hanya dinilai dari kesesuaian antara norma yang diuji dengan norma batang tubuh UUD, tapi juga persesuaiannya dengan moralitas hukum. Toh, runtuhnya pendirian soal konstitusionalitas presidential threshold turut menasbihkan prospek tersebut.

    Menyemai Responsivitas

    Putusan kali ini juga menggambarkan bahwa MK sekalipun dapat berubah pendirian. Dari yang semula kaku dan menahan diri bergerak menuju responsif. MK tampil lebih berani untuk keluar dari ‘jeratan’ kebijakan hukum terbuka, yang selama ini menjadi tembok penghalang bagi permohonan-pemohonan sejenis lainnya. Perubahan pendirian ini merupakan praktik yang lumrah bagi MK.

    Edgar Bodenheimer (1981) menyebut praktik ini sebagai overruling yakni mengesampingkan putusan pengadilan terdahulu untuk mengarahkan hukum umum agar lebih sesuai dengan kebutuhan keadilan. Lebih lanjut menurut Bodenheimer, praktik mengubah pendirian dalam putusan hanya mungkin terjadi apabila terdapat distinguishing factor. Singkatnya, hakim menemukan faktor yang berbeda sehingga apabila diputuskan dengan cara yang sama, justru menghasilkan ketidakadilan. Bahkan pada kondisi tertentu mengakibatkan kekerasan yang jauh melampaui apa yang dipikirkan hakim dalam pendirian sebelumnya.

    Menyitir pendapat Fallon (2005), setidaknya terdapat tiga parameter untuk menjustifikasi praktik ini. Pertama, legitimasi hukum yang dapat terpancar dari upaya Hakim MK untuk membenahi dan meluruskan cara melakukan interpretasi. MK meski tampak terlambat, tetapi akhirnya menyadari bahwa original intent dari Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 tidak mengarah pada perbincangan mengenai presidential threshold. Satu-satunya pembatasan yang disepakati hanya berkaitan syarat minimal keterpilihan.

    Hal ini kemudian secara eksplisit tertuang pada ayat (3) pasal a quo, yaitu mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

    Kedua, legitimasi sociological di mana hakim tidak boleh menafikan fakta dan tuntutan masyarakat yang cenderung tidak statis. Permohonan terhadap Pasal 222 UU Pemilu yang dilakukan sebanyak 33 kali setidaknya telah memberikan alarm bagi MK bahwa ketentuan presidential threshold tidak lagi relevan dengan kebutuhan hukum masyarakat. Pengujian secara terus-menerus atas pasal yang sama menunjukkan rakyat teramat jengah dengan model pencalonan presiden yang berlangsung selama ini. Di satu sisi, tidak bermanfaat signifikan bagi alam demokrasi kita, dan di sisi lain hanya menangguk keuntungan bagi partai besar dan koalisi dominan.

    Ketiga, legitimasi moral. Pada titik ini, hakim berkewajiban to declare the law truly. MK dalam perkara ini sesungguhnya telah menunjukkan perannya sebagai the sole interpreter of constitution. Basis legitimasi moral telah mendorong Hakim MK mewujud sebagai judicial heroes. Bagi Schepple (2006), hal ini hanya dimungkinkan tatkala mereka tidak segan-segan untuk menentang pembentuk hukum karena kegagalannya dalam mengikuti prinsip-prinsip konstitusional.

    Hanya dengan begitu, penyemaian responsive judicial review akan terus terjadi. Meski tidak dimungkiri komposisi hakim yang bergerak dalam koridor akitivisme harus terus dirawat. Inilah prakondisi lain yang menjadi syarat terwujudnya hakim-hakim MK yang responsif. Paling tidak itu tergambar dari pendapat Yance Arizona dalam keterangan ahlinya.

    Konsekuensi Putusan MK

    Secara ketatanegaraan, konsekuensi dari putusan ini adalah sistem presidensial Indonesia berjalan sesuai DNA awalnya yaitu berbalut sistem kepartaian yang majemuk. Pelacakan historis juga menunjukkan bahwa presidensialisme Indonesia memang sejak awal dibangun dengan pondasi multipartai. Boleh jadi inilah yang disebut Bung Hatta sebagai esensi dari demokrasi kerakyatan yang dijiwai kolektivitet.

    Presidensialisme multipartai memang sepatutnya memberikan kesempatan bagi setiap partai peserta Pemilu untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden secara mandiri. Dengan begitu, rakyat akan berpotensi memiliki preferensi calon presiden dan wakil presiden dalam jumlah yang lebih banyak.

    Dapat dikatakan pula, putusan tersebut merupakan antitesis dari praktik pemilu saat ini yang cenderung ‘memaksakan’ hanya dua pasangan calon. Setidaknya itulah yang tampak dari Pemilu 2014, 2019, dan 2024. Namun membuka keran pencalonan seluas-luasnya bukan pula tanpa persoalan. Presidensialisme multipartai semacam itu akan berdampak pada terbukanya peluang pemilu dua putaran. Pembengkakan biaya adalah perihal yang mungkin terjadi. Sebab dengan banyaknya kandidat, potensi untuk menang satu putaran bukan perkara mudah, meski bukan pula hal yang mustahil. Presidensialime multipartai memang tidak didesain hanya untuk memunculkan dua kandidat.

    Kandidasi yang membuka peluang banyaknya opsi pilihan rakyat akan terhindar dari apa yang disebut Pitkin (1963) sebagai respresentasi simbolik. Respresentasi semacam ini secara formal dan imajiner memang menyediakan sarana untuk rakyat menyalurkan suaranya dalam perhelatan Pemilu. Tetapi, ke mana suara itu diberikan telah dibatasi oleh segelintir partai melalui kandidat yang terbatas.

    Pada akhirnya, melalui putusan ini MK tampak berusaha menyulam kembali palu yang telah patah. Ada semburat keberpihakan yang mulai terpancar untuk menguatkan demokrasi di Indonesia. Hal inilah yang sepatutnya terus disemai oleh MK agar demokrasi kita tidak senantiasa tergerus dan berjalan mundur.

    Rilo Pambudi. S pengajar Hukum Tata Negara Universitas Maritim Raja Ali Haji

    (mmu/mmu)

  • DPR sebut putusan “Parliamentary Treshold” juga jadi bahan revisi UU

    DPR sebut putusan “Parliamentary Treshold” juga jadi bahan revisi UU

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan putusan MK soal ambang batas parlemen atau parliamentary treshold juga akan menjadi bahan pembahasan ketika merevisi undang-undang (UU) atau penyusunan undang-undang sapu jagat (Omnibus Law) tentang politik.

    Sejauh ini, dia mengatakan bahwa DPR belum memutuskan bahwa poin-poin dari putusan MK itu, baik presidential treshold maupun parliamentary treshold, akan dibahas menjadi UU atau Omnibus Law karena menunggu masa reses selesai pada 15 Januari. Namun, putusan MK itu bersifat final dan mengikat yang wajib ditaati.

    “Nah bahwa itu kemudian akan dimasukkan dalam revisi undang-undang atau kemudian ada undang-undang yang di-omnibus-kan itu nanti belum kita putuskan,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

    Menurut dia, DPR akan melakukan kajian terkait putusan MK terhadap sistem politik tersebut karena MK pun membuka ruang untuk DPR menyusun norma baru. Kajian itu pun, kata dia, akan membahas agar produk undang-undang tak menyalahi aturan yang ada.

    “Dan juga ada keinginan MK juga bahwa jangan sampai calon presiden terlalu banyak atau juga terlalu sedikit,” kata dia.

    Pada Kamis (2/1), MK memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Adapun pasal yang dihapus itu berisi tentang syarat pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang harus didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 20 persen kursi di DPR RI, atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada Pemilu Legislatif sebelumnya.

    Pada 29 Februari 2024, MK juga telah mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem untuk menghapus ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar empat persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

    MK menilai kebijakan ambang batas parlemen telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika calon yang dipilih mendapatkan suara lebih banyak, namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

  • Respons Pemerintahan Prabowo soal MK Hapus Presidential Threshold

    Respons Pemerintahan Prabowo soal MK Hapus Presidential Threshold

    loading…

    Menteri Hukum Supratman Andi Agtas (kanan) menyatakan, pemerintah akan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ketentuan presidential threshold melalui putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Foto/Achmad Al Fiqri

    JAKARTA – Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan, pemerintah akan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ketentuan presidential threshold melalui putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Ia menyatakan, pemerintah akan mematuhi putusan tersebut.

    “Prinsipnya kita hormati dan patuh terhadap putusan MK. Karena putusan MK itu kan final and binding. Jadi tidak ada upaya hukum berikut,” ujar Supratman saat ditemui Graha Pengayoman, Kementerian Hukum, Jakarta Selatan, Selasa (7/1/2025).

    Politikus Partai Gerindra ini pun telah menugaskan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Dhahana Putra untuk mengkaji putusan tersebut. Langkah itu ditujukan Supratman sebagai bentuk persiapan pemerintah dalam mematuhi putusan tersebut.

    Baca Juga: Presidential Threshold Dihapus, Capres Tunggal Pupus

    “Walaupun inisiatif untuk membuat perubahan undang-undang tentang pemilu dan pilkada itu saat ini diinisiasi oleh DPR, namun demikian pemerintah harus siap-siap juga,” katanya.

    Lebih lanjut, Supratman menilai, putusan MK berpeluang untuk menimbulkan banyak calon presiden (capres) yang mendaftar. Ia pun mengatakan, MK telah memberi wewenang pada DPR dan Pemerintah untuk melakukan rekayasa konstitusi.

    “Karena itu MK memberi ruang kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR bersama dengan pemerintah, presiden maksud saya, untuk melakukan rekayasa konstitusional dengan mempedomani lima hal. Yang satu tidak boleh rekayasa konstitusional itu disahkan kepada perolehan suara ataupun kursi. Kan itu intinya tuh. Nah karena itu pasti ini akan dipenuhi,” kata Supratman.

    Meski demikian, Supratman belum mengetahui pasti peluang semua partai politik bisa mengajukan paslon. Menurutnya, keputusan itu menunggu hasil pembahasan RUU Pemilu.

    “Apakah nanti semua partai politik akan masing-masing boleh mencalonkan? Nah nanti akan dibahas di Revisi Undang-Undang tentang Pemilu, Partai Politik, maupun Pilkada,” pungkasnya.

    (rca)

  • DPR Segera Sikapi Putusan MK yang Hapus Ambang Batas Capres

    DPR Segera Sikapi Putusan MK yang Hapus Ambang Batas Capres

    Jakarta

    Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan Presiden atau presidential threshold (PT) 20%. Dasco menegaskan DPR segera melakukan kajian-kajian.

    “Ya jadi kita sama-sama sudah tahu bahwa MK sudah membuat keputusan tentang ambang batas. Tentunya akan disikapi oleh DPR dengan kemudian nanti melakukan kajian-kajian,” kata Dasco di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (7/1/2025).

    Dasco mengungkit keinginan MK agar capres tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit. Karenanya, DPR bakal melakukan kajian atas putusan tersebut.

    “Dan kita sama-sama tahu bahwa MK juga membuka ruang. Dan juga ada keinginan MK juga bahwa jangan sampai calon presiden terlalu banyak atau juga terlalu sedikit. Nah sehingga kita akan coba kaji dengan teman-teman di parlemen,” tuturnya.

    Dasco menegaskan, putusan MK itu harus ditaati karena bersifat final dan mengikat. DPR akan menyikapinya setelah selesai masa reses.

    “Nah bahwa itu kemudian akan dimasukkan dalam revisi undang-undang atau kemudian ada undang-undang yang di Omnibuskan itu nanti belum kita putuskan,” kata dia.

    MK sebelumnya telah membacakan putusan perkara nomor 62/PUU-XXI/2023 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1). MK mengabulkan permohonan yang pada intinya menghapus ambang batas pencalonan presiden.

    “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo.

    (ial/gbr)

  • Menkum Targetkan Seluruh Pelayanan Diberikan Digital pada 2026

    Menkum Targetkan Seluruh Pelayanan Diberikan Digital pada 2026

    loading…

    Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas. Foto/Achmad Al Fiqri

    JAKARTA – Kementerian Hukum ( Kemenkum ) mencanangkan komitmen bersama zona wilayah bebas korupsi (WBK) dan integritas. Kemenkum juga mencanangkan transformasi digital dalam melayani masyarakat.

    Pencanangan itu dilakukan oleh Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas bersama jajaran eselon I dan sejumlah Kakanwil Kemenkum di Graha Pengayoman, Kemenkum, Jakarta Selatan, Selasa (7/1/2025).

    Supratman menjelaskan, pencanangan zona integritas dan WBK itu merupakan komitmen Kemenkum untuk menciptakan sebuah tata kelola pemerintah yang lebih baik dan lebih bersih.

    “Pencanangan zona integritas, wilayah bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ini adalah komitmen bagi Kementerian Hukum untuk menciptakan sebuah tata kelola pemerintah yang lebih baik, lebih bersih,” kata Suprtaman usai acara.

    Selain itu, Supratman menilai transformasi digital sangat penting dalam rangka memberi layanan ke masyarakat. Ia pun berharap, seluruh layanan di Kemenkum bisa terlayani dengan digital.

    “Nanti Insya Allah paling lambat ya, paling lambat kami berusaha di tahun 2025 itu bisa terjadi. Tapi karena mungkin soal keterbatasan soal anggaran, karena itu paling lambat di tahun 2026 seluruh layanan, cita-cita di Kementerian Hukum, seluruh layanan itu bisa diakses lewat digitalisasi,” terang Supratman.

    Baca Juga: Presidential Threshold Dihapus, Capres Tunggal Pupus

    Kendati demikian, Supratman menyampaikan, pihaknya akan memberi kemudahan dan kecepatan kepada masyarakat dalam rangka mendapatkan pelayanan di bidang hukum.

    “Nah karena itu mohon dukungan kepada teman-teman semua, bahwa pencanangan hari ini adalah bukti nyata keseriusan Kemenkum dalam rangka memberikan sebuah layanan kepada masyarakat yang terbaik, cepat, mudah diakses, dan keamanan yang terjamin,” tutur Supratman.

    “Karena itu sekali lagi, kalau kemudian pencanangan transformasi digital ini betul-betul bisa kita wujudkan di tahun-tahun yang akan datang, maka tentu pencanangan dari daerah ataupun wilayah bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme itu otomatis dia akan seiring sejalan dengan pencanangan digitalisasi,” tandasnya.

    (rca)

  • Politik kemarin, target 5.000 dapur MBG hingga presidential threshold

    Politik kemarin, target 5.000 dapur MBG hingga presidential threshold

    Jakarta (ANTARA) – Berbagai peristiwa politik kemarin (6/1) menjadi sorotan, mulai dari Istana ungkap target 5.000 dapur MBG operasional pertengahan 2025 hingga Gerindra sebut penghapusan presidential threshold kejutan sekaligus harapan.

    Berikut rangkuman ANTARA untuk berita politik kemarin yang menarik untuk kembali dibaca:

    Istana ungkap target 5.000 dapur MBG operasional pertengahan 2025

    Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi mengungkap target pemerintah untuk mencetak 5.000 kepala satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) untuk memimpin tata kelola dan operasional dapur-dapur umum makan bergizi gratis (MBG) di pertengahan 2025.

    Sejauh ini, Hasan Nasbi menyebut Badan Gizi Nasional (BGN) menyiapkan 1.000 kepala SPPG, yang seluruhnya telah menerima pendidikan dan pembekalan di Universitas Pertahanan (Unhan).

    “Kepala SPPG yang sudah selesai itu mungkin sudah ada 1.000-an SPPG yang ready (siap, red.), yang sudah dididik di Unhan. Nanti penempatan mereka berdasarkan kesiapan dapur-dapur. Ada dapur-dapur yang ready, nanti SPPG-nya ditempatkan di sana,” kata Hasan Nasbi kepada wartawan saat dihubungi di Jakarta, Senin.

    Baca selengkapnya di sini

    DPR dan pemerintah diminta serius tindak lanjuti putusan MK soal PT

    Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Felia Primaresti meminta DPR RI dan Pemerintah untuk serius menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT).

    Menurut Felia, revisi Undang-Undang Pemilu yang telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) harus menjadi momentum bagi pembentuk undang-undang untuk mengintegrasikan putusan MK secara eksplisit. Langkah tersebut dinilai penting demi menjaga legitimasi legislasi dan esensi demokrasi.

    Revisi UU Pemilu harus mencantumkan penghapusan ambang batas pencalonan presiden tanpa membuka ruang multitafsir. Proses revisi ini juga wajib melibatkan pemangku kepentingan seperti partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil agar partisipasi bermakna tercapai,” kata Felia dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

    Baca selengkapnya di sini

    Istana: Menu-menu makan bergizi gratis dirotasi tiap hari

    Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO/Istana) Hasan Nasbi menyebut menu-menu makanan bergizi gratis yang diberikan kepada anak-anak sekolah dan ibu-ibu hamil dirotasi setiap harinya menyesuaikan ketersediaan bahan baku di daerah masing-masing.

    Hasan menjelaskan tiap Dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) atau yang disebut juga dengan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) telah menyusun jadwal menu yang berbeda setiap harinya.

    “Di setiap dapur itu sudah ada jadwal menunya, tetapi itu juga fleksibel bergantung ketersediaan bahan baku di sana. Pemasok-pemasok (bahan baku) nanti warga sekitar,” kata Hasan Nasbi kepada wartawan saat dihubungi di Jakarta, Senin.

    Baca selengkapnya di sini

    Pengamat dorong parpol berbenah usai MK hapus presidential threshold

    Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mendorong partai politik untuk berbenah secara kelembagaan internal partai setelah Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

    Menurut Ninis, sapaan akrabnya, putusan MK tersebut membuka peluang bagi partai politik peserta pemilu mencalonkan sendiri kadernya tanpa berkoalisi dengan partai politik lain. Oleh sebab itu, kesempatan tersebut harus dimanfaatkan dengan cara membenahi kelembagaan partai terlebih dahulu.

    “Ini kita punya jarak 3 tahun dari putusan MK dibacakan pada tahun 2025, nanti ke pendaftaran calon peserta Pilpres 2029 pada tahun 2028,” kata Ninis pada webinar yang digelar Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, sebagaimana diikuti secara daring di Jakarta, Senin.

    Baca selengkapnya di sini

    Gerindra: Penghapusan presidential threshold kejutan sekaligus harapan

    Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menyebut bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagai kejutan sekaligus harapan.

    “Terus terang, di sisi lain ini adalah sebuah kejutan, di sisi lain ini adalah sebuah harapan terhadap demokrasi,” kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

    Baca selengkapnya di sini

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025