Produk: Presidential threshold

  • MK Hapus PT 20 Persen, Sekjen Golkar Sarmuji Mengaku Terkejut

    MK Hapus PT 20 Persen, Sekjen Golkar Sarmuji Mengaku Terkejut

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas atau presidentian threshold sebesar 20 persen, untuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden di pilpres sedikit mengejutkan.

    Rasa terkejut itu salah satunya dialami elite Partai Golkar. Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Golkar, Sarmuji. Dia mengaku terkejut dengan putusan MK tentang ambang batas pencalonan presiden tersebut dalam UU Pemilu.

    Ketua Fraksi Golkar di DPR RI itu meyebut, MK sudah banyak menyidangkan aturan soal ambang batas pencalonan dan selalu menolak.

    “Keputusan MK sangat mengejutkan, mengingat putusan MK terhadap 27 sebelumnya selalu menolak,” kata Sarmuji melalui layanan pesan, dilansir jpnn, Kamis (2/1).

    Dia mengatakan MK dalam putusan sebelumnya memiliki pandangan senada dengan DPR menyikapi ambang batas, yakni mendukung Presidential Threshold. “Dalam 27 kali putusannya, cara pandang MK dan pembuat UU selalu sama yaitu maksud diterapkannya presidensial treshold itu untuk mendukung sistem presidensial bisa berjalan secara efektif,” kata dia.

    Sebelumnya, MK menghapus aturan tentang syarat ambang batas partai dalam mengusung Presiden dan Wapres RI atau Presidential Threshold (PT) sebesar 20 persen.

    Hal demikian tertuang saat MK memutuskan sidang gugatan bernomor 62/PUU-XXII/2024 dengan Enika Maya Oktavia selalu pemohon, Kamis (1/2). “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo saat membacakan amar putusan dalam persidangan, Kamis.

  • MK Hapus Presidential Threshold, Hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic Tak Sepakat

    MK Hapus Presidential Threshold, Hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic Tak Sepakat

    Jakarta, Beritasatu.com – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan tersebut diambil dalam sidang perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis (2/1/2025) di Gedung MK, Jakarta.

    Ketua MK, Suhartoyo, menyatakan bahwa norma dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya, Pasal 222 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Suhartoyo saat membacakan amar putusan.

    Namun, dua hakim MK, yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion terhadap putusan tersebut. Mereka menilai para pemohon dalam perkara uji materi ini tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).

    “Pada pokoknya kedua hakim tersebut berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan perbedaan pendapat para hakim.

    Menurut kedua hakim tersebut, permohonan seharusnya tidak dapat diterima, sehingga Mahkamah tidak perlu melanjutkan pemeriksaan pada pokok permohonan.

    Permohonan uji materi ini diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Rizki Maulana Syafei, Enika Maya Oktavia, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

    Pasal 222 UU Pemilu sebelumnya mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya.

    Dengan putusan ini, norma tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, membuka peluang lebih luas bagi pencalonan presiden dan wakil presiden di Indonesia.

  • Aditya Perdana: Putusan MK Soal Threshold Akan Picu Kompetisi Ketat di Pilpres 2029

    Aditya Perdana: Putusan MK Soal Threshold Akan Picu Kompetisi Ketat di Pilpres 2029

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA– Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Aditya Perdana mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi soal penghapusan presidential threshold membuka lebar capres pada tahun 2029.

    “Kesempatan semua pihak, baik politisi ataupun di luar politisi untuk menjadi capres pada tahun 2029 terbuka selebar-lebarnya. Artinya, potensi capres pada tahun 2029 akan makin banyak karena tidak ada pembatasan apa pun,” kata Aditya Perdana di Depok, Kamis.

    Hakim MK hari ini membuka tahun baru 2025 dengan mengejutkan penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada pemilu berikutnya.

    ​​​​​​Bagi Presiden Prabowo ataupun Wapres Gibran, kata dia, putusan MK ini akan membuka peluang kompetisi yang makin ketat bagi petahana karena per hari ini akan muncul banyak penantang yang memulai kompetisi dengan mencoba merebut hati pemilih dengan berbagai cara, termasuk mantan capres dan mantan cawapres pada Pemilu 2024.

    Menurut dia, dinamika ini tentu juga akan berdampak pada koalisi pemerintahan yang dominan. Setiap politikus atau bahkan pimpinan partai yang berada di kabinet tentu memiliki orientasi untuk menjadi kandidat pada pilpres dengan keuntungan sumber daya yang mereka miliki saat ini.

    “Kompetisi pilpres tentunya akan memengaruhi dinamika kabinet, yakni di antara para menteri,” kata Aditya yang juga Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting.

    Dikatakan pula bahwa putusan MK ini harus diperkuat dalam pembahasan revisi UU Pemilu yang rencananya akan segera digelar agar memperkuat aspek legal dalam bentuk UU. (*)

  • MK Hapus Presidential Threshold, Golkar: Putusan Berbeda dari 27 Gugatan Sebelumnya

    MK Hapus Presidential Threshold, Golkar: Putusan Berbeda dari 27 Gugatan Sebelumnya

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Golkar Muhammad Sarmuji menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ketentuan ambang batas minimal untuk pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential treshold), merupakan putusan yang sangat mengejutkan.

    Menurut dia, putusan MK terhadap 27 gugatan sebelumnya terkait ketentuan tersebut selalu memutuskan untuk menolak. Adapun putusan terbaru itu dibacakan pada Kamis ini oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra.

    “Putusan MK terhadap 27 gugatan sebelumnya selalu menolak. Dalam 27 kali putusannya cara pandang MK dan pembuat UU selalu sama,” kata Sarmuji saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

    Dia mengatakan bahwa sebelumnya MK selalu menolak penghapusan presidential treshold itu karena untuk mendukung sistem presidensial di Indonesia bisa berjalan dengan baik.

    Adapun Ketua Fraksi Golkar DPR RI itu belum mengomentari lebih jauh terkait langkah Partai Golkar dalam menindaklanjuti putusan MK tersebut.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

  • MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen, Pengamat Politik Ungkap Dampak Positif: Publik Berdaulat

    MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen, Pengamat Politik Ungkap Dampak Positif: Publik Berdaulat

    Laporan Wartawan TribunJatim.com, Yusron Naufal Putra

    TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan Presiden atau Presidential Threshold 20 persen memberikan kejutan bagi publik di awal tahun 2025 ini. Dalam kacamata politik, langkah MK tersebut dinilai sebagai putusan progresif. 

    Dalam aturan sebelumnya, hanya parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

    “Secara substantif, putusan ini sangat progresif,” kata Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam saat dihubungi dari Surabaya, Kamis (2/1/2025). 

    Secara umum, Surokim menilai putusan ini positif sekaligus juga menjadi tantangan ke depan. Dari sisi positif, hal ini akan menguntungkan publik. Sebab, Pilpres berpotensi memunculkan banyak pasangan calon sehingga menyuguhkan alternatif pilihan kepada pemilih. 

    Bahkan, Surokim menyebut, pilihan rakyat menjadi faktor utama dalam kedaulatan memilih paslon dibanding saat berlakunya presidential threshold 20 persen dimana parpol dominan dalam memutuskan pasangan yang akan diusung. Tidak akan ada lagi parpol yang dominan. 

    “Ini sekaligus memukul telak kekuatan dan dominasi partai besar yg selama ini dominan dalam pengusulan paslon. Daulat publik benar-benar diberi ruang oleh MK dan kuasa parpol besar dipreteli signifikan,” ujar Surokim yang merupakan Peneliti Senior Surabaya Survey Center (SSC). 

    “Bagaimanapun publik patut menyambut baik putusan ini , daulat publik dikembalikan dalam posisi semestinya. Beragam intrik, patgulipat, dominasi, darkzone parpol akan hilang dengan sendirinya dan kuasa parpol dalam pencalonan pilpres tidak lagi menentukan. Semua punya peluang yang sama,” tambah Surokim. 

    Meski demikian, hal ini menjadi tantangan. Misalnya secara teknis penyelenggaraan. Sebab, akan banyak calon yang dimunculkan sehingga membuat Pemilu kian kompleks. Sebagai gambaran, pada Pemilu 2024 lalu, diikuti oleh 18 partai politik. 

    Dengan tanpa ambang batas, tentu ke depan seluruh parpol punya kesempatan untuk mendaftarkan paslon. Bisa jadi ada 18 paslon. Sehingga, perlu dipikirkan lebih jauh mengenai pelaksanaan kontestasi Pilpres mendatang. 

    “Secara teknis penyelengaraan Pemilu akan kian kompleks dan tidak sesederhana yang dibayangkan,” terang Surokim. 

    Sebelumnya diberitakan, MK memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden.

    Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

    Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat. Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

    MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan. Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

    Selain itu setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon. 

    Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

    Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.

    Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong.

    Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.

    “Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

    Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi: Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.

    Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional

  • Apa Itu Presidential Threshold? Ditetapkan Sejak 2004 Kini Dihapus MK, 4 Mahasiswa Jadi Penggugat

    Apa Itu Presidential Threshold? Ditetapkan Sejak 2004 Kini Dihapus MK, 4 Mahasiswa Jadi Penggugat

    TRIBUNJATIM.COM – Mahkamah Agung (MK) menghapus ketentuan presidential threshold, Kamis (2/1/2025).

    Keputusan ini ditetapkan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta.

    Hal ini akan mempengaruhi proses pencalonan presiden dan wakilnya di Pemilihan Umum (Pemilu).

    Komisi II DPR RI pun menyambut baik keputusan ini.

    Lantas, apa sebenarnya presidential threshold ini?

    Informasi berita menarik lainnya di Google News TribunJatim.com

    Apa itu presidential threshold?

    Dalam pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung di Indonesia dikenal istilah ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

    Menurut Kompaspedia, presidential threshold adalah syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau persentase raihan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.

    Aturan ini mulai diterapkan Indonesia sejak Pemilu 2024.

    Saat itu untuk pertama kalinya Indonesia melaksanakan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung.

    Aturan presidential threshold pencalonan presiden mengalami beberapa perubahan ketentuan.

    Pelaksanaan pilpres secara langsung tersebut merupakan hasil Reformasi melalui amandemen ketiga UUD 1945, yakni Pasal 6A ayat 1, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”

    Selain itu, amandemen UUD 1945 (terutama amandemen ketiga dan keempat), juga menetapkan beberapa kriteria pemilihan presiden dan wakil presiden. Antara lain waktu pelaksanaan, peserta pemilihan, syarat pengusulan, hingga penetapan pasangan calon (paslon) terpilih.

    Dalam Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.

    Aturan itu menyatakan hanya partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilu yang dapat mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden. Peran partai politik dan gabungan partai politik dalam mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden tersebut berikutnya diatur dalam UU yang menghasilkan istilah syarat ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold.

    Dalam Pasal 5 Ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.

    Aturan tentang presidential threshold kembali diubah menjelang Pilpres 2009. Dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 disebutkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.

    Aturan ambang batas pencalonan presiden pada Pilpres 2014 tetap sama seperti pada Pilpres 2009.

    Lantas pada Pilpres 2019, aturan presidential threshold kembali berubah. Dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

    Pada pilpres 2004, 2009, dan 2014, patokan yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil pileg yang dilaksanakan sebelumnya sebagai presidential threshold. Pada ketiga gelaran pilpres itu, pemilu dilaksanakan beberapa bulan sebelum pilpres.

    Sedangkan pada Pilpres 2019, ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Hal ini karena pelaksaan pilpres dan pemilu legislatif dilaksanakan serentak pada April 2019.

    Dihapus MK pada 2024

    Presidential threshold kemudian dihapus Mahkamah Agung pada Kamis (2/1/2025).

    Ketentuan ini sebelumnya sempat digugat oleh empat mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

    Mereka adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, danTsalis Khorul Fatna.

    Mereka melakukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu 7/2017 ini dengan petitum agar pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena melanggar batasan open legal policy dalam hal moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.

    Keempat mahasiswa ini mengubah putusan MK dalam uji materi presidential threshold yang telah diajukan kurang lebih sebanyak 36 kali oleh para aktivis pemilu.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Suhartoyo saat membacakan putusan.

    “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” imbuhnya.

    Komisi II segera menindaklanjuti keputusan MK

    Komisi II DPR bakal segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold

    Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda mengatakan, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga Komisi II menghormati dan wajib menindaklanjutinya.

    “Apapun itu, MK putusannya adalah final and binding, karena itu kita hormati dan berkewajiban menindaklanjutinya,” ujar Rifqi kepada Kompas.com, Kamis (2/12/2025).

    Rifqi menjelaskan, pemerintah dan DPR akan menindaklanjuti putusan MK ini dalam pembentukan norma baru pada undang-undang terkait dengan persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden.

    Politikus Partai Nasdem ini menilai, putusan MK itu merupakan babak baru bagi demokrasi konstitusional Indonesia.

    “Di mana peluang untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden bisa lebih terbuka diikuti oleh lebih banyak pasangan calon dengan ketentuan yang lebih terbuka,” ujar Rifqi.

    Diberitakan sebelumnya, MK menghapus presidential threshold melalui putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 tentang Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

    Salah satu alasannya, ambang batas pencalonan presiden dinilai membatasi pilihan rakyat untuk memilih calon pemimpin.

    Sebab, dengan presidential threshold, tidak semua warga negara bisa mencalonkan diri.

    “Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden,” kata Saldi.

    Selain itu, MK berpandangan, presidential threshold berpotensi melahirkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Padahal, pemilu yang hanya diikuti dua pasangan calon bisa membelah masyarakat, menciptakan polarisasi, dan mengancam kebinekaan Indonesia.

    Lewat putusan ini, MK menegaskan bahwa semua partai politik berhal mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

    MK lantas meminta DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang mekukan rekayasa konstitusi dengan memperhatikan ketentuan dalam revisi Undang-Undang Pemilu 7/2017.

    MK meminta pembentuk undang-undang memperhatikan pengusulan pasangan capres-cawapres tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi DPR atau perolehan suara sah nasional.

    —–

    Berita Jatim dan berita viral lainnya.

  • MK Hapus Presidential Threshold 20%, DPR: Babak Baru bagi Demokrasi RI

    MK Hapus Presidential Threshold 20%, DPR: Babak Baru bagi Demokrasi RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menanggapi soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi terhadap pasal 222 Undang-undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) minimal 20%. 

    Rifqi mengatakan pihaknya menghormati dan menghargai putusan MK yang menghapus persentase presidentual threshold yang sebagaimana tertuanh dalam ketentuan Undang-Undang (UU) No 7/2017. 

    Selanjutnya, pemerintah dan DPR RI akan menindaklanjutinya dalam pembentukan norma baru di UU terkait dengan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden (wapres).

    “Saya kira ini babak baru bagi demokrasi konstitusional kita, di mana peluang mencalonkan presiden dan wapres bisa lebih terbuka diikuti oleh lebih banyak pasangan calon dengan ketentuan yang lebih terbuka,” ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, pada Kamis (2/1/2025).

    apapun keputusan MK, kata dia, pastinya bersifat final dan binding. Oleh sebab itu, pihaknya menghormati dan berkewajiban untuk menindaklanjutinya.

    Legislator dari Fraksi NasDem ini mengungkapkan juga ada keinginan membentuk ombibus law politik yang di dalamnya juga berkaitan dengan UU Pemilu.

    “Maka ya dimasukin ke situ kalau memang tidak visibel menganut model omnibus law dilakukan,” pungkasnya.

    Dalam amar putusan yang dibacakan pada perkara No.62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku 20% inkonstitusional. Artinya, pencalonan presiden oleh partai politik tidak harus memiliki suara 20% di DPR.  

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025).  

    MK juga menyatakan dalam putusannya bahwa pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 alias inkonstitusional. 

  • MK Hapus Presidential Threshold 20%, Jumlah Capres-Cawapres Tetap Dibatasi

    MK Hapus Presidential Threshold 20%, Jumlah Capres-Cawapres Tetap Dibatasi

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) memutus ambang batas minimal pengusulan calon presiden dan calon wakil presiden (presidential threshold) yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, bertentangan dengan konstitusi.

    Pasal 222 UU No. 7/2017 memuat ketentuan “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya”.

    Dalam keterangan resminya, MK menegaskan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.

    “Alasan inilah yang menjadi dasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden,” tulis keterangan resmi MK yang dikutip, Kamis (2/1/2025).

    Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas. Hal yang jauh lebih mendasar, lanjutnya, rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Kendati presidential threshold 20% dinyatakan inkonstitusional, MK menyadari bahwa sistem presidensial di Indonesia tumbuh dalam model multipartai.

    Oleh sebab itu, MK menyampaikan pembentuk undang-undang tetap harus memperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden, sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu.

    Meskipun dalam putusannya, MK menegaskan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusional (constitutional right) semua partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung, dalam revisi UU Pemilu, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak.

    Hal itu perlu diatur agar tidak berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.

    “Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa sekalipun secara konstitusional terdapat ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang pada pokoknya telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua [second round], jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia,” ujar MK.

  • 10
                    
                        Presidential Threshold Dihapus Setelah 36 Kali Digugat ke MK
                        Nasional

    10 Presidential Threshold Dihapus Setelah 36 Kali Digugat ke MK Nasional

    Presidential Threshold Dihapus Setelah 36 Kali Digugat ke MK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
    ambang batas pencalonan presiden
    (
    presidential threshold
    ) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945.
    Putusan MK nomor 62/PUU-XXII/2024 ini menjadi pertanda norma pasal yang membatasi pencalonan presiden ini dihapus sejak putusan dibacakan di ruang sidang MK, Kamis (2/1/2024).
    Aktivis pemilu sekaligus pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, putusan yang ditunggu-tunggu para pegiat pemilu ini muncul setelah 36 gugatan dilayangkan ke MK.
    “Kawan-kawan, ini adalah pengujian ambang batas pencalonan presiden sudah 36 kali diuji ke Mahkamah Konstitusi,” kata dia saat ditemui di Gedung MK, Kamis.
    Oleh sebab itu, dia sangat mengapresiasi putusan MK yang menghapus presidential threshold.
    Dengan putusan ini, MK seperti kembali pada identitas sesungguhnya sebagai penjaga demokrasi dan konstitusi.
    “Ini kemenangan rakyat Indonesia, 36 permohonan menandakan bahwa ambang batas pencalonan presiden memang bermasalah, bertentangan dengan moralitas politik kita,” imbuh dia.
    Dengan putusan ini, Titi berharap partai politik berbenah dan menyiapkan kader terbaiknya menjadi calon presiden 2029.
    “Agar ruang yang sudah diberikan oleh Mahkamah Konstitusi ini bisa disikapi atau ditangkap dengan serius oleh partai politik kita,” imbuh dia.
    Putusan 62/PUU-XXII/2024 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang MK, Kamis.
    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo saat membacakan putusan.
    Suhartoyo mengatakan, norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945.
    Pasal yang dinyatakan bertentangan tersebut berkaitan dengan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik.
    Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi sebagai berikut:
    “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.”
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Presidential Threshold 20 Persen Dihapus, Pengamat: Tidak Ada Lagi Dominasi Parpol Tetapkan Capres – Halaman all

    Presidential Threshold 20 Persen Dihapus, Pengamat: Tidak Ada Lagi Dominasi Parpol Tetapkan Capres – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga, menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) sebesar 20 persen.

    Menurutnya putusan itu tentunya akan menggairahkan kembali Pilpres mendatang.

    Yakni akan banyak pasangan capres dan cawapres yang diajukan partai politik. 

    Setiap partai atau gabungan partai dapat mengajukan capres dan cawapres tanpa dibatasi presidential threshold lagi.

    “Putusan MK itu membuka ruang kepada semua partai peserta pemilu berhak mengajukan pasangan capres dan cawapres. Ini artinya, tidak ada lagi dominasi partai tertentu dalam menetapkan pasangan Capres dan cawapres yang akan diusung,” kata dia kepada Tribunnews.com Kamis (2/1/2025).

    Dengan begitu, kata Jamil, rakyat akan disuguhi banyak pasangan capres dan cawapres. 

    Hal ini sejalan dengan prinsif demokrasi, yaitu bervariasi yang dipilih dan bervariasi yang memilih.

    “Dengan begitu, Putusan MK yang menghapus PT 20 persen seirama dengan prinsip demokrasi. Hal ini tentunya akan menggairahkan kembali Pilpres mendatang,” ucapnya.

    Selain itu, dia berharap Pilpres 2029 akan banyak pasangan capres yang berkualitas. 

    Sebab para calon tidak lagi hasil kompromi antar elite politik semata. Elite politik mau tak mau harus memilih dan memajukan kandidat yang memang diterima rakyat. 

    “Dengan begitu, Pilpres 2029 akan disuguhi beragam kandidat. Para kandidat tersebut akan dipilih oleh beragam pemilih,” ucapnya.

    “Kalau hal itu terwujud, diharapkan Pilpres mendatang akan menghasil presiden dan wakil presiden yang berkualitas dan amanah. Mereka dipilih karena dinilai layak dan dapat dipercaya membawa amanah rakyat,” tandasnya.

    MK Hapus Aturan PT 20 Persen

    Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya diatur parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya.

    Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

    Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

    Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

    MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.

    Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

    Selain itu setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.

    Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

    Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.

    Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong. Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.

    “Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

    Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang – undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi:

    Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.

    Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

    Dalam mengusulan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

    Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya

    Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

    “Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil,” kata Saldi.